Tag: Susilo Bambang Yudhoyono

  • Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 Desember 2025

    Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional? Nasional 5 Desember 2025

    Panggilan Darurat dari Sumatera: Pemerintah Gamang Tetapkan Bencana Nasional?
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    GUBERNUR
    Aceh, Muzakir Manaf, menyamakan banjir yang menerjang provinsinya sebagai tsunami kedua. Itu momen terkelam dalam sejarah Aceh sejak bergabung dengan republik Indonesia–gempa dahsyat dengan skala yang “menyundul” Skala Richter di akhir 2004 silam.
    Kini, “tsunami” itu berulang, tapi dari sebab lain: Diduga paduan faktor alam dan ulah manusia.
    “Aceh seakan mengalami tsunami kedua. Tugas kita adalah melayani mereka yang terdampak. Tidak boleh ada jeda kemanusiaan di lapangan,” kata Mualem, begitu gubernur Aceh itu karib disapa (
    Antara
    , 2/12/2025).
    Skala dampak banjir di tanah rencong menjangkau 18 kabupaten/kota, tersebar di 226 kecamatan serta 3.310 desa (gampong). Hingga 4 Desember 2025, sebanyak 277 orang meninggal di Aceh. Sedikitnya 193 korban hilang dan 1.800 luka-luka.
    Bukan hanya Aceh, banjir serupa menghumbalang Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Data terakhir, korban meninggal di Sumut mencapai 299 orang, korban hilang 159 orang dan 610 luka-luka.
    Adapun di Sumatera Barat, sebanyak 200 orang meninggal, 212 orang lainnya masih hilang dan 111 orang luka-luka. Total warga terdampak banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar menembus 3,3 juta jiwa (
    Liputan6.com
    , 4/12/2025).
    Banjir besar itu juga meluluhlantakkan infrastruktur seperti jembatan, fasilitas pendidikan, rumah ibadah, kantor hingga rumah warga.
    Data di atas menggambarkan betapa daruratnya bencana di tiga provinsi itu. Panggilan yang mestinya mendesak pemerintah pusat di Jakarta merespons dengan sigap dan supercepat.
    Terlebih dalam bencana ini, terindikasi ada kejahatan korporasi dan manusia di balik banjir dan longsor. Pemandangan kayu gelondongan di sejumlah titik lokasi banjir memberi kabar tentang adanya ulah manusia di balik bencana ini. Menteri Lingkungan Hanif Faisol mulai mengakui soal ini.
    “Ada indikasi pembukaan-pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena memang kan
    zero burning
    , sehingga kayu itu tidak dibakar, tapi dipinggirkan,” ujar Hanif Faisol (
    Kompas.com
    , 3/12/2025).
    Sang menteri melanjutkan, “Ternyata banjirnya yang cukup besar, mendorong itu (gelondongan kayu) menjadi bencana berlipat-lipat.”
    Dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

    longsor.
    Sementara bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
    Bencana di Sumatera kali ini adalah kombinasi antara faktor alam (curah hujan ekstrem) dengan kerusakan ekologi yang diduga karena ulah manusia, khususnya korporasi.
    Daya rusaknya mencekam. Tak salah jika menteri Lingkungan Hidup bilang “bencana berlipat-lipat”. Maksudnya, dampak banjir itu ke mana-mana, sangat merusak, luas dan parah.
    Namun, mengapa pemerintah tak lekas menetapkannya sebagai bencana nasional? Apakah perlu data dan informasi lagi untuk menggedor Jakarta bertanggung jawab?
    Sebagian kepala daerah telah melempar handuk atau bendera putih, tanda tak sanggup. Mengapa Jakarta masih kagok dan gamang?
    Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah kenyataan, dan esok adalah masa depan. Korban banjir membutuhkan kehadiran pemerintah untuk menghadapi kenyataan pahit ini.
    Mereka perlu diyakinkan bahwa masa depannya bisa ditegakkan. Namun, tak mungkin mereka membangun rumah, sekolah, tempat ibadah, jembatan hingga infrastruktur publik lainnya dengan swadaya.
    Negara perlu hadir lewat pemerintah terdekat. Ketika pemerintah terdekat tak sanggup, Jakarta harus menanggung beban.
    Negeri kita punya UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 51 ayat 1 menyebutkan, “Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.”
    Ayat 2 menorehkan siapa yang harus bertanggung jawab. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota.
    Sudah waktunya Presiden Prabowo Subianto mengambil tanggung jawab. Saat ini tak penting lagi memberi “cap” bantuan presiden untuk beras atau kebutuhan pokok untuk korban banjir di Sumatera.
    Kini dibutuhkan seorang komandan yang menggerakkan tim dari Jakarta untuk turun ke lokasi bencana.
    Data dan informasi dihimpun untuk menggerakkan pekerjaan raksasa ini. Skala prioritas dibuat paling penting menyelamatkan manusia.
    Mereka yang berada di pengungsian tak boleh lapar. Tak boleh lagi ada cerita korban banjir, seperti di Sibolga, Sumatera Utara yang berebut makanan di minimarket. Sebelumnya diberitakan “menjarah”.
    Jangan lagi ada penjabat yang dengan enteng bicara, ”
    Banjir Sumatera
    cuma besar di media sosial”. Korban banjir di Sumatera memanggil. Panggilan mereka darurat, terkait nyawa yang tak ada “penggantinya di toko”.
    Pemerintah pusat punya duit kok. Dana makan bergizi gratis (MBG) tidak seluruhnya terserap tahun ini. Untuk program ini Badan Gizi Nasional (BGN) pernah minta dana tambahan hingga berjumlah Rp 171 triliun.
    Dari dana teralokasi tahun ini, bisa dikembalikan ke kas negara jika tak sanggup diserap. Pemerintah harus tahu mana yang lebih darurat dan mana yang harus ditangguhkan.
    Ini bukan masa normal. Bertindak
    business as usual
    tidak cukup. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus lentur. Menurut dia, saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih memiliki lebih dari Rp 500 miliar dana siap pakai. Apakah itu cukup?
    Keadaan dan situasi lapangan yang berbicara. Satu yang pasti, anggaran penanganan bencana justru turun pada RAPBN 2026 menjadi Rp 491 miliar. Padahal di APBN 2025 masih Rp 2,01 triliun (
    CNBCIndonesia.com
    , 1/12/2025).
    Negara ini berada di lintasan “cincin api Pasifik”. Indonesia rentan dengan gempa bumi. Pada 2004 silam, negeri kita telah berpengalaman menangani bencana superbesar: Tsunami Aceh dan lalu Nias.
    Seyogianya pengalaman itu tidak bikin pemerintah kagok dan gagap lagi. Itu menimpa ujung Sumatera di masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kala.
    Di masa itu pemerintah terpaksa dan harus rela membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias.
    Duet militer dan sipil itu juga memobilisasi bantuan internasional karena super dahsyatnya kerusakan akibat tsunami dan gempa bumi saat itu.
    Dalam lima tahun BRR bekerja, badan ini menghabiskan Rp 74 triliun untuk merehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias. BRR membangun 134.000 rumah, 3.600 kilometer jalan dan 1.400 gedung sekolah.
    Apakah badan semacam BRR ini diperlukan untuk menjawab masalah saat ini?
    Menurut saya, iya. Itu merupakan bentuk kehadiran negara. Skala masalah dan kerjanya mungkin tak sebesar di Aceh 2004. Namun ingat, banjir akhir November 2025 ini memorakporandakan tiga provinsi di Sumatera.
    Untuk saat ini, yang paling penting adalah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatera. Wakil rakyat di DPR jangan hanya menyerahkan urusan ini kepada presiden.
    Sebaliknya, DPR harus di depan dalam memberikan saran kepada presiden untuk menyatakan status bencana nasional di Sumatera.
    Korban banjir menunggu bantuan, daerah yang aksesnya terputus perlu segera dibuka, kerusakan infrastruktur yang massal harus segera dibangun.
    Sementara itu, mulai sekarang layak dikaji ulang keserakahan bangsa ini dalam mengeruk alam. Dalam siaran pers bertajuk “Dari Hulu yang Robek ke Kampung yang Tenggelam: Banjir Sumatera dan Ledakan Izin Ekstraktif”, Jatam mengingatkan hal yang sudah lama tidak didengar.
    Mengutip data Kementerian ESDM, Jatam memperlihatkan bahwa Sumatera telah diperlakukan sebagai zona pengorbanan untuk tambang minerba, mineral dan batu bara. Di pulau ini, ada 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.
    Kepadatan izin ini terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), dan Sumatera Utara (170).
    Sementara provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin di darat maupun laut.
    Menurut Jatam, luasan dan sebaran konsesi ini berarti jutaan hektare jaringan hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galian, infrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan.
    Tekanan terhadap ekosistem Sumatera tidak berhenti pada tambang minerba. Sedikitnya 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) beroperasi atau dikembangkan di pulau ini, dengan sebaran terbesar di Sumatera Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu (5 PLTA), Sumatera Barat (3), Lampung (2), dan Riau (2).
    Negeri ini harus mengkaji ulang tentang pembangunan yang bertumpu pada industri ekstraktif.
    Saya ingin ulang lagi pernyataan Bjorn Hettne dalam buku “Teori Pembangunan dan Tiga Dunia” (1990). Di buku ini, ia menyebut pembangunan adalah salah satu gagasan yang tertua dan terkuat dari semua gagasan Barat (baca: Eropa).
    Unsur utamanya, kata Hettne, tak lain metafora pertumbuhan. Pembangunan sesuai dengan metafora ini dipahami sebagai organisme, imanen, terarah, kumulatif, dan bertujuan.
    Sumatera hari ini adalah kisah pembangunan yang kehilangan arah. Saat alam rusak, cuma soal waktu ia bakal memukul balik manusia.
    Bencana Sumatera
    bukan semata karena faktor alam, tapi juga karena ulah manusia–kepanjangan tangan dari korporasi–yang serakah.
    Sesuatu yang digugat dan tidak dikehendaki oleh Presiden Prabowo ketika berulang-ulang mengucapkan ‘Serakahnomics’ di sejumlah kesempatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Sengketa Tanah Pasar Asem Payung Surabaya, Hakim Pemeriksaan TKP

    Sidang Sengketa Tanah Pasar Asem Payung Surabaya, Hakim Pemeriksaan TKP

    Surabaya (beritajatim.com) — Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya menggelar pemeriksaan setempat (PS) dalam perkara 106/G/2025/PTUN.SBY yang berlangsung di kawasan Pasar Asem Payung, Jalan Gebang Lor 42, Kelurahan Gebang Putih, Kecamatan Sukolilo.

    Sidang lapangan ini untuk menguji kebenaran objek sengketa berupa tanah seluas 1.720 M² yang saat ini tercatat sebagai aset Pemerintah Kota Surabaya melalui Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 00011/ Gebang Putih, terbit 16 Agustus 2023.

    Para penggugat, Chafsah, Fachtul Adim, Fadillah Sahhilun, Asni Furoidah, dan Muchlisul Azmi meminta majelis hakim menyatakan SHP tersebut batal atau tidak sah, sekaligus mewajibkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya II untuk mencabutnya. Mereka mengklaim memiliki dasar kepemilikan sah berdasarkan jual beli tanah tahun 1975.

    Ketua majelis hakim, Yusuf Ngongi, menegaskan bahwa agenda PS bertujuan memastikan kesesuaian lokasi sengketa dengan dalil-dalil para pihak, bukan forum adu argumentasi.

    “Kita datang untuk memastikan kebenaran objek sengketa. Jika ada perbedaan dalil, disampaikan saja pada persidangan atau dituangkan dalam kesimpulan,” tegas Yusuf.

    Dalam sidang PS, majelis hakim banyak mengajukan pertanyaan terkait batas-batas tanah, riwayat penguasaan, hingga konsistensi alat bukti yang diajukan para pihak.

    Para Penggugat menunjukkan batas tanah yang mereka klaim, lengkap dengan riwayat penggunaan lahan sejak 1975. Mereka menjelaskan bahwa, tanah tersebut awalnya merupakan sawah, lalu diuruk pada 2006–2007. Pagar dibangun tahun 2007, paving tahun 2008. Lokasi kemudian digunakan warga sebagai tempat berdagang dengan sistem sewa dan PBB atas tanah tersebut, menurut mereka, dibayarkan hingga tahun 2017.

    Kuasa hukum penggugat, Muhammad Suud, menegaskan bahwa penguasaan fisik selalu berada pada pihak kliennya.

    “Sampai sekarang yang menguasai lahan ini adalah pihak penggugat. Bahkan bangunan-bangunan pedagang di sana berdiri atas swadaya dan izin sewa dari klien kami,” ujarnya.

    Suud juga menyoroti ketidaksesuaian antara gambar batas yang diajukan Pemkot Surabaya dengan kondisi lapangan maupun bukti-bukti lama di buku desa.

    Sedangkan Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II Intervensi menyatakan bahwa penerbitan SHP tahun 2023 dilakukan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan eksekusi terhadap perkara sebelumnya. Mereka menyebut tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset Pemkot dalam buku desa sebelum sertifikat diterbitkan.

    Namun, ketika diminta hakim menunjukkan batas-batas objek dan dasar yuridis lain, terdapat sejumlah ketidaksesuaian yang dipertanyakan Penggugat.

    Majelis hakim juga menyoroti BPN Surabaya II yang hadir dalam sidang PS namun tidak membawa alat ukur, sehingga tidak dapat mengambil titik koordinat di lapangan.

    “Ambil titik koordinat, lakukan  plotting dengan GPS, dan bawa narasinya pada persidangan berikut,” tegas hakim Yusuf.

    Sikap ini dipandang Penggugat sebagai kelemahan signifikan, mengingat BPN sebelumnya belum menyerahkan bukti surat yang menjadi dasar terbitnya SHP.

    Pihak penggugat juga menilai proses terbitnya SHP 00011/2023 tidak mengikuti PP 18/2021 dan prosedur pengukuran tanah yang berlaku.

    Penggugat menyoroti, tidak ada pengumuman hasil ukur sebagaimana aturan. Proses ukur 4 Agustus 2023, tetapi sertifikat sudah terbit 12 hari kemudian. Terdapat perbedaan luas. Klaim awal Pemkot sekitar 1.500 M², namun SHP tercatat 1.720 M² dan Penguasaan fisik masih berada di tangan penggugat, sehingga tak memenuhi syarat penerbitan hak pakai.

    “Ini cacat prosedur. Terlalu cepat, tidak transparan, dan terindikasi manipulasi data,” tegas Suud.

    Dalam sidang PS, muncul dugaan ketidaksesuaian antara data desa, persil, dan gambar kerawangan desa. Lurah Gebang Putih sebelumnya menyatakan persil 41 S kelas 1 yang menjadi rujukan Penggugat tidak ada dalam buku desa, namun justru tercatat di persil 40.

    Hakim meminta agar dokumen-dokumen lama buku desa dibawa pada sidang berikut untuk melacak jejak riwayat kepemilikan.

    Majelis hakim menjadwalkan sidang berikut untuk pembuktian lanjutan, termasuk kewajiban Tergugat dan Tergugat II Intervensi membawa data yuridis batas tanah, titik koordinat hasil ukur, buku desa dan kerawangan desa lama, bukti pembayaran pajak dan fasar penguasaan fisik sebelum penerbitan SHP.  [uci/ted]

  • Tumbuh 6% Mah Gampang, 7-8% Baru Ada Effort!

    Tumbuh 6% Mah Gampang, 7-8% Baru Ada Effort!

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa optimis dapat mendongkrak ekonomi Indonesia tumbuh lebih tinggi. Bendahara Negara mengakui untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 7-8% memang butuh usaha ekstra, namun untuk menyentuh level 6,5% tidak terlalu sulit.

    “Ke depan gimana? Kenapa saya berani bilang, ah kalau tumbuh 6% mah gampang, ya 6,5% nggak susah -susah amat. 7%, 8% baru butuh ekstra effort,” ujarnya dalam Rapimnas Kadin di Park Hyatt Hotel Jakarta, Senin (1/12/2025).

    Purbaya akan menggunakan mesin pengusaha dan pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pengamatannya dari kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

    Purbaya menjelaskan, zaman SBY ekonomi berhasil tumbuh rata-rata di angka 6%, lebih tinggi dari era Jokowi yang rata-ratanya 5%. Padahal pembangunan infrastruktur SBY tidak semasif pembangunan di era Jokowi.

    Namun, SBY berhasil menghidupkan sektor swasta hingga turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia banyak berperan dalam pembangunan di era SBY.

    “Waktu zaman Pak SBY ekonomi tumbuh 6% rata-rata, Pak Jokowi 5%. salahnya di mana? Pada zaman Pak SBY, dia tidak membangun infrastruktur besar besaran. Kenapa bisa 6%, karena dia biarkan riil sektor tumbuh, privat sector tumbuh, peran Kadin pada saat itu pasti besar. Mungkin sebagian besar untung banyak pada saat itu,” beber Purbaya.

    Sebaliknya, Jokowi disebut tidak banyak melibatkan sektor swasta dan lebih banyak menggunakan instrumen pemerintah. Akibatnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5%.

    “Jadi di zaman Pak SBY yang jalan private sector pemerintahnya diam, zaman Pak Jokowi, pemerintah jalan, private sector-nya relatif diam. Yang privat hasilnya 6%, government 5%. Jadi kalau sekarang saya hidupkan 2 mesin ekonomi, government dan private sector, 6,5% nggak susah-susah amat,” tutupnya.

    (kil/kil)

  • Luhut Tegaskan Tak Punya Kepentingan di Proyek Nikel dengan China

    Luhut Tegaskan Tak Punya Kepentingan di Proyek Nikel dengan China

    Jakarta

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan bercerita panjang lebar soal pengembangan investasi nasional selama satu dekade ke belakang. Khususnya pengembangan investasi proyek hilirisasi nikel di Kawasan Morowali, Sulawesi Tengah.

    Bagi Luhut, sebagai mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dirinya bertanggung jawab atas perencanaan dan pengembangan investasi nasional selama kurang lebih sebelas tahun.

    Meski sudah satu dekade lebih menyusun kebijakan investasi, Luhut menegaskan dirinya selalu menjaga diri untuk tidak ada konflik kepentingan. Dia menegaskan dirinya tidak punya bisnis apa-apa yang terlibat di semua proyek hilirisasi pemerintah.

    “Selama menjabat, saya menjaga agar tidak ada konflik kepentingan. Saya tidak pernah terlibat dalam bisnis apa pun demi menjaga integritas dan memastikan kepentingan bangsa menjadi prioritas,” ujar Luhut dalam keterangan tertulis, Senin (1/12/2025).

    Sejak awal, dia melihat perlunya perubahan besar agar Indonesia mendapatkan nilai tambah yang lebih baik dari sumber daya yang ada di Indonesia. Ide itu sudah dimiliki olehnya sejak 2001.

    “Gagasan hilirisasi sesungguhnya sudah saya pikirkan sejak saya menjabat di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan pada tahun 2001,” kata Luhut.

    Salah satu tonggak awalnya adalah pembangunan Kawasan Industri Morowali yang dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diresmikan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dari situlah lahir pemikiran bahwa Indonesia tidak boleh terus mengekspor bahan mentah.

    Namun, mendatangkan investor asing bukanlah hal yang mudah. Luhut mengatakan dia mempelajari kesiapan negara-negara dari segi investasi, pasar, dan teknologi.

    Dari pengkajiannya itu, dia melihat hanya China yang saat itu siap dan mampu memenuhi kebutuhan Indonesia untuk melompat menjadi negara industri lewat hilirisasi nikel. Atas izin Jokowi, Luhut pun mulai melobi China untuk berinvestasi.

    “Atas izin Presiden Joko Widodo, saya bertemu Perdana Menteri Li Qiang untuk menyampaikan permintaan Indonesia agar Tiongkok dapat berinvestasi dalam pengembangan industri hilirisasi,” kata Luhut.

    Amerika Serikat kala itu tidak memiliki teknologi untuk hilirisasi nikel dan hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh CEO Tesla Elon Musk ketika bertemu dengan Luhut beberapa waktu lalu. Elon Musk menyebut AS tertinggal cukup signifikan dari China.

    Luhut menjelaskan hilirisasi nikel dimulai dari penghentian ekspor ore nikel, yang sebelumnya hanya menghasilkan sekitar US$ 1,2 miliar per tahun, itu pun sebagian besar berupa tanah dan air, karena hanya sekitar 2% kandungannya yang dapat diambil.

    Jokowi Sempat Khawatir

    Luhut bercerita mulanya Jokowi sempat khawatir karena Indonesia berpotensi kehilangan nilai ekspor ore nikel. Banyak menteri juga tidak setuju karena takut kehilangan pemasukan jangka pendek. Namun setelah melalui pembahasan mendalam, pihaknya mengusulkan secara formal hilirisasi kepada Jokowi.

    “Saya sampaikan bahwa dua hingga tiga tahun pertama akan berat, tetapi setelah itu manfaatnya akan terlihat jelas,” ujar Luhut.

    Dalam waktu satu bulan, Jokowi pun menyetujui langkah tersebut, dan China pun siap bekerja sama. Dari situ, hilirisasi di Morowali mulai berjalan, dari nickel ore menuju produk bernilai tambah seperti stainless steel, precursor, dan cathode yang hari ini digunakan di berbagai industri global.

    Tahun lalu ekspor sektor ini mencapai US$ 34 miliar dan akan meningkat menjadi US$ 36-38 miliar pada tahun ini, dan menjadi salah satu faktor stabilnya ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

    “Tentu dalam perjalanannya terdapat banyak tantangan. Tetapi setiap keputusan kami buat melalui proses yang terpadu, transparan, dengan perhitungan untung-rugi yang jelas, dan yang menjadi titik pijak utama saya adalah kepentingan nasional. Dalam sebuah kerja sama, mustahil semua pihak menang; selalu ada proses give and take,” papar Luhut.

    (hal/hns)

  • Beda Kegiatan Mantan Presiden Setelah Pensiun, Megawati-SBY Nikmati Hobi, Jokowi Sibuk Klarifikasi?

    Beda Kegiatan Mantan Presiden Setelah Pensiun, Megawati-SBY Nikmati Hobi, Jokowi Sibuk Klarifikasi?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Juru Bicara PDIP, Mohamad Guntur Romli, menyinggung aktivitas para Kepala Negara saat purna tugas.

    Dikatakan Guntur, ada perbedaan yang terbilang jauh di antara aktivitas para mantan Kepala Negara.

    “Kegiatan sehari-hari Presiden Republik Indonesia ke-5, 6, dan 7 setelah purnatugas,” ujar di X @GunRomli (1/12/2025).

    Ia memulai dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri. Guntur mengatakan bahwa putri Presiden pertama itu belakangan ini rajin tanam pohon dan menjadi pemerhati lingkungan.

    Jika Megawati sibuk mengurus lingkungan, kata Guntur, Presiden ke-6 memilih menghabiskan siswa waktunya dengan melukis.

    Adapun Presiden ke-7, Jokowi, Guntur melihatnya belakangan ini sibuk memberikan klarifikasi.

    Mulai dari proyek peninggalannya yang diduga sarat masalah hingga dugaan ijazah palsu miliknya yang terus berpolemik.

    Teranyar, Jokowi disebut sebagai sosok yang paling bertanggungjawab atas adanya bandara yang diduga ilegal di Morowali.

    “Semoga semuanya diberi kesehatan, kekuatan, dan umur panjang untuk terus melakukan kegiatan masing-masing,” tandasnya.

    Polemik yang paling melelahkan bagi Jokowi salah satunya terkait ijazah. Hingga saat ini Roy Suryo Cs belum menyerah dalam perdebatan tersebut.

    Baru-baru ini, Pengacara Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, menanggapi wacana penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi melalui mekanisme mediasi penal maupun abolisi.

    Ia menganggap usulan tersebut tidak bisa diterapkan karena perkara ini merupakan ranah hukum publik, bukan sengketa personal.

  • Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kembali mendeklarasikan ambisi besar untuk membawa perekonomian nasional tumbuh 8% dalam lima tahun ke depan. Target pertumbuhan ekonomi yang pernah lekat dengan ekonomi Indonesia empat hingga lima dekade lalu. Meski demikian, sejumlah tantangan struktural yang mengemuka sejak awal reformasi masih membayangi.

    Sebagai pengingat, pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia terjadi pada era Presiden Soeharto. Rinciannya, ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada 1968 yakni mencapai 10,9%. Pertumbuhan tinggi di atas 8% kembali terjadi pada 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Meski demikian, rezim ini menutup kejatuhannya dengan anjlok -13,1% pada 1998 saat terjadi penggulingan kekuasaan lewat demonstrasi massa. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025–2029 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, mengamanatkan jajaran di kementeriannya mendukung arah pertumbuhan ekonomi 8% ini melalui optimalisasi pendapatan negara, belanja negara, perluasan sumber dan inovasi pembiayaan, serta pengendalian inflasi untuk mengejar target pertumbuhan.

    Dalam rencana tersebut, indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal antara lain rasio pendapatan negara terhadap PDB sebesar 12,36% pada 2025 dan naik ke kisaran 12,86% hingga 18% pada 2029.

    Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB juga ditargetkan meningkat. Pada 2025, targetnya sebesar 10,24% dan naik ke kisaran 11,52% hingga 15% pada 2029.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp13.032 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. “Kalau kita lihat, dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan investasi yang diharapkan kurang lebih adalah Rp13.032 triliun atau kurang lebih US$869 miliar,” ucap Rosan dalam Kompas 100 CEO Forum di Tangerang, Rabu (26/11/2025).

    Menurut Rosan, target investasi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 15,7% dibandingkan realisasi investasi 10 terakhir. Ia mengakui target itu menantang, tetapi upaya memperbaiki iklim investasi terus ditempuh, termasuk penyempurnaan sistem perizinan. Integrasi perizinan dari 18 kementerian kini berada dalam kewenangan Kementerian Investasi dan Hilirisasi.

    Rosan juga mencontohkan percepatan layanan perizinan berdasarkan ketentuan dalam PP No.28, yang memungkinkannya mengeluarkan izin apabila kementerian terkait tidak memberi respons dalam waktu yang ditentukan. “Dalam waktu 2 bulan, saya sudah mengeluarkan 151 perizinan,” katanya.

    Mimpi pertumbuhan ekonomi 8% juga pernah disinggung waktu era Presiden Joko Widodo dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Kala itu mantan bos Bank Dunia itu menyebut ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto. Sejak itu, perekonomian sulit melampaui kisaran 7%.

    Pertumbuhan tertinggi pasca-Soeharto terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,3% pada 2007. Adapun pada era Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di sekitar 4,23%.

    “Dalam 50 tahun sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi sebenarnya dicapai pada tahun 1990-an ketika kita mampu mencapai sekitar 8%. Itu sama persis dengan India saat ini,” ujarnya dalam The International Seminar and Growth Academy Asean di Aula Dhanapala Kemenkeu, Senin (23/9/2024).

    Meski ekonomi tumbuh solid, sejumlah catatan menunjukkan stabilitas ekonomi Orde Baru pada dekade 1970-an turut dipengaruhi booming minyak dan gas. Penerimaan migas mengalir deras ke kas negara, membuat pemerintah relatif leluasa menjalankan program pembiayaan. Akan tetapi, resesi global pada 1982 menjadi titik balik ketika harga minyak jatuh dan pendapatan negara tertekan. Ekonomi hanya tumbuh 2,2% pada tahun itu.

    Meski reformasi pajak dan pengembangan sektor nonmigas kemudian dilakukan, tekanan ekonomi kembali muncul menjelang akhir Orde Baru. Tensi politik meningkat pada 1996, inflasi naik menjadi 8,86%, defisit transaksi berjalan melebar, dan krisis finansial Asia 1997 memperparah kondisi ekonomi. Krisis tersebut menunjukkan kerentanan struktural perekonomian dan lemahnya tata kelola. Inflasi mencapai 77,6%, ekonomi terjun ke -13,7%, dan Soeharto akhirnya lengser setelah 32 tahun berkuasa.

    Reformasi 1998 membawa perubahan tata kelola politik, tetapi ekonomi masih belum kembali pada pertumbuhan tinggi seperti sebelum krisis. Pada 1998, ekonomi minus -13,13%, lalu berbalik tipis menjadi 0,79% pada 1999. Upaya pemulihan melalui penataan aset, penjualan BUMN, dan berbagai kebijakan fiskal membuat ekonomi tumbuh 3,64% pada 2001 dan 4,5% pada 2002.

    Pada 2003, pemerintahan Presiden Megawati menyampaikan optimisme bahwa pertumbuhan dapat mencapai 7% dalam tiga tahun namun tak pernah terealisasi. Menteri Keuangan Boediono, kala itu, menilai sasaran tersebut masih dalam jangkauan jika perbaikan iklim investasi dilakukan. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum, keamanan, dan perlindungan hak usaha. Persoalan kelembagaan, aturan yang tumpang tindih, serta pungutan daerah menjadi tantangan.

    Hingga kini, data BPS menunjukkan ekonomi Indonesia belum pernah kembali menembus pertumbuhan tahunan di atas 7% setelah reformasi. Rekor pertumbuhan tertinggi tercatat pada 2007, yakni 6,35%. Pada era pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan tertinggi berada di kisaran 5%.

  • Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Mimpi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Setelah Empat Dekade

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah kembali mendeklarasikan ambisi besar untuk membawa perekonomian nasional tumbuh 8% dalam lima tahun ke depan. Target pertumbuhan ekonomi yang pernah lekat dengan ekonomi Indonesia empat hingga lima dekade lalu. Meski demikian, sejumlah tantangan struktural yang mengemuka sejak awal reformasi masih membayangi.

    Sebagai pengingat, pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia terjadi pada era Presiden Soeharto. Rinciannya, ekonomi tertinggi sepanjang sejarah Indonesia terjadi pada 1968 yakni mencapai 10,9%. Pertumbuhan tinggi di atas 8% kembali terjadi pada 1973 (8,1%), 1977 (8,3%), 1980 (10%), dan 1995 (8,2%). Meski demikian, rezim ini menutup kejatuhannya dengan anjlok -13,1% pada 1998 saat terjadi penggulingan kekuasaan lewat demonstrasi massa. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025–2029 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, mengamanatkan jajaran di kementeriannya mendukung arah pertumbuhan ekonomi 8% ini melalui optimalisasi pendapatan negara, belanja negara, perluasan sumber dan inovasi pembiayaan, serta pengendalian inflasi untuk mengejar target pertumbuhan.

    Dalam rencana tersebut, indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal antara lain rasio pendapatan negara terhadap PDB sebesar 12,36% pada 2025 dan naik ke kisaran 12,86% hingga 18% pada 2029.

    Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB juga ditargetkan meningkat. Pada 2025, targetnya sebesar 10,24% dan naik ke kisaran 11,52% hingga 15% pada 2029.

    Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan P. Roeslani menyampaikan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp13.032 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. “Kalau kita lihat, dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan investasi yang diharapkan kurang lebih adalah Rp13.032 triliun atau kurang lebih US$869 miliar,” ucap Rosan dalam Kompas 100 CEO Forum di Tangerang, Rabu (26/11/2025).

    Menurut Rosan, target investasi tersebut memiliki rata-rata pertumbuhan sekitar 15,7% dibandingkan realisasi investasi 10 terakhir. Ia mengakui target itu menantang, tetapi upaya memperbaiki iklim investasi terus ditempuh, termasuk penyempurnaan sistem perizinan. Integrasi perizinan dari 18 kementerian kini berada dalam kewenangan Kementerian Investasi dan Hilirisasi.

    Rosan juga mencontohkan percepatan layanan perizinan berdasarkan ketentuan dalam PP No.28, yang memungkinkannya mengeluarkan izin apabila kementerian terkait tidak memberi respons dalam waktu yang ditentukan. “Dalam waktu 2 bulan, saya sudah mengeluarkan 151 perizinan,” katanya.

    Mimpi pertumbuhan ekonomi 8% juga pernah disinggung waktu era Presiden Joko Widodo dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Kala itu mantan bos Bank Dunia itu menyebut ekonomi Indonesia sebesar 7% hingga 8% hanya terjadi di era kepemimpinan Soeharto. Sejak itu, perekonomian sulit melampaui kisaran 7%.

    Pertumbuhan tertinggi pasca-Soeharto terjadi pada era Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 6,3% pada 2007. Adapun pada era Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di sekitar 4,23%.

    “Dalam 50 tahun sejarah Indonesia, pertumbuhan tertinggi sebenarnya dicapai pada tahun 1990-an ketika kita mampu mencapai sekitar 8%. Itu sama persis dengan India saat ini,” ujarnya dalam The International Seminar and Growth Academy Asean di Aula Dhanapala Kemenkeu, Senin (23/9/2024).

    Meski ekonomi tumbuh solid, sejumlah catatan menunjukkan stabilitas ekonomi Orde Baru pada dekade 1970-an turut dipengaruhi booming minyak dan gas. Penerimaan migas mengalir deras ke kas negara, membuat pemerintah relatif leluasa menjalankan program pembiayaan. Akan tetapi, resesi global pada 1982 menjadi titik balik ketika harga minyak jatuh dan pendapatan negara tertekan. Ekonomi hanya tumbuh 2,2% pada tahun itu.

    Meski reformasi pajak dan pengembangan sektor nonmigas kemudian dilakukan, tekanan ekonomi kembali muncul menjelang akhir Orde Baru. Tensi politik meningkat pada 1996, inflasi naik menjadi 8,86%, defisit transaksi berjalan melebar, dan krisis finansial Asia 1997 memperparah kondisi ekonomi. Krisis tersebut menunjukkan kerentanan struktural perekonomian dan lemahnya tata kelola. Inflasi mencapai 77,6%, ekonomi terjun ke -13,7%, dan Soeharto akhirnya lengser setelah 32 tahun berkuasa.

    Reformasi 1998 membawa perubahan tata kelola politik, tetapi ekonomi masih belum kembali pada pertumbuhan tinggi seperti sebelum krisis. Pada 1998, ekonomi minus -13,13%, lalu berbalik tipis menjadi 0,79% pada 1999. Upaya pemulihan melalui penataan aset, penjualan BUMN, dan berbagai kebijakan fiskal membuat ekonomi tumbuh 3,64% pada 2001 dan 4,5% pada 2002.

    Pada 2003, pemerintahan Presiden Megawati menyampaikan optimisme bahwa pertumbuhan dapat mencapai 7% dalam tiga tahun namun tak pernah terealisasi. Menteri Keuangan Boediono, kala itu, menilai sasaran tersebut masih dalam jangkauan jika perbaikan iklim investasi dilakukan. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum, keamanan, dan perlindungan hak usaha. Persoalan kelembagaan, aturan yang tumpang tindih, serta pungutan daerah menjadi tantangan.

    Hingga kini, data BPS menunjukkan ekonomi Indonesia belum pernah kembali menembus pertumbuhan tahunan di atas 7% setelah reformasi. Rekor pertumbuhan tertinggi tercatat pada 2007, yakni 6,35%. Pada era pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan tertinggi berada di kisaran 5%.

  • Dari Pacitan, SBY Ajak Panjatkan Doa untuk Korban Banjir dan Longsor Sumatera

    Dari Pacitan, SBY Ajak Panjatkan Doa untuk Korban Banjir dan Longsor Sumatera

    Pacitan (beritajatim.com) – Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan keprihatinan mendalam atas bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak Rabu (26/11). Yang mengakibatkan jumlah korban jiwa terus bertambah hingga mencapai ratusan, sementara sejumlah akses jalan di tiga wilayah tersebut terputus.

    Di hadapan ratusan undangan pada acara groundbreaking pembangunan Goed President Hotel Pacitan di Kelurahan Ploso, Pacitan, Sabtu (29/11/2025), SBY mengajak semua pihak untuk memanjatkan doa bagi para korban.

    “Sebelum acara ini kita mulai, mari kita berdoa atas musibah yang menimpa saudara-saudara kita,” ujar SBY.

    SBY menyampaikan dukungannya kepada pemerintah pusat maupun daerah yang sedang berupaya menangani bencana tersebut dan menyelamatkan sebanyak mungkin warga terdampak. Ia juga mengajak para pengusaha di seluruh Indonesia ikut membantu pemulihan wilayah yang terdampak bencana.

    “Insyaallah nanti pemerintah membangun kembali wilayah-wilayah yang terkena dampak,” tambahnya.

    Acara peletakan batu pertama tersebut menandai dimulainya pembangunan Goed President Hotel, sebuah hotel kelas dunia yang berdiri di atas lahan milik SBY, tepat di depan Museum dan Galeri Seni SBY–Ani.

    Proyek ini hotel bintang empat digarap oleh investor sekaligus Direktur Utama Handayani Wisata Samudera, Hermanto Tanoko, dengan nilai investasi mencapai Rp100 miliar.

    Hadir dalam kegiatan itu, sejumlah pengusaha nasional, Para petinggi Partai Partai Demokrat, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Forkopimda Pacitan dan Tokoh masyarakat setempat. (tri/ian)

  • Dede Budhyarto: Pendirian Kawasan IMIP Ditandatangani SBY, Diresmikan Jokowi

    Dede Budhyarto: Pendirian Kawasan IMIP Ditandatangani SBY, Diresmikan Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Komisaris Independen PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), Dede Budhyarto memberi penjelasan soal polemik Bandara di Morowali, Sulawesi Tengah.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Dede Budhyarto menyebut ada penandatangan pendirian kawasan Bandara di IMIP ini.

    Ia menyebut Penandatanganan pendirian kawasan IMIP dilakukan pada 3 Oktober 2013.

    Dengan sama antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Xi Jinping

    “Penandatanganan pendirian kawasan IMIP dilakukan pada 3 Oktober 2013 di Jakarta, melalui kerja sama antara Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dalam Forum Bisnis Indonesia–Cina,” tulisnya dikutip Kamis (27/11/2025).

    Lalu dua tahun berikutnya, kawasan industri tersebut diresmikan oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo.

    “Dua tahun kemudian, pada 29 Mei 2015, kawasan industri tersebut diresmikan oleh Presiden RI ke-7 @jokowi
    Pondasi & kelanjutan pembangunan ini menunjukkan kesinambungan kebijakan lintas pemerintahan dalam mendorong hilirisasi dan industri nasional,” jelasnya.

    Dede Budhyarto memberikan informasi tambahan dengan menyebut bandara ini dirancang sebagai ekosistem industri besar. D

    “Biar tambah jelas: Bandara IMIP tercatat resmi di Kemenhub—artinya kawasan ini memang dirancang sebagai ekosistem industri besar, bukan proyek dadakan seperti yang digoreng-goreng di medsos,” tuturnya.

    “IMIP itu lahir dari penandatanganan era SBY (2013), diresmikan dan dipacu pengerjaannya di era Jokowi (2015), lengkap dengan infrastruktur pendukung seperti bandara,” paparnya.

  • 2
                    
                        PSI Mengusik PDI-P
                        Nasional

    2 PSI Mengusik PDI-P Nasional

    PSI Mengusik PDI-P
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    AHMAD
    Ali adalah kader anyar Partai Solidaritas Indonesia. Celetukan warung kopi menyebut ia hasil “naturalisasi”, direkrut dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang langganan masuk DPR. Posisinya melenting, yakni ketua harian PSI.
    Majalah
    TEMPO p
    ernah menurunkan laporan tentang kencangnya
    PSI
    merekrut kader dari partai lain selepas kongres di Solo.
    Itu adalah langkah terobosan setelah partai ini bertekad bicara lebih banyak di panggung politik elektoral: Pemilihan Umum.
    Satu langkah yang lumrah dalam politik di negeri kita—terutama karena figur sosok begitu penting–dan juga dilakukan partai lain. Terkadang loncat pagar tak begitu dapat dibedakan dengan “kutu loncat”.
    Dalam kiprahnya di dua pemilu, langkah PSI berakhir murung: Gagal ke Senayan lantaran tak memenuhi
    parliamentary threshold
    atau ambang batas suara yang harus dipenuhi partai politik untuk masuk DPR dan absah disebut partai nasional.
    Dan yang lebih murung, kegagalan PSI itu diraih saat mereka “menjual” sosok Joko Widodo secara terang-terangan.
    Ahmad Ali
    dinilai sebagai sosok tepat untuk mengangkat PSI. Ia ditempa dari bawah. Pernah jadi anggota DPRD dari Partai Patriot. Lalu nyaman dalam pelukan Nasdem sejak 2013.
    Kepiawaiannya menggalang suara terbukti saat ia terpilih jadi anggota DPR periode 2019-2024 dari Sulawesi Tengah di pemilu 2019 (nasdemdprri.id).
    Di tangan Ali, PSI ingin naik kelas: Dari sekadar partai perkotaan yang karib dengan panggilan “sis dan bro” menjadi partai yang menjangkau wilayah perdesaan.
    Ia pun bersafari, menguatkan kepengurusan di daerah agar infrastruktur PSI lebih rapi dan luas. Pokok kata, sanggup bersaing dengan partai yang telah terlatih masuk DPR.
    Dengan posisi sebagai ketua harian, Ali lebih nyaring berbicara atas nama PSI. Sebagai politikus, Ali terbilang sosok yang artikulatif. Pilihan kata yang ia gunakan tidak berkabut, alias jelas dan terang.
    Di sebagian hal, Ali menggemparkan. Seperti usai memberi arahan dalam Rakorwil PSI se-Kepulauan Riau di Batam, 22 November lalu.
    “Sialnya Pak Jokowi ini gini, dia dihina, dimaki-maki. Tapi ketika dia melawan, dia disuruh, ‘Pak Jokowi harus jadi negarawan’. Terus ketika dia bicara politik, ‘ya sudah waktunya beristirahat’,” ujar Ali (
    Kompas.com
    , 23/11/2025).
    Masalahnya, dalam kalimat selanjutnya, ia seperti menyindir seorang perempuan yang sudah puluhan tahun menjadi ketua umum partai.
    Kalimat ini merespons kritik sebagian pihak yang menyoal pilihan Jokowi tetap berpolitik selepas tak lagi menjabat presiden.
    Namun, kali ini, diksi yang dipilih Ali menerbitkan kontroversi. Ia memilih tak menyebut nama tokoh yang digunakan sebagai pembanding buat Jokowi. Sebaliknya Ali hanya memberi “clue”–pilihan yang segera bikin “panas” partai lain: PDI Perjuangan.
    “Yang bilang mau pulang ke Solo, pensiun, jadi rakyat biasa, momong cucu itu Jokowi sendiri, tidak ada yang nyuruh-nyuruh dia,” kata Guntur (
    Kompas.com
    , 23/11/2025).
    Guntur mengingatkan, justru Jokowi yang ingin jadi rakyat biasa. Masih aktifnya Jokowi dalam medan diskusi serta politik praktis (menegaskan akan turun membantu PSI saat kongres di Solo), dalam kacamata ini, dinilai bertentangan dengan janji Jokowi—pensiun, jadi rakyat biasa dan momong cucu.
    Jokowi adalah politikus–kemudian menjadi wali kota, gubernur dan presiden–yang lahir dari rahim PDI Perjuangan. Ia dibesar partai ini dan meraih kebesaran lantaran mendapat tiket dari partai yang dinakhodai Megawati itu.
    Mega termasuk “berkorban” ketika memilih Jokowi sebagai capres di Pilpres 2014. Ia bisa saja mengondisikan partainya untuk mendaulatnya sebagai capres–terlebih lagi sebagai ketua umum, Mega punya hak prerogatif.
    Disokong PDI Perjuangan dan sekian partai dalam koalisi politik yang gendut, Jokowi memimpin Indonesia dengan pendekatan berbeda.
    “Jokowi adalah kita” yang dikampanyekan di masa pemilu mengangkat sosoknya menjadi pemberani, menerabas, meski kadang-kadang mewariskan jejak beban untuk penggantinya.
    Proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur dan kereta cepat “Whoosh” adalah dua contohnya.
    Kisah manis hubungan PDI Perjuangan dengan Jokowi berakhir antiklimaks karena perhelatan Pilpres 2024. Mega dan Jokowi berbeda dalam urusan menentukan calon presiden.
    Mega memilih Ganjar Pranowo, sedangkan Jokowi mendukung Prabowo Subianto. Semua tahu ujung kisah mereka: Berpisah dengan cara yang tak dapat disebut baik-baik saja.
    Puncaknya, PDI Perjuangan memecat Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Afif Nasution sebagai kader partai terhitung sejak Sabtu, 14 Desember 2024.
    Ini menandai “talak” politik yang paling dramatis di masa reformasi. Dan keluarga Jokowi harus berpisah dengan partai yang membesarkannya.
    Setahun sebelumnya, 25 September 2023, anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, lebih dulu menerima lamaran PSI. Kaesang didapuk menjadi ketua umum dalam penobatan yang superkilat, cuma dua hari setelah dia bergabung dengan PSI.
    Sejak perpisahan itu, ada-ada saja “perang pernyataan” antara PSI dan PDI Perjuangan. Terakhir, dua partai ini berbeda pandangan menyangkut anugerah gelar pahlawan kepada Soeharto.
    Pernyataan Ali yang tak menyebut nama, tapi terarah pada nama tertentu, menerbitkan konflik dua partai. Konflik di sini merujuk pada “saling menyindir dan berbalas pernyataan” di ruang publik lewat media massa.
    Namun, jika yang dimaksud Ali dalam pernyataan terakhir itu adalah Megawati, secara substantif ia benar.
    Dalam orbit politik Indonesia, Megawati adalah politìkus gaek. Ia sudah malang melintang sejak akhir Orde Baru. Sebelum PDI Perjuangan lahir.
    Jika dihitung sejak PDIP, Mega memimpin partai itu sekitar 27 tahunan. Ia sosok tak tergantikan, pemersatu partai dan
    ngemong
    kader dari segala eksponen.
    Dan jika kita jujur meneropong PDIP, kisah partai ini adalah kisah di mana partai tak mampu keluar dari bimbingan tokoh kharismatik.
    Siapa pun boleh berpolitik. Tak terkecuali Mega, Jokowi atau Susilo Bambang Yudhoyono. Meski begitu, kisah tiga mantan presiden ini tidak sama. Mega terus menjadi ketua umum, SBY memilih berada di belakang Partai Demokrat, meski perannya masih sentral.
    Sedangkan Jokowi mengisi sejarah yang lain. Ia bukan ketua umum partai saat menjabat presiden. Ia cuma “petugas partai”. Selepas pensiun, Jokowi justru menunjukkan tanda-tanda bakal membantu PSI. Ini diucapkannya secara lugas di Kongres Solo.
    Pengurus PSI pun hingga kini berteka-teki dengan menyebut “Bapak J” sebagai sosok yang akan mengisi posisi strategis, yakni ketua dewan pembina. Spekulasinya, “J” itu adalah Jokowi, tapi bisa juga Jeffrie Geovanie yang selama ini identik dengan PSI.
    Jika dicermati pernyataan Ali, ia sesungguhnya tak menyinggung satu nama, tapi dua nama. Nama lain itu diungkapkannya dengan kalimat, “Ada Bapak Presiden yang sekarang sudah 20 tahun juga tidak disuruh berhenti. Apa sih takutnya (pada) Pak Jokowi ini?”
    Pernyataan ini dapat dibaca “ia sedang membicarakan SBY”. Sejak mundur dari kabinet Pemerintahan Megawati, lalu mendirikan Demokrat, SBY sudah lebih dari 20 tahun malang melintang dalam politik.
    Cuma, SBY dipuji oleh sebagian kalangan. Setelah masa baktinya sebagai presiden berakhir pada 20 Oktober 2014, ia mundur teratur dari hingar bingar politik.
    Dan satu lagi, ia menunjukkan fatsun politik yang baik dengan tak memaksa anak-anaknya terjun di medan politik elektoral saat menjabat 2004-2014. Agus Harimurti Yudhoyono ikut Pilkada Jakarta tahun 2016, dua tahunan setelah ayahnya tak lagi jadi presiden.
    Kisah mantan presiden kontras dengan mantan wakil presiden. Jusuf Kalla menjadi ketua umum Partai Golkar saat jadi wakil presiden di masa SBY.
    Setelah itu, ia tak lagi menjadi nakhoda Golkar, termasuk ketika terpilih lagi menjadi wapres di periode kedua bareng Presiden Jokowi (2014-2019).
    Selepas itu, JK tidak mengurus politik, tapi fokus pada masjid, kemanusiaan serta bisnisnya. JK tak mencengkeram Golkar, karena partai ini tak bergantung pada sosok setelah reformasi mengguncang tanah air.
    Ahmad Ali tidak intens menyenggol SBY. Sebaliknya ia berulang menyentil Mega.
    “Saya berharap dari Kepri ini akan lahir Jokowi-Jokowi muda, tanpa harus masuk, tanpa dia harus berasal dari keluarga darah biru politik, tanpa dia harus menjadi anaknya proklamator, tanpa dia harus anaknya pahlawan. Tapi dia ada anak petani pun, dia disamakan, dan Jokowi sudah membuktikan itu,” jelas Ali.
    Proklamator cuma ada dua orang, yakni Sukarno dan Mohammad Hatta. Putra-putri Bung Hatta tak terlampau bergelut dalam politik, tak pernah ada yang jadi presiden pula.
    Sementara dari trah Sukarno sudah ada sosok Mega yang pernah jadi wakil presiden (masa Abdurrahman Wahid) dan presiden menggantikan Gus Dur (2001-2004). Dengan begitu, kalimat Ali jelas sedang “mengusik” siapa.
    Entahlah komunikasi model apa yang sedang dilancarkan Ali. Pernyataannya termasuk “konfrontatif” dan meningkatkan tensi konflik dengan PDI Perjuangan.
    Apakah ini isyarat PSI sedang “memberitahu” khalayak bahwa mereka mengincar basis pemilih PDIP?
    Di Pilkada serentak 2024 lalu, nama yang disokong Jokowi menang di pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah.
    Di Pilpres 2024, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga menang di Jateng, basis konstituen partai banteng!
    Namun, jalan politik tidak selalu linier. Betapa pun setiap parpol memiliki misi masing-masing, hendaknya keteduhan tetap dirawat. Iya, meski demokrasi identik dengan gaduh dan percakapan bebas tentang semua hal dibolehkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.