Tag: Supratman Andi Agtas

  • Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    loading…

    Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Menurutnya, masalah tindak pidana korupsi (tipikor) tak bisa diselesaikan secara damai.

    Untuk itu, Mahfud menilai, wacana denda dama yang digulirkan Supratman adalah salah. “Saya kira bukan salah kaprah, salah beneran (wacana denda damai untuk koruptor). Kalau salah kaprah itu biasanya sudah dilakukan, terbiasa meskipun salah. Ini belum pernah dilakukan kok. Mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud saat ditemui di Kantor MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).

    Bila wacana denda damai itu diterapkan, Mahfud menilai, hal itu merupakan bentuk korupsi yakni kolusi. Menurutnya, peradilan denda damai itu membuat rentan para aparat penegak hukum terjerat kolusi.

    “Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan. Diselesaikan diam-diam antar penegak hukum, penegak hukumnya yang ditangkap. Kalau diselesaikan diam-diam. Kan banyak tuh yang terjadi,” kata Mahfud.

    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama aja,” tandasnya.

    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas membuka wacana agar para koruptor bisa diberikan denda damai selain pengampunan dari Presiden. Menurutnya, kewenangan denda damai itu dimiliki oleh Kejaksaan Agung lantaran Undang-undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.

    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

    (rca)

  • Isu Politik dan Hukum Terkini: Wacana Denda Damai Koruptor Dinilai Salah hingga Vonis Harvey Moeis Rusak Keadilan

    Isu Politik dan Hukum Terkini: Wacana Denda Damai Koruptor Dinilai Salah hingga Vonis Harvey Moeis Rusak Keadilan

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabar politik dan hukum di Beritasatu.com pada Kamis (26/12/2024) terkait dengan wacana denda damai koruptor hingga kabar dari penetapan tersangka Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Selain itu juga ada kabar dari vonis suami selebritas Sandra Dewi Harvey Moeis terkait kasus korupsi timah merusak rasa keadilan masyarakat hingga momen pembubaran Jamaah Islamiyah ini dinilai bersejarah dan mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).

    Berikut isu politik dan hukum terkini di Beritasatu.com, Kamis (26/12/2024).

    1. Wacana Denda Damai Koruptor, Mahfud: Ini Bukan Salah Kaprah tetapi Salah Beneran
    Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengkritik keras wacana denda damai untuk mengampuni koruptor yang belakangan ini digaungkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

    Mahfud menilai denda damai koruptor tersebut bukanlah salah kaprah melainkan kesalahan yang sebenarnya.

    “Saya kira bukan salah kaprah tetapi salah beneran. Kalau salah kaprah itu sudah biasa dilakukan terbiasa meskipun salah, nah ini belum dilakukan kok, mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud di kantor MMD Initiative di Kawasan Senen Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024) sore.

    2. Hasto Kristiyanto Jadi Tersangka, Mahfud MD: Itu Wewenang KPK
    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD tak ingin berspekulasi soal penetapan tersangka Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai mengarah politisasi hukum.

    Mahfud menegaskan penetapan tersangka terhadap Hasto Kristiyanto merupakan kewenangan lembaga antirasuah sebagai institusi penegak hukum. Dia mempersilakan KPK menjalani tanggung jawab menegakkan hukum secara transparan.

    “Saya enggak punya pandangan (politisasi hukum). Itu wewenang KPK, wewenang penegak hukum. Biar dipertanggungjawabkan secara hukum, secara transparan,” terang Mahfud di kantornya MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).

    3. Mahfud MD Nilai Vonis Harvey Moeis Menusuk Rasa Keadilan
    Selain menyebut wacana denda damai koruptor salah, Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai putusan hakim dalam vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar pada Harvey Moeis terkait kasus korupsi timah merusak rasa keadilan masyarakat.

    Putusan itu dinilai tidak sebanding dengan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Harvey Moeis yang mencapai Rp 300 triliun.

    4. Hasto Kristiyanto Tegaskan Akan Taat Hukum Seusai Ditetapkan sebagai Tersangka
    ekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan akan taat pada hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasto menyatakan siap menghadapi risiko apa pun dengan kepala tegak dan mulut tersenyum.

    “PDI Perjuangan adalah partai yang menjunjung tinggi supremasi hukum,” ujar Hasto di Jakarta, Kamis (26/12/2024).

    Hasto mengungkapkan, sejak awal ia sudah memahami berbagai risiko yang dihadapi saat mengkritisi demokrasi dan menyoroti penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis.

    5. GP Ansor: Pembubaran Jamaah Islamiyah Momentum Bersejarah untuk Keutuhan NKRI
    Setelah lebih dari tiga dekade menyebarkan paham radikalisme, organisasi Jamaah Islamiyah (JI) resmi dibubarkan. Momen pembubaran Jamaah Islamiyah ini dinilai bersejarah dan mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang menjadi garda pendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Pada 21 Desember 2024, bertempat di Convention Hall Terminal Tirtonadi, Kota Surakarta, digelar Deklarasi dan Sosialisasi Puncak Pembubaran Jamaah Islamiyah. Acara ini diinisiasi oleh Sub Direktorat Bina Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI bekerja sama dengan Densus 88 Anti Teror Polri.

    Demikian isu politik dan hukum terkini di Beritasatu.com, terkait dengan wacana denda damai koruptor yang salah, kabar dari penetapan Hasto jadi tersangka, hingga pembubaran Jamaah Islamiyah.

  • 9
                    
                        Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
                        Nasional

    9 Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu… Nasional

    Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
    Mahfud
    MD menyebut, menyelesaikan korupsi melalui cara damai justru menjadi korupsi baru, yakni kolusi.
    Menurut Mahfud, undang-undang terkait pemberantasan korupsi maupun hukum acara pidana di Indonesia tidak membenarkan penyelesaian korupsi dengan
    denda damai
    .
    Wacana ini sebelumnya dilontarkan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat berbicara mengenai pengampunan atau amnesti bagi narapidana, termasuk koruptor. 
    Melansir
    Antara
    , Andi mengungkapkan bahwa pengampunan kepada koruptor bisa dimungkinkan tanpa lewat presiden. Sebab, menurutnya, Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberikan ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara yang dihadapi mereka.
    “Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai,” kata Mahfud saat ditemui awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2024).
    Mahfud pun menuturkan, praktik kolusi semacam itu sudah sering dilakukan. Misalnya, aparat penegak hukum dan pelaku, melakukan pemufakatan jahat untuk mengkondisikan agar kasus korupsi tidak diproses atau diadili diam-diam.
    Ketika kasus itu diketahui dan dibongkar oleh lembaga atau aparat penegak hukum yang lain, maka terjadilah perkara rasuah yang baru.
    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja,” ujar Mahfud.
    Mahfud memahami keinginan pemerintah yang ingin memaafkan koruptor dengan tujuan untuk memulihkan aset negara.
    Hal ini selaras dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulihan aset.
    Namun, tindakan itu tidak bisa dilakukan dengan cara memaafkan secara diam-diam atau melalui mekanisme denda damai.
    “Silakan asset recovery itu. Tetapi yang termudah agar tidak terjadi diam-diam penyelesaiannya,” ujar Mahfud.
    Mahfud mengatakan, pada tahun 2001 ketika ia menjadi Menteri Kehakiman, ia mengusulkan untuk memaafkan koruptor namun dilakukan secara terbuka.
    Usulan itu kemudian ia tulis ulang dalam bukunya yang terbit pada 2003 dengan judul Setahun Bersama Gus Dur. Mekanisme pengampunan secara terbuka ini sebelumnya telah diterapkan di Afrika.
    Ia lantas mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab ketika pengampunan dilakukan secara diam-diam, siapa yang menerima laporan pengakuan koruptor, dan apakah pihak terkait bersedia namanya diumumkan ke publik.
    “Dan salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Kalau mau, kalau mau ya, Undang-Undang Perampasan Aset,” ujar Mahfud.
    “Diberlakukan saja Undang-Undang Perampasan Aset (tapi harus) yang sudah disetujui DPR sama Pemerintah dulu, tapi lalu (saat ini) macet di DPR. Itu saja diundangkan,” tambahnya.
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.
    Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
    Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.
    Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai.
    “Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.
    Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
    Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.
    “Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.
    Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah.
    Terkait
    transfer of prisoners
    atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya. Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.
    “Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.
    Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.
    Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.
    Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.
    “Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.
    “Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.
    Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.
    Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.
    “Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada
    Kompas.com
    , Kamis.
    “Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.
    Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.
    “Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wacana Denda Damai Koruptor, Mahfud: Ini Bukan Salah Kaprah tetapi Salah Beneran

    Wacana Denda Damai Koruptor, Mahfud: Ini Bukan Salah Kaprah tetapi Salah Beneran

    Jakarta, Beritasatu.com – Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengkritik keras wacana denda damai untuk mengampuni koruptor yang belakangan ini digaungkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

    Mahfud menilai denda damai koruptor tersebut bukanlah salah kaprah melainkan kesalahan yang sebenarnya. 

    “Saya kira bukan salah kaprah tetapi salah beneran. Kalau salah kaprah itu sudah biasa dilakukan terbiasa meskipun salah, nah ini belum dilakukan kok, mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud di kantor MMD Initiative di Kawasan Senen Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024) sore.

    Menurutnya, selain tidak ada penyelesaikan korupsi damai, sudah banyak penegak hukum yang menyelesaikan kasus secara diam-diam dan menjadi tersangka.

    “Kalau diselesaikan secara damai itu sudah sering dilakukan antara penegak hukum. Penegak hukumnya yang ditangkap bahkan banyak tuh terjadi, jaksa, polisi, hakim kan menyelesaikan diam-diam,” lanjutnya.

    Mahfud juga menjelaskan penerapan denda damai dalam Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan hanya berlaku untuk tindak pidana eknomi dan bukan untuk tindak pidana korupsi.

    “Undang-Undang Kejaksaan dalam Pasal 35 menyatakan dalam hal-hal tertentu jaksa agung boleh menerapkan denda damai di mana sebuah kasus itu tidak diadili asalkan ada perdamaian tentang jumlah yang dibayar,” pungkas Mahfud yang menilai UU tersebut tidak berlaku untuk denda damai koruptor.

  • Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai

    Pukat UGM: Tindak Pidana Korupsi Tak Bisa Diselesaikan dengan Denda Damai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM)
    Zaenur Rohman
    mengatakan, tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan
    denda damai
    .
    Ia menyebutkan, denda damai hanya bisa diperuntukkan untuk tindak pidana ekonomi.
    “Tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan dengan denda damai. Mengapa? Karena denda damai itu khusus untuk tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955,” kata Zaenur saat dihubungi, Kamis (26/12/2024).
    Zaenur menuturkan, secara teori, tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan ekonomi.
    Namun, dalam aturan perundang-undangan, hanya tindak pidana ekonomi yang diatur secara khusus mengenai denda damai.
    “Sehingga tindak pidana korupsi tidak bisa diselesaikan menggunakan denda damai,” ujar dia.
    Lebih lanjut, Zaenur menilai pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas terkait denda damai untuk tindak pidana korupsi belum didasari dengan kajian yang matang.
    “Sayang sekali. Artinya ini usulan yang masih sangat mentah,” ucap Zaenur.
    Sebelumnya, Supratman menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, juga bisa diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan bahwa kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) karena Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Seperti diketahui, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kilas balik perjalanan UU DKJ

    Kilas balik perjalanan UU DKJ

    Jakarta (ANTARA) – Kota Jakarta punya perjalanan cukup panjang menyoal penamaan dan statusnya, terhitung sejak abad ke-14, kala masih bernama Sunda Kelapa dan menjadi pusat pelabuhan Kerajaan Padjadjaran.

    Di antara nama-nama dan status yang pernah melekat pada kota ini, Daerah Khusus Ibukota (DKI) menjadi salah satu yang paling dikenal karena disandang cukup lama oleh Jakarta, tercatat sejak tahun 1961.

    Lalu, setelah lebih dari 40 tahun, Kota Jakarta pun bersiap diganti statusnya menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Penggantian tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang disahkan pada 15 Februari 2022.

    Wakil Presiden periode 2019-2024 Ma’ruf Amin dalam lawatannya ke Shanghai, Tiongkok pada 19 September 2023 menyinggung terkait penamaan DKJ ini, sekaligus membahas sekilas tentang pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ. RUU itu memuat konsep Daerah Khusus Jakarta menjadi kota global dan pusat ekonomi terbesar di Indonesia.

    Pembahasan RUU DKJ menjadi konsekuensi atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. Sembari pembahasan RUU berjalan, tim khusus (timsus) penyusun dan penyempurnaan usulan untuk naskah akademik dan RUU DKJ pun dibentuk.

    Di sela pembahasan itu, nama Daerah Khusus Ekonomi Jakarta muncul. Ini dikatakan menjadi pilihan nama baru selain DKJ.

    Hampir tiga bulan berselang, yakni pada 4 Desember 2023, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui RUU DKJ untuk dibahas di tingkatan selanjutnya, dan sehari setelahnya DPR RI melalui rapat paripurna ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024 menyatakan RUU DKJ sebagai usul inisiatif DPR.

    Berganti tahun, DPR RI pada 28 Maret 2024 mengesahkan RUU DKJ menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-14 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024.

    Semester pertama tahun 2024, atau tepatnya Kamis, 25 April 2024 Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta ditandatangani oleh Presiden (saat itu Joko Widodo).

    Penandatanganan ini dengan pertimbangan bahwa perlunya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus untuk menghormati kesejarahan, ciri khas, dan karakteristik kekhususan Jakarta.

    Mendagri Tito Karnavian (tengah) bersama jajarannya menyampaikan pandangannya dalam rapat kerja mengenai kelanjutan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR dan DPD di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/3/2024). Baleg DPR menargetkan pembahasan RUU DKJ selesai disahkan pada 4 April 2024 pascapengiriman daftar inventarisir masalah (DIM) dari pemerintah resmi dibahas hari ini. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.

    Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU tersebut menyatakan bahwa Provinsi DKJ adalah provinsi dengan kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Kekhususan pemerintahan yang dimaksud yaitu terkait pelaksanaan fungsi sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.

    UU tersebut juga mengatur kedudukan dan fungsi, batas dan pembagian wilayah, asas dan susunan pemerintahan, dewan kota/dewan kabupaten dan lembaga musyawarah kelurahan. Lalu, urusan pemerintahan dan kewenangan khusus, kerja sama dalam dan luar negeri, pendanaan, serta kawasan aglomerasi DKJ.

    Selain itu, Pasal 71 UU ini mengamanatkan bahwa peraturan pelaksanaan atas UU DKJ ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak UU ini diundangkan.

    Sayangnya, UU tersebut belum dapat berlaku lantaran ada ketentuan dalam Pasal 73 yang menerangkan bahwa UU tersebut berlaku pada saat ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota.

    Dalam perjalanannya, bahkan belum berusia setahun, hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2024 ternyata dianggap belum mengatur secara tegas perubahan nomenklatur (nama) jabatan dan status pemerintahan di Jakarta usai ibu kota pindah ke IKN. Atas alasan itu, Baleg DPR merancang perubahan atas undang-undang tersebut.

    Pada Selasa, 19 November 2024, DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta menjadi Undang-Undang.

    Perubahan ini terdiri dari penyisipan empat pasal terkait pengaturan perubahan nomenklatur (nama) jabatan, yakni Pasal 70A, 70B, 70C, dan 70D, di antara Pasal 70 dan 71 UU DKJ.

    Ini diperlukan guna menjamin perubahan kedudukan Provinsi Jakarta diikuti dengan perubahan nomenklatur jabatan gubernur, wakil gubernur, anggota DPRD, anggota DPD dan anggota DPR daerah pemilihan (Dapil) Provinsi Jakarta hasil Pemilu 2024.

    Dengan begitu, jabatan gubernur dan wakil gubernur, anggota DPRD, serta anggota DPD dan anggota DPR daerah pemilihan Dapil Provinsi Jakarta hasil Pilkada 2024 nantinya dinyatakan sebagai gubernur dan wakil gubernur DKJ, anggota DPRD DKJ, dan anggota DPD dan DPR Dapil DKJ.

    Selain itu, terdapat pula perubahan dalam ketentuan mengingat angka 1 UU DKJ, yaitu dengan menambahkan ayat (2) pada ketentuan Pasal 22D UU DKJ.

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan revisi UU DKJ dilakukan untuk memberikan kepastian transisi penyelenggaraan pemerintahan sekaligus mengidentifikasi adanya celah hukum dalam proses transisi penyelenggaraan pemerintahan.

    Pada bulan yang sama atau tepatnya 30 November 2024, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Undang-Undang Nomor 151 Tahun 2024 yang mengatur tentang perubahan nomenklatur jabatan di Provinsi Daerah Khusus Jakarta hasil Pilkada 2024.

    Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa pemindahan resmi ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur, masih menunggu keputusan Presiden.

    Lalu bagaimana dengan status Jakarta? Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan Jakarta masih berstatus sebagai ibu kota negara hingga Presiden Prabowo menandatangani Keppres tentang pemindahan ibu kota.

    Menurut Supratman, Presiden akan menandatangani keppres tersebut apabila infrastruktur di Ibu Kota Nusantara (IKN) sudah terbangun dengan baik.

    Jadi, setelah infrastruktur dibangun dan keppres sudah ditandatangani, barulah status ibu kota berpindah dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Adapun pembangunan infrastruktur bisa memakan waktu beberapa tahun ke depan. Salah satu infrastruktur yang harus dikebut yakni di bidang pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Merujuk data per 30 Oktober lalu, progres rata-rata pembangunan Ibu Kota Nusantara mencapai 87 persen.

    Hingga penghujung tahun ini, bahkan jabatan Penjabat (Pj.) Gubernur Jakarta pun masih menyandang DKI. Pun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan DPRD juga masih menyematkan DKI bukannya DKJ.

    Halaman selanjutnya: Kekhususan Jakarta

    Editor: Alviansyah Pasaribu
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kejagung: Denda Damai Hanya Untuk Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi Tak Termasuk

    Kejagung: Denda Damai Hanya Untuk Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi Tak Termasuk

    Kejagung: Denda Damai Hanya Untuk Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi Tak Termasuk
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung
    Harli Siregar
    menegaskan,
    denda damai
    yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan tidak bisa digunakan untuk penyelesaian Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor.

    Denda damai
    merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
    Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang menyebabkan kerugian negara.
    “Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
    Harli bilang, aturan denda damai dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 telah diadopsi ke dalam pasal 35 (1) huruf K UU No 11 Tahun 2021
    “Nah, jadi kewenangan itu yang di
    adopted
    di undang-undang kejaksaan No 11 Tahun 2021. Nah, jadi itu berlaku hanya untuk tindak pidana ekonomi misalnya kepabeanan, cukai, perpajakan,” ujarnya.
    “Jadi bukan tipikor,” tambah dia.
    Harli menjelaskan, sebelumnya dalam Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 memang ada menjelaskan soal denda damai.
    Dalam aturan tersebut, diberikan hak dan kewenangan bagi Jaksa Agung terkait dengan finalisasi putusan.
    “Jadi dulu ada undang-undang tahun 1955, nomor 7 tentang tindak pidana ekonomi, memang itu memberi hak dan kewenangan, kepada Jaksa Agung untuk denda damai,” ujarnya.
    “Tapi, itu tidak berlaku bagi koruptor. Di sisi lain, karena undang-undang kita itu masih baru, masih nanti dirumuskan seperti apa. Karena memang itu dasarnya jelas di undang-undang darurat itu, memang masih berlaku,” tambahnya.
    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan kewenangan denda damai dimiliki oleh
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) lantaran Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung: Denda Damai Bukan untuk Pengampunan Koruptor

    Kejagung: Denda Damai Bukan untuk Pengampunan Koruptor

    Kejagung: Denda Damai Bukan untuk Pengampunan Koruptor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar menegaskan bahwa denda damai yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Kejaksaan yang baru tidak bisa digunakan untuk
    pengampunan koruptor
    .
    Dia mengatakan bahwa denda damai hanya bisa digunakan untuk penyelesaian perkara tindak pidana ekonomi.
    “Denda damai dalam
    UU Kejaksaan
    itu bukan untuk pengampunan koruptor, tapi penyelesaian perkara tindak pidana ekonomi seperti kepabeanan, cukai, hingga pajak,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
    Sementara itu, Harli mengatakan bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi atau
    tipikor
    bisa dilakukan melalui aturan yang ada dalam UU
    Tipikor
    .
    “Penyelesaian tipikor berdasarkan UU Tipikor,” tegasnya.
    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan bahwa kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Denda damai merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
    Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
    Harli menegaskan bahwa penyelesaian secara denda damai yang dimaksud dalam Pasal 35 (1) huruf K UU No. 11 Tahun 2021 adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi.
    “Benar dalam Pasal 35 (1) huruf K UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI menyatakan Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan undang-undang,” kata Harli.
    Harli mengatakan bahwa untuk penyelesaian tipikor mengacu pada UU Tipikor, Pasal 2, 3, dan seterusnya.
    “Kalau dari aspek teknis yuridis, tipikor tidak termasuk yang dapat diterapkan denda damai yang dimaksud Pasal 35 (1) huruf K, kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi,” tegasnya.
    Diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menteri Hukum Sebut Pengampunan terhadap Narapidana Bisa Lewat Denda Damai

    Menteri Hukum Sebut Pengampunan terhadap Narapidana Bisa Lewat Denda Damai

    Menteri Hukum Sebut Pengampunan terhadap Narapidana Bisa Lewat Denda Damai
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com-
    Menteri Hukum (Menkum)
    Supratman Andi Agtas
    menyatakan,  selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui
    denda damai
    .
    Dia menjelaskan kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang (UU) tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari
    Antara.

    Denda damai
    merupakan penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh jaksa agung. Denda damai dapat digunakan untuk menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian negara.
    Supratman mengatakan implementasi denda damai masih menunggu peraturan turunan dari UU tentang Kejaksaan.
    Ia menyebutkan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah sepakat bahwa peraturan turunannya dalam bentuk Peraturan Jaksa Agung.
    “Peraturan turunannya yang belum. Kami sepakat antara pemerintah dan DPR, itu cukup peraturan Jaksa Agung,” kata Supratman.
    Kendati demikian, ia menegaskan, Presiden
    Prabowo Subianto
    bakal bersikap sangat selektif dan berupaya memberikan hukuman yang maksimal kepada para penyebab kerugian negara tersebut.
    Supratman menyebutkan, dalam menangani kasus korupsi, Pemerintah menaruh perhatian kepada aspek pemulihan aset.
    Menurut dia, penanganan koruptor tidak hanya sekadar pemberian hukuman, tetapi juga mengupayakan agar pemulihan aset bisa berjalan.
    “Yang paling penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana
    asset recovery
    (pemulihan aset) itu bisa berjalan,” ujar mantan Ketua Badan Legislasi DPR tersebut.
    Apabila pemulihan asetnya bisa baik, kata dia, pengembalian kerugian negara pun bisa maksimal, dibandingkan dari sekadar menghukum.
    Politikus Partai Gerindra ini kembali menegaskan bahwa pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana merupakan hak konstitusional presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
    Namun, hal itu tidak berarti Presiden akan membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Pemerintah tengah menunggu arahan Presiden Prabowo untuk implementasinya.
    “Kita akan tunggu arahan Bapak Presiden nanti selanjutnya. Kami belum mendapat arahan nih, nanti implementasinya seperti apa,” ucap Supratman.
    Diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman di Istana Kepresidenan pada 13 Desember 2024.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo Bakal Beri Amnesti Anggota Jamaah Islamiyah dan Kasus Papua
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        25 Desember 2024

    Prabowo Bakal Beri Amnesti Anggota Jamaah Islamiyah dan Kasus Papua Regional 25 Desember 2024

    Prabowo Bakal Beri Amnesti Anggota Jamaah Islamiyah dan Kasus Papua
    Tim Redaksi
    BANDUNG, KOMPAS.com
    – Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto tengah menyusun 44.000 narapidana yang memungkinkan diberikan Amnesti.
    Hal tersebut diungkapkannya di sela-seal kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II A Bandung, Rabu (25/12/2024).
    “Kita lagi susun, mudah-mudahan besok atau minggu depan kita bisa kirimkan nama-namanya ke Menko Hukum, HAM, nanti beliau akan mengajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan diberikan pengampunan,” kata Agus.
    Menurut agus, pelaksanaan pemberian amnesti ini akan dilakukan secara serentak. Namun, rencana tersebut masih membutuhkan pertimbangan dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
    “Pelaksanaan (Rencana pemeberian Amnesti) serentak, saat Presiden mendapat persetujuan DPR, memutuskan memberikan pengampunan kepada pecandu dan pengguna (narkoba) kami sudah koordinasi dengan BNN (Badan Narkotika Nasional) mereka melaksanakan rehab dulu, dan kembali ke masyarakat,” kata Agus.
    Menurut Agus, ada beberapa kriteria atau persyaratan bagi warga binaan yang nantinya di rencanakan dapat amnesti.
    “Kriterianya kan ada yang UU ITE, ada ibu hamil, anak yang dalam pengasuhan di bawah 3 tahun, anak binaan, karena hampir 274.000 warga binaan dan tahanan di lapas, ini 95 persen nya adalah usia produktif oleh karena itu kita klasifikasikan tertentu,” kata Agus.
    Menurut Agus, Presiden
    Prabowo Subianto
    juga memberikan pengampunan kepada masalah yang ada di Papua hingga mereka yang bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI). Adapun JI kini sudah membubarkan diri. 
    “Termasuk bapak Presiden memberikan pengampunan kepada masalah yang di Papua, kepada saudara-saudara yang di Papua yang kemarin ada terkait makar tidak bersenjata, beliau berkeinginan memberikan pengampunan, termasuk kepada mereka bergabung jamaah Islamiyah yang sudah membubarkan diri,” ujar Agus. 
    “Jadi nanti hasilnya seperti apakah mereka sudah berkelakuan baik, dan mau berikrar menjadi bagian dari NKRI, akan mendapatkan pengampunan,” katanya.
    Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengungkapkan, pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 napi. 
    Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman di Istana Kepresidenan pada 13 Desember 2024.
    Selain itu, pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi juga menjadi prioritas. Lalu, napi dengan gangguan jiwa, pengidap HIV/AIDS, dan beberapa tahanan terkait kasus Papua turut masuk dalam daftar yang diajukan kepada Presiden.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.