Tag: Suryo Utomo

  • Panduan Praktis Daftar NPWP untuk Wajib Pajak di Coretax – Page 3

    Panduan Praktis Daftar NPWP untuk Wajib Pajak di Coretax – Page 3

    Sebelumnya, seperti dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, Direktur Jenderal Pajak (DJP), Suryo Utomo, angkat bicara terkait keluhan masyarakat atas kendala dalam mengakses Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) yang resmi diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

    Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, namun implementasinya menghadapi tantangan besar.

    Suryo menjelaskan kendala utama disebabkan oleh tingginya volume akses yang terjadi secara bersamaan.

    “Barang baru diakses semua pihak, dan waktu akses bukan hanya mencoba tapi juga bertransaksi,” kata Suryo dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Senin (6/1).

    Menurut Suryo, akses serentak dari berbagai pihak memengaruhi kinerja sistem, namun tim DJP terus berupaya mengatasinya dengan bekerja non-stop selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

    “Nah ini situasi yg kami betul-betul hadapi jadi dengan akses bersamaan jadi mempengaruhi kinerja dari sistem. Dan inilah yang kami terus coba lakukan, tim kami terus jalan 24/7 hari,” jelasnya.

  • Coretax Bermasalah, Ini Saran Mantan Anak Buah Sri Mulyani ke Ditjen Pajak

    Coretax Bermasalah, Ini Saran Mantan Anak Buah Sri Mulyani ke Ditjen Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyarankan agar Ditjen Pajak segera memberikan solusi praktis atas berbagai permasalahan yang muncul dalam pengaplikasian Coretax System atau sistem inti administrasi perpajakan.

    Coretax sendiri resmi diluncurkan pada 1 Januari 2025, tetapi terdapat banyak permasalahan yang ditemui mulai kesulitan menerbitkan faktur pajak hingga tidak bisa melakukan impersonate. 

    Prastowo mengaku menerima banyak keluhan dan masukan, mulai dari wajib pajak maupun petugas pajak di lapangan. Menurutnya, para wajib pajak berjibaku menuntaskan kewajibannya agar terhindar dari kesalahan dan sanksi.

    Di sisi lain, sambungnya, para petugas pajak juga kerepotan menghadapi kendala dan keluhan yang diterima. Padahal, Prastowo yakin banyak petugas pajak yang belum cukup dibekali dengan pedoman dan solusi praktis.

    Oleh sebab itu, dia memberikan delapan solusi yang menurutnya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu agar masalah Coretax tidak berlarut-larut.

    “Pertama, disampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Hindari unggahan-unggahan konten yang bernuansa kurang peka terhadap adanya permasalahan lapangan,” cuit Prastowo di akun X miliknya, @prastow, Kamis (9/1/2025).

    Kedua, Ditjen Pajak lebih aktif menjemput masalah ataupun komplain. Kemudian, Ditjen Pajak memberikan solusi serta panduan untuk menyelesaikan masalah yang ada.

    Ketiga, Ditjen Pajak membuat panduan untuk petugas di lapangan, agar bisa memberikan respons yang tepat ke wajib pajak termasuk sosialisasi yang berkelanjutan.

    Keempat, Ditjen Pajak menyiapkan laman, kanal, ataupun contact center untuk menampung masalah serta keluhan secara cepat dan tepat. 

    “Kelima, berikan update secara berkala terhadap penanganan tiap masalah yang ada sehingga wajib pajak update dan terbantu. Termasuk melalui para intermediaries seperti konsultan, akuntan, dan lain-lain,” lanjut Prastowo.

    Keenam, Ditjen Pajak diminta menyiapkan Plan B atau sekoci sebagai alternatif solusi, khususnya hal faktur pajak dan registrasi seperti dengan parallel run SI DJP. 

    Ketujuh, Ditjen Pajak menyiapkan skenario keadaan kahar sebagai antisipasi timbulnya sanksi administratif bukan karena kesalahan wajib pajak atau petugas.

    Kedelapan atau terakhir Ditjen Pajak perlu ditunjukkan sikap belarasa, bertanggung jawab, dan memegang kendali penuh untuk mendapatkan solusi yang baik secara top-down. 

    “Baru saja kita berupaya solusi yang baik untuk PPN 12%. Semoga Coretax juga dapat diatasi dengan baik,” tutupnya.

    Sebelumnya Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo memastikan tidak akan ada denda atau sanksi yang dikenakan kepada wajib pajak karena permasalahan dalam aplikasi Coretax atau sistem inti administrasi perpajakan.

    Suryo tidak menampik masih banyak kendala yang ditemui dalam aplikasi Coretax usai diluncurkan pada awal tahun. Dia menjelaskan pengaplikasian Coretax masih dalam tahap transisi, sehingga belum akan akan ada sanksi yang dikenakan apabila berkaitan dengan penggunaan sistem baru tersebut.

    “Jadi, wajib pajak tidak perlu khawatir apabila dalam implementasi ini mungkin ada keterlambatan penerbitan faktur atau barang kali pelaporan. Nanti kami pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru,” jelas Suryo di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).

    Lebih lanjut, dia mengaku setiap harinya Ditjen Pajak akan memonitor dan memantau perkembangan Coretax. Suryo mengaku jika timnya menemukan permasalahan maka akan segera coba selesaikan.

    Dia menjelaskan kendala utama yang dihadapi Ditjen Pajak adalah volume pengguna Coretax yang begitu tinggi pada waktu yang bersamaan. Oleh sebab itu, sambungnya, Ditjen Pajak terus melakukan optimalisasi kapasitas sistem, pengelolaan beban akses, dan melebarkan bandwidth.

    “Ini baru hari keenam [setelah Coretax diluncurkan], jadi mohon maklum,” kata Suryo.

    Dua hari ini saya mendapat banyak keluhan dan masukan, baik dari wajib pajak maupun petugas pajak di lapangan.

    Saya sangat paham dan berempati bahwa ada banyak keluhan thd kendala di lapangan terkait implementasi Coretax ini. Saat ini mungkin ribuan wajib pajak sdg berjibaku…

    — Prastowo Yustinus (@prastow) January 9, 2025

  • Jangan Terus Kritik-kritikan, Biarkan Jalan Dulu

    Jangan Terus Kritik-kritikan, Biarkan Jalan Dulu

    Jakarta

    Pemerintah mengoperasikan sistem pajak baru bernama Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) mulai awal tahun ini. Namun sistem ini menuai sejumlah keluhan dan kritik dari masyarakat karena sederet kendala aksesnya.

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, potensi optimalisasi dari penghimpunan pajak bisa berkontribusi 6,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp 1.500 triliun.

    “Saya lihat sih kalau kita lakukan dengan baik dan semua sepakat jangan berkelahi begini-gini jangan terus kritik-kritikan dulu, biarkan jalan dulu. Nanti ya kritiknya, karena ini banyak masalah yang harus diselesaikan,” kata Luhut, dalam Konferensi Pers Perdana DEN, di Kantor DEN, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2025).

    Luhut mengatakan, salah satu permasalahan yang ada di pemerintahan Indonesia adalah tumpang tindih kebijakan. Dalam hal ini, satu kebijakan diberlakukan untuk banyak tujuan hingga akhirnya tumpang tindih dan menimbulkan banyak masalah.

    Oleh karena itu, saat ini DEN mencoba menerapkan satu kebijakan untuk menaungi satu tujuan. Hal ini juga telah coba ia sampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto agar bisa memperbaiki kebijakan di Indonesia saat ini.

    Ia juga optimistis, digitalisasi menjadi satu langkah bagus dalam mewujudkan efisiensi dan efektifitas di lingkup pemerintahan, termasuk melalui Coretax. Pemerintah juga akan berguru ke India dalam proses implementasi digitalisasi ke depannya.

    “Kita akan belajar pengalaman dari India. Walaupun kita sudah banyak paham juga, tapi lesson and learn dari India kita perlu lakukan untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan kita membuat kesalahan,” ujar Luhut.

    DEN dukung Coretax. Berlanjut ke halaman berikutnya.

    Senada, menurut Sekretaris Eksekutif DEN Septian Hario Seto, Coretax penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan signifikan. Oleh karena itu dalam laporan kepada Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu DEN menyatakan dukungan mendukung penuh adanya implementasi Coretax ini.

    “Kalau masih ada kekurangan sana sini saya kira wajar ini sistemnya baru diimplementasikan. Tapi kami percaya di Kementerian Keuangan dan Dirjen Pajak akan bekerja keras untuk meng-improve sistemnya supaya bisa berjalan dengan baik,” ujar Seto dalam kesempatan yang sama.

    Seto menjelaskan, Coretax menjadi bagian dari salah satu komponen utama dari salah satu pilar digitalisasi pemerintah yakni dalam mengoptimalkan pendapatan negara. Selain Coretax, komponen utama lainnya ialah Sistem Informasi Mineral dan Batubara (SIMBARA).

    “SIMBARA ini terkait dengan pendapatan negara bukan pajak dari sektor tambang, terutama royalty. Jadi ini adalah dua komponen utama, di dalam pilar optimalisasi pendapatan negara, jadi kalau kita bicara pajak dalam konteks digitalisasi, ini sebenarnya hanya salah satu pilar saja,” katanya.

    Sebagai informasi, kesulitan akses sistem Coretax dikeluhkan masyarakat melalui media sosial, misalnya di X. Tak jarang pengguna X juga mention atau menandai akun Direktorat Jenderal Pajak terkait kendala yang dihadapi.

    Misalnya, akun @ncity*** yang gagal dalam mengunggah dokumen di sistem tersebut.

    “Coretax kapan beres nya sih ini.. mau upload dokumen sertel terjadi kesalahan terus mohon bantuannya dong min apa yang menjadi kendala saya? @kring_pajak,” tulisnya.

    Merespons kondisi ini, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan kesulitan akses itu tidak hanya terjadi di masyarakat saja. Namun, pihaknya juga terkendala. Untuk itu, pihaknya terus memantau dan menyelesaikan terkait permasalahan yang muncul saat wajib pajak mengakses sistem tersebut.

    “Hari keenam implementasi Coretax, hari ke hari kami mencoba mengikuti apa yang terjadi keluhan masyarakat, bukan hanya masyarakat, karena pengguna Coretax kami dan juga stakeholder. Jadi, hari ke hari kami terus memonitor, memantau dan menyelesaikan permasalahan yang muncul pada waktu interaksi para pelaku dengan sistem yang kami coba luncurkan Januari kemarin,” kata Suryo dalam acara Konferensi Pers di APBN KiTA di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (6/1/2024).

    Dia mengakui ada sejumlah kendala utama. Pertama, volume akses yang tinggi. Dia menjelaskan pada sistem baru ini wajib pajak tidak hanya mencoba sistem tersebut, tapi juga bertransaksi sehingga dapat mempengaruhi kinerja sistem. Kendala selanjutnya, yakni infrastruktur, di mana vendor penyedia jaringan telekomunikasi sangat berpengaruh.

  • PPN 12% Barang Mewah, Potensi Tambahan Pendapatan Negara ‘Cuma’ Rp3 Triliun

    PPN 12% Barang Mewah, Potensi Tambahan Pendapatan Negara ‘Cuma’ Rp3 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengungkapkan potensi tambahan penerimaan negara akibat penerapan PPN 12% khusus barang mewah tidak terlalu signifikan.

    Suryo mengaku sudah melakukan perhitungan dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu terkait potensi tambahan penerimaan negara akibat keputusan Presiden Prabowo Subianto yang ingin PPN 12% hanya untuk barang mewah.

    “Hitung-hitungan kami dengan Pak Febrio kemarin ya range-nya [rentannya] sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp3 triliunan,” ucap Suryo dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).

    Dia pun menyatakan akan terus memperluas basis perpajakan agar pendapatan negara bisa dimaksimalkan. Direktorat Jenderal Pajak, sambungnya, akan melakukan intensifikasi agar setiap wajib pajak membayar kewajibannya yang terutang dan ekstensifikasi sumber baru penerimaan.

    Untuk itu, Suryo mengaku tidak bisa bekerja sendiri. Dia menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.

    “Kami pun juga melakukan join [kerja sama] untuk paling tidak mencari sumber-sumber baru tadi yang belum ke-cover [tercakup] selama ini atau mungkin kurang kami cover,” jelasnya.

    Sebagai informasi, penerapan tarif PPN 12% khusus untuk barang mewah diperkirakan dapat mengurangi penerimaan negara hingga Rp71,8 triliun.

    Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa potensi pendapatan negara dari penerapan PPN 12% khusus barang mewah hanya sekitar Rp3,2 triliun. Padahal, sambungnya, potensi penerimaan negara apabila PPN 12% diberlakukan pada semua barang/jasa mencapai Rp75 triliun.

    “Ini tentunya pilihan yang sulit bagi pemerintah,” kata Dasco dalam keterangannya, dikutip pada Rabu (1/1/2025).

    Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto memastikan pemerintah akan tetap memberikan paket insentif fiskal sebesar Rp38,6 triliun meski PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Paket insentif fiskal tersebut berupa diskon pajak untuk pembelian rumah, diskon listrik, dan pajak gaji karyawan ditanggung pemerintah.

    Sementara itu, ruang fiskal pemerintah seperti yang ditetapkan dalam APBN 2025 memang sempit. Kementerian Keuangan mencatat profil utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun.

    Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo SBN sejumlah Rp705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman senilai Rp94,83 triliun.

    Untuk pembayaran bunga utang pada 2025 direncanakan senilai Rp552,9 triliun. Alhasil, Pemerintahan Prabowo perlu menyiapkan uang dari kas negara sekitar Rp1.353,23 triliun untuk membayar utang pokok dan bunga utang.

    Di sisi lain, APBN 2025 telah menetapkan belanja pemerintahan senilai Rp3.621,3 triliun. Dengan skema ini, hanya Rp2.268,07 triliun yang dapat dibelanjakan karena sisanya digunakan untuk membayar utang.

  • Rp75 T Hangus Imbas PPN Batal Naik, Bagaimana Nasib Program Prabowo?

    Rp75 T Hangus Imbas PPN Batal Naik, Bagaimana Nasib Program Prabowo?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah batal menerapkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen per 1 Januari 2025 untuk semua jenis dan barang. Kenaikan PPN hanya diberlakukan untuk barang mewah yang selama ini dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Batalnya kenaikan PPN bagi semua barang itu, membuat negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp75 triliun. Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

    Bahkan, ia telah menghitung potensi pendapatan dari skema PPN 12 persen yang hanya berlaku untuk barang mewah.

    “Dengan penerapan kebijakan ini hanya menambah Rp3,2 triliun pada APBN 2025 dari potensi penerimaan Rp75 triliun apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diberlakukan penuh pada semua barang dan jasa,” ucap Dasco di Instagram pribadinya @sufmi_dasco, Selasa (31/12).

    Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab santai potensi kehilangan penerimaan negeri sebesar Rp75 triliun imbas batalnya kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    “Mengenai pengelolaan APBN 2025, seperti nanti ada penerimaan yang tidak jadi diterima (Rp75 triliun) dan lain-lain. Ini kan dinamikanya masih 12 bulan ke depan, ya,” katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (6/1).

    “Jadi, kita akan terus update setiap bulan. Jadi, saya berharap teman-teman bisa bersabar,” tegas Sri Mulyani.

    Sedangkan Dirjen Pajak Suryo Utomo tak membenarkan atau membantah angka tersebut. Suryo cuma menegaskan bakal mencari sumber-sumber penerimaan lain.

    “Strateginya bagaimana (menggenjot penerimaan pajak 2025)? Ya, saya optimalisasi penerimaan (pajak),” ucap Suryo dalam Media Briefing di DJP Kemenkeu, Jakarta Selatan, Kamis (2/1).

    “Karena (pembatalan PPN 12 persen untuk semua barang dan jasa) otomatis ada sesuatu yang hilang, yang kita tidak dapatkan. Ya, kita mencari optimalisasi di sisi yang lain, di antaranya ada ekstensifikasi dan intensifikasi,” tambahnya.

    Potensi kehilangan pendapatan Rp75 triliun tentu menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Maklum, ia punya banyaknya program andalan yang membutuhkan anggaran jumbo.

    Salah satunya program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membutuhkan anggaran Rp71 triliun di tahun ini.

    Lantas akankah potensi kehilangan pendapatan negara tersebit bisa mempengaruhi program unggulan Prabowo?

    Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pendapatan negara yang hilang sebesar Rp75 triliun tentu akan berpengaruh pada postur APBN 2025. Namun, ia tak bisa memastikan apakah akan langsung mempengaruhi program unggulan Prabowo.

    “Karena program itu bisa saja jalan meski Rp75 triliun tidak didapatkan dengan berbagai mekanisme pembiayaan lainnya termasuk juga dengan penerbitan surat utang, pengalihan dari program lain. Tapi yang jelas akan berpengaruh ke postur APBN terutama dari sisi penerimaan,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/1).

    “Yang jelas imbasnya fiskal dulu. Perkara nanti fiskal langsung linear ke program itu kan lain cerita, ini masalah political will Prabowo” sambungnya.

    Ronny mengatakan ada sejumlah cara untuk menambal kebolongan pendapatan negara sebesar Rp75 triliun. Misalnya menambah utang baru atau mengalihkan anggaran proyek yang belum perlu dijalankan ke proyek yang lebih penting.

    Namun secara khusus Ronny menilai Prabowo kemungkinan tidak akan mengalihkan anggaran subsidi BBM untuk program lainnya seperti Makan Bergizi Gratis. Anggaran subsidi BBM memang cukup besar.

    Pada 2024 saja misalnya, besaran subsidi yang digelontorkan berdasarkan informasi Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara tembus Rp56 triliun pada 2024 kemarin. Namun Ronny mengatakan pemangkasan subsidi BBM tidak akan jadi pilihan Prabowo. Pasalnya pemangkasan anggaran subsidi BBM akan menciptakan efek berganda atau multiplier effect.

    “Untuk menaikkan PPN saja Prabowo sensitif karena dia pikir pengaruhnya akan besar, apalagi dengan mengalihkan subsidi BBM yang multiplier effect-nya jauh lebih besar. Saya rasa Prabowo akan berpikir ulang,” katanya.

    Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan kehilangan potensi pendapatan Rp75 triliun tentunya memberikan tekanan tersendiri pada APBN 2025. Namun belum tentu langsung berdampak fatal pada program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis.

    Hal tersebut karena pemerintah masih memiliki beberapa opsi untuk mengkompensasi kehilangan pendapatan tersebut.

    “Pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan dari sektor lain seperti pajak penghasilan, cukai, atau bea masuk. Selain itu, digitalisasi sistem perpajakan dan perbaikan tata kelola dapat membantu mengurangi kebocoran pajak serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” kata Yusuf.

    Untuk menutupi defisit tersebut, sambungnya, pemerintah juga dapat mengeksplorasi sumber pendapatan baru seperti optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan dan kehutanan.

    Kemudian peningkatan investasi asing langsung serta efisiensi belanja negara melalui reformasi birokrasi dan pengurangan pemborosan anggaran juga dapat membantu menghemat pengeluaran.

    “Alternatif lain seperti menghemat anggaran belanja infrastruktur terutama misalnya pembangunan IKN juga bisa menjadi salah satu solusi penghematan agar pemerintah bisa mengkompensasi potensi kehilangan yang tidak didapatkan dari tidak jadi menaikkan tarif PPN 12 persen,” katanya.

    Yusuf mengatakan opsi lainnya yang juga bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban APBN adalah dengan pemangkasan subsidi BBM. Namun, keputusan tersebut katanya perlu dikaji secara hati-hati mengingat dampak sosialnya yang signifikan.

    “Pengurangan subsidi BBM harus dilakukan secara bertahap dan diiringi dengan program perlindungan sosial yang tepat sasaran untuk meminimalkan gejolak ekonomi dan sosial di masyarakat,” katanya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustasya mengatakan ada beberapa mesin yang bisa dioptimalkan oleh Prabowo untuk mendapatkan penerimaan negara hingga Rp453 triliun guna menambal penerimaan yang hilang imbas batal naik PPN.

    Salah satunya, lewat pungutan batu bara dan nikel.

    Ia mengatakan Prabowo perlu menaikkan pungutan terhadap batu bara dan nikel supaya penerimaan negara yang hilang dari rencana kenaikan PPN 12 persen bisa ditutup. Bahkan potensi pendapatan negara yang bisa didapat dari kenaikan pungutan itu justru lebih besar jika dibandingkan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    [Gambas:Photo CNN]

    “Kajian kami memperlihatkan potensi penerimaan bisa di kisaran Rp84,55 triliun-Rp353,7 triliun per tahun dari peningkatan pungutan produksi batu bara. Sementara itu, target penerimaan dari kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya sebesar Rp75,29 triliun, dan kenaikan PPN untuk barang mewah hanya Rp3,2 triliun,” katanya dalam keterangan yang dikeluarkan di Jakarta, Kamis (2/1).

    “Jadi potensi penerimaan dari peningkatan pungutan produksi batu bara jauh lebih besar, dan ini bisa dipakai untuk membiayai berbagai macam proyek strategis nasional dalam transisi energi, terutama untuk pembangunan jaringan distribusi listrik (smart grid) bahkan untuk program sosial seperti makan bergizi gratis,” tambahnya.

    Selain menaikkan pungutan itu, Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersihi mengatakan Prabowo juga bisa menggenjot mesin penerimaan negara dengan memungut pajak ekspor produk nikel.

    “Berdasarkan perhitungan Transisi Bersih, tarif ekspor 10 persen- 20 persen produk nikel dapat memberikan masukan Rp50 triliun-Rp100 triliun untuk negara per tahun. Ini lebih dari cukup untuk menggantikan kenaikan PPN menjadi 12 persen,” ujar Abdurrahman.

  • Coretax Bermasalah, Dirjen Pajak Sebut Akibat Volume Tinggi dan Diakses Secara Bersamaan – Halaman all

    Coretax Bermasalah, Dirjen Pajak Sebut Akibat Volume Tinggi dan Diakses Secara Bersamaan – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Coretax Administration System yang menjadi sistem perpajakan baru di Indonesia dikeluhkan karena bermasalah.

    Kendala ini terutama disebabkan oleh tingginya volume pengguna dan akses yang dilakukan secara bersamaan.

    Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan bahwa masalah ini timbul karena Coretax merupakan sistem yang baru dan banyak diakses oleh berbagai pihak untuk melakukan transaksi sekaligus.

    “Kendala utamanya karena memang volumenya tinggi, barang baru, kemudian diakses seluruh pihak, dan pada waktu mengakses bukan hanya mencoba, tapi juga bertransaksi. Ini situasi yang kami betul-betul hadapi,” katanya dalam konferensi pers APBN 2024 di Jakarta, Senin (6/1/2025).

    Menurut Suryo, akibat terlalu banyaknya akses yang dilakukan secara bersamaan, sistem Coretax menjadi terpengaruh. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa gangguan teknis.

    Ia mengatakan Direktorat Jenderal Pajak terus melalukan fine tuning selama 24 jam.

    Suryo juga mengungkapkan bahwa sistem ini tidak bisa berdiri sendiri karena terhubung dengan sistem lain seperti penyedia jaringan telekomunikasi.

    “Dalam 7 hari terus berjalan, mereka berjalan mengumpulkan permasalahan troubleshooting yang ada, termasuk kendala mengenai infrastruktur karena sistem tidak bisa berdiri sendiri karena kita terkait dengan sistem dari pihak lain. Contoh kata misalnya vendor penyedia jaringan telekomunikasi,” ujar Suryo.

    Direktorat Jenderal Pajak pun telah memperlebar kapasitas bandwidth dan mengoptimalkan sistem untuk mengatasi lonjakan beban akses.

    Suryo juga menegaskan bahwa masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir jika terjadi keterlambatan dalam pelaporan atau penerbitan faktur karena masalah pada sistem Coretax.

    “Masyarakat wajib pajak tidak perlu khawatir apabila dalam implementasi ini mungkin ada keterlambatan penerbitan faktur atau pelaporan,” ucap Suryo.

    “Nanti kami pikirkan supaya tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru,” lanjutnya.

    Ia memastikan Direktorat Jenderal Pajak terus mengikuti dan memantau keluhan dari masyarakat, baik wajib pajak maupun pemangku kepentingan lain.

    Sebagaimana diketahui, dikutip dari Kontan, sistem pajak canggih yang dikenal dengan Coretax System menuai berbagai keluhan dari wajib pajak sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

    Mulai dari kendala sertifikat digital, pembuatan faktur pajak, hingga gangguan teknis pada server dan antarmuka pengguna, semua menjadi keluhan dari Wajib Pajak di berbagai media sosial.

    Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rachmat menilai bahwa peluncuran Coretax tampak tergesa-gesa demi memenuhi target timeline.

    “Agaknya pemerintah dalam hal ini DJP memang terkesan memaksakan diri untuk memenuhi target timeline peluncuran pada 1 Januari 2025,” ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

    Secara prosedural, Ariawan bilang, sebelum mulai meluncurkan aplikasi secara publik, seharusnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalukan uji coba menyeluruh. 

    Meski uji coba pengguna telah dilakukan pada akhir 2024, agaknya feedback dari pengguna belum dijadikan landasan untuk penyempurnaan lebih lanjut sebelum peluncuran Coretax.

    Ariawan menjelaskan bahwa idealnya, sebuah sistem digital seperti Coretax memerlukan tahapan pengujian yang matang. Ini termasuk pengujian kapasitas, responsivitas, dan sinkronisasi data yang tampaknya belum dilakukan secara optimal.

    Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul di awal peluncuran ini mengindikasikan bahwa Coretax masih jauh dari kata sempurna.

    “Ke depan saya yakin masih banyak tantangan dan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan DJP. Entah itu dari sisi kapasitas server, user interface ataupun user experience, bahkan keamanan sistem,” katanya.

    Ia menyarankan agar DJP Kemenkeu lebih membuka diri terhadap masukan dari pengguna serta meminta feedback yang luas untuk membantu mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan sistem.

    “Kasus-kasus yang ada di lapangan dijadikan data awal untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dilakukan,” imbuhnya.

    Apa Itu Coretax?

    Dikutip dari situs pajak.go.id, Coretax merupakan sistem admnistrasi layanan Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan kemudahan bagi pengguna.

    Pembangunan Coretax merupakan bagian dari Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018.

    Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) merupakan proyek rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui pembangunan sistem informasi yang berbasis COTS (Commercial Off-the-Shelf) disertai dengan pembenahan basis data perpajakan.

    Tujuan utama dari pembangunan Coretax adalah untuk memodernisasi sistem administrasi perpajakan yang ada saat ini.

    Coretax mengintegrasikan seluruh proses bisnis inti administrasi perpajakan, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan pajak. 

  • Terlanjur Dipungut PPN 12 Persen, DJP: Tunjukkan Struk ke Penjual untuk Minta Kelebihan Bayar – Halaman all

    Terlanjur Dipungut PPN 12 Persen, DJP: Tunjukkan Struk ke Penjual untuk Minta Kelebihan Bayar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, masyarakat yang terlanjur dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, bisa mendapatkan kembali kelebihan bayar mereka dengan cara menunjukkan struk pembelian.

    Menurut Suryo, bukan sesuatu yang mengherankan banyak masyarakat yang terlanjur terkena pungutan PPN 12 persen.

    Sebab, kebijakan mengenai pajak itu juga baru dijelaskan pada 31 Desember 2024, yang mana beberapa jam sebelum penerapannya pada 1 Januari 2025.

    “Mengenai restitusi yang sudah terlanjur dipotong, dipungut gitu ya, enggak bisa dihindari pada waktu tanggal 31 kemarin [karena] policy kebijakan [baru] disampaikan. Itu kalau dari beberapa cerita, itu transaksi kebanyakan tanggal 1 Januari,” katanya dalam konferensi pers APBN 2024 di Jakarta, Senin (6/1/2025).

    Pemerintah akan memberikan waktu transisi selama tiga bulan agar pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem administrasi mereka dengan kebijakan PPN yang baru.

    Kesepakatan itu dicapai setelah Suryo bertemu dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

    Selain itu, selama periode transisi itu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan juga memberikan kelonggaran dengan tidak memberikan sanksi kepada pengusaha untuk keterlambatan atau kesalahan dalam penerbitan faktur pajak.

    “Kita memberikan transisi tiga bulan untuk penyesuaian sistem administrasi mereka. Di samping juga ada tadi situasi bahwa pajak sudah terlanjur dipungut,” ujarnya.

    Bagi konsumen yang sudah terlanjur dipungut PPN 12 persen, Suryo memastikan bahwa pengembalian pajak dapat dilakukan melalui penjual yang telah memungut pajak tersebut.

    Mengingat pajak yang dipungut penjual belum disetorkan kepada pemerintah karena biasanya dilakukan pada akhir bulan, para pelaku usaha diminta untuk melakukan restitusi kepada konsumen.

    “Kami bersepakat dan para pelaku kemarin dalam beberapa rilisnya juga sudah menyampaikan restitusi dilakukan oleh penjual yang memungut lebih dari konsumen,” ucap Suryo.

    “Caranya seperti apa? Ini B2C ya, business to consumer ya, jadi mereka (konsumen) kembali dengan menyampaikan struk yang sudah dibawa selama ini,” pungkasnya.

    Adapun terkait dengan kebijakan masyarakat yang sudah terlanjur dikenakan PPN 12 persen oleh penjual bisa meminta kelebihan bayarnya, tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025.

    Peraturan tersebut merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Merujuk Bab II Pasal 4 tentang Ketentuan Faktur Pajak dalam Masa Transisi, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen dari yang seharusnya 11 persen namun terlanjur dipungut sebesar 12%, maka berlaku ketentuan sebagai berikut.

    Pertama, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    Kedua, atas permintaan pengembalian PPN tersebut, Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual melakukan penggantian Faktur Pajak.

  • Terlanjur Kena PPN 12 Persen, Ditjen Pajak Terbitkan Aturan Baru, Pembeli Bisa Minta Kelebihannya – Halaman all

    Terlanjur Kena PPN 12 Persen, Ditjen Pajak Terbitkan Aturan Baru, Pembeli Bisa Minta Kelebihannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku untuk kategori barang dan jasa mewah.

    Selain kategori mewah, maka yang sebelumnya kena PPN 11 persen  akan tetap tanpa ada kenaikan.

    Namun, bagi masyarakat yang sudah terlanjur dikenakan PPN 12 persen oleh penjual maka bisa meminta kelebihan bayarnya.

    Hal ini berdasarkan kebijakan baru yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menangani kasus pemungutan PPN akibat kesalahan pemungutan tarif.

    Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025. Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Merujuk Bab II Pasal 4 tentang Ketentuan Faktur Pajak dalam Masa Transisi, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen dari yang seharusnya 11% namun terlanjur dipungut sebesar 12%, maka berlaku ketentuan sebagai berikut.

    Pertama, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    Kedua, atas permintaan pengembalian PPN tersebut, Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual melakukan penggantian Faktur Pajak.

    Sebelumnya, Direktur Jendral Pajak Suryo Utomo juga menjamin kepada Wajib Pajak terkait pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut.

    “Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa. Referensinya kalau sudah kelebihan di pungut ya dikembalikan. Ya dengan caranya memang bisa macam-macam, dikembalikan kepada yang bersangkutan bisa, kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa. Enggak ada masalah,” ujar Suryo dikutip dari Kontan, Senin (6/1/2025).

    Artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul Aturan Terbit! Pembeli Berhak Minta Pengembalian Kelebihan PPN 12%

  • DPR Akan Panggil Sri Mulyani, Bahas Polemik Penerapan PPN 12%?

    DPR Akan Panggil Sri Mulyani, Bahas Polemik Penerapan PPN 12%?

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi XI DPR akan menggelar rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada masa persidangan parlemen mendatang.

    Sebagai informasi, saat ini DPR sedang memasuki masa reses. Para wakil rakyat itu baru akan mulai bersidang lagi pada 21 Januari 2025.

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan pihaknya akan melakukan rapat internal usai masa reses selesai untuk menentukan agenda rapat selama masa persidangan mendatang. Dia pun memastikan akan ada agenda rapat bersama Sri Mulyani.

    “Soal agenda rapat bisa salah satunya soal pelaksanaan penerapan PPN 12% pada barang dan jasa mewah,” ungkap Misbhakun kepada Bisnis, Minggu (5/1/2025).

    Sebelumnya, Komisi XI DPR memang banyak menyoroti perihal pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% khusus barang mewah seperti instruksi Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah sendiri resmi memberlakukan PPN 12% usai mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024. 

    Berdasarkan beleid itu, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.

    Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:

    a. 12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)

    b. 12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi)

    Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:

    a. 12% x DPP = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000

    b. 12% x DPP = 12% x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.

    Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah.

    Misbhakun sendiri merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.

    Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.

    Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharusnya PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.

    “PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

    Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.

    Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

    Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.

    “Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas,” katanya.

  • Dongkrak Penerimaan Negara, Ekonom Usul Menambah Jumlah PKP – Page 3

    Dongkrak Penerimaan Negara, Ekonom Usul Menambah Jumlah PKP – Page 3

    Sebelumnya, Pemerintah memberikan masa transisi pada pengenaan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN 12% bagi barang mewah. Masa transisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Sebagai informasi, Pasal 5 PMK 131 Tahun 2024 mencantumkan bahwa pengenaan tarif pajak 12% untuk barang mewah mulai berlaku pada 1 Februari 2024.

    “Secara prinsip kami memberikan atau meluangkan waktu transisi,” kata Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo dalam konferensi pers di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025)

    Suryo menjelaskan, transisi ini diberikan kepada pengusaha barang mewah untuk penyesuaian faktur pajak, dari yang penghitungannya masih menggunakan sistem PPN tarif 11% menjadi 12%.

    “Karena faktur pajak yang dibuat wajib pajak sebagian besar sudah berada dalam dokumen digital secara sistem. Sehingga waktu ubah sistem kami beri rentang waktu yang cukup bagi teman-teman wajib pajak untuk siapkan sistemnya,” terang Suryo.

    Sementara itu, tidak ada masa transisi untuk tarif PPN pada barang non mewah karena tarif akhirnya masih senilai 11% sesuai dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto pada akhir Desember 2024.

    Apa Saja Barang Mewah yang Kena PPN 12%?

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

    Kebijakan tersebut merupakan amanah  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Supaya jelas, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyakat berada, masyarakat mampu,” tegas Presiden Prabowo Subianto.

    Presiden Prabowo Subianto menyampaikan saat ini dunia masih dihadapkan dengan tantangan global yang penuh ketidakpastian dan ketegangan yang memberikan tekanan kepada perekonomian dunia.