Tag: Subhan

  • Bukan Hanya Ijazah SMA, Ijazah SMP Gibran Juga Dipertanyakan

    Bukan Hanya Ijazah SMA, Ijazah SMP Gibran Juga Dipertanyakan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Beberapa waktu belakangan, ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka jadi pembahasan hangat publik.

    Itu setelah seorang warga sipil bernama Subhan menggugat secara perdata keabsahan ijazah SMA anak mantan Presiden itu.

    Belakangan, muncul pertanyaan pula terkait ijazah SMP anak sulung Jokowi tersebut yang mulai dinilai janggal.

    Salah satu yang mempertanyakan soal ijazah SMP Gibran adalah ahli epidemiologi, seorang dokter yang juga pegiat media sosial, dr Tifauziyah Tyassuma.

    “SMPN 1 Surakarta apakah mengeluarkan Ijazah atas nama Gibran Rakabuming Raka?” tanya Dokter Tifa, dikutip dari akun media sosialnya, Rabu (24/9/2025).

    Dokter Tifa melanjutkan, jika ijazah tersebut tidak ada, maka Indonesia saat ini dipimpin Wapres yang tamatan SD.

    “Kalau tidak, maka artinya Indonesia punya Wapres lulusan SD!” tulis Dokter Tifa.

    Cuitan tersebut ramai dilihat ribuan warganet di media sosial X dengan 1.000-an like, 385 kali dibagikan ulang, dan puluhan komentar.

    “Kalau ini nglacaknya gampang tinggal lihat di buku induk siswa, kecuali buku induknya juga palsu seperti buku alumni UGM yang Fakultas Kehutanan kmarin,” cuap akun @Sopingi49962744 di kolom komentar.

    “Itu yg pertama. Kl keluarkan, keluar tahun brp? Kl keluar thn 2002 spt data KPU, berarti gibran masuk OPSS pd 2003 Sbb tahun ajaran baru di SG dimulai pd Jan. Kl 2 thn di OPSS Berarti awal 2003-akhir 2004. UTS insearch jg awal tahun Jd masuk UTS pd Januari 2005. Berantakan,” balas lainnya.

    “Tahun 2025 disaat stok sarjana indonesia melimpah ruah, kita punya wapres lulusan SD?” tanya warganet lainnya. (sam/fajar)

  • 6
                    
                        KPU Respons soal Info Pendidikan Terakhir Gibran yang Disebut Berubah
                        Nasional

    6 KPU Respons soal Info Pendidikan Terakhir Gibran yang Disebut Berubah Nasional

    KPU Respons soal Info Pendidikan Terakhir Gibran yang Disebut Berubah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membantah telah mengubah riwayat pendidikan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dalam situs mereka.
    Anggota KPU RI bidang Teknis Idham Holik menjelaskan, informasi yang ada di laman kpu.go.id adalah rujukan untuk media massa sehingga data yang ada di situs tersebut sama seperti yang dituliskan.
    “Kan waktu kita buka infopemilu.go.id itu kan ada tampilan awal terus di sana ada profilnya, ini kan tidak ada yang berubah,” kata Idham saat dihubungi melalui telepon, Selasa (23/9/2025).
    Dia juga merujuk pada pemberitaan Kompas.id terkait dengan profil para calon presiden dan wakil presiden yang diterbitkan pada 5 Desember 2023.
    Dalam laporan tersebut dijelaskan, Gibran menempuh pendidikan terakhir S-1 Manajament Development di Institute of Singapore.
    “Kan bisa digital tracing ya, dengan apa yang ditampilkan ini tidak ada yang berubah,” tuturnya.
    Idham menegaskan, daftar riwayat pendidikan yang ditampilkan dalam website Info Pemilu KPU RI sepenuh bersumber dari formulir pencalonan pada saat pengisian data pasangan calon di aplikasi SILON (Sistem Informasi Pencalonan).
    “Untuk tujuan pendaftaran pasangan Capres-Cawapres oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik pada masa pendafataran di 19-25 Oktober 2023 lalu,” kata dia.
    Sedangkan untuk isu kolom pendidikan terakhir yang dituduh diubah dari sebelumnya “pendidikan terakhir” menjadi “S-1”, KPU masih mendalaminya.
    “Kalau ini kita sedang mendalami,” ucap Idham.
    Sebelumnya, penggugat Gibran dan KPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Subhan Palal, mengajukan keberatan atas perubahan informasi riwayat pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di laman resmi KPU RI.
    Keberatan ini disampaikan Subhan dalam sidang lanjutan gugatan perdata terhadap Gibran yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Subhan menuturkan, pada awalnya, dalam data riwayat pendidikan Gibran tertulis pendidikan terakhir Gibran adalah ‘pendidikan terakhir’, tetapi belakangan berubah menjadi S1.
    “Baik, Yang Mulia, kami mengajukan keberatan karena Tergugat 2 (KPU RI) mengubah bukti,” ujar Subhan dalam sidang di PN Jakpus, Senin (22/9/2025).
    “Jadi, saat kami melakukan gugatan itu, riwayat pendidikan akhir Tergugat 1 (Gibran) itu ‘Pendidikan Terakhir’. Saat ini diganti jadi ‘S1’,” kata Subhan lagi.
    Keberatan yang disampaikan oleh Subhan tidak langsung ditanggapi oleh pengacara KPU RI maupun oleh kubu Gibran.
    Majelis hakim mengingatkan bahwa sidang akan lebih dahulu dilanjutkan ke tahap mediasi karena pemeriksaan legal standing sudah selesai.
    “Karena sekarang sudah proses mediasi, pernyataan majelis (terkait lanjut ke mediasi) tadi cukup ya,” kata hakim ketua Budi Prayitno dalam sidang.
    Karena para pihak tidak memberikan tanggapan, majelis hakim memutuskan untuk menunda persidangan sampai proses mediasi selesai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bukan untuk Bangsa, PDIP: Seruan Jokowi agar Relawannya Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode Demi Kepentingan Anaknya Saja

    Bukan untuk Bangsa, PDIP: Seruan Jokowi agar Relawannya Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode Demi Kepentingan Anaknya Saja

    Fajar.co.id, Jakarta — Pernyataan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar relawannya mendukung pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menjabat dua periode kini menuai polemik.

    Kritikan datang dari Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira. Dia merespons tajam pernyataan ayah Gibran itu.

    Menurut Andreas, dukungan tersebut tidak lahir dari niat menjaga kepentingan bangsa, melainkan demi keberlangsungan karier politik sang anak.

    “Apa yang disampaikan Pak Jokowi itu bukan soal kepentingan bangsa dan negara, kepentingan menjaga pemerintahan ini, tapi kepentingan anaknya,” tegas Hugo dalam wawancara yang ditayangkan di YouTube Kompas TV, Senin (22/9/2025).

    Hugo menilai, pernyataan dukungan Jokowi tak lepas dari berbagai persoalan yang kini tengah membelit Gibran Rakabuming Raka.

    Salah satunya adalah ketidakhadiran Gibran dalam pelantikan menteri baru hasil reshuffle kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.

    Gibran saat ini juga mendapat gugatan terkait ijazah SMA-nya yang dinilai tidak sah secara hukum oleh seorang pengacara bernama Subhan Palal.

    Subhan menggugat keabsahan ijazah SMA Gibran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia menyebutkan bahwa dokumen tersebut tidak memenuhi syarat formal pencalonan wakil presiden.

    Gugatan tersebut diajukan secara pribadi tanpa dukungan pihak lain, dan menyasar dua tergugat. Masing-masing Gibran secara pribadi serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. (bs-sam/fajar)

  • Pendidikan Terakhir Gibran Diduga Diganti Jadi S1 oleh KPU, Pengamat: Skandal Besar

    Pendidikan Terakhir Gibran Diduga Diganti Jadi S1 oleh KPU, Pengamat: Skandal Besar

    GELORA.CO  – Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow menyebut dugaan perubahan terkait pendidikan terakhir Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka di laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan persoalan serius.

    “Menurut saya, perubahan data apapun di situs resmi KPU, apalagi menyangkut calon presiden atau wakil presiden, bukan perkara sepele,” kata Jeirry saat dihubungi, Senin (22/9/2025).

    “Ini persoalan yang sangat serius, bahkan merupakan skandal besar. Apalagi melibatkan nama wakil presiden yang sedang menjabat,” ia menambahkan.

    Diketahui, informasi data yang berubah itu disampaikan oleh seorang warga sipil bernama Subhan Palal dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin pagi.

    Subhan menuntut perdata Gibran dan KPU. Ia menilai keduanya melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran cawapres yang dahulu tidak terpenuhi.

    Menurut Jeirry, KPU tidak boleh tinggal diam atas klaim tersebut dan segera angkat bicara untuk memberi pernyataan yang jelas.

    “Karena itu, berdasarkan gugatan Subhan Palal, KPU tak boleh diam dan cuek. KPU seharusnya segera memberi penjelasan resmi, bukan diam seribu bahasa,” tutur Jeirry. 

    “Tak perlu menunggu proses pengadilan usai, sebab ini menyangkut kredibilitas kelembagaan KPU. Sebab transparansi adalah kunci kepercayaan publik,” pungkasnya..

    Anggota KPU RI Idham Holik menyebut pihaknya akan menyelidiki klaim Subhan tersebut.

    “Terkait perubahan isian atau input di bagian ‘Pendidikan Terakhir’ di tampilan profil cawapres di website info pemilu KPU, kini KPU sedang mendalaminya,” kata Idham kepada Tribunnews.com, Senin sore.

    Namun, Idham membantah pihaknya telah mengubah riwayat pendidikan Gibran seperti yang dituduhkan oleh Subhan.

    Ia menegaskan data riwayat pendidikan mantan Wali Kota Solo itu masih sama seperti saat Gibran melakukan tahapan pendaftaran capres dan cawapres pada Oktober 2023 lalu.

    “Tidak ada pergantian atau perubahan daftar riwayat pendidikan calon presiden dan calon wakil presiden Pilpres 2024 sejak tahapan pencalonan di akhir Oktober 2023 sampai hari ini,” ujarnya.

    Istilah S1 biasanya merujuk pada Strata 1, yaitu jenjang pendidikan tinggi pertama dalam sistem pendidikan Indonesia.

    Ini setara dengan gelar sarjana (Bachelor’s degree) di banyak negara lain.

    Subhan Klaim Riwayat Pendidikan Gibran Diubah KPU

    Sebelumnya, Subhan menyatakan keberatan terkait temuannya di mana KPU disebut olehnya mengubah informasi riwayat pendidikan Gibran di situs resminya.

    Keberatan ini disampaikan Subhan dalam sidang lanjutan gugatan perdata terhadap Gibran yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Baik, Yang Mulia, kami mengajukan keberatan karena Tergugat 2 (KPU RI) mengubah bukti,” ujar Subhan dalam sidang di PN Jakpus, Senin (22/9/2025).

    Namun, kata Subhan, data ini sudah diubah oleh KPU RI menjadi S1.

    “Jadi, saat kami melakukan gugatan itu, riwayat pendidikan akhir Tergugat 1 (Gibran) itu ‘Pendidikan Terakhir’. Saat ini diganti jadi ‘S1’,” kata Subhan lagi.

    Keberatan yang disampaikan oleh Subhan tidak langsung ditanggapi oleh pengacara KPU RI maupun oleh kubu Gibran.

    Majelis hakim mengingatkan bahwa sidang akan lebih dahulu dilanjutkan ke tahap mediasi karena pemeriksaan legal standing sudah selesai.

    “Karena sekarang sudah proses mediasi, pernyataan majelis (terkait lanjut ke mediasi) tadi cukup ya,” kata Hakim Ketua Budi Prayitno dalam sidang.

    Karena para pihak tidak memberikan tanggapan, majelis hakim memutuskan untuk menunda persidangan sampai proses mediasi selesai.

    Subhan menjelaskan bahwa perubahan informasi di laman KPU ini berdampak besar pada petitum gugatannya.

    “Karena (informasi di halaman KPU) berubah sangat signifikan (berdampak) pada posita saya, ya harus mengubah konstruksi saya,” kata Subhan.

    Namun, ia mengaku tidak akan mengubah isi gugatan yang telah dicantumkan dalam perkara. Ia berharap majelis hakim akan mencatat keberatan yang disampaikannya tadi.

    Lebih lanjut, pokok gugatan Subhan, yaitu riwayat pendidikan SMA Gibran, tidak berubah sama sekali.

    “Iya (riwayat) SMA tidak berubah. SMA (Gibran) tetap yang dilaksanakan di Singapura dan Australia,” lanjutnya.

    Subhan menjelaskan, ia baru menyadari informasi di laman KPU RI ini berubah sekitar hari Jumat (19/9/2025) lalu.

    “Saya ngeh (data berubah) itu hari Jumat (pekan kemarin),” kata Subhan.

  • Ada PDIP hingga Pendukung Anies

    Ada PDIP hingga Pendukung Anies

    GELORA.CO –  Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ade Armando memberikan analisanya mengenai pihak-pihak yang kemungkinan berada di balik polemik ijazah palsu.

    Ade mencurigai keterlibatan PDI Perjuangan yang memiliki dendam kepada Jokowi dan Gibran

    “Saya mau bilang satu yang bisa disebut sebagai, yang banyak disebut sebagai kemungkinan di belakang ini semua kalau betul ini semua adalah sesuatu yang saling berhubungan adalah, satu kemungkinan PDIP.”

    “Kedua, kelompok yang disebut sebagai kelompok 212, terkait sama Anies Baswedan.”

    “Ketiga adalah kelompoknya Roy Suryo yang orang menyebut bahwa jangan-jangan di sini adalah Partai Demokrat.,” kata Ade di program Bola Liar, Kompas TV, Jumat (20/9/2025).

    Selain itu, Ade juga menyebut Amerika Serikat hingga kelompok aktivis demokrasi sebagai kemungkinan pihak yang juga berada di balik isu ijazah.

    “Kemudian disebut pula ada yang mengatakan bahwa di belakang ini ada sebuah kekuatan besar misalnya negara Amerika Serikat.”

     “Kemudian ada pula yang mengatakan bahwa ini teman-teman, Anda pernah dengar istilah SJW, Social Justice Warriors ini lagi bergerak untuk menunjukkan bahwa kami peduli pada demokrasi,” kata Ade.

    Namun, dari sejumlah pihak yang disebut, Ade tidak bisa menentukan mana yang benar-benar menjadi backing isu ijazah.

    “Sekarang kembali Anda tanya, lalu menurut Anda yang mana? Ya, saya enggak bisa jawab. Tapi yang jelas begini, yang penting begini, kalau Roy Suryo ingin mengatakan bahwa ijazah Jokowi itu palsu, kasih kami argumen, ya, bukti yang bisa dipakai untuk mengatakan bahwa ijazah Pak Jokowi palsu. Wong ijazah Pak Jokowi itu enggak pernah dinaiki, tidak pernah dipertunjukkan kok,” ungkap Ade

    Jokowi digugat lagi

    Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) tak hadir secara langsung dalam sidang perdana terkait gugatan dua alumni Universitas Gajah Mada (UGM) di Pengadilan Negeri Solo, Jawa Tengah

    Sidang sedianya digelar pada Selasa (16/9/2025), namun ditunda lantaran para tergugat tidak hadir.

    Dalam gugatan yang diajukan melalui mekanisme citizen lawsuit (CLS), dua alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yakni Top Taufan dan Bangun Sutoto menuding ijazah Jokowi palsu

    Atas hal tersebut, mereka meminta Jokowi meminta maaf.

     “Tadi dibuka sidang perkara tersebut kurang lebih pukul 11.30 WIB, di ruang Sidang Suryadi,” kata Humas PN Solo, Subagyo, saat dihubungi, Selasa (16/9/2025) sore, seperti dilansir dari Kompas.com.

    Pada perkara ini, Jokowi ditetapkan sebagai Tergugat I, Rektor UGM Prof. Ova Emilia sebagai Tergugat II, Wakil Rektor UGM Prof. Wening sebagai Tergugat III, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai Tergugat IV.

     Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini terdiri dari Putu Gde Hariadi, Sutikna, dan Fatarony.

     “Kemudian Majelis Hakim terhadap perkara tersebut, memanggil lagi tergugat empat yang belum hadir, pada sidang pada hari Selasa tanggal 30 September 2025, untuk hadir di persidangan,” lanjut Subagyo.

    Berikut Isi Petitum atau Tuntutan Penggugat dalam Gugatan:

    Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.

    Menyatakan Tergugat satu, Tergugat dua, Tergugat tiga dan Tergugat empat, telah melakukan perbuatan melawan hukum.

    Menyatakan bahwa Ijazah sebagaimana tersebut pada Bukti P-1 adalah Palsu.

    Menghukum Tergugat satu untuk meminta maaf secara tertulis kepada Para Penggugat.

    Kuasa hukum penggugat minta hakim diganti

    Kuasa hukum Penggugat, M.Taufiq mengatakan, dalam sidang ini pihaknya meminta PN Solo agar menganti hakim Putu Gde Hariadi.

    Permintaan tersebut karena hakim telah memutuskan penolakan ijazah palsu Jokowi sebelumnya.

    “Kami menilai hal itu berpotensi melahirkan putusan serupa dan mencederai prinsip keadilan. Jadi hakim harus diganti,” kata Taufiq.

    Ia menjelaskan, dalam setiap proses hukum, selalu ada kalimat pro justicia, demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu juga sudah diatur dalam UU No 48/2009 tentang Pokok-Pokok Kehakiman.

    “Saya tidak melihat itu jika perkara ini tetap diadili hakim yang sama dengan perkara. Hari ini (Selasa) kami mengirimkan surat resmi kepada ketua pengadilan untuk meminta penggantian majelis hakim,” ucap dia.

    Kuasa hukum Jokowi, YB. Irpan menyebutkan, pihaknya mendapatkan kuasa dari Jokowi. Namun, setelah dilakukan pengecekan, pihak tergugat IV dalam hal ini tidak hadir.

    “Sesuai jadwal sidang hari ini, majelis hakim memastikan para pihak dalam perkara nomor 211 dihadiri langsung oleh prinsipal maupun kuasa hukum,” kata Irpan.

    KPU Tepis Rumor Penyembunyian Ijazah Sengaja untuk Lindungi Capres/Cawapres

    Ia menambahkan, timnya masih mendalami substansi gugatan CLS. Hal itu terkait pergantian hakim yang diusulkan penggugat merupakan internal PN Solo.

    “Kami sudah punya pemikiran apa yang akan dilakukan, tapi terlalu dini jika kami buka sekarang terkait gugatan CLS ini,” tandasnya.

    Jokowi tanggapi soal ijazah Gibran

    Joko Widodo (Jokowi) menanggapi gugatan yang dilayangkan kepada putranya, Gibran Rakabuming Raka.

    Gibran, yang kini menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, digugat terkait keabsahan ijazah SMA oleh seorang bernama Suban Palal 

    Gugatan perdata itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Karena gugatan ini berkait proses pencalonan Gibran menjadi wapres, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI juga turut serta digugat.

    Subhan Palal meyakini ada perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Gibran dan KPU RI pada Pilpres 2024.

    Menurut Subhan, berkas persyaratan yang diajukan Gibran sebagai calon Wakil Presiden diduga cacat. 

    Pasalnya, Gibran mendaftar menggunakan ijazah luar negeri yang masih diragukan.

    Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden pada  Pasal 169 huruf r menyatakan, ”Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (r) “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat”.

    Subhan berpandangan, hal ini jelas bertentangan dengan ijazah Gibran yang berasal dari luar negeri. 

    Tangggapan Jokowi

    Sementara itu, Jokowi tak habis pikir kenapa isu terkait riwayat pendidikan terus menyeret keluarganya, setelah ia juga sebelumnya terseret isu ijazah palsu

    . Jokowi bahkan berseloroh, bisa-bisa ijazah cucunya sekaligus anak sulung Gibran, Jan Ethes, juga akan ikut dipersoalkan. 

    “Ijazah Jokowi dimasalahkan. Ijazah Gibran dimasalahkan. Nanti sampai ijazah Jan Ethes dimasalahkan,” kata Jokowi sambil tertawa di Solo, Jawa Tengah, Jumat (12/9/2025).

    Meski demikian, Jokowi menegaskan akan menghormati proses hukum. 

    “Ya tapi apa pun ikuti proses hukum yang ada, ya. Semuanya kita layani,” ujarnya. Menurut Jokowi, isu ijazah yang terus muncul ini tidak mungkin berjalan tanpa ada pihak yang mem-backup.

     “Iya ini tidak hanya sehari, dua hari. Sudah empat tahun yang lalu. Kalau yang napasnya panjang itu kalau tidak ada yang mem-backup kan tidak mungkin. Gampang-gampangan aja,” katanya.

    Jokowi juga mengungkapkan bahwa dialah yang memilihkan sekolah luar negeri untuk Gibran.

    “Iya (Singapura) di Orchid Park Secondary School. Yang nyarikan saya kok,” ucapnya. 

    “Biar mandiri saja,” sambung dia.

    Subhan Palal buka-bukaan saat wawancara khusus Tribun Network 

    Di sisi lain, Subhan menjelaskan alasannya melaporkan Gibran saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

    “Bukti menunjukkan bahwa Gibran itu tidak punya dokumen yang menyatakan dia lulus SMA sesuai dengan ketentuan undang-undang. Saya memiliki bukti setarang orang tahu Monas di Jakarta,” kata Subhan.

    Diketahui, Gibran mengemban Sekolah Menengah Atas (SMA) di Orchid Park Singapura dan melanjutkan University Technology Sydney Australia.

    Subhan dalam gugatannya juga mengajukan kerugian material dan imaterial. Dalam gugatan materil, ia mengajukan uang sebesar Rp10 juta. 

    Sedangkan, dalam kerugian imateril, ia mengajukan Rp125 triliun.

    Dia beralasan, permintaan uang Rp125 T itu diajukan lantaran perbuatan melawan hukum yang merugikan negara. Sehingga, dia berencana membagikan uang itu kepada seluruh rakyat Indonesia dengan besaran masing-masing Rp450 ribu.

    “Sistem negara hukum itu tadi yang rusak, kan? Maka kerusakan ini saya, kerugian itu nanti saya bayarkan kepada negara untuk semua warga negara Indonesia kalau nggak salah jumlanya 285 juta. Uang Rp125 triliun itu dibagi ke seluruh warga negara Indonesia.

    “Itu, kalau dilihat dari sisi itu kecil. Kerugian yang saya minta dari orang per orang. Sekitar Rp450 ribuan,” jelasnya.

    Berikut wawancara lengkap dengan Subhan Palal bersama Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra:

    Tanya: Karena kebetulan, entah kebetulan atau bagaimana, pada saat yang sama ada sebuah isu politik yaitu pemakzulan atau permohonan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan oleh sejumlah purnawirawan TNI. Di sisi lain, juga lagi ada ribut-ribut soal keaslian ijazah Pak Jokowi yang sekarang proses hukumnya dilakukan di Polda Metro Jaya. Bapak kemudian mengajukan gugatan ini. Apakah bapak menjadi bagian dari kelompok ini?

    Jawab: Saya tidak bagian dari teman-teman yang lagi berjuang di sisi itu. 

    Saya adalah warga negara yang berdiri dengan sistem negara hukum saya.

    Tanya: Awal mulanya Pak Subhan kepingin mempersoalkan ijazah SMA-nya Gibran ini, Pak? 

    Jawab: Sebenarnya ini kewajiban seluruh warga negara. Sebenarnya esensinya kewajiban seluruh warga negara Indonesia.

    Kenapa? Yang dinodai, yang ternodai ini adalah sistem negara. Sistem hukum negara. Hukum negara, hukumnya ternodai.

    Tanya: Oh, sebenarnya udah lama ya ini ya? 

    Jawab: Sudah lama. Begitu ada pemilu, saya lihat itu. Ada pengesahan para calon, kan? Ada satu kandidat calon presiden saya persoalkan. Selain Gibran. 

    Kalau waktu itu, waktu itu belum pemilu. Yang kandidat presiden itu, saya persoalkan tentang kewarganegaraannya. 

    Tanya: Dalam konteks ini siapa, Pak? 

    Jawab: Saya nggak bisa sebut. Yang penting ada salah satu calon. Kewarganegaraannya yang saya persoalkan. 

    Dan hakim menyatakan tidak berwarna mengadili. Saya bawa ke PTUN juga begitu. 

    Di PTUN bilang, saya tidak mempunyai legal standing. Saya nggak putus asa. Ini ada lagi nih. 

    Saya tunggu sampai dia jadi wakil presiden atau jadi presiden, saya akan persoalkan. 

    Tanya: Kenapa Pak Subhan harus menunggu? Ini kan udah lama nih presiden, wakil presiden ini dilantik 20 Oktober 2024. Sudah 10 bulan. 

    Jawab: Konsep gugatan saya adalah konsep perbuatan melawan hukum. 

    Kalau perbuatan melawan hukum, maka kita menunggu sampai itu berbuat. Ada perbuatan. 

    Nah, perbuatan itu mengandung unsur, pasal 1365 KUHAP, perbuatan melawan hukum.

    Tanya: Jadi menunggu sampai perbuatan malaman hukumnya kelar gitu ya? 

    Jawab: Intinya itu. Soalnya gini, saya itu menuntut di PTUN sebelum sampai.

    Tanya: Pernah mengajukan permohonan di Pengadilan Tata Usaha Negara ya? 

    Jawab: Pernah. Yang saya buat pertama KPU. Karena lembaga yang melakukan perbuatan malaman hukum itu harus di kompetensinya wilayah PTUN. Pengadilan PTUN.

    Saya bawa ke PTUN. Dengan proses keberatan. Sama juga anunya, permohonannya bahwa PTUN , KPU menerima pendaftaran.

    Tanya: Jadi, sebelum mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah mengajukan permohonan ke PTUN. Betul ya, Pak ya? 

    Jawab: Bukan permohonan. Gugatan.

    Tanya: Pada waktu itu hasilnya apa, Pak?

    Jawab: Hasilnya gugatan saya kena dismissal. Dismissal itu kata alasannya pengadilan PTUN bahwa gugatan saya sudah tidak ada waktu untuk itu. Sudah lewat. 

    Karena pengadilan TUN bilang harus 90 hari. Nah, saya putusan ini harusnya dilawankan. 

    Saya nggak ngelawan. Saya biarkan. Karena saya buat kunci ini. Kunci untuk di pengadilan negeri. 

    Tanya: Maksudnya gimana kunci itu, Pak? 

    Jawab: Karena di PTUN sudah pernah kita coba habis waktu, kan? Berarti ketutup, tuh. Semua pengadilan tertutup. 

    Nah, ada teori pengadilan. Teori namanya teori residu pengadilan. Bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya meskipun tidak ada hukum acaranya. 

    Artinya kunci, nih. Nanti nggak tahu Pak Hakim gimana memutus itu. 

    Tapi ada undang-undangnya yang bunyinya itu. 

    Hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya. 

    Tanya: Banyak orang bertanya, apa sih yang dipunyai Pak Subhan sehingga kemudian berani mengajukan kegugatan perbuatan melawan hukum terhadap Gibran dan KPU? 

    Jawab: Saya ini pemuja negara hukum. Nah, berangkat dari situ saya melihat ada kejangkalan hukum di mana kita mau dipimpin waktu itu kan oleh seorang wakil presiden. 

    Nah, syaratnya harus penuh, dong. Untuk apa kita memilih orang yang sudah ditentukan syaratnya tapi salah satunya nggak terpenuhi. 

    Bukti menunjukkan bahwa Gibran itu nggak punya dokumen yang menyatakan dia lulus SMA sesuai dengan ketentuan undang-undang. 

    Karena itu sudah materi pengadilan. Saya hanya bisa mengumpamakan. 

    Saya memiliki bukti seterang orang tahu Monas di Jakarta.

    Jadi, ibarat kata sudah terang beneran, ya, buktinya. Iya, terang beneran. Dan cukup, menurut saya.

    Tanya: Biasanya orang juga akan mempertanyakan, hakim mempertanyakan soal legal standing. Kalau saya boleh tanya itu, legal standing-nya, Pak Subahn, untuk terkait dengan ijazahnya Gibran dan KPU, ini apa? 

    Jawab: Legal standing saya adalah warga negara yang dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang. 

    Itu satu. Kedua, saya pembayar pajak.  Wajib pajak, membayar pajak. Tapi mendapatkan pemimpin yang begini. 

    Yang begini itu kurang atau cacat bawaan. Karena salah satu syaratnya tidak terpenuhi tadi. Saya hanya ingin bukti bahwa dia pernah sekolah.

  • Din Syamsuddin Sarankan Wapres Gibran Mundur

    Din Syamsuddin Sarankan Wapres Gibran Mundur

    GELORA.CO – Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin menyarankan Gibran Rakabuming Raka mundur dari kursi Wakil Presiden agar terhindar dari konflik berkepanjangan soal gugatan ijazah SMA-nya.

    “Kalau betul-betul ada bukti ijazah SMA-nya palsu, ini menjadi skandal politik. Kalau ijazah tidak sesuai syarat maju sebagai Capres-Cawapres, lebih bagus mundur sebelum rakyat marah memundurkannya,” kata Din Syamsuddin saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Jumat, 19 September 2025.

    Ia juga menyoroti proses administrasi saat pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 di KPU. Jika terbukti ijazah Gibran tidak sesuai prosedur dan penyelenggara pemilu tidak berbenah, ia khawatir Indonesia akan rusuh.

    “Apalagi jika terbukti KPU ingin bermain-main. Katanya kalau KPU telat meralat akan di-Nepalkan (rusuh). Saya tidak begitu paham. Tapi jangan bermain-main dengan isu kejujuran,” pungkasnya.

    Gibran digugat secara perdata ke PN Jakarta Pusat oleh warga sipil bernama Subhan dengan nomor perkara: 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Dalam gugatan tersebut, KPU turut dicantumkan sebagai tergugat.

    “Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi, (karena) Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum Indonesia,” ucap Subhan menjelaskan alasan gugatannya, Rabu, 3 September 2025.

  • Mengapa Gibran Tak Lagi Didampingi Kejagung Hadapi Gugatan Rp 125 Triliun?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 September 2025

    Mengapa Gibran Tak Lagi Didampingi Kejagung Hadapi Gugatan Rp 125 Triliun? Nasional 19 September 2025

    Mengapa Gibran Tak Lagi Didampingi Kejagung Hadapi Gugatan Rp 125 Triliun?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kejaksaan Agung (Kejagung) buka suara setelah tidak lagi menugaskan Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk mendampingi Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka yang digugat perdata oleh seorang warga sipil bernama Subhan Palal.
    Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna menjelaskan, awalnya, Kejaksaan telah menerima surat kuasa khusus dari Gibran untuk melakukan pendampingan.
    Gugatan perdata ini dinilai berkaitan dengan institusi negara sehingga JPN hadir untuk mewakili.
    “Pada saat itu ada permohonan untuk diwakili oleh JPN. Nah, kemudian atas dasar kuasa khusus, JPN bisa hadir di persidangan,” kata Anang di kantor Kejagung, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
    Namun, saat pengacara Kejaksaan hadir mewakili Gibran di muka persidangan, Subhan menyatakan keberatannya.
    Saat itu, penggugat menegaskan telah menggugat Gibran selaku perseorangan, bukan dalam jabatan Wapres.
    “Majelis hakim berpendapat bahwa karena ini sifatnya gugatan pribadi, Jaksa Pengacara Negara tidak mempunyai legal standing,” ujar Anang.
    Atas dasar itu, Anang menegaskan bahwa pada sidang-sidang berikutnya, kuasa hukum Gibran tidak lagi berasal dari kejaksaan.
    “Jadi karena ini sifatnya gugatan pribadi kepada Pak Gibran, bukan sebagai wapres, maka yang menjadi penasihat hukum berikutnya bukan dari kejaksaan,” kata dia.
    Kehadiran JPN yang mewakili sempat dipersoalkan Subhan pada sidang perdana pada Senin (8/9/2025) lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Ketika itu, seorang pria berambut putih menghampiri meja majelis hakim saat pihak tergugat 1, yaitu Gibran, dipanggil.
    Pria berkemeja putih ini ternyata JPN yang ditugaskan oleh Kejaksaan untuk mewakili Gibran menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Subhan berdiri di sebelah JPN yang tengah menyerahkan dokumen dan identitas diri kepada majelis hakim.
    Usai membaca dokumen yang diberikan, Subhan sontak mempertanyakan status jaksa tak berseragam coklat ini.
    “Oh ini pakai negara? Ini gugatan pribadi, kenapa pakai jaksa negara?” tanya Subhan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).
    Beberapa kali Subhan membolak-balik dokumen berlogo burung Garuda di bagian tengah atas itu.
    “Saya dari awal menggugat Gibran pribadi kalau dikuasakan ke Kejaksaan, itu berarti negara. Keberatan saya,” kata Subhan.
    Usai mendengarkan keberatan dari Subhan, majelis hakim pun berdiskusi.
    Tidak berselang lama, hakim etua Budi Prayitno menyampaikan hasil musyawarah hakim.
    Saat itu, hakim meminta agar pihak Tergugat 1, Gibran, untuk kembali menghadirkan pengacara lagi.
    Keberadaan JPN hari itu tidak dianggap sebagai pengacara Gibran.
    Karena keberadaannya tidak dianggap, JPN hanya menerima dan beranjak keluar ruangan tanpa memberikan bantahan.
    Begitu pria ini keluar dari area sidang, seorang pria berseragam coklat tua ikut berdiri sembari membawa tas dan sejumlah dokumen.
    Dari berkas-berkas yang dibawa ditenteng dua orang ini diketahui mereka bertugas di kantor Jaksa Pengacara Negara yang berada di bawah kewenangan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
    Dua jaksa ini meninggalkan PN Jakpus tanpa memberikan keterangan kepada awak media yang mengejarnya.
    Dalam gugatan ini, Gibran dan KPU dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena ada beberapa syarat pendaftaran calon wakil presiden (Cawapres) yang dahulu tidak terpenuhi.
    Untuk itu, Subhan selaku penggugat meminta agar majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk menyatakan Gibran dan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.
    Subhan juga meminta agar majelis hakim menyatakan status Gibran saat ini sebagai Wapres tidak sah.
    Gibran dan KPU juga dituntut untuk membayar uang ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    “Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” bunyi petitum.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Ungkap Alasan Jaksa Tak Kawal Lagi Kasus Ijazah SMA Gibran

    Kejagung Ungkap Alasan Jaksa Tak Kawal Lagi Kasus Ijazah SMA Gibran

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengemukakan alasan jaksa pengacara negara (JPN)  tidak lagi mengawal kasus Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di PN Jakarta Pusat.

    Kapuspenkum Kejagung , Anang Supriatna mengatakan alasan pihaknya sudah tidak mengawal lagi perkara pencalonan Gibran sebagai Wapres lantaran hal tersebut bersifat pribadi.

    “Jadi karena ini sifatnya gugatan sifatnya pribadi kepada pak Gibran Bukan sebagai Wapres,” ujarnya di Kejagung, Kamis (18/9/2025).

    Anang menjelaskan, sejatinya memang pemohon dalam perkara ini mengalamatkan surat gugatannya ke Sekretariat Wakil Presiden atau Setwapres.

    Alhasil, jika memang gugatannya terkait Wapres maka JPN bakal langsung turun tangan menangani hal tersebut. Oleh sebab itu, saat di persidangan awal tim JPN langsung ditarik karena tidak memiliki legal standing.

    “Nah pada saat hadir di persidangan, dinyatakan oleh pemohon bahwa yang bersangkutan gugatan bukan atas nama jabatan, tapi atas nama pribadi,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah digugat perdata terkait kerugian senilai Rp125 triliun di PN Jakarta Pusat.

    Gugatan perdata itu teregister dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst pada Jumat (29/8/2025). Gugatan ini juga dibenarkan Jubir II PN Jakpus, Sunoto.

    Di lain sisi, Subhan selaku penggugat menyatakan bahwa inti gugatan ini adalah Gibran telah melakukan pelanggaran saat mencalonkan diri menjadi Wapres.

    Pasalnya, Gibran dinilai tidak pernah menamatkan sekolah tingkat SMA yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI.

    “Inti gugatannya itu PMH bahwa Gibran tidak memenuhi syarat menjadi wakil presiden karena tidak pernah tamat pendidikan SLTA sederajat di wilayah hukum Republik Indonesia,” ujar Subhan saat dikonfirmasi, Kamis (4/9/2025).

  • Buntut Polemik Ijazah, Ahmad Khozinudin: Gibran Bisa Dimakzulkan Tanpa Menyeret Prabowo

    Buntut Polemik Ijazah, Ahmad Khozinudin: Gibran Bisa Dimakzulkan Tanpa Menyeret Prabowo

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Advokat Ahmad Khozinudin, blak-blakan menyinggung peluang Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, dimakzulkan buntut polemik ijazah.

    Dikatakan Ahmad, ketentuan Pasal 7A UUD 1945 dengan jelas membuka jalan pemakzulan jika seorang Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat jabatannya.

    “Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 7A UUD 1945, dijuntokan dengan pelanggaran ketentuan Pasal 169 huruf R UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, maka Gibran Rakabuming Raka dapat dimakzulkan, dengan alasan melakukan perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat,” ujar Ahmad kepada fajar.co.id, Kamis (18/9/2025).

    Ahmad mengatakan, ijazah bermasalah merupakan aib sekaligus perbuatan tercela yang bisa menggugurkan syarat Gibran sebagai Wapres.

    Bahkan ia menekankan, pemakzulan bisa dilakukan tanpa harus menyeret Presiden Prabowo Subianto.

    “Dalam kasus ini, Gibran yang menjabat Wapres yang bermasalah ijazahnya, apabila terbukti bisa dimakzulkan secara sepihak tanpa menyertakan Presiden,” sebutnya.

    Selain itu, Ahmad menyinggung opsi pengunduran diri Gibran sebagaimana dituntut Subhan Palal di pengadilan.

    “Artinya, Gibran dapat mundur baik karena ijazahnya bermasalah atau tanpa alasan itu,” Ahmad menuturkan.

    Menurutnya, keputusan mundur tidak membutuhkan pembuktian hukum apapun.

    “Bahkan jika karena keinsyafan Gibran mundur karena segenap elemen rakyat sudah tidak lagi menghendaki dirinya, mundur dalam kondisi seperti ini jelas jauh lebih baik,” tambahnya.

  • Ijazah S2 Gibran Ternyata Setara SMK

    Ijazah S2 Gibran Ternyata Setara SMK

    GELORA.CO  – Pakar telematika Roy Suryo membongkar terkait keaslian ijazah S2 yang diklaim milik Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka. Roy turut menampilkan bukti dari publikasi resmi yang pernah ditampilkan saat mendaftar sebagai calon wakil presiden (cawapres).

    Roy menuturkan, mendukung penuh langkah Subhan Palal yang menggugat ijazah Gibran saat mendaftarkan diri sebagai cawapres pada Pemilu 2024.

    “Saya sebenernya mendukung apa yang dilakukan Pak Subhan Palal, untuk melihat kecarut marutan dari ijazah sang putra Jokowi yang sekarang masih menjabat. Jadi, kalau dulu kita ditantang Jokowi sudah tidak menjabat lagi, sekarang kita bongkar ijazahnya dan itu tidak kalah parahnya,” ucap Roy dalam acara Rakyat Bersuara bertajuk ‘Digugat Lagi, Jokowi: Ada yang Back Up’ disiarkan di iNews, Selasa (16/9/2025).

    Roy menerangkan, berdasarkan publikasi resmi yang pernah ditampilkan saat mendaftar sebagai cawapres, masyarakat dipengaruhi seolah-olah Gibran sudah lulus S1 dan S2.

    “Jadi ini publikasi resmi dimuat diberbagai koran, dia seolah-olah, si calon wapres ini S1-nya Management Development Institute of Singapore (MDIS), Singapura. S2-nya, S2 loh hebat di University of Technology Sydney, Australia,” kata dia.

    Namun, Roy menyebut, pemerintah Republik Indonesia hanya mengakui ijazah S2 di University of Technology Sydney, Australia hanya setara jenjang pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK).

    “Tapi ternyata, pemerintah Republik Indonesia hanya mengakui (Gibran) telah menyelesaikan pendidikan ‘Grade 12’, itu berarti SMA di UTS Insearch, jadi UTS Insearch hanya disetarakan setara sekolah menengah kejuruan,” ucapnya.

    Roy menuturkan, surat penyetaraan dari UTS Insearch ditandatangani Dr Suranto dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen)

    “Jadi artinya, apa yang dikatakan dia S2 itu bohong. Kedua, surat ini harus dipertanyakan, karena apa? Kalau UTS berarti itu kan matrikulasi, setara dengan kalau kita kursus. Kenapa yang disetarakan ini? bukannya SMA? Dia kan SMA-nya nulis adalah Orchard Park Secondary School itu hanya dua tahun, mana ijazahnya? ga ada ijazah SMA-nya. Jadi, ini salah besar,” tuturnya