Tag: Subhan

  • KPK Ungkap Immanuel Ebenezer Sebut Sosok Sultan pada Kasus Pemerasan Kemenaker

    KPK Ungkap Immanuel Ebenezer Sebut Sosok Sultan pada Kasus Pemerasan Kemenaker

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan peran salah satu tersangka pemerasan yang disebut sebagai sultan oleh tersangka Wakil Menteri Kenagakerjaan Immanuel Ebenezer.

    Ketua KPK, Setyo Budiyanto mengatakan bahwa dari 14 orang tersangka yang telah ditangkap tangan oleh KPK beberapa hari lalu, ada satu tersangka yang seringkali dipanggil sultan karena kekayaannya yang fantastis yaitu tersangka IBM atau Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator bidang Kelembagaan dan Personil K3 2022-2025.

    “IEG (Immanuel Ebenezer) menyebut IBM sebagai sultan,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (23/8).

    Menurut Setyo, berdasarkan pengakuan tersangka Noel, tersangka Irvian Bobby Mahendro dipanggil sultan karena sangat kaya raya memiliki banyak uang dan aset terutama di Ditjen Binwasnaker dan K3.

    Bahkan, kata Setyo, tersangka Noel juga pernah diberi uang secara cuma-cuma oleh tersangka Irvian Bobby Mahendro karena Noel ingin merenovasi rumah di Cimanggis, Depok Jawa Barat.

    “Maksudnya orang yang banyak uang di Ditjen Binwas K3. IEG minta untuk renovasi rumah Cimanggis, IBM kasih Rp3 miliar,” kata Setyo.

    Seperti diketahui, Selain Noel, ada 13 tersangka lainnya yang turut menikmati hasil pemerasan tersebut. Para tersangka itu berinisial IBM atau Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator bidang Kelembagaan dan Personil K3 2022-2025, GAH atau Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-2025.

    Kemudian tersangka ketiga berinisial SB atau Subhan selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Direktorat Bina K3 tahun 2020-2025, AK atau Anitasari Kusumawati selaku Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020-2025.

    Lalu tersangka kelima FRZ atau Fahrurrozi selaku Direktur Jenderal Binwasnaker dan K3 Maret 2025. Selanjutnya keenam yaitu HS atau Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021-Februari 2025.

    Tersangka lainnya adalah SKP atau Sekarsari Kartika Putri Sub Koordinator, tersangka kedelapan yaitu SUP atau Supriadi selaku koordinator, kesembilan berinisial TEM atau Temurila selaku pihak KEM Indonesia, lalu kesepuluh MM atau Miki Mahfud dari pihak KEM Indonesia dan terakhir Immanuel Ebenezer selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan.

    “Lalu tiga tersangka terakhir tidak terkait dan tidak dilakukan pemeriksaan, jadi total yang diamankan ada 14 orang,” ujarnya.

  • Ini Alasan KPK Jerat Wamenaker Immanuel Ebenezer dkk Pakai Pasal Pemerasan Bukan Suap

    Ini Alasan KPK Jerat Wamenaker Immanuel Ebenezer dkk Pakai Pasal Pemerasan Bukan Suap

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menjerat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer bersama 10 orang lainnya dengan pasal suap. Mereka justru dikenakan pasal pemerasan karena dianggap mempersulit proses sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

    Adapun lazimnya, KPK menjerat para pelaku korupsi yang terjaring OTT dengan pasal suap. Sementara Immanuel dan 10 tersangka lainnya dijerat dengan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Ada tindak pemerasan ini dengan modus memperlambat, mempersulit atau bahkan tidak memproses,” kata pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam tayangan YouTube KPK RI yang dikutip pada Sabtu, 23 Agustus.

    Asep menjelaskan, pihak yang ingin mengurus sertifikat K3 sebenarnya sudah melengkapi syaratnya. Hanya saja, kepentingan mereka bisa terganggu kalau tak mau menyetorkan uang Rp6 juta.

    “Padahal ini kan dibutuhkan cepat, kemudian mempersulit, tambah ini, tambah itu, waktunya dan lain-lain. Bahkan kalau tidak memberikan sejumlah uang tidak diproses. Tidak keluar-keluar ini. Seperti itu,” tegasnya.

    “Bedanya kalau suap, kalau suap si kelengkapan itu buruhnya tidak lengkap. Misalkan, ada peseyaratan yang tidak lengkap kemudian yang si pemohonnya ini nego,” sambung Asep yang juga menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK.

    Selain itu, pemohon juga bisa tertekan ketika mengurus karena dipersulit. Sehingga mereka mau tidak mau melakukan pembayaran.

    “Dan dia juga kan perlu cepat barangnya tapi dia tidak ada kepastian kapan ini bisa segera selesai,” tegasnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan 11 tersangka terkait dugaan pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penetapan ini diawali operasi tangkap tangan (OTT) yang menjaring 14 orang, termasuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer.

    Berikut adalah daftar tersangka yang ditetapkan KPK:

    1. Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025;

    2. Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022 hingga sekarang;

    3. Subhan selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 tahun 2020-2025;

    4. Anitasari Kusumawati selaku Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020 hingga sekarang;

    5. Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI tahun 2024-2029;

    6. Fahrurozi selaku Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025 sampai sekarang;

    7. Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021-Februari 2025;

    8. Sekarsari Kartika Putri selaku sub-koordinator;

    9. Supriadi selaku koordinator;

    10. Temurila selaku pihak PT KEM Indonesia; dan

    11. Miki Mahfud selaku pihak PT KEM Indonesia.

    Penetapan tersangka ini diawali dengan pemeriksaan intensif dan telah menemukan dua alat bukti. Diduga pemerasan ini sudah terjadi sejak lama.

    Dugaan ini muncul karena banyaknya barang bukti yang ditemukan, yakni 15 mobil dan 7 motor serta uang tunai Rp170 juta dan 2.201 dolar Amerika Serikat.

  • Daftar 11 Tersangka Kasus Pemerasan Sertifikat K3 yang Menyeret Wamenaker Noel

    Daftar 11 Tersangka Kasus Pemerasan Sertifikat K3 yang Menyeret Wamenaker Noel

    Bisnis.com, JAKARTA – Para tersangka dugaan kasus pemerasan pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan telah ditahan dalam penjara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat (23/8/2025).

    Mereka terdiri dari pihak swasta dan pegawai negeri sipil yang melakukan penggelembungan dana dari yang seharusnya mengurus sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebesar Rp275.000 menjadi Rp6 juta.

    “Para tersangka dengan cara memperlambat, mempersulit, dan tidak memproses permohonan sertifikat,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2025).

    Kasus yang menyeret mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer berlangsung sejak 2019 hingga 2024. Dari praktik tersebut, total dana yang berhasil dikumpulkan para pelaku mencapai Rp81 miliar.

    “Atas penerimaan uang dari selisih antara yang dibayarkan oleh para pihak yang mengurus penerbitan sertifikat K3 kepada perusahaan jasa K3 atau PJK3 dengan biaya seharusnya sesuai dengan tarif PNBP,” jelasnya.

    Penetapan tersangka dilakukan setelah KPK menerima laporan dari masyarakat serta analisis transaksi mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Dalam kasus ini, KPK menetapkan 11 orang tersangka. Sebanyak 9 orang diduga sebagai penerima, dan 2 orang sebagai pemberi.

    Penerima:

    Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG), Wakil Menteri Ketenagakerjaan 2024–2025
    Fahrurozi (FEZ), Dirjen Binwasnaker dan K3 tahun 2025
    Hery Susanto, Direktur Bina Kelembagaan 2021–2025
    Irvian Bobby Mahendro (IBM), Koordinator Bidang Kelembagaan & Personil K3 2022–2025
    Gerry Aditya Herwanto Putera (GAH), Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja 2022–2025
    Subhan (SB), Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 2020–2025
    Anitasari Kusumawati (AK), Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja 2020–2025
    Supriadi (SUP), Koordinator di Ditjen Binwasnaker dan K3
    Sekarsari Kartika Putri (SKP), Sub Koordinator di Ditjen Binwasnaker dan K3

    Pemberi:

    Temurila (TEM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia
    Miki Mahfud (MM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia

    Para tersangka dijerat Pasal 12 huruf e dan atau Pasal 12B Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP..

  • Daftar 11 Tersangka Kasus Pemerasan Sertifikat K3 yang Menyeret Wamenaker Noel

    Daftar Nama 11 Tersangka Kasus Kemenaker yang Menyeret Wamen Noel

    Bisnis.com, JAKARTA – Para tersangka dugaan kasus pemerasan pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan telah ditahan dalam penjara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat (23/8/2025).

    Mereka terdiri dari pihak swasta dan pegawai negeri sipil yang melakukan penggelembungan dana dari yang seharusnya mengurus sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sebesar Rp275.000 menjadi Rp6 juta.

    “Para tersangka dengan cara memperlambat, mempersulit, dan tidak memproses permohonan sertifikat,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (23/8/2025).

    Kasus yang menyeret mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer berlangsung sejak 2019 hingga 2024. Dari praktik tersebut, total dana yang berhasil dikumpulkan para pelaku mencapai Rp81 miliar.

    “Atas penerimaan uang dari selisih antara yang dibayarkan oleh para pihak yang mengurus penerbitan sertifikat K3 kepada perusahaan jasa K3 atau PJK3 dengan biaya seharusnya sesuai dengan tarif PNBP,” jelasnya.

    Penetapan tersangka dilakukan setelah KPK menerima laporan dari masyarakat serta analisis transaksi mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

    Dalam kasus ini, KPK menetapkan 11 orang tersangka. Sebanyak 9 orang diduga sebagai penerima, dan 2 orang sebagai pemberi.

    Penerima:

    Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG), Wakil Menteri Ketenagakerjaan 2024–2025
    Fahrurozi (FEZ), Dirjen Binwasnaker dan K3 tahun 2025
    Hery Susanto, Direktur Bina Kelembagaan 2021–2025
    Irvian Bobby Mahendro (IBM), Koordinator Bidang Kelembagaan & Personil K3 2022–2025
    Gerry Aditya Herwanto Putera (GAH), Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja 2022–2025
    Subhan (SB), Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 2020–2025
    Anitasari Kusumawati (AK), Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja 2020–2025
    Supriadi (SUP), Koordinator di Ditjen Binwasnaker dan K3
    Sekarsari Kartika Putri (SKP), Sub Koordinator di Ditjen Binwasnaker dan K3

    Pemberi:

    Temurila (TEM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia
    Miki Mahfud (MM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia

    Para tersangka dijerat Pasal 12 huruf e dan atau Pasal 12B Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP..

  • KPK Dalami Kemungkinan Dana Pemerasan Sertifikasi K3 Mengalir ke Menteri – Page 3

    KPK Dalami Kemungkinan Dana Pemerasan Sertifikasi K3 Mengalir ke Menteri – Page 3

    Berdasarkan informasi yang dihimpun, berikut identitas 11 tersangka pada waktu terjadinya perkara tersebut:

    1. Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 Kemenaker tahun 2022-2025 Irvian Bobby Mahendro (IBM)

    2. Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja Kemenaker tahun 2022-sekarang Gerry Aditya Herwanto Putra (GAH)

    3. Subkoordinator Keselamatan Kerja Direktorat Bina K3 Kemenaker tahun 2020-2025 Subhan (SB)

    4. Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja Kemenaker tahun 2020-2025 Anitasari Kusumawati (AK)

    5. Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan (Binwasnaker) dan K3 Kemenaker pada Maret-Agustus 2025 Fahrurozi (FRZ)

    6. Direktur Bina Kelembagaan Kemenaker tahun 2021-Februari 2025 Hery Sutanto (HS)

    7. Sub-Koordinator di Kemenaker Sekarsari Kartika Putri (SKP)

    8. Koordinator di Kemenaker Supriadi (SUP)

    9. Pihak PT KEM Indonesia Temurila (TEM)

    10. Pihak PT KEM Indonesia Miki Mahfud (MM)

    11. Wamenaker Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG).

  • Nasib Wamenaker Noel: Kena OTT KPK, Minta Amnesti Berujung Dipecat Prabowo

    Nasib Wamenaker Noel: Kena OTT KPK, Minta Amnesti Berujung Dipecat Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Karier Immanuel Ebenezer alias Noel di dunia birokrasi tampaknya sudah tamat usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka. Meski demikian, dia tetap meminta Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.

    Adapun, Noel, sapaan Immanuel Ebenezer resmi menjadi tersangka kasus pemerasan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh KPK. Lembaga antirasuah itu menyebut bahwa Noel telah melakukan mark up tarif sertifikasi K3 dari yang seharusnya Rp275.000 menjadi Rp6 juta.

    Selain itu, Presiden Prabowo juga telah menindaklanjuti kasus yang menimpa Noel, dengan memberhentikan yang bersangkutan dari jabatannya sebagai Wamenaker.

    “Semoga saya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo,” ujar Noel di Gedung KPK Jakarta, Jumat (22/8/2025).

    Adapun, amnesti adalah pengampunan dari negara yang menghapuskan akibat hukum pidana terhadap individu atau kelompok.

    Terkait dengan penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Noel pun meminta maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, keluarganya, dan masyarakat Indonesia atas tindakan pemerasan yang dilakukan dirinya hingga menjadi tersangka KPK.

    “Saya ingin sekali, pertama saya meminta maaf kepada Presiden Pak Prabowo. Lalu kedua saya minta maaf kepada anak dan istri saya,” katanya.

    Dalam kasus ini, Noel ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya yaitu Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 Irvian Bobby Mahendro, Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja Gerry Aditya Herwanto Putra, Sub Koordinator Keselamatan Kerja Ditjen Bina K3 Subhan, dan Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja Anita Kusumawati.

    Selain  itu, juga ada Ditjen Binwasnaker dan K3 Fahrurozi, Direktur Bina Kelembagaan Hery Sutanto, Subkoordinator Sekarsari Kartika Putri, Koordinator Supriadi, dan dua pihak PT KEM Indonesia Temurila serta Miki Mahfud.

    Untuk diketahui, kasus ini diduga dilakukan dengan modus ancaman kepada pihak yang tengah mengurus pembuatan sertifikasi K3. Mereka diminta untuk membayar Rp6 juta, dari yang seharusnya hanya Rp275.000. Total pemerasannya adalah Rp81 miliar, dan Noel diduga menerima Rp3 miliar.

    Para tersangka diduga telah melanggar  Pasal 12 huruf e dan atau Pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Prabowo Pecat Noel 

    Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto resmi memberhentikan atau memecat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer dari jabatannya.

    Keputusan ini diambil segera setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Immanuel sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait proses sertifikasi ketenagakerjaan, Kamis (21/8/2025).

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa Presiden telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian Immanuel Ebenezer pada sore hari ini.

    “Dalam hal ini ingin menyampaikan berkenaan dengan perkembangan terhadap kasus yang menimpa saudara Immanuel Ebenezer yang pada sore hari ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Baru saja, untuk menindaklanjuti berita tersebut, Bapak Presiden telah menandatangani Keppres tentang pemberhentian saudara Immanuel Ebenezer dari jabatannya sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan,” ujar Prasetyo dalam keterangannya, Jumat (22/8/2025)

    Prasetyo menegaskan, pemerintah menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan menyerahkan sepenuhnya perkara tersebut kepada KPK. 

    “Selanjutnya kami melanjutkan seluruh proses hukum untuk dijalankan sebagaimana mestinya dan kami berharap ini menjadi pembelajaran bagi kita semuanya, terutama bagi seluruh anggota Kabinet Merah Putih dan pejabat pemerintahan,” tambahnya.

    Dia juga menekankan kembali pesan Presiden Prabowo agar seluruh pejabat negara menjauhi praktik-praktik korupsi. Presiden disebut ingin memberi contoh bahwa pemerintah serius dalam menegakkan integritas.

    “Bapak Presiden benar-benar ingin kita semua bekerja keras, berupaya keras dalam memberantas tindak-tindak pidana korupsi,” pungkas Prasetyo.

  • Menguji Keadilan Tunjangan DPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Agustus 2025

    Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025

    Menguji Keadilan Tunjangan DPR
    Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta

    Bangsa Mati di Tangan Politikus
    ” -M. Subhan S.D.
    HIDUP
    dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
    Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
    Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
    Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
    Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
     
    Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
    Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
    Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
    Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
    Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
    Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
    Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
    Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
    Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
    Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
    Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
    fiat justitia ruat caelum
    , yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
    Asas Keadilan (
    Principle of Justice
    ) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
    Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
    Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
    Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
    Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
    Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
    Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
    Principle of Utility
    ). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
    Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
    Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
    Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
    Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
    Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
    Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
    Principle of Appropriateness and Reasonableness
    ).
    Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
    Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
    Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
    Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
    Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
    Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
    Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
    Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
    Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
    Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
    Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
     
    Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
    Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
    Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
    Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
    Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
    Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
    Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
    DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
    Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
    Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
    Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Wamenaker Noel Jadi Tersangka Pemerasan, Terancam Penjara hingga Seumur Hidup

    Eks Wamenaker Noel Jadi Tersangka Pemerasan, Terancam Penjara hingga Seumur Hidup

    GELORA.CO  – Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer ditetapkan sebagai tersangka pemerasan dalam kasus korupsi pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Ia pun terancam hukuman pidana paling singkat empat tahun atau paling maksimal seumur hidup.

    Sebagaimana diketahui, KPK menjerat pria yang akrab disapa Noel dengan Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara itu.

    Merujuk pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, ancaman hukuman penjara terkait pasal yang disangkakan terdapat di pasal 12. Pasal 1 UU Tipikor menjelaskan seluruh pelanggaran yang ada di pasal 12 huruf a-i diancam pidana paling singkat empat tahun dan paling lama penjara seumur hidup.

    Dari konstruksi pasal itu juga, ia bisa dikenakan denda paling sedikit Rp200 juta atau paling banyak Rp1 miliar.

    “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000,” demikian bunyi Pasal 12 UU Tipikor.

    Sebagai informasi, KPK menetapkan Noel sebagai tersangka dalam perkara rasuah pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kemenaker. Ia ditetapkan bersama 10 orang lainnya.

    Perkara itu bermula dari tenaga kerja atau buruh pada bidang dan spesifikasi tertentu yang diwajibkan memiliki sertifikasi K3 dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman sehingga meningkatkan produktivitas pekerja.

    Belakangan KPK menemukan bahwa tarif resmi sertifikasi K3 sebesar Rp275.000 justru tidak sesuai. Fakta di lapangan justru menunjukkan pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp6 juta untuk penerbitan sertifikasi itu.

    11 tersangka dalam perkara ini:

    1. IBM (Irvian Bobby Mahendro) selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022 s.d. 2025;

    2. GAH (Gerry Aditya Herwanto Putra) selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi KompetensiKeselamatan Kerja tahun 2022 s.d. sekarang;

    3. SB (Subhan) selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 tahun 2020 s.d. 2025;

    4. AK (Anitasari Kusumawati) selaku Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020 s.d. Sekarang

    5. IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan) selaku Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI tahun 2024 s.d 2029

    6. FRZ (Fahrurozi) selaku Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025 s.d. Sekarang

    7. HS (Hery Sutanto) selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021 s.d Februari 2025

    8. SKP (Sekarsari Kartika Putri) selaku Subkoordinator

    9. SUP (Supriadi) selaku Koordinator

    10. TEM (Temurila) selaku pihak PT KEM Indonesia

    11. MM (Miki Mahfud) selaku pihak PT KEM Indonesia

  • Tangisan Noel Ebenezer Tak Hilangkan Pidana

    Tangisan Noel Ebenezer Tak Hilangkan Pidana

    GELORA.CO -Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel terlihat menangis saat digiring ke hadapan publik di di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat sore, 22 Agustus 2025.

    Peneliti media dan politik Buni Yani ikut bersuara soal momen Noel yang menangis di depan awak media.

    Buni Yani menegaskan bahwa tangisan Noel yang merupakan pendukung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 sama sekali tidak bermanfaat.

    “Menangis sambil diborgol tidak menghilangkan unsur pidana. Dasar Tekewer oon,” tulis Buni Yani dikutip dari akun Facebook pribadinya, Sabtu 23 Agustus 2025.

    Dengan tangan terborgol dan pengawalan ketat, Noel bersama 10 tersangka lainnya dihadirkan dalam konferensi pers terkait skandal pemerasan dalam proses sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kemenaker.

    Pengumuman tersangka hasil operasi tangkap tangan (OTT) ini disampaikan Ketua KPK, Setyo Budiyanto didampingi Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dan Jurubicara KPK, Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK.

    “KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka,” kata Setyo.

    Kesebelas tersangka dimaksud, yakni Immanuel Ebenezer Gerungan selaku Wamenaker tahun 2024-2029, Irvian Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025, Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-sekarang.

    Selanjutnya, Subhan selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 tahun 2020-2025, Anitasari Kusumawati selaku Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020-sekarang, Fahrurozi selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Binwasnaker dan K3 periode Maret 2025-sekarang.

    Kemudian, Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021-Februari 2025, Sekarsari Kartika Putri selaku Sub Koordinator, Supriadi selaku Koordinator, Temurila selaku pihak PT KEM Indonesia, dan Miki Mahfud selaku pihak PT KEM Indonesia.

    “KPK selanjutnya melakukan penahanan terhadap para tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung 22 Agustus sampai dengan 10 September 2025 di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih,” pungkas Setyo.

    Atas perbuatannya, para tersangka dipersangkakan Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 12B UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

  • Ini Komplotan Immanuel Ebenezer di Lingkaran Kemnaker pada Kasus Pemerasan

    Ini Komplotan Immanuel Ebenezer di Lingkaran Kemnaker pada Kasus Pemerasan

    FAJAR.CO.ID — Praktik korupsi di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) belum juga terputus. Parahnya, pejabat tinggi Kemnaker justru terlibat.

    Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer berkomplot dengan sejumlah pejabat dan pegawai di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan dalam praktik dugaan pemerasan.

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wamenaker Immanuel Ebenezer alias Noel sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan dalam pengurusan sertifikat K3 di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

    Selain Noel, terdapat delapan pejabat di lingkungan Kemenaker dan dua pihak swasta yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka menjadi komplotan Noel Ebenezer dalam praktik pemerasan.

    Komplotan kasus dugaan pemerasan yang juga melibatkan Noel Ebenezer antara lain, Irvan Bobby Mahendro selaku Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 tahun 2022–2025.

    Pejabat lain yang juga berkomplot dengan Noel Ebenezer dalam kasus pemerasan adalah Gerry Aditya Herwanto Putra selaku Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022–2025; serta Anitasari Kusumawati selaku Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja 2020–2025.

    Selanjutnya, Subhan selaku Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit Bina K3 tahun 2020–2025; Fahrurozi selaku Dirjen Biswanaker dan K3 pada Maret 2025–sekarang.

    Lalu, Hery Sutanto selaku Direktur Bina Kelembagaan 2021–2025; Sekarsari Kartika Putri dan Supriadi selaku Koordinator; serta dua pihak swasta Temurila dan Miki Mahfud dari PT KEM Indonesia.