Tag: Soeharto

  • Menlu Sugiono Melayat ke Rumah Duka Hasjim Djalal: Kemlu Merasa Kehilangan  – Halaman all

    Menlu Sugiono Melayat ke Rumah Duka Hasjim Djalal: Kemlu Merasa Kehilangan  – Halaman all

    Sugiono mengatakan, kepergian Hasjim Djalal merupakan kehilangan besar bagi Indonesia, terutama di ranah diplomasi dan hukum internasional

    Tayang: Minggu, 12 Januari 2025 21:52 WIB

    Tribunnews.com/Fersianus Waku 

    Menteri Luar Negeri, Sugiono melayat ke rumah duka almarhum Hasjim Djalal, seorang diplomat senior Indonesia sekaligus ahli hukum laut internasional di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (12/1/2025) malam 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Luar Negeri, Sugiono melayat ke rumah duka almarhum Hasjim Djalal, seorang diplomat senior Indonesia sekaligus ahli hukum laut internasional di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (12/1/2025) malam.

    Pantauan Tribunnews.com, Sugiono hadir bersama sejumlah pegawai Kementerian Luar Negeri.

    Sugiono mengatakan, kepergian Hasjim Djalal merupakan kehilangan besar bagi Indonesia, terutama di ranah diplomasi dan hukum internasional.

    “Kami dari keluarga besar Kementerian Luar Negeri merasa kehilangan,” kata Sugiono saat ditemui di lokasi.

    Menurutnya, Hasjim Djalal merupakan salah satu sosok yang tergabung dalam tim negosiasi hukum laut pada tahun 1982.

    “Kami mengucapkan turut berdukacita yang sedalam-dalamnya dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan kekuatan menghadapi musibah ini dan almarhum diterima di sisi Allah SWT,” ujar Sugiono.

    Hasjim Djalal meninggal di Rumah Sakit (RS) Pondok Indak, Jakarta Selatan pada Minggu pukul 16.40 WIB.

    Hasjim diketahui pernah menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk PBB (1981-1983), duta besar di Kanada (1983-1985), duta besar di Jerman (1990-1993).

    Dia juga pernah menjadi duta besar keliling pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan BJ Habibie. 

     

     

     

     

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Bamsoet apresiasi sambutan Megawati soal pencabutan TAP MPRS

    Bamsoet apresiasi sambutan Megawati soal pencabutan TAP MPRS

    Arsip – Ketua MPR RI periode 2019-2024 Bambang Soesatyo bersama Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menghadiri acara Silaturahmi Kebangsaan di Kompleks Parlemen, Senanyan, Jakarta, Senin (9/9/2024). ANTARA/Melalusa Susthira K

    Bamsoet apresiasi sambutan Megawati soal pencabutan TAP MPRS
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 11 Januari 2025 – 19:37 WIB

    Elshinta.com – Ketua MPR RI periode 2019-2024 Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyambut baik apresiasi yang diberikan Presiden ke-5 RU Megawati Soekarnoputri kepada Pimpinan MPR RI periode 2019-2024 dan Presiden Prabowo Subianto atas pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 sebagai langkah penting dalam memulihkan nama baik Presiden ke-1 RI Soekarno saat perayaan ulang tahun partai di kawasan Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (10/1).

    Sebelumnya, berdasarkan kesepakatan Rapat Pimpinan MPR periode 2019-2024 tanggal 23 Agustus 2024 dan Keputusan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI 25 September 2024, Pimpinan MPR telah menegaskan bahwa sesuai Pasal 6 TAP Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Seluruh TAP MPRS dan TAP MPR mulai tahun 1960 sampai 2002, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi.

    “Tuduhan pengkhianatan terhadap Soekarno telah digugurkan demi hukum,” kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

     

    Menurut Bamsoet, pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 merupakan langkah penting yang bukan hanya memulihkan nama baik Presiden Soekarno, tetapi juga tentang membangun kembali narasi sejarah Indonesia yang lebih adil dan akurat.

    “Melalui pemulihan nama baik Soekarno, harapan untuk sebuah bangsa yang lebih utuh dan bersatu bukan hanya sekedar idealisme, tetapi sebuah kenyataan yang dapat diraih dengan pemahaman dan penghargaan terhadap sejarah bangsa,” ujarnya.

    Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan keputusan MPR untuk mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 juga sejalan dengan keinginan untuk melakukan rekonsiliasi sejarah.

    Hal itu mengingat Soekarno adalah ‘Bapak Proklamasi’ yang memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, pengakuan terhadap keberadaan dan kontribusinya sangat penting.

    Hal ini juga tidak hanya membawa kembali sebuah narasi yang lebih adil bagi Soekarno, tetapi juga membantu generasi muda Indonesia untuk lebih memahami sejarah bangsanya dengan cara yang lebih objektif.

    Lebih lanjut, Bamsoet menyampaikan pentingnya pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 terkait pula dengan penguatan identitas nasional.

    Menurut dia, ketika masyarakat dapat melihat kembali sosok Bung Karno tanpa bias tuduhan yang telah lama mengakar, penegasan akan kesadaran sejarah bangsa menjadi semakin lebih kuat.

    “Ini diharapkan akan mendorong generasi muda untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan Soekarno,” ujar Bamsoet.

    ia mengatakan pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 menjadi titik tolak bagi generasi saat ini dan mendatang untuk mengkaji ulang sejarah Indonesia dengan lebih kritis.

    Dengan pemulihan nama baik Soekarno, kata Bamsoet, masyarakat diajak untuk merefleksikan kembali perjuangan dan pemikirannya yang telah memberikan fondasi penting bagi bangsa Indonesia.

    “Terutama semangat nasionalisme dan keberagaman yang selaras dengan prinsip Pancasila,” ujarnya.

    Bamsoet menegaskan penting untuk memiliki pemahaman yang utuh mengenai bagaimana sejarah dituliskan dan siapa saja yang terlibat dalam proses tersebut.

    Para pemimpin bangsa saat ini memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebaikan dan keburukan dalam sejarah dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia.

    “Masyarakat pun diharapkan untuk turut berperan dalam mendiskusikan dan menginterpretasikan sejarah sebagai bagian dari identitas nasional yang dinamis serta memahami sejarah bangsanya dengan cara yang lebih objektif,” ucapnya.

    Selain mencabut TAP MPRS terkait pemulihan nama baik Soekarno, ujar Bamsoet, MPR RI periode 2019-2024 juga resmi memulihkan nama baik Presiden RI ke-2 Soeharto dan Presiden ke-3 Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan mencabut nama Soeharto, dan Gus Dur dari TAP MPR melalui keputusan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI 25 September 2024.

    Adapun terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.

    Hal yang sama juga berlaku untuk TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kedudukannya resmi tidak berlaku lagi.

    MPR juga mengusulkan agar Soeharto dan Gus Dur diberikan gelar pahlawan nasional. Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan.

    “MPR adalah rumah kebangsaan kita bersama. MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa,” pungkas Bamsoet.

    Sumber : Antara

  • Hari Gerakan Satu Juta Pohon, Begini Cara Merayakannya

    Hari Gerakan Satu Juta Pohon, Begini Cara Merayakannya

    Liputan6.com, Yogyakarta – Hari Gerakan Satu Juta Pohon diperingati setiap 10 Januari. Peringatan ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan dan penyelamatan ekosistem hutan.

    Hari Gerakan Satu Juta Pohon berawal pada 10 Januari 1993. Saat itu, Presiden RI Soeharto menetapkan bahwa gerakan sejuta pohon akan diperingati secara nasional di dalam negeri.

    Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, gerakan ini memasuki target yang lebih ambisius. Pada 2011, SBY sempat menerapkan kebijakan pelestarian pohon melalui gerakan satu miliar pohon.

    Hingga kini, Hari Gerakan Satu Juta Pohon masih rutin diperingati setiap 10 Januari. Tak hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia.

    Gerakan ini juga kerap dikaitkan dengan berbagai kampanye lingkungan internasional, seperti Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni serta Hari Pohon Sedunia pada 28 Juni.

    Berikut cara sederhana merayakan Hari Gerakan Satu Juta Pohon:

    1. Menanam pohon di sekitar rumah

    Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk ikut merayakan Hari Gerakan Satu Juta Pohon adalah dengan menanam pohon di sekitar rumah. Setiap satu pohon setidaknya menyediakan pasokan oksigen untuk empat orang dalam sehari.

    Menanam pohon juga bermanfaat untuk membersihakan udara, menyaring air untuk diminum, serta menyediakan habitat bagi lebih dari 80 persen keanekaragaman hayati terestrial yang ada di dunia. Gerakan kecil ini tanpa disadari dapat membantu pelestarian pohon di dunia.

    2. Mendukung gerakan go green

    Salah satu upaya untuk melindungi bumi dari krisis iklim dan pemanasan global adalah melalui gerakan go green. Gerakan ini mengacu pada semua aspek pemanfaatan produk, kegiatan, praktik, serta aktivitas yang ramah lingkungan.

    Kamu bisa mendukung gerakan ini dalam rangka merayakan Hari Gerakan Satu Juta Pohon dengan cara memanfaatkan energi terbarukan, mengurangi polusi dengan melakukan penghijauan, mengurangi konsumsi sampah plastik dan produk berpolutan lainnya, serta membiasakan penerapan daur ulang sampah organik maupun anorganik.

    3. Berkampanye di media sosial

    Cara paling sederhana untuk merayakan Hari Gerakan Satu Juta Pohon adalah dengan menyebarluaskan informasi terkait pentingnya pelestarian pohon dan menjaga lingkungan. Kamu bisa melakukan kampanye melalui media sosial yang tentunya murah, mudah, dan bisa menjangkau banyak orang.

    4. Berpartisipasi dalam acara gerakan satu juta pohon

    Biasanya, akan ada acara yang dapat diikuti oleh khalayak umum menjelang Hari Gerakan Satu Juta Pohon. Kamu bisa ikit serta dalam setiap rangkaian acara yang diadakan di wilayah setempat.

    5. Berdonasi

    Rayakan Hari Gerakan Satu Juta Pohon dengan berdonasi ke organisasi nirlaba yang bergerak di sektor lingkungan hidup dan konservasi. Donasi menjadi salah satu cara alternatif untuk ikut andil dalam gerakan pelestarian pohon. Dana donasi tersebut biasanya akan digunakan untuk memperbaiki lingkungan hidup, sehingga dapat mengurangi pemanasan global.

     

    Penulis: Resla

  • Mengenang Sosok Atmakusumah Asraatmadja dari Kacamata Jurnalis

    Mengenang Sosok Atmakusumah Asraatmadja dari Kacamata Jurnalis

    Bisnis.com, JAKARTA — Sudah berselang lima hari tokoh pers almarhum Atmakusumah Asraatmadja berpulang. Mendiang meninggal dunia pada 2 Januari 2025 pukul 13:05 WIB. Keluarga, kerabat, hingga murid-muridnya pun merasa sedih atas kepergian sosok Atmakusumah.

    Salah satunya adalah Warief Djajanto Basorie, sesama jurnalis yang telah mengenal almarhum Atma, sapaan akrabnya, sejak 1974 silam atau selama kurang lebih 52 tahun. Persahabatannya ini dimulai sejak mereka bertemu di lapangan untuk meliput demo-demo anti pemerintah yang tak mendukung program atau kebijakan orde baru.

    “Di demo-demo itu, saya sebagai wartwan di KNI [Kantor Nasional Indonesia] dan Pak Atma wartawan yang juga turun ke lapangan dari [media] Indonesia Raya, suka ketemu,” katanya kepada Bisnis seusai mengikuti acara doa bersama untuk alamrhumah Atmakusumah, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/1/2025).

    Di mata Warief, sosok Atma merupakan tokoh pers yang memiliki empat tabiat, watak, dan perilaku yang mencirikannya sebagai seorang wartawan, guru, dan penggiat asasi. 

    Pertama, Warief menceritakan bahwa Atma adalah sosok yang berkomitmen dalam memajukan kemerdekaan pers atau disebut pers merdeka.

    Dikatakan Warief, Atma berpandangan bahwa pers merdeka artinya memiliki kebebasan untuk menyingkap isu-isu yang hendak disembunyikan pihak berkuasa dan mengakibatkan kerugian bagi rakyat. Misalnya, mengenai korupsi dan tata pemerintahan yang salah kaprah. 

    Kemudian, katanya, Atma juga menilai pers merdeka merupakan pembangkit energi untuk demokrasi, sebab mengajak orang yang ingin ikut berperan dalam memajukan kepentingan negara.

    “Ini adalah hal-hal yang diutarakan Pak Atma, perlunya kebebasan Pers itu maunya supaya pemerintah transparan dan bisa accountable, harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya, itu baru bisa kalau ada kemerdekaan pers,” ungkap Warief.

    Kedua, Warief melihat bahwa Atma adalah seorang yang inovatif dalam diklat jurnalisme. Hal ini tercermin dalam gagasannya saat bergabung dengan LPDS (Lembaga Pers Dr.Soetomo) pada 1992 untuk mengadakan lokakarya-lokakarya tematik dengan berbagai tema bagi wartawan aktif supaya mendalami bidang yang diliput.

    Lebih lanjut, poin ketiga yang disebutkan Warief berkaitan dengan sisi produktivitas Atma yang dinilainya sangat hebat sekali. Dia berpandangan demikian lantaran Atma kaya akan karya tulisnya.

    “Pak Atma itu menghasilkan tulisan-tulisan kolom sampai di 20 penerbitan [majalah, koran, pamflet]. Terus menulis dan mengedit buku itu paling sedikit sudah 12 judul. Terus di luar itu masih suka diminta menyumbang esai atau bab, dalam buku itu sampai ada 30 buku yang ada esai dari Pak Atma,” urainya.

    Adapun, poin keempat yang menurut Warief sangat penting dan bangga pada Atma, berprinsip tidak bisa dibeli. Warief mengemukakan prinsip Atma ini membuat wartawan yang  sudah lama pun sadar akan artinya wartawan profesional yang tahu etika dan harus dipercaya masyarakat.

    Diceritakan Warief, prinsip ini terlihat pada Pilpres 2014. Pada saat itu, ada satu partai politik (parpol) yang menyambangi dan mengajak Atma untuk menghidupkan kembali media Indonesia Raya yang sudah ditutup Presiden ke-2 RI Soeharto pada 1974 silam.

    “Maunya parpol itu, Pak Atma menjadi pemimpin redaksi dan koran itu Indonesia Raya yang dihidupkan kembali dijadikan corong, menjadi pengeras suara bagi partai itu. Pak Atma menolak dengan mentah-mentah,” pungkasnya.

    Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja meninggal dunia pada usia 86 tahun, Kamis (2/1/2025) pukul 13.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, Atmakusumah wafat setelah setelah menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU). 

    Atmakusumah adalah Ketua Dewan Pers 2000—2003, yang disebut pula Dewan Pers “independen” hasil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dari Gerakan Reformasi. Sebutan “independen” tersebut karena Dewan Pers pertama kalinya diketuai tokoh masyarakat. 

    Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers) Dewan Pers notabene diketuai Menteri Penerangan Republik Indonesia.

  • Kasus Hasto Jadi Kado Pahit HUT ke 52 Tahun PDIP?

    Kasus Hasto Jadi Kado Pahit HUT ke 52 Tahun PDIP?

    Bisnis.com, JAKARTA — PDI Perjuangan (PDIP) akan merayakanan Hari Ulang Tahun alias HUT ke 52 pada Jumat (10/1/2025). Namun demikian, perayaan HUT kali ini akan berlangsung di tengah kasus yang menjerat Sekretaris Jenderal alias Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

    Hasto saat ini berstatus sebagai tersangka di KPK. Dia dijerat dua pasal sekaligus. Selain penyuapan, Hasto ditengarai turut melakukan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku. 

    Di sisi lain, muncul juga dugaan mengenai adanya politisasi dalam kasus Hasto. Hasto menjadi tersangka karena dianggap kritis terhadap Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahan Prabowo Subianto.

    Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto memastikan bahwa proses penegakan hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto sudah sesuai prosedur.

    Setyo menyatakan bahwa penersangkaan Hasto dalam kasus Harun Masiku selalu diawasi oleh pimpinan KPK. Hasilnya, sepanjang pengawasannya, penyidik lembaga antirasuah itu telah melakukan penegakan hukum dengan benar.

    “Prinsipnya kami pimpinan itu melakukan pengawasan sepanjang sudah dilakukan dengan benar, sudah dilakukan dengan sesuai dengan ini, secara administrasi ada suratnya ada tugasnya dan lain lain,” ujarnya di Mabes Polri, Rabu (8/1/2025).

    Dengan demikian, mantan Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta seluruh pihak agar menunggu hasil dari deputi penindakan KPK dalam membuat terang kasus yang menyeret Hasto tersebut.

    “Intinya tinggal menunggu saja, prosesnya dilakukan oleh kedeputian penindakan yaitu teknisnya, detailnya semuanya dilakukan oleh orang penyidik,” jelasnya.

    Sejarah PDIP

    Dalam catatan Bisnis, PDIP adalah pewaris dari PDI. Partai ini lahir dari sebuah upaya ‘kawin paksa’ Orde Baru terhadap kubu atau partai politik yang berhaluan nasional dan agama selain Islam. Partai ini lahir pada 10 Januari 1973.

    Secara genealogis, PDI tidak pernah lepas dari PNI. Basis pemilih PDI pun juga mewarisi lumbung suara PNI di wilayah Bali, Jawa Tengah hingga Jawa Timur, khususnya kawasan Mataraman.

    Sayangnya sejak kemunculannya, capaian suara PDI tidak pernah mengulang kejayaan PNI. Pada Pemilu 1977, misalnya, PDI hanya memperoleh 8,6 persen suara atau 29 kursi di DPR. 

    Perolehan kursi ini terpaut jauh dibandingkan PPP yang memperoleh 99 kursi atau penguasa parlemen Golkar yang meraup 232 kursi. Kondisi itu terulang pada Pemilu 1982. Capaian suara PDI tak pernah tembus di angka 10 persen. 

    Nasib PDI di parlemen mulai moncer pada Pemilu 1987. Suara PDI melesat dibandingkan dua pemilu lalu. Partai berlambang kepala banteng itu memperoleh lebih dari 10 persen suara. Jumlah kursi di parlemen menjadi 40 kursi atau naik 16 kursi dari periode pemilu sebelumnya.

    Tren peningkatan suara PDI kembali terulang pada Pemilu 1992. Golkar partai penguasa Orde Baru kendati masih dominan suaranya turun 5,1 persen. Suara PPP naik menjadi 17 persen. PDI partai yang menjadi anak tiri Orde Baru suaranya meroket dari 10,9 persen menjadi 14,9 persen atau naik 4 persen.

    Trah Sukarno 

    Banyak pihak yang berpendapat meroketnya suara PDI adalah implikasi dari keberadaan trah Sukarno di partai kepala banteng. Trah Sukarno yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri. 

    Mega dalam sekejap menjadi tokoh di PDI. Suara PDI langsung melesat. Kongres PDI di Surabaya pada tahun 1993, bahkan memilih Megawati sebagai Ketua PDI. 

    Popularitas Mega rupanya mulai mengusik Orde Baru. Soeharto menganggap Megawati sebagai ancaman. Dia kemudian berupaya sekeras mungkin untuk menyingkirkan Megawati. Salah satunya dengan memilih Soerjadi sebagai Ketua PDI dalam Kongres Medan. 

    Kubu Megawati menolak Soerjadi, konflik internal di PDI kemudian berkecamuk. Kritik terhadap Orde Baru semakin deras meluncur dari PDI Mega. Puncaknya, peristiwa 27 Juli 1996 terjadi. Saat itu massa PDI Soerjadi, dibantu ABRI, menyerang kantor PDI yang dikuasai kubu Megawati. Puluhan orang tewas dan hilang.

    Meski demikian, MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008 menulis bahwa represi dan aksi kekerasan yang dijalankan Orde Baru ternyata gagal membendung laju PDI Megawati. Sebaliknya, nama Megawati justru semakin populer. 

    PDIP Setelah Reformasi 

    Popularitas Megawati kelak menjadi kunci bagi kesuksesan PDI, yang kemudian pada tahun 1999 berubah namanya menjadi PDI Perjuangan (PDIP). 

    Lewat tangan dingin Megawati partai berlambang banteng moncong putih tersebut menikmati pait getirnya reformasi. Pada Pemilu multi partai tahun 1999, PDIP berhasil menjadi partai pemenang dengan 33,7 persen suara. Sayangnya meski tampil sebagai pemenang pemilu, Megawati gagal menjadi presiden setelah kalah voting melawan Gus Dur.

    Kesuksesan PDIP juga tak berlangsung lama, pada Pemilu 2004, suara PDIP turun cukup signifikan.PDIP hanya memperoleh suara sebanyak 18,9 persen, tren ini berlanjut pada tahun 2009 yang hanya sebanyak 14 persen suara.

    Anjloknya suara PDIP tersebut pararel dengan turunnya popularitas sosok sentral Megawati Soekarnoputri karena perubahan pola politik dan sejumlah skandal selama dia menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur.

    Beruntung pada tahun 2014, situasinya agak berbalik, sosok Joko Widodo berhasil meningkatkan elektabilitas partai. Jokowi effect mengantarkan kembali PDIP sebagai partai mayoritas dengan suara 18,9 persen suara. Kinerja positif tersebut berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI.

    Tren positif perolehan suara berlanjut pada tahun 2019. PDIP memperoleh 19,3 persen dan mengantarkan Jokowi untuk kedua kalinya menjabat sebagai presiden.

    Sementara itu tahun 2024 PDIP tampaknya sedang menghadapi situasi yang cukup pelik. Jokowi telah berpaling dan diisukan mendukung rival lama PDIP, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Suara PDIP di legislatif tersisa 16%.

    Megawati Dituntut Mundur

    Sementara itu, mantan politisi PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon meminta Megawati Soekarnoputri mengundurkan diri buntut penetapan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Hasto adalah Sekretaris Jendersl alias Sekjen PDIP. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024. Advokat dan kader PDIP Donny Tri Istiqomah juga ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Hasto. 

    Effendi mengaku prihatin dengan status hukum Hasto saat ini. Dia menyebut perkembangan kasus Harun Masiku itu merupakan petaka bagi partai yang lama menjadi rumahnya. Untuk itu, dia pun menilai perlu adanya perubahan kepemimpinan hingga level ketua umum di PDIP. 

    “Harus diperbaharui ya semuanya mungkin sampai ke ketua umumnya juga harus diperbaharui bukan hanya level sekjen ya. Sudah waktunya lah sudah waktunya pembaharuan yang total ya, karena ini kan fatal ini, harusnya semua kepemimpinan juga harus mengundurkan diri,” katanya kepada wartawan, Rabu (8/1/2025). 

    Menurut Effendi, partai memiliki pertanggungjawaban kepada publik yang tinggi sesuai dengan Undang-undang (UU) Partai Politik. Dia menyebut harus ada pertanggungjawaban dari ketua umum karena kasus yang menjerat Hasto. 

    Mantan anggota Komisi I DPR yang sebelumnya dicalonkan PDIP itu menyebut, pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh Megawati adalah mengundurkan diri dari jabatan yang sudah dipegangnya sejak berdirinya partai. 

    “Dia harus mengundurkan diri, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas, ini kan masalah serius masalah hukum, bukan masalah sebatas etika yang digembar-gemborkan. Ini hukum, ya harus seperti Perdana Menteri Kanada aja mengundurkan diri,” ucapnya. 

    Di sisi lain, Effendi mengkritik sikap PDIP yang dinilai kerap mencaci maki Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi. Dia menilai justru presiden bekas kader PDIP itu justru membantu Hasto melalui political will-nya. 

    “Di satu sisi caci maki terus pak Jokowi, ini ya memalukan partai itu, masa partai kerjanya caci maki sih. Tapi ketika ada persoalan hukum, gak usah dicari-cari lagi pembelaannya,” terang politisi asal Sumatera Utara itu. 

    Dia bahkan menyebut pernah menegur Hasto bahwa Jokowi berperan dalam menjaga elite PDIP itu.”Saya sampaikan juga ke mas Hasto begitu ‘Mas setahu saya pak Jokowi itu yang ikut menjaga anda loh’, ya silakan saja tapi ini enggak hanya sebatas seorang Hasto saya kira ini harus pertanggungjawaban nya dari Ketua Umumnya dong,” ungkapnya.

  • Anggaran Makan Bergizi Gratis Rp 71 T Cuma Cukup Sampai Juni

    Anggaran Makan Bergizi Gratis Rp 71 T Cuma Cukup Sampai Juni

    Jakarta

    Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas mengungkapkan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp 71 triliun ternyata hanya cukup untuk pengadaan sampai Juni 2025. Untuk itu menurutnya Badan Gizi Nasional tengah meminta penambahan anggaran.

    Zulhas mengatakan kemungkinan anggaran bisa bertambah menjadi Rp 210 triliun. Namun, lagi-lagi anggaran itu tidak cukup juga untuk kebutuhan MBG selama setahun.

    “Sekarang Rp 71 triliun, sampai Juni. Tetapi Prof Dadan (Kepala Badan Gizi Nasional), Mentan sedang berusaha, kalau ditambah Rp 140 triliun bulan Juli, maka seluruh anak akan mendapatkan makan, maka (total) Rp 210 triliun,” kata Zulhas dalam rapat koordinasi terbatas bidang pangan di Jawa Timur, disiarkan secara virtual, Selasa (7/1/2025).

    Mantan Menteri Perdagangan itu menyebut untuk kebutuhan setahun, belanja makanan untuk MBG bisa tembus Rp 420 triliun. Proyeksi tingginya anggaran tersebut karena kebutuhan pangan meningkat seiring belanja program tersebut.

    “Tetapi kalau full Januari-Desember kira-kira lebih dari Rp 420 triliun-an lebih. Bayangkan belanja makanan Rp 420 triliun,” tambahnya.

    Menurut Zulhas jika Indonesia tidak segera meningkatkan produksi pangan, belanja bahan baku akan semakin tinggi. Dengan mencapai swasembada pangan, pengeluaran anggaran dapat ditekan terutama untuk impor.

    “Kalau sekarang kita nggak kerja keras, telur, beras, segala macam, ikan, mau berapa, impor kita berapa tahu nggak? Malu kita ini, sudah ketinggalan jauh dari Thailand, Vietnam. Setelah reformasi 28 tahun zaman Pak Soeharto, pertanian kita dibangun, tetapi tidak prioritas,” ungkap dia.

    Sebagai informasi, program MBG telah resmi dimulai pada Senin (6/1/2025) kemarin. Program tersebut bertahap dimulai di 26 Provinsi.

    Target program ini pada tahap awal terhadap 3 juta orang periode Januari-Maret 2025. Adapun sasaran penerima mulai dari balita, santi, siswa PAUD, TK, SD, SMP, SMA, dan ibu hamil dan menyusui.

    (ada/rrd)

  • Profil Johnny Wong, Ayah dari Baim Wong yang Meninggal Hari Ini

    Profil Johnny Wong, Ayah dari Baim Wong yang Meninggal Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Kabar duka datang dari dari aktor dan YouTuber terkenal Baim Wong. Ayah tercinta, Johnny Djaelani atau Johnny Wong meninggal dunia, Selasa (7/1/2025). Berikut profil Johnny Wong yang meninggal pada usia 78 tahun.

    Mendiang diketahui mengembuskan napas terakhir pada pukul 04.27 WIB di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat. Kabar ini juga disampaikan langsung oleh Baim Wong melalui akun Instagram pribadinya.

    “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Papa kami tercinta,” tulis Baim Wong, dikutip Selasa (7/1/2025).

    Jenazah Johnny Wong direncanakan bakal disemayamkan di rumah duka yang terletak di Jalan Teuku Cik Ditiro 2 Nomor 1A, Gondangdia, Jakarta Pusat.

    Profil Johnny Wong

    Johnny Wong lahir sebagai non-muslim dan kemudian menjadi mualaf. Ia mualaf ketika menikah dengan ibu Baim Wong, mendiang Kartini Marta Atmadja. Setelah mualaf, Johnny Wong mengubah namanya menjadi Johnny Jailani, tetapi ia tetap terkenal dengan nama Johnny Wong.

    Johnny Wong dikenal luas sebagai seorang desainer ternama di era Orde Baru. Kariernya sebagai pengusaha sukses membawa Johnny berhubungan dengan berbagai tokoh penting, termasuk Bambang Trihatmodjo, putra dari Presiden Soeharto, serta cendekiawan muslim Quraish Shihab dan tokoh pejuang Palestina Yasser Arafat.

    Dalam dunia desain, Johnny dikenal sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar pada waktu itu, dan kiprahnya tidak hanya terbatas pada karya-karya desain, tetapi juga pada pengaruh sosial dan politik di Indonesia.

    Demikian profil dari Johnny Wong, ayah dari Baim Wong yang tutup usia pada Selasa (7/1/2025). Semoga amal ibadah beliau diterima Allah Swt.

  • Dukungan eksponen fusi PPP untuk calon Ketum, ada Dudung dan Taj Yasin

    Dukungan eksponen fusi PPP untuk calon Ketum, ada Dudung dan Taj Yasin

    Sumber foto: Istimewa/elshinta.com

    Dukungan eksponen fusi PPP untuk calon Ketum, ada Dudung dan Taj Yasin
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Minggu, 05 Januari 2025 – 19:57 WIB

    Elshinta.com – Eksponen Fusi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendukung sejumlah nama yang diusulkan sebagai kandidat calon ketua umum partai berlambang Kabah. Eksponen fusi PPP terdiri dari partai politik yang digabungkan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto pada 1973. Partai-partai tersebut adalah Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Sarekat Islam (SI), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

    “Kami mengharapkan calon-calon ketua umum PPP Baik dari internal maupun dari eksternal memiliki sifat-sifat yang jujur, dipercaya, amanah, cerdas, berintegritas, tentunya juga visioner,” kata Ketua Umum Parmusi, Husnan B. Fanani dalam konferensi pers di Jakarta Timur, Minggu (5/1/2025).

    Husnan menambahkan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PPP memungkinkan kehadiran calon ketua umum dari luar partai.

    Oleh karena itu, pihaknya mendukung calon dari internal dan eksternal. Dari internal PPP, nama-nama yang disebut masuk bursa calon ketua umum antara lain Wakil Gubernur Jawa Tengah Gus Taj Yasin Maimoen, dan anggota DPR RI periode 1999-2009 Haji Habil Marati. Keduanya dianggap mewakili NU.

    Husnan juga mengklaim masuk dalam bursa sebagai calon dari Parmusi. Ia menyebut nama Hasrul Azwar, yang saat ini menjabat Duta Besar Indonesia untuk Maroko. Selain itu, ada Ahmad Faryal dari Sarekat Islam dan Ahmad Sanusi dari Perti, keduanya mantan anggota DPR RI.

    Sementara itu, nama-nama dari eksternal PPP yang muncul adalah eks Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang juga Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelfa.

    Selain itu, ada eks Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurrachman, Sandiaga Salahuddin Uno, Ketua Partai Masyumi, Ahmad Yani, dan Ketua Umum Partai Umat Ridho Rahmadi.

    “Eksponen Fusi PPPP 1973 Mendukung pencalonan calon-calon Ketua Umum PPP dan pengurus PPP yang akan maju dalam muktamar, baik dari internal maupun external partai,” ujar Husnan.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Untung Rugi Libur Sekolah Selama Ramadan

    Untung Rugi Libur Sekolah Selama Ramadan

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah tengah mengkaji wacana meliburkan sekolah selama satu bulan penuh pada Ramadan 2025. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebutkan tujuan kebijakan ini adalah agar siswa dapat lebih fokus menjalankan ibadah dan memanfaatkan ramadan untuk memperkuat nilai-nilai spiritual.

    “Kebijakan ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama, seperti pondok pesantren. Namun, untuk sekolah negeri dan swasta, masih dalam tahap pembahasan,” ujar Nasaruddin di Monas, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).

    Ia menambahkan keputusan ini harus mempertimbangkan banyak aspek sebelum diumumkan secara resmi.

    “Yang terpenting, apakah libur atau tidak libur, ibadahnya tetap berkualitas. Ramadan adalah momen untuk konsentrasi umat Islam,” jelasnya.

    Menurutnya, rencana libur sekolah selama ramadan bertujuan memberikan kesempatan bagi siswa untuk lebih fokus menjalankan ibadah, seperti salat tarawih, tadarus Al-Qur’an, dan meningkatkan amal kebaikan. Dengan demikian, ramadan diharapkan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi generasi muda.

    Meskipun demikian, wacana ini masih berada dalam tahap pembahasan dan belum menjadi keputusan resmi. Wacana ini menuai beragam respons dari masyarakat. Dari sisi positif, libur panjang selama ramadan dianggap dapat membantu siswa menjalankan ibadah puasa dengan lebih khusyuk. Orang tua juga dapat lebih mengawasi aktivitas anak di rumah, mengurangi potensi aktivitas berlebihan di luar rumah selama bulan suci.

    Namun, dari perspektif pendidikan, ada kekhawatiran libur panjang ini bisa mengganggu kalender akademik dan efektivitas pembelajaran. Anak-anak yang terlalu lama libur berisiko kehilangan ritme belajar, terutama untuk mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman kontinu.

    Era Kolonial hingga Gus Dur
    Wacana meliburkan sekolah selama ramadan sebenarnya bukan hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kebijakan serupa pernah diterapkan pada Ramadan 1999. Gus Dur memberikan kesempatan kepada siswa untuk fokus pada kegiatan keagamaan selama ramadan dengan mengadakan pesantren kilat di sekolah. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk kepedulian terhadap umat muslim, khususnya generasi muda.

    Jauh sebelum itu, pada era kolonial Belanda, sekolah-sekolah binaan pemerintah kolonial meliburkan siswa selama ramadan. Kebijakan ini kemudian mengalami perubahan di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Soekarno saat itu menjadwalkan ulang sekaligus menghentikan sementara kegiatan-kegiatan resmi dan non-resmi untuk memberikan kesempatan kepada umat muslim untuk menjalankan ibadah puasa.

    Pada masa Soeharto, libur ramadan dipersingkat, dan aktivitas keagamaan diintegrasikan dalam jadwal sekolah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Daoed Joesoef sempat memperkenalkan kebijakan pembatasan libur puasa untuk memastikan siswa tetap mendapatkan pendidikan berkualitas. Keputusan ini menuai kritik, tetapi dia berpendapat bahwa libur panjang tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.

    Tunggu Koordinasi
    Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, mengungkapkan wacana penetapan libur sekolah saat bulan ramadan bukan kewenangan kementeriannya. Menurut Mu’ti, keputusan tersebut berada di tingkat yang lebih tinggi, baik itu di level menko (menteri koordinator) maupun langsung di bawah presiden. Mu’ti menambahkan, hingga saat ini, wacana tersebut belum dibahas di kementeriannya.

    “Kami belum mengetahui apakah ini akan menjadi kebijakan di tingkat menko atau langsung dari presiden. Kami belum melakukan pembahasan mengenai libur sekolah selama ramadan. Di Kementerian Agama juga masih dalam tahap wacana dan belum ada keputusan final,” ujar Mu’ti dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

  • Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers Indonesia

    Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers Indonesia

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua Dewan Pers pertama Atmakusumah Astraatmadja yang menjabat periode 2000-2003, meninggal dunia, hari ini Kamis (2/1).

    Atmakusumah adalah sosok yang telah malang melintang di dunia jurnalisme Indonesia. Tak sekadar bekerja, Ia dikenal dengan kegigihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan pers di Indonesia.

    Perjuangan pria kelahiran Labuan, Banten 20 Oktober 1938, dalam kemerdekaan pers di Indonesia itu telah dimulai sejak era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

    Pada 1968, Atmakusumah memimpin Harian Indonesia Raya bersama jurnalis cum sastrawan senior Mochtar Lubis. Harian itu mengalami pembredelan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto.

    Perjuangan Atmakusumah terus berlanjut. Ia menjadi salah satu pelopor Undang-undang pers tahun 1999 yang dianggap sebagai tonggak kebebasan pers Indonesia.

    Pada tahun 2000, Atmakusumah menerima penghargaan Raymon Magsaysay dalam bidang jurnalisme, literatur dan seni komunikasi kreatif.

    Atmakusumah menjadi jurnalis Indonesia ketiga yang menerima penghargaan prestis yang kerap disebut penghargaan nobel di tataran Asia itu.

    Kala menerima penghargaan itu, Atmakusumah menceritakan upaya pembredelan Harian Indonesia Raya di Orde Lama dan Orde Baru.

    “Akan tetapi, semangat kemerdekaan pers semangat kemerdekaan dan kebebasan pers tidak pernah mati,” kata dia saat menerima penghargaan itu.

    Tak hanya itu, Atmakusumah juga banyak menerima penghargaan lain dalam bidang kemerdekaan pers.

    Pria yang sempat aktif mengajar hingga menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dokter Soetomo LPDS pada 1993-2002 itu pernah meraih Lifetime Achievement Awards dalam Anugerah Dewan Pers 2023.

    (mab/isn)

    [Gambas:Video CNN]