Tag: Suryo Utomo

  • Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi membedakan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN untuk barang mewah dan non-mewah melalui PMK 131/2024. Kendati demikian, atraksi mengakali pengenaan PPN 12% untuk semua barang/jasa itu mendapatkan kritik dari sejumlah pihak.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.

    Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
    12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi).

    Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000
    12% x DPP = 12% x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.

    Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah.

    Pada akhirnya barang non-mewah terkena besaran pajak 11% karena pengaturan DPP tersebut. Namun, sebenarnya tarif PPN yang berlaku adalah 12%.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membedakan dua DPP itu agar tarif PPN di Indonesia tetap tunggal yaitu 12% sesuai amanat Undang-Undang No. 42/2009 (UU PPN).

    Memang dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPN, disebutkan pemerintah mempunyai wewenang mengubah tarif PPN tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

    Hanya saja, sesuai PMK No. 131/2024, dalam praktiknya kini ada pembedaan untuk barang mewah dan non-mewah (multitarif) seperti arahan Presiden Prabowo Subianto.

    “UU PPN tetap menggunakan skema tarif tunggal, bukan multitarif. Akan tetapi, DPP-nya dibedakan menjadi dua,” jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Tuai Kritik

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.

    Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.

    Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharus PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.

    “PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

    Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.

    Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

    Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.

    “Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas,” katanya.

    Senada, Pakar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Beni Kurnia Illahi menyebutkan ada sejumlah kejanggalan dalam PMK 131/2024.

    Pertama, beleid tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam pertimbangannya. Padahal, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% diatur dalam UU HPP.

    “Hal ini jelas penganuliran secara terang-terangan, atau pemerintah sengaja selain tidak diatur secara teknis di PMK, aturan di UU HPP tetap berlaku untuk ke semua kategori barang/jasa,” ujar Beni kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Kedua, PMK merupakan aturan teknis yang kedudukannya jauh di bawah UU. Oleh sebab itu, seharusnya PMK tidak bisa menganulir aturan dalam UU HPP yang menyatakan tarif PPN 12% berlaku secara umum.

    Jika ditoleransi, maka pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu itu khawatir ke depan tarif PPN 12% akan dikenakan untuk semua barang/jasa secara perlahan-lahan.

    “Ketika kebijakan PMK ini efektif untuk penerimaan negara maka kemungkinan aturan tersebut akan dilanjutkan, tetapi ketika objek tarif pajak tersebut tidak berjalan efektif bagi penerimaan negara maka pemerintah akan membuat norma baru lagi di level PMK,” jelas Beni.

    Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah menerapkan tarif pajak baru lewat level UU atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP) yang kedudukannya jauh lebih tinggi dan mengikat daripada PMK.

  • Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis aturan mengenai pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.

    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 3 Januari.

    Beleid ini berisi mengenai pemberian masa transisi selama tiga bulan dari 3 Januari sampai 31 Maret 2025 bagi pelaku usaha yang terlanjur dipungut PPN 12 persen dari seharusnya tetap 11 persen.

    Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran PPN, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Faktur Pajak setidaknya berisi mengenai data nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan identitas pembeli Barang Kena Pajak.

    Mengutip Bab II Pasal 4 ayat 2 Perdirjen tersebut, atas kelebihan pemungutan PPN, maka ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama, pembeli meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen kepada penjual.

    Kedua, berdasarkan permintaan pengembalian pembeli, maka Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen.

    Sebelumnya, viral di media sosial beberapa pihak mengaku tetap dipungut PPM 12 persen saat berbelanja di sejumlah toko ritel per 1 Januari 2025.

    Padahal, Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak tersebut. Ia menegaskan tarif baru itu hanya berlaku untuk barang-barang mewah, seperti jet pribadi hingga yacht.

    Ditjen Pajak mengaku sudah bertemu para pengusaha ritel dan menerima penjelasan bahwa kenaikan PPN 12 persen itu sudah diatur dalam sistem toko, sehingga dibuat aturan Perdirjen ini.

    Dirjen Pajak Suryo Utomo mengaku sudah melakukan negosiasi dengan peritel yang telah mengubah sistem PPN menjadi 12 persen. Padahal, untuk barang yang tidak masuk kelompok mewah hanya dikenakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari tarif 12 persen.

    Suryo menegaskan pihaknya tetap harus menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) soal tarif 12 persen per 1 Januari 2025.

    Di sisi lain, pemerintah memutuskan tak mengerek PPN untuk barang-barang tidak mewah, sehingga perlu penetapan DPP lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah? Itu yang kami coba nanti dudukkan, kira-kira ya transisi tiga bulan lah bagi (peritel) menyesuaikan sistemnya (kembali ke PPN 11 persen),” ungkap Suryo.

    (ldy/pta)

  • Pengusaha Lega Barang Ritel di Mal Tak Kena PPN 12% – Page 3

    Pengusaha Lega Barang Ritel di Mal Tak Kena PPN 12% – Page 3

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 hanya berlaku untuk beberapa barang super mewah saja. Pengumuman itu dilakukan beberapa jam sebelum berganti tahun pada Selasa, 31 Desember 2024 petang.

    Hanya saja, beberapa barang dan jasa hingga transaksi digital telah terlanjur naik secara harga, dengan menghitung adanya PPN 12 persen.

    Menanggapi kejadian ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bakal mengembalikan kelebihan pajak tersebut, bagi konsumen yang sudah terlanjur melakukan pembayaran dengan tarif PPN 12 persen.

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan, DJP saat ini tengah mempersiapkan skema yang mengatur pengembalian kelebihan pajak tersebut.

    “Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa, tapi prinsipnya kalau sudah kelebihan dipungut, ya dikembalikan. Kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa,” ujar Suryo di Kantor Pusat DJP, Jakarta, dikutip Jumat (3/1/2025).

    Selain itu, ia juga telah langsung menemui para pelaku ritel terkait perubahan skema PPN 12 persen ini. Ia mendengarkan keluhan, bahwa para pedagang sudah mengatur kenaikan pajak pertambahan nilai tersebut ke dalam sistem penjualannya.

    “Saya juga sudah bertemu dengan para pelaku ritel, retailer khususnya ya. Memang harus dilakukan dengan mengubah sistem. Jadi kami lagi diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak,” imbuh Suryo.

    Meskipun kenaikan PPN 12 persen tak jadi diterapkan pada semua barang dan jasa, DJP tetap harus berpegang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sehingga perlu Dasar Pengenaan Pajak (DPP) lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah. Jadi sebenarnya kami akan mencoba untuk mendudukkan, termasuk pada waktu pendudukan waktu pajaknya. Karena tidak semua membutuhkan waktu pajak secara insidentil, tapi sistematis,” tuturnya.

  • Suryo Utomo, S.E., Ak., M.B.T., Ph.D – Halaman all

    Suryo Utomo, S.E., Ak., M.B.T., Ph.D – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Suryo Utomo, S.E., Ak., M.B.T., Ph.D merupakan sosok yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

    Sebelum menjadi Dirjen Pajak, ia menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak.

    Selain itu, Suryo Utomo juga dikenal sebagai ekonom dan akademisi.

    Berikut profil Suryo Utomo.

    Kehidupan Pribadi

    Dilansir dari situs Wikipedia, Suryo Utomo lahir pada 26 Maret 1969.

    Saat ini, ia telah berusia 56 tahun.

    Pendidikan

    Suryo Utomo tercatat pernah mengenyam pendidikan di Universitas Diponegoro dan meraih gelar sarjana ekonomi pada 1992.

    Setelah itu, ia kembali melanjutkan studi S2 di University of Southern California, Amerika Serikat dan mendapatkan gelar Master of Business Taxation PADA 1998.

    Kemudian, Suryo Utomo juga tercatat pernah memperoleh gelar Doctor of Philosophy in Taxation dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

    Karier

    Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam Media Briefing di Kantor DJP, Kamis (2/1/2025). (Nitis Hawaroh/Tribunnews.com)

    Suryo Utomo mengawali karier Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana di Kementerian Keuangan pada 1993 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Pajak.

    Ia pun pernah menjabat sebagai Kepala Seksi PPN Industri pada 1998 dan sebagai Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan tahun 2002.

    Tahun 2002 ia dipromosikan menjadi Kepala Subdirektorat Pertambahan Nilai Industri, 2006 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga, 2008 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu.

    Berkat kinerjanya yang baik, Suryo Utomo kembali dipromosikan menjadi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I tahun 2009.

    Setahun berselang, ia dipercaya menjadi Direktur Peraturan Perpajakan I.

    Pada 31 Maret 2015, Suryo Utomo ditunjuk menjadi Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian.

    Hingga akhirnya ia pun ia dipercaya menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak per 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Oktober 2019.

    Pada tanggal 1 November 2019, ia diangkat sebagai Direktur Jenderal Pajak.

    Harta Kekayaan

    Mengutip dari situs e-LHKPN KPK, Suryo Utomo diketahui memiliki kekayaan mencapai Rp 18.320.603.381.

    Laporan harta kekayaan terbaru Suryo Utomo diterbitkan pada 31 Desember 2022

    Adapun rincian kekayaan Suryo Utomo yakni sebagai berikut:

    A. TANAH DAN BANGUNAN                               

    1. Tanah dan Bangunan Seluas 255 m2/400 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 618.075.000                                    

    2.Tanah dan Bangunan Seluas 80 m2/60 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 72.820.000                               

    3. Tanah dan Bangunan Seluas 570 m2/300 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 757.980.000                                    

    4. Tanah Seluas 528 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 674.192.000     

    5. Tanah Seluas 599 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 367.786.000     

    6. Tanah dan Bangunan Seluas 160 m2/150 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 111.212.000                                    

    7. Tanah dan Bangunan Seluas 240 m2/400 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 326.904.000.

    8. Tanah dan Bangunan Seluas 407 m2/250 m2 di KAB / KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 1.487.186.888                                    

    9. Tanah dan Bangunan Seluas 300 m2/180 m2 di KAB / KOTA KOTA BEKASI, HASIL SENDIRI Rp 355.200.000                            

    10. Tanah dan Bangunan Seluas 160 m2/200 m2 di KAB / KOTA KOTA JAKARTA SELATA, HASIL SENDIRI Rp 2.750.000.000                          

    11. Tanah Seluas 3550 m2 di KAB / KOTA BOGOR, HASIL SENDIRI Rp 195.960.000 

    12. Tanah Seluas 5269 m2 di KAB / KOTA BOGOR, HASIL SENDIRI Rp 290.848.800 

    13.Tanah dan Bangunan Seluas 328 m2/200 m2 di KAB / KOTA KOTA JAKARTA SELATAN, HASIL SENDIRI Rp 6.900.000.000.

    B. ALAT TRANSPORTASI DAN MESIN              

    1. MOBIL, TOYOTA IST MINIBUS Tahun 2004, HASIL SENDIRI Rp 100.000.000      

    2. MOTOR, HONDA SUPRA SEPEDA MOTOR Tahun 1997, HASIL SENDIRI Rp 1.000.000                          

    3. MOBIL, HYUNDAI TUCSON MINIBUS Tahun 2014, HASIL SENDIRI Rp 270.000.000

    4. MOTOR, HONDA BEAT SEPEDA MOTOR Tahun 2015, HASIL SENDIRI Rp 10.000.000                          

    5. MOTOR, YAMAHA SEPEDA M0TOR Tahun 2005, HASIL SENDIRI  Rp 3.000.000 

    6. MOBIL, SUZUKI FUTURA PICK UP Tahun 2008, HASIL SENDIRI Rp 40.000.000  

    7. MOTOR, HARLEY DAVIDSON SPORTSTER Tahun 2003, HASIL SENDIRI Rp 155.000.000                                 

    8. MOTOR, KAWASAKI ER6 Tahun 2019, HASIL SENDIRI Rp 52.000.000

    9. MOTOR, YAMAHA RX KING Tahun 1996, HASIL SENDIRI Rp 16.000.000

    10. MOBIL, JEEP JEEP WILLYS Tahun 1956, HASIL SENDIRI Rp 100.000.000           

    11. MOBIL, JEEP CHEROKEE Tahun 1997, HASIL SENDIRI Rp 200.000.000.

    C. HARTA BERGERAK LAINNYA Rp 1.096.000.000                              

    D. SURAT BERHARGA Rp 0                                  

    E. KAS DAN SETARA KAS Rp 4.783.249.276                               

    F. HARTA LAINNYA Rp 0.

    Suryo Utomo tercatat memiliki hutang sebesar Rp 3.413.810.583, sehingga total kekayaan yang dimiliki saat ini mencapai Rp 18.320.603.381.

    (Tribunnews.com/David Adi)

  • Telanjur Kena PPN 12%, Tokopedia dan Shopee Pastikan Refund

    Telanjur Kena PPN 12%, Tokopedia dan Shopee Pastikan Refund

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah memastikan kenaikan PPN menjadi 12% hanya berlaku untuk barang yang kena PPn BM. Namun ternyata perubahan pajak sudah mulai diterapkan di beberapa tempat, termasuk marketplace memasuki awal tahun 2025.

    Pantauan CNBC Indonesia, beberapa pengguna media sosial X mengeluhkan hal tersebut. Salah satunya saat berbelanja TopAds Tokopedia.

    TopAds sendiri merupakan fitur promosi toko dan produk yang dapat digunakan merchant dalam platform tersebut.

    Terkait hal tersebut, Head of Communications Tokopedia dan Tiktok E-commerce, Aditia Grasio Nelwan mengatakan ada pengembalian dana bagi penjual yang terkena kelebihan PPN pada 1 Januari 2025. Dana tersebut akan masuk ke ‘Saldo Penghasilan’.

    “Kami berupaya untuk terus patuh terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia, termasuk dengan menyesuaikan tarif PPN di platform berdasarkan PMK nomor 131 tahun 2024. Penjual yang mengalami kelebihan pembayaran PPN pada 1 Januari 2025 akan mendapatkan pengembalian dana [refund] ke ‘Saldo Penghasilan’,” kata Aditia dalam keterangan tertulis kepada CNBC Indonesia, Jumat (3/1/2025).

    Pengembalian kelebihan pembayaran pajak juga akan dilakukan oleh Shopee. Dalam keterangannya kepada CNBC Indonesia, Radynal Nataprawira, Head of Public Affairs Shopee Indonesia menjelaskan pengembalian dalam waktu tujuh hari kerja.

    “Shopee sudah menyesuaikan keputusan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan PMK nomor 131 tahun 2024. Kelebihan pembayaran pajak yang sudah dibayarkan oleh Penjual akan dikembalikan dalam waktu 7 hari kerja ke “Saldo Penjual”,” ucapnya.

    Dia mengatakan informasi ini juga telah dikomunikasikan kepada penjual yang terdampak lewat pemberitahuan di aplikasi Shopee. Notifikasi yang dilihat CNBC Indonesia juga memperlihatkan pengumuman soal pengembalian kelebihan pembayaran dan sistem yang telah diperbaiki mengikuti tarif 11%.

    “Kelebihan pembayaran Saldo Iklan dengan tarif PPN 12% akan dikembalikan dalam 7 hari ke Saldo Penjual. Sistem kini telah diperbaiki mengikuti tarif 11%. Terima kasih,” demikian pemberitahuan dalam aplikasi Shopee.

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo juga menjawab keluhan masyarakat yang telah dikenakan tarif PPN 12%. Menurutnya masalah ini timbul saat adanya perubahan kebijakan dan pihaknya tengah mempersiapkan waktu transisi mengatur penyelesaian barang yang dibebankan tarif 12%.

    “Jadi tanggal 31 diumumkan tentu ada kejadian. Nah bagaimananya, ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa,” kata Suryo saat media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Kemarin, dia juga telah menemui para pengusaha untuk meramu transisi ini. Dengan begitu merubah sistem pemungutan yang didesain 12% pada faktur pajak kembali ke tarif efektif pajak barang non mewah 11%.

    Suryo belum menyebutkan kapan tanggal penyesuaian masa transisi itu. Untuk sekarang akan dibicarakan dengan pihak pengusaha.

    “Situasinya ada yang sudah gunakan tarif sesuai yang kita harapkan, itu sudah ada tuh, jadi ternyata mix, jadi kita coba dudukan aturan, termasuk saat terbitkan faktur pajaknya karena bisa dipastikan tidak semua terbitkan faktur pajak insidentil, terutama yang besar-besar, pasti sudah by sistem,” tegas Suryo.

    (dem/dem)

  • DJP jelaskan soal penggunaan DPP nilai lain dalam tarif PPN

    DJP jelaskan soal penggunaan DPP nilai lain dalam tarif PPN

    Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Suryo Utomo saat konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2024 di Jakarta, Rabu (11/12/2024) (ANTARA/Bayu Saputra)

    DJP jelaskan soal penggunaan DPP nilai lain dalam tarif PPN
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 23:58 WIB

    Elshinta.com – Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain digunakan dalam perhitungan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) agar tetap bisa menjalankan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/1), Suryo menjelaskan UU HPP menetapkan tarif PPN sebesar 12 persen diterapkan paling lambat 1 Januari 2025.

    Namun, demi keberpihakan pada rakyat, Pemerintah memutuskan untuk mempertahankan tarif sebesar 11 persen terhadap barang dan jasa di luar kategori barang mewah.

    “Apa yang ada di UU tetap, tidak berubah. Sekarang, bagaimana kami mencoba mengimplementasikan kebijakan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto (PPN tetap 11 persen)? Kami menggunakan infrastruktur lain, yaitu penggunaan DPP nilai lain,” ujar Suryo.

    Menurut Suryo, DPP nilai lain dipilih oleh Pemerintah lantaran skema itu tertuang dalam Pasal 8A UU PPN.

    Dengan menggunakan DPP nilai lain, dalam konteks ini sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, maka tarif efektif PPN 11 persen bisa diterapkan tanpa perlu merevisi UU.

    Hal itu sekaligus menegaskan bahwa Pemerintah dan DPR tidak memiliki rencana untuk mengubah UU maupun menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait tarif PPN.

    “Jadi, di satu sisi, kita jalankan UU. Di sisi lain, kita tetap menjaga untuk tidak menaikkan pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat,” kata Suryo.

    Kementerian Keuangan merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang tarif PPN hanya dikenakan terhadap barang mewah.

    Pasal 2 Ayat 2 dan 3 beleid itu menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme DPP nilai lain.

    Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    PMK 131/2024 diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 31 Desember 2024 dan mulai berlaku per 1 Januari 2025.

    Sumber : Antara

  • PPN 12% Khusus Barang Mewah, Ditjen Pajak Putar Otak Tambal Penerimaan

    PPN 12% Khusus Barang Mewah, Ditjen Pajak Putar Otak Tambal Penerimaan

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencari cara untuk menutup penerimaan yang hilang, sebagai imbas dari batalnya implementasi PPN 12% untuk barang jasa secara umum dan hanya berlaku untuk barang mewah.  

    Sebelumnya, Kementerian Keuangan memprediksi implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%—untuk barang/jasa umum dan barang mewah—akan memberikan penerimaan negara senilai Rp75 triliun. 

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan untuk mencari pengganti penerimaan tersebut, otoritas fiskal akan memaksimalkan sumber penerimaan selain PPN.  

    “Bagaimana untuk mencari pengganti [penerimaan]? Kami maksimalkan yang lain. Kalau saya di sisi penerimaan ya kami mencoba untuk mencari sumber-sumber penerimaan, ekstensifikasi dan intensifikasi,” ujarnya dalam Media Briefing di Jakarta, Kamis (2/1/2025).  

    Meski demikian, Suryo tidak menjelaskan langkah ekstensifikasi dan intensifikasi apa yang akan dijalankan oleh pihaknya untuk menutup penerimaan yang hilang tersebut.  

    Teranyar, Ditjen Pajak meluncurkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau juga dikenal dengan Core Tax Administration System (CTAS) yang diyakini dapat menambah penerimaan negara. 

    Sesuai dengan kajian World Bank atau Bank Dunia sebelumnya, di mana implementasi sistem baru dalam perpajakan Indonesia ini dapat mengerek rasio pajak atau tax to GDP ratio sebesar 1,5%.  

    Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti kebijakan tersebut akan berisiko menurunkan penerimaan negara dan akan berdampak pada belanja negara yang ditargetkan senilai Rp3.621,3 triliun. 

    Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memproyeksi PPN 12% khusus untuk barang mewah mengurangi penerimaan negara hingga Rp71,8 triliun. Dia mengatakan potensi pendapatan negara dari penerapan PPN 12% khusus barang mewah hanya sekitar Rp3,2 triliun.  

    Padahal, sambungnya, potensi penerimaan negara apabila PPN 12% diberlakukan pada semua barang/jasa mencapai Rp75 triliun.

    Dalam APBN tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan negara dari PPN dan PPnBM senilai Rp945,12 triliun yang terdiri dari PPN Dalam Negeri senilai Rp609,5 triliun dan PPN Impor senilai Rp308,74 triliun.  

    Sumber lainnya, yakni dari Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Dalam Negeri senilai Rp10,78 triliun, PPnBM Impor Rp5,8 triliun, dan PPN/PPnBM Lainnya senilai Rp10,7 triliun. 

    Membandingkan dengan 2022, kala itu PPN naik dari 10% menjadi 11%, Sri Mulyani berhasil mengantongi Rp60 triliun. Artinya penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% akan lebih besar dari periode kenaikan tarif 2022 lalu. 

  • DJP Bakal Kembalikan Pajak Masyarakat yang Telanjur Bayar PPN 12 Persen – Halaman all

    DJP Bakal Kembalikan Pajak Masyarakat yang Telanjur Bayar PPN 12 Persen – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengembalikan kelebihan pajak yang telah dibayar masyarakat sebesar 12 persen.

    Hal tersebut merespons kasus beberapa transaksi dari wajib pajak di platform seperti di Google, Apple hingga layanan kredit iklan di Shopee dan Tokopedia, semuanya sudah menerapkan tarif PPN 12 persen. Padahal, PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah.

    Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo memastikan bahwa kelebihan pembayaran pajak itu akan dikembalikan. Namun, pihaknya masih mengatur skema yang pas untuk proses pengembaliannya.

    “Ini yang lagi kita atur transisinya nih, seperti apa. Tapi prinsipnya kalau sudah apa kelebihan dipungut ya dikembalikan,” kata Suryo dalam media briefing di kantor DJP, Kamis (2/1/2025).

    “Ya dengan caranya memang bisa macam-macam nih, dikembalikan kepada yang bersangkutan bisa, kalau enggak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan kan bisa juga. Ga masalah gitu lho,” sambungnya.

    Suryo juga menjelaskan bahwa pihaknya telah bertemu dengan para pelaku usaha di sektor riil khususnya retailer untuk memastikan pengenaan pajak yang tetap 11 persen.

    “Jadi yang tadi kita diskusikan. Jadi secara teknikalitas nanti kita atur. Yang jelas haknya wajib pajak ya pasti akan kita kembalikan. Kan gitu secara prinsipnya, haknya negara kita mesti pastikan masuk, tapi haknya wajib pajak bukan haknya negara kita kembalikan,” ucap dia.

    “Caranya seperti apa, nanti kita coba terus bahas. Saya mencoba untuk berjanji tidak akan memberatkan wajib pajak,” sambungnya.

    Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal mengatakan, pemerintah tengah mengatur skema pengembalian pajak tersebut dan segera mengumumkan mekanismenya dengan catatan tidak mengurangi hak-hak daripada wajib pajak itu sendiri.

    “Akan segera kita umumkan mekanismenya seperti apa untuk yang sudah terlanjur memungut 12 persen,” kata Yon.

    “Haknya wajib pajak tidak ada yang dikurangi. Jadi kalau memang ternyata yang seharusnya 11 persen tapi keburu terlanjur dipungut 12 persen, kita akan kembalikan. mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan,” sambungnya.

  • Ada yang Belanja Sudah Kena PPN 12%, Begini Respons Dirjen Pajak

    Ada yang Belanja Sudah Kena PPN 12%, Begini Respons Dirjen Pajak

    Jakarta

    Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo merespons beberapa keluhan dari masyarakat yang merasa sudah dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% untuk barang yang tidak mewah. Hal ini akibat kebijakan pemerintah di waktu-waktu terakhir yang memutuskan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini masuk dalam daftar barang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Suryo mengatakan sudah bertemu dan melakukan diskusi dengan pengusaha ritel. Dari penjelasan peritel disebut kenaikan PPN 12% sudah diatur dalam sistem toko.

    Untuk itu, Suryo menyebut pihaknya telah sepakat memberikan masa transisi selama tiga bulan untuk pelaku usaha ritel yang sudah terlanjur menyesuaikan sistem dengan tarif PPN 12%.

    “Tadi pagi saya sampaikan, saya mencoba untuk mengajak bicara pelaku ritel, kira-kira dengan begini apa yang harus dilakukan. Ya memang harus dilakukan mengubah sistem. Jadi kami lagi diskusi, kira-kira tiga bulan cukup nggak sistem mereka diubah,” kata Suryo dalam media briefing di kantornya, Jakarta, Kamis (2/1/2024).

    Pada kesempatan yang sama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan barang-barang mewah yang dikenakan tarif PPN 12% sangat jarang dijual di retailer. Jadi seharusnya barang-barang yang dibeli di ritel dikenakan tarif PPN 11%.

    “Mohon maaf retailer di tempat-tempat saudara nggak akan jual jet, dan jual pesawat kan, peluru dan senjata api kan?” ungkapnya.

    Jika wajib pajak sudah terlanjur membayar tagihan tertentu dengan hitungan PPN 12% meski tidak tergolong jasa mewah, dipastikan dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

    “Haknya wajib pajak tidak akan ada yang dikurangi. Jadi kalau memang ternyata seharusnya 11%, tetapi terlanjur dipungut 12%, kita akan kembalikan. Mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan Yon Arsal.

    Yon berharap hanya sedikit wajib pajak yang membayar tagihan dengan tarif tidak sesuai sebagaimana mestinya, mengingat keputusan PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah sudah diumumkan pada 31 Desember 2024.

    “Mudah-mudahan karena ini sudah diumumkan di depan, hanya beberapa tertentu saja yang sudah terlanjur memungut dengan tarif PPN 12%,” katanya.

    (kil/kil)

  • Dirjen Pajak Pastikan Netflix Cs Hanya Kena PPN 11 Persen

    Dirjen Pajak Pastikan Netflix Cs Hanya Kena PPN 11 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo memastikan layanan berlangganan, seperti Netflix, tetap pada tarif PPN 11 persen.

    “Kalau Netflix ini kan tidak termasuk yang (daftar barang) mewah tadi ya yang (dipungut PPN) 12 persen,” ucap Suryo dalam Media Briefing di DJP Kemenkeu, Jakarta Selatan, Kamis (2/1).

    “Kalau rumus saya, sepanjang tidak masuk ke yang tadi, daftar yang pertama tadi (daftar barang mewah), ya kenanya tetap di posisi sama seperti saat ini (PPN 11 persen). Tidak ada kenaikan (PPN untuk Netflix Cs),” tegasnya.

    Pemerintah mulanya akan mengerek PPN dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Rencana tersebut berlaku secara umum untuk barang dan jasa yang selama ini dipungut pajak.

    Pijakan yang dipakai pemerintah adalah UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Para pelaku usaha pemungut pajak pun sudah bersiap menarik PPN 12 persen dari masyarakat Indonesia.

    Akan tetapi, Presiden Prabowo Subianto membatalkannya pada 31 Desember 2024 malam. Sang Kepala Negara menegaskan kenaikan PPN di tahun ini hanya berlaku untuk barang mewah, seperti pesawat jet hingga yacht.

    Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 pun terbit tepat di akhir tahun lalu. Ini mengatur tentang Perlakuan PPN Atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

    Jalan tengah itu mengatur dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain untuk barang dan jasa yang tidak masuk kelompok mewah. DPP nilai lain ditetapkan sebesar 11/12 dari tarif 12 persen, sehingga PPN yang dipungut tetap 11 persen.

    “Ini yang menjadi pertimbangan sebetulnya. Instead of yang lain, ini yang paling visible untuk kita jalankan. Dalam pemahaman kami, ya undang-undang memberikan ruang untuk itu. Jadi, satu sisi undang-undang tetap jalan, tapi di sisi yang lain masyarakat ya tadi, kenapa muncul? Karena pemerintah mendengarkan,” jelas Suryo.

    “Makanya terakhir, sampai dengan posisi Bapak Presiden (Prabowo) menyampaikan (pembatalan PPN 12 persen di 31 Desember 2024) itulah hasil dari kebijakan atau policy yang dikeluarkan oleh pemerintah,” tutupnya.

    (skt/agt)