Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional?
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
GUBERNUR
Aceh, Muzakir Manaf, menyamakan banjir yang menerjang provinsinya sebagai tsunami kedua. Itu momen terkelam dalam sejarah Aceh sejak bergabung dengan republik Indonesia–gempa dahsyat dengan skala yang “menyundul” Skala Richter di akhir 2004 silam.
Kini, “tsunami” itu berulang, tapi dari sebab lain: Diduga paduan faktor alam dan ulah manusia.
“Aceh seakan mengalami tsunami kedua. Tugas kita adalah melayani mereka yang terdampak. Tidak boleh ada jeda kemanusiaan di lapangan,” kata Mualem, begitu gubernur Aceh itu karib disapa (
Antara
, 2/12/2025).
Skala dampak banjir di tanah rencong menjangkau 18 kabupaten/kota, tersebar di 226 kecamatan serta 3.310 desa (gampong). Hingga 4 Desember 2025, sebanyak 277 orang meninggal di Aceh. Sedikitnya 193 korban hilang dan 1.800 luka-luka.
Bukan hanya Aceh, banjir serupa menghumbalang Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Data terakhir, korban meninggal di Sumut mencapai 299 orang, korban hilang 159 orang dan 610 luka-luka.
Adapun di Sumatera Barat, sebanyak 200 orang meninggal, 212 orang lainnya masih hilang dan 111 orang luka-luka. Total warga terdampak banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar menembus 3,3 juta jiwa (
Liputan6.com
, 4/12/2025).
Banjir besar itu juga meluluhlantakkan infrastruktur seperti jembatan, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, kantor hingga rumah warga.
Data di atas menggambarkan betapa daruratnya bencana di tiga provinsi itu. Panggilan yang mestinya mendesak pemerintah pusat di Jakarta merespons dengan sigap dan supercepat.
Terlebih dalam bencana ini, terindikasi ada kejahatan korporasi dan manusia di balik banjir dan longsor. Pemandangan kayu gelondongan di sejumlah titik lokasi banjir memberi kabar tentang adanya ulah manusia di balik bencana ini. Menteri Lingkungan Hanif Faisol mulai mengakui soal ini.
“Ada indikasi pembukaan-pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena memang kan
zero burning
, sehingga kayu itu tidak dibakar, tapi dipinggirkan,” ujar Hanif Faisol (
Kompas.com
, 3/12/2025).
Sang menteri melanjutkan, “Ternyata banjirnya yang cukup besar, mendorong itu (gelondongan kayu) menjadi bencana berlipat-lipat.”
Dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
Sementara bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana di Sumatera kali ini adalah kombinasi antara faktor alam (curah hujan ekstrem) dengan kerusakan ekologi yang diduga karena ulah manusia, khususnya korporasi.
Daya rusaknya mencekam. Tak salah jika menteri Lingkungan Hidup bilang “bencana berlipat-lipat”. Maksudnya, dampak banjir itu ke mana-mana, sangat merusak, luas dan parah.
Namun, mengapa pemerintah tak lekas menetapkannya sebagai bencana nasional? Apakah perlu data dan informasi lagi untuk menggedor Jakarta bertanggung jawab?
Sebagian kepala daerah telah melempar handuk atau bendera putih, tanda tak sanggup. Mengapa Jakarta masih kagok dan gamang?
Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah kenyataan, dan esok adalah masa depan. Korban banjir membutuhkan kehadiran pemerintah untuk menghadapi kenyataan pahit ini.
Mereka perlu diyakinkan bahwa masa depannya bisa ditegakkan. Namun, tak mungkin mereka membangun rumah, sekolah, tempat ibadah, jembatan hingga infrastruktur publik lainnya dengan swadaya.
Negara perlu hadir lewat pemerintah terdekat. Ketika pemerintah terdekat tak sanggup, Jakarta harus menanggung beban.
Negeri kita punya UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 51 ayat 1 menyebutkan, “Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.”
Ayat 2 menorehkan siapa yang harus bertanggung jawab. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota.
Sudah waktunya Presiden Prabowo Subianto mengambil tanggung jawab. Saat ini tak penting lagi memberi “cap” bantuan presiden untuk beras atau kebutuhan pokok untuk korban banjir di Sumatera.
Kini dibutuhkan seorang komandan yang menggerakkan tim dari Jakarta untuk turun ke lokasi bencana.
Data dan informasi dihimpun untuk menggerakkan pekerjaan raksasa ini. Skala prioritas dibuat paling penting menyelamatkan manusia.
Mereka yang berada di pengungsian tak boleh lapar. Tak boleh lagi ada cerita korban banjir, seperti di Sibolga, Sumatera Utara yang berebut makanan di minimarket. Sebelumnya diberitakan “menjarah”.
Jangan lagi ada penjabat yang dengan enteng bicara, ”
Banjir Sumatera
cuma besar di media sosial”. Korban banjir di Sumatera memanggil. Panggilan mereka darurat, terkait nyawa yang tak ada “penggantinya di toko”.
Pemerintah pusat punya duit kok. Dana makan bergizi gratis (MBG) tidak seluruhnya terserap tahun ini. Untuk program ini Badan Gizi Nasional (BGN) pernah minta dana tambahan hingga berjumlah Rp 171 triliun.
Dari dana teralokasi tahun ini, bisa dikembalikan ke kas negara jika tak sanggup diserap. Pemerintah harus tahu mana yang lebih darurat dan mana yang harus ditangguhkan.
Ini bukan masa normal. Bertindak
business as usual
tidak cukup. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus lentur. Menurut dia, saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih memiliki lebih dari Rp 500 miliar dana siap pakai. Apakah itu cukup?
Keadaan dan situasi lapangan yang berbicara. Satu yang pasti, anggaran penanganan bencana justru turun pada RAPBN 2026 menjadi Rp 491 miliar. Padahal di APBN 2025 masih Rp 2,01 triliun (
CNBCIndonesia.com
, 1/12/2025).
Negara ini berada di lintasan “cincin api Pasifik”. Indonesia rentan dengan gempa bumi. Pada 2004 silam, negeri kita telah berpengalaman menangani bencana superbesar: Tsunami Aceh dan lalu Nias.
Seyogianya pengalaman itu tidak bikin pemerintah kagok dan gagap lagi. Itu menimpa ujung Sumatera di masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala.
Di masa itu pemerintah terpaksa dan harus rela membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias.
Duet militer dan sipil itu juga memobilisasi bantuan internasional karena super dahsyatnya kerusakan akibat tsunami dan gempa bumi saat itu.
Dalam lima tahun BRR bekerja, badan ini menghabiskan Rp 74 triliun untuk merehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. BRR membangun 134.000 rumah, 3.600 kilometer jalan dan 1.400 gedung sekolah.
Apakah badan semacam BRR ini diperlukan untuk menjawab masalah saat ini?
Menurut saya, iya. Itu merupakan bentuk kehadiran negara. Skala masalah dan kerjanya mungkin tak sebesar di Aceh 2004. Namun ingat, banjir akhir November 2025 ini memorakporandakan tiga provinsi di Sumatera.
Untuk saat ini, yang paling penting adalah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatera. Wakil rakyat di DPR jangan hanya menyerahkan urusan ini kepada presiden.
Sebaliknya, DPR harus di depan dalam memberikan saran kepada presiden untuk menyatakan status bencana nasional di Sumatera.
Korban banjir menunggu bantuan, daerah yang aksesnya terputus perlu segera dibuka, kerusakan infrastruktur yang massal harus segera dibangun.
Sementara itu, mulai sekarang layak dikaji ulang keserakahan bangsa ini dalam mengeruk alam. Dalam siaran pers bertajuk “Dari Hulu yang Robek ke Kampung yang Tenggelam: Banjir Sumatera dan Ledakan Izin Ekstraktif”, Jatam mengingatkan hal yang sudah lama tidak didengar.
Mengutip data Kementerian ESDM, Jatam memperlihatkan bahwa Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba, mineral dan batu bara. Di pulau ini, ada 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.
Kepadatan izin ini terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170).
Sementara provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut.
Menurut Jatam, luasan dan sebaran konsesi ini berarti jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan.
Tekanan terhadap ekosistem Sumatera tidak berhenti pada tambang minerba. Sedikitnya 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) beroperasi atau dikembangkan di pulau ini, dengan sebaran terbesar di Sumatera Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu (5 PLTA), Sumatera Barat (3), Lampung (2), dan Riau (2).
Negeri ini harus mengkaji ulang tentang pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif.
Saya ingin ulang lagi pernyataan Bjorn Hettne dalam buku “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia” (1990). Di buku ini, ia menyebut pembangunan adalah salah satu gagasan yang tertua dan terkuat dari semua gagasan Barat (baca: Eropa).
Unsur utamanya, kata Hettne, tak lain metafora pertumbuhan. Pembangunan sesuai dengan metafora ini dipahami sebagai organisme, imanen, terarah, kumulatif, dan bertujuan.
Sumatera hari ini adalah kisah pembangunan yang kehilangan arah. Saat alam rusak, cuma soal waktu ia bakal memukul balik manusia.
Bencana Sumatera
bukan semata karena faktor alam, tapi juga karena ulah manusia–kepanjangan tangan dari korporasi–yang serakah.
Sesuatu yang digugat dan tidak dikehendaki oleh Presiden Prabowo ketika berulang-ulang mengucapkan ‘Serakahnomics’ di sejumlah kesempatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Susilo Bambang Yudhoyono
-

Sidang Sengketa Tanah Pasar Asem Payung Surabaya, Hakim Pemeriksaan TKP
Surabaya (beritajatim.com) — Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menggelar pemeriksaan setempat (PS) dalam perkara 106/G/2025/PTUN.SBY yang berlangsung di kawasan Pasar Asem Payung, Jalan Gebang Lor 42, Kelurahan Gebang Putih, Kecamatan Sukolilo.
Sidang lapangan ini untuk menguji kebenaran objek sengketa berupa tanah seluas 1.720 M² yang saat ini tercatat sebagai aset Pemerintah Kota Surabaya melalui Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 00011/ Gebang Putih, terbit 16 Agustus 2023.
Para penggugat, Chafsah, Fachtul Adim, Fadillah Sahhilun, Asni Furoidah, dan Muchlisul Azmi meminta majelis hakim menyatakan SHP tersebut batal atau tidak sah, sekaligus mewajibkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya II untuk mencabutnya. Mereka mengklaim memiliki dasar kepemilikan sah berdasarkan jual beli tanah tahun 1975.
Ketua majelis hakim, Yusuf Ngongi, menegaskan bahwa agenda PS bertujuan memastikan kesesuaian lokasi sengketa dengan dalil-dalil para pihak, bukan forum adu argumentasi.
“Kita datang untuk memastikan kebenaran objek sengketa. Jika ada perbedaan dalil, disampaikan saja pada persidangan atau dituangkan dalam kesimpulan,” tegas Yusuf.
Dalam sidang PS, majelis hakim banyak mengajukan pertanyaan terkait batas-batas tanah, riwayat penguasaan, hingga konsistensi alat bukti yang diajukan para pihak.
Para Penggugat menunjukkan batas tanah yang mereka klaim, lengkap dengan riwayat penggunaan lahan sejak 1975. Mereka menjelaskan bahwa, tanah tersebut awalnya merupakan sawah, lalu diuruk pada 2006–2007. Pagar dibangun tahun 2007, paving tahun 2008. Lokasi kemudian digunakan warga sebagai tempat berdagang dengan sistem sewa dan PBB atas tanah tersebut, menurut mereka, dibayarkan hingga tahun 2017.
Kuasa hukum penggugat, Muhammad Suud, menegaskan bahwa penguasaan fisik selalu berada pada pihak kliennya.
“Sampai sekarang yang menguasai lahan ini adalah pihak penggugat. Bahkan bangunan-bangunan pedagang di sana berdiri atas swadaya dan izin sewa dari klien kami,” ujarnya.
Suud juga menyoroti ketidaksesuaian antara gambar batas yang diajukan Pemkot Surabaya dengan kondisi lapangan maupun bukti-bukti lama di buku desa.
Sedangkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II Intervensi menyatakan bahwa penerbitan SHP tahun 2023 dilakukan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan eksekusi terhadap perkara sebelumnya. Mereka menyebut tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset Pemkot dalam buku desa sebelum sertifikat diterbitkan.
Namun, ketika diminta hakim menunjukkan batas-batas objek dan dasar yuridis lain, terdapat sejumlah ketidaksesuaian yang dipertanyakan Penggugat.
Majelis hakim juga menyoroti BPN Surabaya II yang hadir dalam sidang PS namun tidak membawa alat ukur, sehingga tidak dapat mengambil titik koordinat di lapangan.
“Ambil titik koordinat, lakukan plotting dengan GPS, dan bawa narasinya pada persidangan berikut,” tegas hakim Yusuf.
Sikap ini dipandang Penggugat sebagai kelemahan signifikan, mengingat BPN sebelumnya belum menyerahkan bukti surat yang menjadi dasar terbitnya SHP.
Pihak penggugat juga menilai proses terbitnya SHP 00011/2023 tidak mengikuti PP 18/2021 dan prosedur pengukuran tanah yang berlaku.
Penggugat menyoroti, tidak ada pengumuman hasil ukur sebagaimana aturan. Proses ukur 4 Agustus 2023, tetapi sertifikat sudah terbit 12 hari kemudian. Terdapat perbedaan luas. Klaim awal Pemkot sekitar 1.500 M², namun SHP tercatat 1.720 M² dan Penguasaan fisik masih berada di tangan penggugat, sehingga tak memenuhi syarat penerbitan hak pakai.
“Ini cacat prosedur. Terlalu cepat, tidak transparan, dan terindikasi manipulasi data,” tegas Suud.
Dalam sidang PS, muncul dugaan ketidaksesuaian antara data desa, persil, dan gambar kerawangan desa. Lurah Gebang Putih sebelumnya menyatakan persil 41 S kelas 1 yang menjadi rujukan Penggugat tidak ada dalam buku desa, namun justru tercatat di persil 40.
Hakim meminta agar dokumen-dokumen lama buku desa dibawa pada sidang berikut untuk melacak jejak riwayat kepemilikan.
Majelis hakim menjadwalkan sidang berikut untuk pembuktian lanjutan, termasuk kewajiban Tergugat dan Tergugat II Intervensi membawa data yuridis batas tanah, titik koordinat hasil ukur, buku desa dan kerawangan desa lama, bukti pembayaran pajak dan fasar penguasaan fisik sebelum penerbitan SHP. [uci/ted]
-

Tumbuh 6% Mah Gampang, 7-8% Baru Ada Effort!
Jakarta –
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa optimis dapat mendongkrak ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi. Bendahara Negara mengakui untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7-8% memang butuh usaha ekstra, namun untuk menyentuh level 6,5% tidak terlalu sulit.
“Ke depan gimana? Kenapa saya berani bilang, ah kalau tumbuh 6% mah gampang, ya 6,5% nggak susah -susah amat. 7%, 8% baru butuh ekstra effort,” ujarnya dalam Rapimnas Kadin di Park Hyatt Hotel Jakarta, Senin (1/12/2025).
Purbaya akan menggunakan mesin pengusaha dan pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pengamatannya dari kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Purbaya menjelaskan, zaman SBY ekonomi berhasil tumbuh rata-rata di angka 6%, lebih tinggi dari era Jokowi yang rata-ratanya 5%. Padahal pembangunan infrastruktur SBY tidak semasif pembangunan di era Jokowi.
Namun, SBY berhasil menghidupkan sektor swasta hingga turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia banyak berperan dalam pembangunan di era SBY.
“Waktu zaman Pak SBY ekonomi tumbuh 6% rata-rata, Pak Jokowi 5%. salahnya di mana? Pada zaman Pak SBY, dia tidak membangun infrastruktur besar besaran. Kenapa bisa 6%, karena dia biarkan riil sektor tumbuh, privat sector tumbuh, peran Kadin pada saat itu pasti besar. Mungkin sebagian besar untung banyak pada saat itu,” beber Purbaya.
Sebaliknya, Jokowi disebut tidak banyak melibatkan sektor swasta dan lebih banyak menggunakan instrumen pemerintah. Akibatnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5%.
“Jadi di zaman Pak SBY yang jalan private sector pemerintahnya diam, zaman Pak Jokowi, pemerintah jalan, private sector-nya relatif diam. Yang privat hasilnya 6%, government 5%. Jadi kalau sekarang saya hidupkan 2 mesin ekonomi, government dan private sector, 6,5% nggak susah-susah amat,” tutupnya.
(kil/kil)
-

Luhut Tegaskan Tak Punya Kepentingan di Proyek Nikel dengan China
Jakarta –
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan bercerita panjang lebar soal pengembangan investasi nasional selama satu dekade ke belakang. Khususnya pengembangan investasi proyek hilirisasi nikel di Kawasan Morowali, Sulawesi Tengah.
Bagi Luhut, sebagai mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dirinya bertanggung jawab atas perencanaan dan pengembangan investasi nasional selama kurang lebih sebelas tahun.
Meski sudah satu dekade lebih menyusun kebijakan investasi, Luhut menegaskan dirinya selalu menjaga diri untuk tidak ada konflik kepentingan. Dia menegaskan dirinya tidak punya bisnis apa-apa yang terlibat di semua proyek hilirisasi pemerintah.
“Selama menjabat, saya menjaga agar tidak ada konflik kepentingan. Saya tidak pernah terlibat dalam bisnis apa pun demi menjaga integritas dan memastikan kepentingan bangsa menjadi prioritas,” ujar Luhut dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025).
Sejak awal, dia melihat perlunya perubahan besar agar Indonesia mendapatkan nilai tambah yang lebih baik dari sumber daya yang ada di Indonesia. Ide itu sudah dimiliki olehnya sejak 2001.
“Gagasan hilirisasi sesungguhnya sudah saya pikirkan sejak saya menjabat di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan pada tahun 2001,” kata Luhut.
Salah satu tonggak awalnya adalah pembangunan Kawasan Industri Morowali yang dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diresmikan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari situlah lahir pemikiran bahwa Indonesia tidak boleh terus mengekspor bahan mentah.
Namun, mendatangkan investor asing bukanlah hal yang mudah. Luhut mengatakan dia mempelajari kesiapan negara-negara dari segi investasi, pasar, dan teknologi.
Dari pengkajiannya itu, dia melihat hanya China yang saat itu siap dan mampu memenuhi kebutuhan Indonesia untuk melompat menjadi negara industri lewat hilirisasi nikel. Atas izin Jokowi, Luhut pun mulai melobi China untuk berinvestasi.
“Atas izin Presiden Joko Widodo, saya bertemu Perdana Menteri Li Qiang untuk menyampaikan permintaan Indonesia agar Tiongkok dapat berinvestasi dalam pengembangan industri hilirisasi,” kata Luhut.
Amerika Serikat kala itu tidak memiliki teknologi untuk hilirisasi nikel dan hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh CEO Tesla Elon Musk ketika bertemu dengan Luhut beberapa waktu lalu. Elon Musk menyebut AS tertinggal cukup signifikan dari China.
Luhut menjelaskan hilirisasi nikel dimulai dari penghentian ekspor ore nikel, yang sebelumnya hanya menghasilkan sekitar US$ 1,2 miliar per tahun, itu pun sebagian besar berupa tanah dan air, karena hanya sekitar 2% kandungannya yang dapat diambil.
Jokowi Sempat Khawatir
Luhut bercerita mulanya Jokowi sempat khawatir karena Indonesia berpotensi kehilangan nilai ekspor ore nikel. Banyak menteri juga tidak setuju karena takut kehilangan pemasukan jangka pendek. Namun setelah melalui pembahasan mendalam, pihaknya mengusulkan secara formal hilirisasi kepada Jokowi.
“Saya sampaikan bahwa dua hingga tiga tahun pertama akan berat, tetapi setelah itu manfaatnya akan terlihat jelas,” ujar Luhut.
Dalam waktu satu bulan, Jokowi pun menyetujui langkah tersebut, dan China pun siap bekerja sama. Dari situ, hilirisasi di Morowali mulai berjalan, dari nickel ore menuju produk bernilai tambah seperti stainless steel, precursor, dan cathode yang hari ini digunakan di berbagai industri global.
Tahun lalu ekspor sektor ini mencapai US$ 34 miliar dan akan meningkat menjadi US$ 36-38 miliar pada tahun ini, dan menjadi salah satu faktor stabilnya ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.
“Tentu dalam perjalanannya terdapat banyak tantangan. Tetapi setiap keputusan kami buat melalui proses yang terpadu, transparan, dengan perhitungan untung-rugi yang jelas, dan yang menjadi titik pijak utama saya adalah kepentingan nasional. Dalam sebuah kerja sama, mustahil semua pihak menang; selalu ada proses give and take,” papar Luhut.
(hal/hns)
-

Beda Kegiatan Mantan Presiden Setelah Pensiun, Megawati-SBY Nikmati Hobi, Jokowi Sibuk Klarifikasi?
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Juru Bicara PDIP, Mohamad Guntur Romli, menyinggung aktivitas para Kepala Negara saat purna tugas.
Dikatakan Guntur, ada perbedaan yang terbilang jauh di antara aktivitas para mantan Kepala Negara.
“Kegiatan sehari-hari Presiden Republik Indonesia ke-5, 6, dan 7 setelah purnatugas,” ujar di X @GunRomli (1/12/2025).
Ia memulai dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Guntur mengatakan bahwa putri Presiden pertama itu belakangan ini rajin tanam pohon dan menjadi pemerhati lingkungan.
Jika Megawati sibuk mengurus lingkungan, kata Guntur, Presiden ke-6 memilih menghabiskan siswa waktunya dengan melukis.
Adapun Presiden ke-7, Jokowi, Guntur melihatnya belakangan ini sibuk memberikan klarifikasi.
Mulai dari proyek peninggalannya yang diduga sarat masalah hingga dugaan ijazah palsu miliknya yang terus berpolemik.
Teranyar, Jokowi disebut sebagai sosok yang paling bertanggungjawab atas adanya bandara yang diduga ilegal di Morowali.
“Semoga semuanya diberi kesehatan, kekuatan, dan umur panjang untuk terus melakukan kegiatan masing-masing,” tandasnya.
Polemik yang paling melelahkan bagi Jokowi salah satunya terkait ijazah. Hingga saat ini Roy Suryo Cs belum menyerah dalam perdebatan tersebut.
Baru-baru ini, Pengacara Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, menanggapi wacana penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi melalui mekanisme mediasi penal maupun abolisi.
Ia menganggap usulan tersebut tidak bisa diterapkan karena perkara ini merupakan ranah hukum publik, bukan sengketa personal.
-

Dede Budhyarto: Pendirian Kawasan IMIP Ditandatangani SBY, Diresmikan Jokowi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Komisaris Independen PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), Dede Budhyarto memberi penjelasan soal polemik Bandara di Morowali, Sulawesi Tengah.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Dede Budhyarto menyebut ada penandatangan pendirian kawasan Bandara di IMIP ini.
Ia menyebut Penandatanganan pendirian kawasan IMIP dilakukan pada 3 Oktober 2013.
Dengan sama antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Xi Jinping
“Penandatanganan pendirian kawasan IMIP dilakukan pada 3 Oktober 2013 di Jakarta, melalui kerja sama antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam Forum Bisnis Indonesia–Cina,” tulisnya dikutip Kamis (27/11/2025).
Lalu dua tahun berikutnya, kawasan industri tersebut diresmikan oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
“Dua tahun kemudian, pada 29 Mei 2015, kawasan industri tersebut diresmikan oleh Presiden RI ke-7 @jokowi
Pondasi & kelanjutan pembangunan ini menunjukkan kesinambungan kebijakan lintas pemerintahan dalam mendorong hilirisasi dan industri nasional,” jelasnya.Dede Budhyarto memberikan informasi tambahan dengan menyebut bandara ini dirancang sebagai ekosistem industri besar. D
“Biar tambah jelas: Bandara IMIP tercatat resmi di Kemenhub—artinya kawasan ini memang dirancang sebagai ekosistem industri besar, bukan proyek dadakan seperti yang digoreng-goreng di medsos,” tuturnya.
“IMIP itu lahir dari penandatanganan era SBY (2013), diresmikan dan dipacu pengerjaannya di era Jokowi (2015), lengkap dengan infrastruktur pendukung seperti bandara,” paparnya.
/data/photo/2025/12/05/693273dd68d41.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


/data/photo/2025/11/19/691d812e50c7c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)