Tag: Sugiri Sancoko

  • KPK Geledah Rumah Kerabat Bupati Ponorogo di Babadan, Sita Dokumen dan Buku Rekening

    KPK Geledah Rumah Kerabat Bupati Ponorogo di Babadan, Sita Dokumen dan Buku Rekening

    Ponorogo (beritajatim.com) – Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan penggeledahan lanjutan di Kabupaten Ponorogo, Selasa (11/11/2025) malam. Setelah sebelumnya menggeledah ruang kerja Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dan Sekda Agus Pramono di kompleks Kantor Pemkab Ponorogo, penyidik bergerak cepat menuju sebuah rumah di Desa Ngunut, Kecamatan Babadan.

    Penggeledahan di rumah tersebut dilakukan secara maraton, menyusul temuan awal sejumlah dokumen penting di lingkungan pemerintahan. Rumah yang menjadi sasaran disebut milik Dicky, warga Malang yang diakui masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Bupati Sugiri Sancoko — tersangka kasus dugaan korupsi yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) beberapa waktu lalu.

    Menurut keterangan warga, sembilan penyidik KPK tiba di lokasi usai waktu salat Magrib dan langsung masuk ke dalam rumah untuk mencari dokumen yang diduga berkaitan dengan aliran dana. Aktivitas penyidik itu sempat menarik perhatian warga yang mendadak memenuhi jalan desa.

    “Penggeledahan mulai setelah Magrib dan selesai sekitar pukul 9 malam. Petugas membawa sejumlah berkas, termasuk dua buku rekening dan beberapa dokumen transfer,” kata Saifudin, perangkat Desa Ngunut, Rabu (12/11/2025).

    Dari hasil penggeledahan tersebut, KPK menyita 10 item dokumen, dua di antaranya berupa buku rekening dan dokumen transfer yang diduga menjadi bagian dari aliran dana dalam perkara korupsi yang sedang ditangani.

    Langkah KPK memperluas penggeledahan ini menunjukkan penelusuran aliran dana korupsi di Ponorogo belum berhenti. Setelah penyitaan sejumlah dokumen dari kantor pemerintahan, lembaga antirasuah itu kini menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak keluarga atau kerabat dalam rangkaian transaksi keuangan yang mencurigakan.

    Sebelumnya, KPK telah menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Ponorogo, yakni Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Sekda Ponorogo Agus Pramono, Direktur RSUD dr. Hardjono Ponorogo dr. Yunus Mahatma, serta pihak swasta bernama Sucipto. Keempatnya kini telah ditahan di Gedung Merah Putih KPK untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. [end/beq]

  • KPK Geledah Rumah Dinas hingga Pribadi Bupati Ponorogo, Sita Dokumen-Uang

    KPK Geledah Rumah Dinas hingga Pribadi Bupati Ponorogo, Sita Dokumen-Uang

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah enam lokasi terkait kasus dugaan suap proyek dan jabatan di Kabupaten Ponorogo, serta gratifikasi. Penggeledahan dilakukan pada Selasa (11/11/2025).

    “Penggeledahan dilakukan di rumah dinas bupati, rumah tersangka SC, kantor bupati, kantor sekda, kantor BPKSDM, serta rumah ELW,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Selasa (11/11/2025).

    SC merupakan Sucipto, salah satu dari empat tersangka yang merupakan pihak swasta diduga pemberi suap kepada Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko. Sedangkan ElW adalah Ely Widodo selaku adik dari Sugiri.

    Dari penggeledahan ini, tim lembaga antirasuah menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik sebagai barang bukti.

    “Dalam rangkaian giat tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik. Selain itu, di rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barbuk uang,” jelas Budi.

    Budi belum bisa menjelaskan nominal uang yang disita. Namun, barang bukti tersebut akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan perkara ini.

    Dia menjelaskan penggeledahan yang dilakukan penyidik sebagai upaya paksa dalam rangkaian kegiatan penyidikan dibutuhkan untuk mencari dan menemukan barang bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP.

    Pada perkara ini, KPK menetapkan tersangka dan menahan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo Agus Pramono, Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo Yunus Mahatma, dan Sucipto selaku pihak swasta.

    Sugiri memperoleh total Rp900 juta dari Yunus Mahatma. Uang dibayarkan Yunus sebanyak dua kali melalui ajudannya sebesar Rp400 juta dan teman Sugiri sebesar Rp500 juta. Adapun Agus Pramono menerima Rp325 juta.

    Kemudian, Sugiri meminta lagi kepada Yunus Rp1,5 miliar. Namun uang yang baru diterima Sugiri sebesar Rp500 juta. Di momen ini lah Sugiri tertangkap tangan dan uang tersebut disita penyidik lembaga antirasuah. Uang tersebut agar Yunus tetap menjabat sebagai Direktur Utama RSUD Harjono Kabupaten Ponorogo.

    Pada proyek RSUD Harjono Kabupaten Ponorogo, Sugiri diduga mendapatkan fee dari Sucipto selaku pihak swasta yang menangani proyek itu sebesar Rp1,4 miliar dari nilai proyek Rp14 miliar.

    Kemudian Sugiri juga tersandung gratifikasi. Pada 2023-2025, Sugiri menerima Rp225 juta dari Yunus Mahatma. Lalu pada Oktober 2025, Sugiri menerima Rp75 juta dari Eko selaku pihak swasta.

  • KPK Sita Uang dari Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    KPK Sita Uang dari Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap temuan penting dalam penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo. Lembaga antirasuah itu menyita sejumlah uang tunai dari rumah dinas bupati Ponorogo, Jawa Timur, yang diduga berkaitan dengan perkara yang menjerat Sugiri Sancoko.

    “Dari rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara pada Rabu (12/11/2025).

    Budi menjelaskan, barang bukti uang tersebut akan menjadi petunjuk penting bagi penyidik dalam proses penyelidikan kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Sugiri Sancoko saat masih menjabat sebagai bupati Ponorogo. KPK menduga uang tersebut merupakan bagian dari aliran dana yang berkaitan dengan praktik suap dan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo.

    Sebelumnya, pada 9 November 2025, KPK telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan, proyek pembangunan di RSUD dr Harjono Ponorogo, dan penerimaan gratifikasi lainnya.

    Empat tersangka tersebut yakni Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD dr Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), serta Sucipto (SC) yang merupakan pihak swasta atau rekanan proyek RSUD.

    Dalam klaster pertama, yakni dugaan suap pengurusan jabatan, penerima suap disebutkan adalah Sugiri Sancoko bersama Agus Pramono dengan Yunus Mahatma sebagai pemberinya.

    Sementara itu, pada klaster dugaan suap proyek di RSUD Ponorogo, Sugiri Sancoko bersama Yunus Mahatma diduga menerima suap dari Sucipto.

    Adapun pada klaster dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, Sugiri Sancoko kembali disebut sebagai penerima, sedangkan pemberinya adalah Yunus Mahatma.

    KPK menegaskan seluruh temuan, termasuk uang tunai yang disita dari rumah dinas bupati Ponorogo akan ditelusuri untuk memastikan keterkaitan dengan aliran dana hasil korupsi. Lembaga tersebut juga berkomitmen menuntaskan perkara ini secara transparan dan akuntabel sebagai bentuk upaya memperkuat pemberantasan korupsi di daerah.

  • KPK Sita Uang Tunai di Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    KPK Sita Uang Tunai di Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    Liputan6.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, sebagai bagian dari pengembangan  operasi tangkap tangan (OTT) yang sebelumnya dilakukan KPK. Dalam penggeledahan itu, KPK menyita sejumlah uang tunai.

    “Dari rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa (11/11/2025).

    Menurut Budi, barang bukti tersebut akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Sugiri Sancoko saat menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

    Sebelumnya, pada 9 November 2025, KPK mengumumkan menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan jabatan, proyek pekerjaan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Harjono Ponorogo, dan penerimaan lainnya atau gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

    Empat orang tersebut adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD Dr. Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), serta Sucipto (SC) selaku pihak swasta atau rekanan RSUD Ponorogo.

     

  • Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KETIKA
    rakyat berjuang menegakkan keadilan, sebagian pejabat menjadikannya komoditas. Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi hukum, korupsi terus berulang, seperti upacara tahunan.
    Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sejatinya hanyalah cermin dari wajah kekuasaan yang lama: jabatan diperjualbelikan, tanggung jawab publik digadaikan.
    Dalam lanskap politik yang penuh retorika moral, terbentuk sebuah tatanan baru—Republik Tikus Berdasi.
    Tikus berdasi bukan sosok pencuri kelas bawah. Mereka berjas, berpidato tentang integritas, menandatangani pakta antikorupsi, bahkan mengutip ayat moralitas di depan publik.
    Namun, di balik dasi dan pidato, berlangsung perampokan uang rakyat secara sistematis. Lubang gelap tidak lagi berada di gudang beras, tetapi di proyek infrastruktur, anggaran daerah, dan mutasi jabatan.
    Ketika kekuasaan berubah menjadi sarana perampasan,
    korupsi
    menjelma pelanggaran terhadap
    hak asasi
    manusia.
    Korupsi sejatinya bukan sekadar penggelapan keuangan negara. Tindakan tersebut merampas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.
    Setiap rupiah yang disedot dari kas publik berarti hilangnya kesempatan anak untuk belajar, pasien untuk sembuh, dan warga miskin untuk hidup bermartabat.
    Korupsi menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak menumpahkan darah, tetapi mematikan harapan dan martabat manusia secara perlahan.
    Fenomena korupsi di republik ini telah melampaui batas penyimpangan moral. Praktik tersebut telah bertransformasi menjadi budaya kekuasaan: dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga birokrasi kecil. Pergantian pejabat hanya mengganti wajah, bukan sistem.
    Ketika hukum kehilangan wibawa dan pengawasan menjadi seremonial, republik ini hanya menukar pelaku, bukan menghentikan kejahatan.
    Dalam tatanan semacam itu, tikus berdasi bukan lagi pengecualian, melainkan representasi paling jujur dari kekuasaan yang gagal menjaga amanat rakyat.
    Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga merusak sendi-sendi kemanusiaan. Tindakan tersebut meniadakan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
    Dalam perspektif hukum internasional, korupsi digolongkan sebagai salah satu penghalang utama bagi penikmatan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana ditegaskan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
    Bahkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit mengaitkan praktik korupsi dengan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
    Kasus operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Sumatra menunjukkan bahwa kekuasaan publik telah berubah menjadi instrumen rente.
    Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian publik justru dimanfaatkan untuk menekan bawahan dan mengutip “jatah” dari anggaran pembangunan infrastruktur.
    Praktik tersebut mengakibatkan hak masyarakat atas pembangunan, mobilitas, dan kesejahteraan sosial dirampas oleh struktur kekuasaan yang korup.
    Korupsi semacam ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghambat pemenuhan hak ekonomi dan sosial warga secara langsung.
    Kasus lain di daerah Jawa Timur mengungkap pola serupa. Operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah di wilayah tersebut menyingkap praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.
    Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan administratif, tetapi juga mengingkari hak warga negara atas pemerintahan yang bersih dan adil.
    Ketika jabatan diperdagangkan, sistem pelayanan publik kehilangan nilai moralnya, dan hukum kehilangan kemampuan korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
    Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024, dari skor 34 menjadi 37, sering dijadikan penanda keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, di balik kenaikan itu, terdapat catatan penting yang tidak dapat diabaikan.
    Laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan skor pada indikator penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik lintas cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam pengadaan dan bisnis publik.
    Sementara itu, kajian lembaga masyarakat sipil mengungkap bahwa selama tahun 2024 hingga awal 2025, tidak ada kebijakan antikorupsi yang diimplementasikan secara sistematis.
    Kenaikan skor IPK tidak dapat dibaca sebagai tanda pulihnya integritas bangsa. Skor tersebut lebih merefleksikan persepsi global yang fluktuatif ketimbang kemajuan substantif dalam penegakan hukum.
    Indikator kuantitatif tidak mampu menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah masih berulang.
    Ketika angka persepsi dijadikan ukuran keberhasilan, pemberantasan korupsi berisiko terjebak pada simbolisme statistik tanpa reformasi yang nyata.
    Dalam kerangka hak asasi manusia, korupsi memenuhi unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimuat dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diaksesi oleh Indonesia.
    Setiap penyalahgunaan anggaran publik berarti meniadakan hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
    Korupsi dalam pelayanan publik mengakibatkan keterlantaran sosial yang bersifat sistematis, di mana hak hidup layak dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
    Oleh karena itu, korupsi pantas disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran hukum administratif.
    Negara hukum kehilangan maknanya ketika hukum berhenti menjadi instrumen keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang korup.
    Dalam situasi seperti ini, pelanggaran terhadap hukum bukan lagi tindakan menyimpang, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
    Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya “mengabdi kepada manusia,” bukan kepada struktur kekuasaan yang menindas.
    Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi mendominasi, hukum kehilangan jiwa sosialnya, dan negara hukum berubah menjadi sekadar negara peraturan tanpa keadilan.
    Kondisi tersebut menggambarkan regresi moral yang serius dalam politik hukum pemberantasan korupsi.
    Reformasi hukum yang diharapkan mampu menegakkan akuntabilitas justru stagnan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa pada tahun 2024 tidak ada langkah strategis yang menunjukkan kemauan politik kuat dalam memperkuat sistem antikorupsi.
    Ketiadaan kemauan politik ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeremy Pope sebagai “the politics of tolerance toward corruption”—politik yang secara diam-diam menoleransi korupsi demi stabilitas kekuasaan.
    Korupsi yang dibiarkan tanpa perbaikan sistemik menggerus legitimasi negara di mata rakyat. Seperti dikemukakan Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika terdapat
    monopoly of power, discretion, and absence of accountability.
    Ketiga unsur tersebut masih menjadi karakter utama birokrasi dan politik Indonesia. Ketika pengawasan internal hanya bersifat administratif dan lembaga penegak hukum terjebak dalam kompromi politik, pengendalian terhadap korupsi hanya menjadi formalitas.
    Dalam keadaan semacam ini, hukum kehilangan daya korektifnya, dan aparat penegak hukum kehilangan otoritas moral di hadapan publik.
    Fenomena ini menegaskan pandangan Eko Riyadi bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM struktural karena melibatkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga.
    Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menihilkan hak atas pemerintahan yang bersih dan partisipatif.
    Ketika korupsi merasuk ke dalam sistem politik dan birokrasi, pelanggaran HAM tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik.
    Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penegakan hukum pidana, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari agenda kemanusiaan untuk memulihkan keadilan sosial.
    Negara hukum sejatinya berdiri di atas dua fondasi: legitimasi moral dan integritas kelembagaan. Tanpa keduanya, hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan yang menindas, bukan yang membebaskan.
    Negara yang gagal menegakkan hukum terhadap korupsi sesungguhnya telah gagal menegakkan hak asasi manusia.
    Karena itu, pertarungan melawan korupsi bukan semata perang terhadap pencurian uang negara, melainkan perjuangan mempertahankan kemanusiaan dalam wajah negara yang telah lama kehilangan moralnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan enam lokasi penggeledahan yang dilakukan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada Selasa (11/11/2025). Penggeledahan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan, penggeledahan tidak hanya dilakukan di kantor bupati Ponorogo, tetapi juga di beberapa lokasi lain yang diduga terkait dengan perkara tersebut.

    “Pada Selasa (11/11/2025), penyidik melakukan penggeledahan di enam lokasi. Penggeledahan dilakukan di rumah dinas bupati, rumah tersangka SC, kantor bupati, kantor sekda, kantor BKPSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), serta rumah ELW,” ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, dikutip dari Antara pada Rabu (12/11/2025).

    Dari hasil operasi tersebut, KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang diyakini dapat memperkuat proses penyidikan. Budi menegaskan, tindakan ini merupakan upaya paksa sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menemukan dan mengamankan alat bukti.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, SC merupakan salah satu dari empat tersangka yang ditetapkan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) beberapa waktu lalu. SC diketahui bernama Sucipto, seorang pihak swasta yang menjadi rekanan di RSUD dr Harjono Ponorogo. Sementara itu, ELW disebut sebagai Ely Widodo, adik dari bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.

    Budi mengimbau agar seluruh pihak yang terlibat bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung. Ia juga meminta masyarakat Ponorogo untuk mendukung langkah KPK dalam menegakkan hukum dan memberantas praktik korupsi di daerah tersebut.

    Sebelumnya, pada 9 November 2025, KPK resmi menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan proyek pekerjaan di RSUD dr Harjono Ponorogo, serta dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo.

    Keempat tersangka itu adalah Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), Direktur RSUD dr Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM), Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP), dan Sucipto (SC) selaku pihak swasta atau rekanan RSUD.

    Dalam klaster dugaan suap pengurusan jabatan, penerima suap disebutkan adalah Sugiri Sancoko bersama Agus Pramono, dengan Yunus Mahatma sebagai pemberinya.

    Sementara itu, dalam klaster dugaan suap proyek di RSUD Ponorogo, Sugiri Sancoko bersama Yunus Mahatma diduga menerima suap dari Sucipto.

    Adapun pada klaster dugaan gratifikasi di lingkungan Pemkab Ponorogo, penerima gratifikasi adalah Sugiri Sancoko, sedangkan pemberinya kembali disebut Yunus Mahatma.

    Dengan penggeledahan di enam lokasi ini, KPK memperkuat penyidikan kasus suap dan gratifikasi di Ponorogo yang diduga melibatkan pejabat penting daerah serta pihak swasta.

  • Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo, KPK Sita Uang hingga Dokumen Elektronik

    Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo, KPK Sita Uang hingga Dokumen Elektronik

    Geledah Rumah Dinas Bupati Ponorogo, KPK Sita Uang hingga Dokumen Elektronik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah barang bukti dari penggeledahan di enam lokasi sebagai tindak lanjut operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, dalam kasus dugaan suap pengurusan jabatan, proyek RSUD Ponorogo, serta gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
    “Dalam rangkaian giat tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik. Selain itu, di rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ungkap Juru Bicara
    KPK
    , Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025).
    Budi mengungkapan, penggeledahan ini berlangsung pada Selasa (11/11/2025).
    Sementara enam lokasi penggeledahan meliputi rumah dinas bupati, rumah Sugiri Sancoko, kantor bupati, kantor sekretaris daerah, kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dan rumah seseorang berinisial ELW.
    Budi menjelaskan, barang bukti dari hasil penggeledahan ini akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan perkara.
    “Penggeledahan yang dilakukan penyidik sebagai upaya paksa dalam rangkaian kegiatan penyidikan dibutuhkan untuk mencari dan menemukan barang bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP,” jelas dia.
    KPK menetapkan
    Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
    sebagai tersangka dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
    Sugiri ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya.
    Mereka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sugiri lebih dulu terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
    Dalam OTT tersebut, KPK menangkap 13 orang, di mana empat di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor

    KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor

    KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah enam lokasi sebagai pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko atas kasus dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
    “Hari ini, Selasa, 11 November, penyidik melakukan penggeledahan di enam lokasi,” ujar Juru Bicara
    KPK
    Budi Prasetyo saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025).
    Budi merinci, penggeledahan tersebut berlangsung di rumah dinas bupati, rumah Sugiri Sancoko, kantor bupati, kantor sekretaris daerah, kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dan rumah seseorang berinisial ELW.
    “Dalam rangkaian giat tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik. Selain itu, di rumah dinas bupati, penyidik juga mengamankan barang bukti uang,” ungkap dia.
    Budi menjelaskan, barang bukti dari hasil penggeledahan ini akan menjadi petunjuk bagi penyidik dalam proses penanganan perkara.
    “Penggeledahan yang dilakukan penyidik sebagai upaya paksa dalam rangkaian kegiatan penyidikan dibutuhkan untuk mencari dan menemukan barang bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP,” jelas dia.
    KPK menetapkan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sebagai tersangka dugaan pengurusan jabatan, suap proyek RSUD Ponorogo, dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo.
    Sugiri ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya.
    Mereka adalah Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo, Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo, dan Sucipto selaku rekanan RSUD Ponorogo.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yaitu Sugiri, Agus, Yunus, dan Sucipto,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025) dini hari.
    Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Sugiri lebih dulu terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
    Dalam OTT tersebut, KPK menangkap 13 orang, di mana empat di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor

    9 Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu? Nasional

    Ketika Sekda Ponorogo Terlibat Jual Beli Jabatan Usai Berkuasa 13 Tahun, Bolehkah Menjabat Selama Itu?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dalam kasus jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti peran Sekretaris Daerah (Sekda) Agus Pramono.
    Bukan hanya sebagai penerima duit suap, tetapi
    Agus Pramono
    disebut menjabat selama 13 tahun sebagai sekda Pemkab Ponorogo, jabatan yang lebih panjang daripada presiden dua periode.
    Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (9/11/2025), Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, Agus kemungkinan besar melancarkan aksi jual-beli jabatan pada periode kepemimpinan kepala daerah sebelumnya.
    “Di samping dia menerima juga, apakah juga dia mempertahankan juga dengan memberi. Jadi, ada dia menerima dari kepala dinas dan untuk mempertahankannya, apakah dia memberi juga ke bupati. Itu juga kami dalami,” kata Asep.
    Perbuatan Agus bersama
    Bupati Ponorogo

    Sugiri Sancoko
    berdampak besar pada pembangunan daerah, khususnya terkait regenerasi dan sistem meritokrasi di pemerintahan.
    Karena kasus jual-beli jabatan, Asep mengatakan orang-orang atau pejabat yang memiliki kompetensi yang seharusnya menjabat di tempat tertentu justru digantikan oleh mereka yang memiliki koneksi dan uang.
    Pengisian jabatan jadi celah bagi para pejabat yang memiliki kewenangan untuk praktik korupsi.
    “Yang imbasnya ke depan adalah karena pertama, jabatan tersebut diisi oleh orang-orang atau diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak berkompeten, tidak memiliki kompetensi di jabatan tersebut, maka tidak bisa memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat,” kata Asep saat konferensi pers penetapan tersangka Bupati Ponorogo, Minggu (9/11/2025).
    Dari kasus ini, timbul pertanyaan bolehkah sekda menjabat selama itu?
    Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan secara singkat, normalnya Sekda menjabat selama lima tahun.
    Namun tidak menutup kemungkinan mereka bisa lebih dari lima tahun jika kinerjanya dianggap bagus.
    “Lima tahun harus dievaluasi, bila bagus bisa diperpanjang,” ucapnya kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
    Dalam Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 juga dijelaskan secara gamblang bahwa jabatan Sekda bisa diperpanjang tanpa batas, sesuai dengan kinerjanya.
    Hal ini termaktub dalam Pasal 117 ayat 1 dan 2 UU ASN 5/2014 yang berbunyi:
    Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lina Miftah Jannah mengatakan, meski secara regulasi dibenarkan, namun pejabat tak sebaiknya berlama-lama di satu tempat tertentu.
    Karena praktik korupsi seperti di Probolinggo tersebut biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
    Melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
    “Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” imbuhnya.
    Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
    Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menilai, perlu ada penempatan Sekda Pemda dari pemerintah pusat.
    Sekda dianggap tak bisa lagi menjadi representasi keinginan kepala daerah.
    “Pemerintah daerah itu sebagai pengguna saja,” imbuhnya.
    Selain itu, mengembalikan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menjadi sangat krusial untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh terkait merit sistem di lingkungan ASN daerah.
    Karena setelah KASN bubar, tak ada lagi fungsi pengawasan sistem merit yang benar-benar berjalan dan dilaksanakan oleh lembaga independen.
    “Walaupun zaman ada KASN juga ada jual-beli jabatan, tapi fungsi kontrolnya akan menjadi lebih lemah sekali,” kata Yogi kepada Kompas.com, Senin (10/11/2025).
    Sebab itu, dia mengatakan perlu ada tindakan lanjutan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga seperti KASN dibentuk kembali.
    Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
    Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
    Dia berharap agar pemerintah bisa memasukkan putusan MK ini dalam revisi UU ASN yang sedang menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) di tahun ini.
    Namun tidak hanya sekadar membentuk KASN, Yogi berharap agar lembaga tersebut juga diisi oleh anak-anak muda yang bisa memberikan warna berbeda terhadap lembaga tersebut.
    Efek praktik korupsi jual beli jabatan ini tak hanya sampai di sistem merit, tetapi pejabat yang sudah membayar untuk posisi yang ia jabat juga akan berpikir untuk mengembalikan ongkos yang telah dikeluarkan.
    Asep Guntur juga menyinggung skor pengelolaan SDM secara nasional masih rendah, yakni di angka 65,93 poin.
    Hal ini menunjukkan tindak korupsi dengan modus jual-beli jabatan masih cukup tinggi, karena penempatan pejabat di tempat di satuan perangkat daerah belum sesuai harapan.
    Secara khusus, tren penurunan juga terjadi di Kabupaten Ponorogo.
    “Kemudian khusus di Kabupaten Ponorogo skor SPI menunjukkan tren penurunan dari skor 75,87 pada tahun 2023 menjadi 73,43 pada tahun 2024 atau menurun hampir 2 poin lebih,” katanya.
    “Penurunan ini juga terjadi pada komponen pengelolaan SDM dari 78,27 menjadi 71,76. Ini menurunnya sangat jauh hampir 6, sekian persen. Oleh karena itu kegiatan tertangkap tangan yang dilakukan oleh KPK di Kabupaten Ponorogo ini secara valid mengkonfirmasi data tersebut,” kata Asep lagi.
    Dia menyimpulkan, penurunan skor pengelolaan SDM ini karena praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, sehingga orang atau pejabat yang ditempatkan tidak sesuai dengan kompetensinya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah 6 Lokasi terkait OTT Bupati Ponorogo: Rumah Dinas hingga Kantor

    7 Dan Terjadi Lagi, Korupsi Jual-Beli Jabatan yang Makin Berani… Nasional

    Dan Terjadi Lagi, Korupsi Jual-Beli Jabatan yang Makin Berani…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kasus jual beli jabatan di pemerintah daerah kembali terungkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
    Sugiri ditangkap bersama tiga orang lainnya, salah satunya adalah Sekretaris Daerah Ponorogo, Agus Pramono yang diketahui telah menjabat selama 13 tahun.
    Sugiri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Minggu (9/11/2025) setelah diciduk dalam aksi ketiga pengambilan uang suap jual beli jabatan untuk Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo.
    KPK menduga Sugiri menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur jabatan di lingkungan RSUD.
    Kasus ini bermula pada awal 2025 ketika Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti oleh Sugiri.
    Untuk mempertahankan posisinya, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko.
    Suap pertama kemudian diberikan Yunus pada Sugiri melalui ajudannya sebesar Rp 400 juta. Dilakukan bertahap, pada periode berikutnya Yunus kembali setor duit Rp 325 juta.
    Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
    Jika dijumlah, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
    Namun dalam penyerahan ketiga ini, belum sempat uang di tangan KPK sudah menciduk Sugiridan kawan-kawan.
    OTT ini dihasilkan dari operasi senyap yang mengetahui Sugiri nagih duit sisa yang dijanjikan untuk posisi Direktur RSUD ke Yunus.
    Yunus kemudian mencairkan uang Rp 500 juta untuk diserahkan kepada Sugiri. Uang itu kini disita KPK sebagai barang bukti OTT.
    Selain jual beli jabatan, KPK juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
    Disebutkan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
    Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan fee kepada Yunus sebesar 10 persen atau sekitar Rp 1,4 miliar.
    Tak berhenti di situ, KPK juga menyebut ada dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp 225 dari Yunus pada periode 2023-2025 dan uang Rp 75 juta dari pihak swasta.
    Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    OTT terhadap Sugiri ini menambah panjang daftar kasus korupsi bermodus jual-beli jabatan yang menjerat para kepala daerah.
    Merunut ke belakan, kasus ini pernah terjadi pada 2016 lalu, Bupati Klaten Sri Hartini juga diciduk atas  dugaan jual-beli jabatan.
    Praktik jual beli jabatan yang disebut dengan “uang syukuran” itu melibatkan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten, Suramlan.
    Tahun 2017, kasus jual beli jabatan kembali mencuat. Kali itu giliran Bupati Nganjuk Taufiqquramhan yang ditetapkan sebagai tersangka karena menerima suap sebesar Rp 298 juta.
    Bupati Nganjuk periode 2013-2018 tersebut ditangkap dalam operasi tangkap tangan pada 25 Oktober 2025 di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hotel ini disebut sebagai tempat serah terima uang.
    Tahun berganti kasus serupa kembali terjadi, kali ini Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang diciduk KPK di Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah, pada 3 Februari 2018.
    Ia menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyanti yang disebut memberikan suap sebesar 9.500 dolar AS yang disita sebagai barang bukti.
    Uang ini disebut sebagai upaya suap agar Nyono menetapkan Inna sebagai Kadis Kesehatan definitif setelah menjabat sebagai pelaksana tugas.
    Seperti tradisi tahunan, KPK juga menjaring kepala daerah yang terjerat kasus jual beli jabatan pada 2019. Saat itu yang terjaring adalah Bupati Kudus, Muhammad Tamzil.
    Saat itu, KPK menduga akan terjadi transaksi suap terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.
    Dua tahun berselang, tepatnya 2021, KPK kembali menangkap kepala daerah dengan modus yang sama, jual beli jabatan.
    Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial kini mendapat giliran menggunakan rompi oranye dengan modus yang sama, gratifikasi, suap jual beli jabatan.
    Pada tahun yang sama, ada Bupati Nganjuk lagi yakni Novi Rahman Hidayat yang terjerat korupsi dengan modus yang sama seperti pendahulunya, jual beli jabatan, sebelum KPK menangkap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari karena kasus serupa.
    Pada tahun 2022, KPK juga menciduk dua kepala daerah atas kasus jual beli jabatan, yakni Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo, dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen.
    Dua kasus terakhir, pada 2023 ada Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, dan 2025
    Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
    .
    Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lina Miftah Jannah menilai, penyebab klasik kasus korupsi kepala daerah yang tak ditangani serius oleh pemerintah adalah soal biaya pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Penyebab ini lumrah karena kepala daerah yang mengeluarkan ongkos pilkada begitu besar akan mencari cara agar ongkos yang mereka keluarkan kembali.
    “Sehingga kemudian biaya politik yang besar itu membuat mereka kemudian harus mengembalikan tanda petik uang yang sudah mereka keluarkan untuk memperoleh jabatan ini, itu yang pertama ya,” kata Lina.
    Namun, Lina menekankan bahwa variabel tersebut adalah penyebab secara general.
    Khusus terkait jual beli jabatan, biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
    Misalnya kasus Ponorogo, melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
    “Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” ujar Lina.
    Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
    Lina menyoroti berbagai daerah yang terjerat kasus korupsi karena kasus jual beli jabatan ini semakin berani setelah
    Komisi Aparatur Sipil Negara
    (KASN) dibubarkan pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang ASN tahun 2023.
    Karena KASN selama ini memiliki tugas untuk mengawasi setiap jabatan ASN agar sesuai dengan sistem merit.
    “Dulu pengawal meritrokrasi kan adalah KASN ya, nah jadi artinya dulu dibuat sebagai lembaga independen yang kemudian bisa mengawal agar tidak terjadi jual-beli jabatan seperti ini. Tapi kan kemudian KASN-nya sudah dibubarkan nih, udah nggak ada lagi, sehingga siapa yang jadi pengawal? Enggak ada lah sekarang,” kata dia.
    Menurut Lina, saat ini hanya masyarakat sipil, media dan akademisi yang bisa mengawasi dari luar terkait praktik jual-beli jabatan tersebut.
    Oleh sebab itu, Lina menilai dosa besar pemerintah saat ini atas perilaku jual-beli jabatan di pemda adalah mematikan lembaga KASN.
    Lina pun sangat mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga serupa KASN dibentuk kembali.
    Urgensi pembentukan lembaga independen yang mengawasi merit sistem ASN ini sangat penting dilakukan, agar proses regenerasi semakin baik dan pelayan publik meningkat.
    “Harus segera. Ada KASN aja dulu, masih ada yang coba-coba nakal gitu kan, apalagi lembaga ini nggak ada?” tandasnya.
    Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
    Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.