Tag: Soeharto

  • Sawah Pokok Murah berbiaya murah dan panen meningkat

    Sawah Pokok Murah berbiaya murah dan panen meningkat

    Foto: Musthofa/Radio Elshinta

    Sawah Pokok Murah berbiaya murah dan panen meningkat
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 20 Juni 2025 – 22:28 WIB

    Elshinta.com – Sumatera Barat (Sumbar) mengembangkan Sawah Pokok Murah atau bertanam padi dengan biaya murah. Metode tersebut, hasil panennya sangat maksimal. 

    Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alek Indra Lukman mengatakan, sejumlah daerah yang mengembangkan diantaranya di Kabupaten Agam dan Kabupaten Pesisir Selatan. 

    “Kunjungan kerja kita inike Sumbar, salah satunya ibu ketua meninjau langsung panen padi Sawah Pokok Murah yang dikembangkan di Kabupaten Agam,” sebut Alek Indra Lukman dalam pertemuan Komisi IV DPR RI di Auditorium Gubernur Sumbar, Jum’at (20/6), seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Musthofa.

    Alek menyebutkan, selain berbiaya murah, metode tersebut lebih efisien dan terjadi peningkatan produksi yang signifikan. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida berkurang. Bahkan tanpa olah tanah, sehingga terjadi pengurangan biaya. 

    Alek Indra Lukman meminta metode tersebut menjadi program prioritas Kementrian Pertanian untuk mewujudkan swasembada pangan yang jadi skala prioritas Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto.

    Ketua Komisi IV DPR RI, Titik Hediati Soeharto mengapresiasi metode Sawah Pokok Murah. Ia mendorong, apabila program tersebut baik dan bermanfaat buat masyarakat, dikembangkan di daerah-daerah di Indonesia. 

    Pimpinan dan anggota Komisi IV DPR RI ke Sumatera Barat dalam rangka kunjungan kerja ke sejumlah daerah. Selain meninjau panen padi di Kabupaten Agam, juga meninjau Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT), Padang Mangatas di Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota. 

    Kemudian, meninjau Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Kabupaten Padang Pariaman.

    Sumber : Radio Elshinta

  • 6
                    
                        Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Akhirnya Berhasil, TNI Dikerahkan di Tengah Massa Ormas yang Mengadang
                        Surabaya

    6 Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Akhirnya Berhasil, TNI Dikerahkan di Tengah Massa Ormas yang Mengadang Surabaya

    Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Akhirnya Berhasil, TNI Dikerahkan di Tengah Massa Ormas yang Mengadang
    Editor
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Eksekusi rumah pensiunan
    TNI AL

    Laksamana Soebroto Joedono
    , mantan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Wapangab) era Presiden Soeharto di Jalan dr Soetomo Surabaya akhirnya berhasil dilakukan, Kamis (19/6/2025).
    Tak hanya dikawal polisi bersenjata lengkap, eksekusi rumah tersebut juga dijaga aparat dari unsur TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut. 
    Pengawalan ini tak lepas dari kondisi saat eksekusi, yani banyaknya massa
    ormas
    yang menghalangi.
    Namun, pada akhirnya Juru Sita Pengadilan Negeri Surabaya berhasil membacakan putusan Pengadilan Negeri Surabaya di depan obyek sengketa meskipun rumah obyek sengketa dipenuhi massa ormas.
    Sebelum eksekusi, massa ormas bahkan menutup jalan raya di depan rumah obyek sengketa dengan membakar kayu.
    Pukul 09.23 WIB, pasukan polisi yang dipimpin Kabag Ops Polrestabes Surabaya AKBP Wibowo memberikan kesempatan untuk pemohon eksekusi dan pihak massa ormas berdiskusi dan menyampaikan pendapat masing-masing tentang obyek sengketa.
    Setelah itu, AKBP Wibowo memberikan tiga kali peringatan kepada siapa pun yang tidak berkepentingan untuk meninggalkan lokasi sekitar obyek sengketa dan memberikan kesempatan kepada juru sita membacakan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.
    Dia juga memerintahkan anggota polisi untuk menangkap siapa saja yang menghalang-halangi proses eksekusi.
    Pukul 10.00 WIB, setelah juru sita membacakan putusan Pengadilan Negeri Surabaya, pihak pemohon eksekusi berhasil masuk ke rumah obyek sengketa dan melakukan pengosongan.
    Eksekusi
    rumah pensiunan TNI AL
    di Jalan dr Soetomo Nomor 55 Surabaya itu sebelumnya dua kali gagal dilakukan karena diadang oleh massa ormas, yakni pada 13 dan 27 Februari 2025. Saat itu, eksekusi gagal dilaksanakan karena pertimbanga keamanan.
    Eksekusi obyek rumah tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 5 Desember 2022.
    Rumah sebagai obyek sengketa disebut milik Laksamana Soebroto Joedono, mantan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Wapangab) era Presiden Soeharto.
    Laksamana Soebroto Joedono menempati rumah tersebut berdasarkan izin dari TNI AL. Pada 28 November 1972, Laksamana Soebroto membeli rumah tersebut melalui surat pelepasan nomor K.4000.258/72.
    Sepeninggalan Laksamana Soebroto, rumah kemudian ditempati Tri Kumala Dewi sebagai ahli waris.
    Permasalahan hukum mulai muncul ketika terbit gugatan dari Hamzah Tedjakusuma.
    Dia mengeklaim kepemilikan berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Gugatan yang berujung pada peninjauan kembali (PK) ini awalnya dimenangkan oleh Tri.
    Namun, Hamzah justru menjual SHGB tersebut kepada istrinya, Tina Hinderawati Tjoanda pada 23 September 1980.
    Dari tangan Tina, dokumen tersebut kemudian dijual kembali kepada Rudianto Santoso.
    Rudianto kemudian kembali menggugat Tri. Awalnya, Majelis Hakim menolak gugatan Rudianto.
    Bahkan, Rudianto justru ditetapkan oleh Polda Jatim masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 8 Juli 2013 karena melakukan pemalsuan dalam penerbitan akta jual beli.
    Namun, Rudianto justru menjual kembali SHGB tersebut kepada Handoko Wibisono. Tri kemudian kembali mendapatkan gugatan yang kini datang dari Handoko.
    Berbeda dari putusan sebelumnya, kali ini Tri kalah.
    Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan Handoko Wibisono sebagai pemilik sah dengan mendasarkan pada transaksi jual beli tanah.
    Putusan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi PN melakukan eksekusi.
     
    SUMBER: KOMPAS.com (Penulis: Achmad Faizal | Editor: Andi Hartik)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Presiden Prabowo Harus Lepas dari Bayang Bayang Jokowi, Sikat Geng Solo!

    Presiden Prabowo Harus Lepas dari Bayang Bayang Jokowi, Sikat Geng Solo!

    GELORA.CO –  Keputusan Presiden Prabowo Subianto mengembalikan status Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk dalam wilayah administratif Provinsi Aceh mendapatkan apresiasi dari sejumlah pihak.

     

    Keputusan itu diambil usai adanya pembahasan antara Presiden Prabowo dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf serta Gubernur Sumut Bobby Nasution di Istana, Selasa (17/6/2025). 

     

    Sejumlah pengamat politik dan aktivis demokrasi juga menyoroti peran ‘Geng Solo’ terkait keluarnya keputusan kontroversial sebelum diputuskan Prabowo. Mendagri Tito Karnavian yang di cap sebagai “Geng Solo”, sebutan orang kepercayaan eks Presiden Jokowi, disebut-sebut sebagai aktor yang berperan munculnya polemik ini.  

    Peneliti Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin mengatakan, menggeser inner circle atau lingkaran Presiden Prabowo dari orang-orang Jokowi seperti Sekretariat Kabinet, Kepala Sekretariat Kepresidenan, ajudan, dan lainnya merupakan satu diantara upaya untuk bisa lepas dari bayang-bayang Jokowi atau Geng Solo. Orang – orang Geng Solo tersebut bisa merusak reputasi Presiden Prabowo. 

     

    “Baiknya mereka semua diganti dengan orang-orangnya Prabowo Subianto sendiri yang telah lama dengan Prabowo Subianto seperti  Mayjen purn. Kivlan zen, Dr. Din Syamsuddin, Prof. Andi Faishal, Bhakti, PhD, Dr. Aat Surya Syafaat, Edi Utama, SH, Llm, Prof. Dr. Makmun Murod, termasuk menikah lagi dengan Titik Soeharto,” ujar Aminudin kepada Harian Terbit, Rabu (18/6/2025). 

     

    Belajar dari Sejarah

     

    Gus Amin, panggilan akrab Aminudin mengakui, di semua pemerintahan inner circle ini mempunyai peran penting untuk membentuk agenda dan visi Presiden. Namun yang masuk inner circle haruslah orang – orang kepercayaan Presiden Prabowo, bukan malah titipan yang justru akan merusakkan kinerja kabinet yang telah dibangunnya. Karena saat ini publik sudah bisa menilai mana menteri yang bekerja untuk Presiden Prabowo atau justru Geng Solo. 

     

    “Sebagai contoh dulu Presiden Soekarno pada 1948 terlibat konflik keras dengan PKI karena memberontak pada pemerintahannya di Madiun Affairs 1948. Soekarno difitnah PKI Sebagai budak Romusha atau imperialis dan tukang kawin. Tapi pada 1965, Presiden Soekarno justru sangat condong pada PKI karena lingkaran sekitarnya sudah dikuasai orang-orang PKI seperti Pengawal Presiden Cakrabirawa, Dokter kepresidenan, dan lainnya,” jelasnya.

     

    “Begitu juga pada era Orba. Pada paruh kedua 1970-an Pemerintahan Soeharto sangat represif (menindas) pada umat Islam. Karena orang-orang sekitar Presiden Soeharto dikelilingi  orang-orang non muslim dan abangan seperti Sujono Humardhani, Ali Moertopo, Soedomo, dan lainnya,” imbuhnya. 

     

    Tapi begitu mereka tersingkir, sambung Gus Amin, orang-orang lingkaran dekat Presiden Soeharto diganti oleh orang-orang muslim taat seperti Prof. BJ Habibie, Yusril Ihza Mahendra, Jend TNI Hartono, Harmoko.

     

    Saat itu kebijakan Presiden Soeharto juga berubah menjadi pro muslim seperti dalam pendirian ICMI, Bank Muamalat, UU Peradilan Agama, DPR/ MPR, TNI dan lainnya yang semakin ijo royo – royo. 

     

    “Ijo royo – royo, istilah pro Islam waktu itu,” tegasnya. 

     

    Lebih lanjut Gus Amin mengatakan, pada prinsipnya di semua pemerintahan maka inner circle penguasa ini mempunyai peran penting membentuk agenda dan visi kebijakan Presiden termasuk dalam penempatan pejabat pemerintah dan kebijakan lainnya. Karena dengan menempatkan orang – orang yang sesuai maka kebijakannya bisa selaras dan sinergi dengan keinginan Presiden. 

     

    “Jadi semua pemerintahan inner circle penguasa ini punya peran penting membentuk agenda dan visi kebijakan Presiden termasuk dalam penempatan pejabat pemerintah dan kebijakan lainnya,” tandasnya. 

     

    Daftar Geng Solo

     

    Mantan Sekjen pertama Projo (relawan Jokowi) Guntur Siregar mengatakan, Presiden Prabowo harus membuang orang orang utama Jokowi dikabinetnya seperti Budi Arie, Tito Karnavian, Bahlil, Pratikno dan lainnya. Ganti orang – orang Jokowi itu dengan orang yang lebih profesional dibidangnya. 

     

    “Begitu juga dengan Kapolri, selain karena sudah lama menjabat juga tidak pantas lagi demi regenerasi yang baik di tubuh kepolisian RI,” jelasnya.

     

    Guntur menilai, jika Presiden Prabowo mengganti menteri – menteri yang berafiliasi dengan Geng Solo maka publik akan merasakan kebahagian tersendiri. Keberanian Presiden Prabowo mengganti orang – orang Jokowi akan membuat kepercayaan rakyat pada Presiden Prabowo semakin tinggi. Rakyat akan semakin mendukung pemerintahan Prabowo. 

     

    “Apalagi sebahagian nama tersebut (Geng Solo) sering membuat blunder di pemerintahan Prabowo,” tandasnya.

     

    Ketua Badan Relawan Nusantara (BRN) Edysa Tarigan Girsang juga sangat mendukung Presiden Prabowo berani melepas hutang politiknya terhadap Jokowi. Namun diyakini Presiden Prabowo tidak 100% berani melakukannya. Apalagi karakter Presiden Prabowo terlihat pragmatis dan bagi – bagi kekuasaan masih sangat kuat.

     

    “Ditambah lagi Gerindra sebagai partai utama pendukung Presiden Prabowo tidak kuat – kuat banget di parlemen. Jadi tinggal Prabowo  berani atau tidak mengunakan powernya sebagai kepala negara. Prabowo harus ingat, keberanian demi dan untuk kepentingan nasional,” tandasnya. 

     

    Prabowo Tersandera

     

    Edysa mengakui, secara politik Presiden Prabowo memang tersandera oleh Jokowi. Apalagi Jokowi juga sangat berperan dalam kemenangan Prabowo di Pilpres 2024 kemarin. Khalayak umum juga sudah faham bahwa Jokowi yang memenangkan Prabowo di Pilpres 2024.

     

    “Apa dasar dimenangkan Pilpres? Dunia juga tahu,” paparnya. 

     

    Ketua Umum Barisan Relawan Nusantara (BaraNusa), Adi Kurniawan mengatakan, jika Prabowo ingin lepas dari bayang-bayang Jokowi atau Geng Solo, maka satu – satunya solusi adalah harus pecat Kapolri dan Panglima TNI. Karena baik Kapolri dan Panglima TNI merupakan bagian dari Geng Solo.

     

    Selain keduanya, sambung Adi, Presiden Prabowo juga harus berani ganti semua menteri dan wakil menteri titipan Jokowi, seperti Budi Arie Setiadi, Tito Karnavian, Immanuel Ebenezer, dan Bahlil Lahadalia. Para menteri tersebut merupakan bagian dari Geng Solo yang masih kuat di Kabinet Merah Putih (KMP). 

     

    “Cuma pertanyaannya apakah Prabowo berani melakukan itu?,” tanya Adi.

     

    Adi menilai, dengan melihat kinerja Prabowo saat ini, maka sangat jelas Prabowo tersandera. Saat ini Prabowo terkepung oleh Geng Solo. Sehingga ketika para menteri Geng Solo tersebut melakukan blunder maka Presiden Prabowo tidak berani bertindak tegas.

     

    “Istilah langkah yang dilakukan Presiden Prabowo maju kena mundur kena,” paparnya. 

     

    Polemik empat pulau mencuat setelah terbit Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025.

    Dalam ketentuan itu, Kemendagri menetapkan empat pulau itu sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Padahal, sebelumnya masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil. 

  • Kontroversi Fadli Zon “Rewrite” Sejarah, Perihal Ekonomi Absen?

    Kontroversi Fadli Zon “Rewrite” Sejarah, Perihal Ekonomi Absen?

    Bisnis.com, JAKARTA- Penulisan sejarah resmi bukan saja wajib memuat peristiwa pelanggaran HAM, melainkan pula kegagalan kebijakan ekonomi termasuk pada akhir kekuasaan Orde Baru.

    Sejarah adalah ‘kaca benggala’, begitu ungkap Soekarno. Maksudnya, lintasan masa lalu bisa memantulkan bayangan agar masa depan tak mengulang kesalahan yang sama, termasuk dalam hal kebijakan ekonomi.

    Pada kenyataannya, peristiwa ekonomi dan momen politik seringkali bersinggungan dalam satu waktu.

    Peristiwa sebelum dan sesudah kejatuhan Orde Baru, misalnya, bertalian erat dengan krisis moneter serta terbitnya berbagai kebijakan yang lebih liberal.

    Tapi sayangnya, selain fakta adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia hingga perkosaan massal, kenyataan gagalnya kebijakan ekonomi pun cenderung tak tercatat dalam proyek sejarah resmi kali ini.

    Proyek ‘sejarah resmi’ yang kini digaungkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon inipun menuai banyak polemik. Kerangka narasi resmi itupun banyak disorot kalangan sejarawan, hingga sekarang muncul banyak versi yang belum terkonfirmasi.

    “Sejauh ini ada banyak rancangan naskah sejarah resmi itu, tim sejarawan yang terlibat pun belum menunjukkan versi sebenarnya. Alasannya masih butuh masukan banyak kalangan,” ungkap Sejarawan sekaligus Peneliti Para Syndicate Virdika Rizky Utama kepada Bisnis, Kamis (19/6/2025).

    Menurut Virdika, selain pelanggaran HAM wajib masuk dalam rancangan sejarah resmi itu, persoalan ekonomi pun patut dimuat. Lengsernya Presiden Soeharto tak lepas dari krisis moneter yang membuka gelombang protes massal.

    “Sayangnya, sejauh yang saya amati dari beberapa versi rancangan penulisan sejarah resmi, soal ekonomi pada periode itu [Orde Baru] tidak digarap, bahkan soal IMF,” jelas jebolan Jiao Tong University itu.

    Menukil ‘Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah’ karya Mantan Presiden Boediono, krisis moneter pada 1997 merupakan peristiwa yang tak pernah diantisipasi. Saat itu, tulisnya, seluruh indikator ekonomi nasional sangat baik, bahkan kurs rupiah cukup kuat, dan cadangan devisa tebal.

    Namun hanya dalam rentang waktu tiga bulan, stabilitas ekonomi jungkir balik. Dalam catatan Boediono, kondisi panik massal akibat mata uang negara-negara Asean yang ambrol, ditambah respon kebijakan tak tepat, serta tentunya praktik buruk perbankan membuat Indonesia masuk jurang krisis.

    KRISIS MONETER

    Menurut Virdika, upaya mengupas krisis moneter yang membelit, serta menyoal kebijakan ekonomi Orde Baru, setidaknya berbagai potensi konflik horizontal ke depan bisa dihindari. Masyarakat perlu dibekali hal demikian.

    “Andaikata masyarakat bisa dijelaskan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial karena kegagalan kebijakan konglomerasi atau tetesan ke bawah pada era Orba, tidak lagi ada kefrustrasian sosial yang dilampiaskan kepada etnis tertentu seperti dulu. Karena masyarakat dari etnis apapun sama-sama jadi korban,” jelasnya.

    Pembahasan soal ekonomi dalam penyajian sejarah memang langka. Padahal, kata Virdi, setiap peristiwa politik selalu bertautan dengan kondisi ekonomi ataupun ekses kebijakan.

    “UU PMA yang membolehkan Freeport masuk, itu lahir setelah adanya peristiwa 1965. Begitupun liberalisasi ekonomi, ataupun kehadiran konglomerasi yang ada saat ini, tak terlepas dari sejarah politik maupun kebijakan ekonomi,” ungkapnya.

    Dari sisi akademisi, ulasan persoalan ekonomi dalam membangun sejarah resmi juga dirasa penting.  Setidaknya, sebagaimana disinggung Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, memuat wajah ekonomi dalam sejarah bisa mencerahkan publik terkait kebijakan yang telah dicetuskan pada masa lalu.

    Lebih jauh, dia menyebutkan untuk menjelaskan kemunculan krisis politik, amat perlu pembahasan persoalan ekonomi yang melatari. Nailul mengatakan justru dalam studi ekonomi, peristiwa seperti krisis moneter 1997 itu dikaji sebab dan akibatnya.

    “Subyek ekonomi dalam sejarah ini akan mampu mencerahkan masyarakat atas persoalan ekonomi masa kini, adakah problem yang sama, dan jangan sampai terulang!” simpulnya.

     

  • Pemakzulan Bisa Dilakukan Lewat Konstitusi atau Ekstra Konstitusi, Rakyat yang Bergerak

    Pemakzulan Bisa Dilakukan Lewat Konstitusi atau Ekstra Konstitusi, Rakyat yang Bergerak

    GELORA.CO –  Dosen Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia Profesor Chusnul Mar’iyah menegaskan kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan harus dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. 

    Maka langkah pemakzulan bisa dilakukan melalui berbagai cara baik lewat jalur konstitusi maupun ekstra konstitusi. Topik ini berkembang seiring adanya tuntutan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Hal itu disampaikan Prof. Chusnul dalam acara diskusi virtual yang digagas Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertajuk ‘Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Perspektif Hukum dan Politik’, Senin malam, 16 Juni 2025.

    Ia menuturkan bahwa suksesnya pemerintahan bisa melalui kekerasan, revolusi, atau melalui pemilu. Namun, Prof. Chusnul menilai suksesi pemerintahan di Indonesia tidak melalui kekerasan tapi terjadi lewat pemilu sejak 2004. 

    “Itu (pemilu langsung) pertama kali kalau kita lihat, dari Soekarno ke Soeharto, Soeharto ke Habibie itu melewati proses-proses tuntutan dari masyarakat di dalam konteks itu. Nah kalau kita bicara tentang pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden how, why,” kata Prof Chusnul Mar’iyah mengawali argumentasinya.

    Ia menerangkan dalam ilmu politik, ada pembahasan tentang pendekatan power, pendekatan legal, atau pendekatan kondisi bangsa. Hal itu bisa dilihat dari segi values, interest dan kebutuhan yang diinginkan negara untuk mengarah pada pemakzulan.

    “Kebutuhan perubahan yang luar biasa sehingga rakyat bergerak di dalam konteks itu. Karena kan kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat bergerak dalam konteks itu,” jelasnya.

    Lanjut dia, jika berbicara dalam konteks konstitusional, maka aturan dalam konstitusi di Indonesia cukup sederhana aturannya. Dahulu Habibie dilengserkan kemudian diganti Gus Dur. 

    “Kalau kita bahas politik hukum yang mana sebetulnya mana yang bisa dibawa melalui proses politik yaitu ke DPR atau mana yang sebetulnya kalau kita bahas melalui kriminal jadi legal, pendekatan struktur hukum karena kriminal misalnya,” ungkap dia.

    “Karena terlibat dalam judi online, karena narkoba, semuanya berhubungan dengan pidana. Pidana seperti itu tapi kalau dilihat mungkin nggak? Nah ini kan kalau mungkin ya ini kan politik itu about the art of Possibility, bisa saja tinggal sekarang siapa yang mau berjuang ke arah situ,” tandasnya.

  • Pemakzulan Hal Biasa di Indonesia dan Tidak Bisa Sepaket

    Pemakzulan Hal Biasa di Indonesia dan Tidak Bisa Sepaket

    GELORA.CO – Pemimpin di Indonesia memiliki sejarah pemakzulan yang cukup banyak, sehingga hal itu merupakan lumrah terjadi. Namun pemakzulan tidak bisa dilakukan secara sepaket.

    Demikian pandangan pakar politik dari BRIN Prof. Siti Zuhro dalam acara diskusi virtual yang digagas Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertemakan ‘Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Perspektif Hukum dan Politik’, Senin malam, 16 Juni 2025.

    “Secara empirik kita juga mencatat bahwa sebetulnya Indonesia pernah mengalami dwi tunggal yang pisah di tengah jalan. Jadi tidak hanya kepala daerah dan wakil kepala daerah, dwi tunggal ditinggal, nasional juga, demikian juga Wapres,” kata Prof. Siti Zuhro.

    Ia mengurai beberapa kepala negara yang mundur dari jabatannya, seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta atau Bung Hatta, kemudian Presiden Soeharto hingga Presiden Habibie yang hanya 15 bulan menjabat serta Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

    “Jadi pengalaman empirik ini menunjukkan bahwa sebetulnya mundurnya atau berhentinya atau bahkan dimakzulkannya Presiden itu sudah pernah terjadi,” jelasnya.

    Dari pengalaman tersebut, lanjut dia, juga menunjukkan bahwa mundur atau berhenti dari jabatan presiden bahkan wakil presiden tidak sepaket. 

    Maka dari itu, alasan bahwa pemakzulan harus sepaket tidak relevan dan signifikan serta bisa diperdebatkan.

    “Capres cawapres diamanatkan dalam konstitusi tapi setelah dilantik dan menjadi presiden dan wakil presiden pertanggungjawaban terhadap tindakan dan pelanggaran hukum yang dilakukan akan menjadi ranah masing-masing. Sangat tidak logis bila hal itu disebut sebagai paket,” tandasnya.

  • 2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Koalisi Masyarakat Sipil
    Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang dinilai menyesatkan dan merendahkan perjuangan para korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998.
    “Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk
    perkosaan massal
    , dalam peristiwa tersebut,” kata Koalisi, dilansir siaran pers di situs web KontraS, Senin (16/6/2025).
    Kecaman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 12 Juni 2025, menanggapi pernyataan Fadli dalam video wawancara bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.
    Poin kedua yang disoroti Koalisi, Fadli Zon mengeklaim bahwa isu tersebut hanyalah “rumor” dan tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
    Pernyataan ini dinilai merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
    Koalisi menilai pernyataan tersebut juga melecehkan kerja-kerja investigatif Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa.
    Menurut laporan akhir TGPF pada 23 Oktober 1998, ditemukan setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, serta puluhan korban serangan dan pelecehan seksual lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan sejumlah wilayah lainnya.
    TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi adalah “gang rape”, dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian dan kerap disaksikan orang lain.
    Koalisi menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon mengingkari bukti-bukti tersebut dan berpotensi memperkuat budaya impunitas atas pelanggaran berat HAM masa lalu.
    Lebih dari itu, sikap tersebut juga dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghapus narasi kekerasan seksual Mei 1998 dari sejarah resmi Indonesia.
    “Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi,” ungkap koalisi.
    Negara pun disebut mengalami kemunduran dalam menjamin perlindungan kepada perempuan jika sepakat dengan pernyataan Fadli Zon.
    Koalisi juga mengkritik peran Fadli Zon yang saat ini memimpin proyek revisi penulisan sejarah nasional dan menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
    Jabatan strategis ini dinilai memberi Fadli ruang untuk mengarahkan narasi sejarah nasional, termasuk potensi rehabilitasi politik terhadap figur-figur kontroversial dari era Orde Baru.
    Salah satu kekhawatiran Koalisi adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
    Padahal, Soeharto dinilai sebagai tokoh sentral dalam berbagai pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi selama masa kepemimpinannya.
    “Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur koalisi.
    Dalam pernyataan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan sejumlah tuntutan:
    1. Menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban kekerasan seksual Mei 1998.
    2. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua GTK (Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan -red)
    3. Meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan sejarah nasional yang dinilai tidak partisipatif dan berpotensi ahistoris.
    4. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap tokoh-tokoh bermasalah dari Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    5. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai UU Pengadilan HAM.
    6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai pijakan sejarah bangsa yang adil dan bermartabat.
    Sebelumnya, banyak pihak mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 lalu.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • RI kenalkan inovasi pendanaan kawasan konservasi di UNOC 2025 Prancis

    RI kenalkan inovasi pendanaan kawasan konservasi di UNOC 2025 Prancis

    Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sakti Wahyu Trenggono (kedua kiri), Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi yang akrab disapa Titiek Soeharto (kanan), dan pejabat lainnya saat menghadiri The Third United Nations Ocean Conference (UNOC-3) 2025 yang berlangsung 9-13 Juni 2025, di Nice, Prancis. ANTARA/HO-Humas KKP

    RI kenalkan inovasi pendanaan kawasan konservasi di UNOC 2025 Prancis
    Luar Negeri   
    Editor: Widodo   
    Sabtu, 14 Juni 2025 – 19:25 WIB

    Elshinta.com – Delegasi Republik Indonesia (RI) mengenalkan inovasi pendanaan kawasan konservasi pertama di dunia dalam ajang The Third United Nations Ocean Conference (UNOC-3) 2025 di Nice, Prancis, sebagai upaya menjaga kelestarian laut melalui skema pembiayaan berkelanjutan.

    “Indonesia memperkenalkan inovasi pendanaan kelautan terbaru melalui side event bertajuk Indonesia Coral Reef Bond: The World First Outcome Bond for Marine Protected Area and Its Underlying Strategic Activities, pada ajang UNOC yang berlangsung pada 9–13 Juni 2025 di Prancis,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sakti Wahyu Trenggono dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

    Dia menyampaikan inisiatif itu menjadi langkah konkret menuju target 30 persen kawasan konservasi laut pada 2045. Langkah tersebut juga upaya menjembatani kekurangan pendanaan konservasi sebesar 100–200 juta dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.

    “Coral Reef Bond merupakan instrumen pendanaan outcome based pertama di dunia untuk konservasi dengan menggunakan sumber pendanaan bukan dari pihak pemerintah (non-sovereign) dan bukan utang (non-debt), serta principal protection oleh Bank Dunia,” ujar Trenggono.

    Instrumen pendanaan tersebut digunakan untuk mendukung peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang diukur menggunakan standar global, yaitu IUCN Green List dengan indikator peningkatan biomassa ikan.

    Terdapat tiga lokasi konservasi prioritas yang menjadi fokus implementasi, yaitu Kawasan Konservasi Nasional Raja Ampat, Kawasan Konservasi Daerah Raja Ampat, dan Kawasan Konservasi Daerah Kepulauan Alor.

    “Indonesia akan mengelola dana dari forgone coupon untuk memastikan hasil konservasi yang terukur dan berkelanjutan di lokasi tersebut,” kata Trenggono.

    Trenggono juga mengajak komunitas global berkolaborasi menjaga terumbu karang, sebab tanggung jawab pelestarian tidak bisa dibebankan pada satu negara saja dan perlu dukungan investasi dari swasta, filantropi, serta masyarakat luas.

    Ketua Komisi IV DPR RI Siti Hediati Hariyadi yang akrab disapa Titiek Soeharto turut hadir dalam ajang itu, menyebut pengenalan Coral Reef Bond sebagai tonggak penting dalam inovasi keuangan konservasi.

    Ia menekankan pentingnya dukungan kebijakan dan regulasi, agar inisiatif seperti ini dapat terus tumbuh dan memberi dampak nyata.

    Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno yang memfasilitasi jalannya diskusi menegaskan Coral Reef Bond bisa menjadi model global dalam pendanaan konservasi laut yang berkelanjutan dan terukur. Pendekatan ini diharapkan dapat direplikasi oleh negara-negara lain di masa depan.

    Pelaksanaan Coral Reef Bond melibatkan kerja sama lintas lembaga, antara lain KKP, Bappenas, Kementerian Keuangan, BRIN, Bank Dunia, GEF, BNP Paribas, dan IUCN. Kolaborasi ini mencerminkan pendekatan multi-stakeholder untuk mencapai tujuan konservasi yang ambisius.

    Side event ini juga menghadirkan panelis internasional dari berbagai lembaga, seperti UN, Bank Dunia, GEF, BNP Paribas, dan UNESCO-IOC. Mereka membahas peluang dan tantangan pembiayaan konservasi, serta strategi menggerakkan pendanaan sektor swasta untuk mendukung kelestarian laut.

    Side event ini dihadiri sekitar 180 peserta dari berbagai negara dan instansi, baik pemerintah, NGO, perguruan tinggi, dan swasta serta pihak terkait lainnya.

    Sumber : Antara

  • 4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian

    4 Pulau Aceh untuk Sumut: Otonomi Kerdil, Tamparan di Wajah Perdamaian
    Odri Prince Agustinus D. Sembiring adalah mahasiswa Magister Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada. Minat risetnya berfokus pada representasi politik, ekologi politik, dan peran masyarakat sipil dalam mendorong transisi menuju keberlanjutan. Saat ini, ia tengah melakukan penelitian tentang paradoks kebijakan lingkungan di Norwegia dengan menggunakan pendekatan teori representasi deliberatif dan psikoanalisis politik. Untuk memperdalam pemahaman mengenai pembangunan global dan tata kelola sumber daya alam, Odri akan melanjutkan studi di Departemen Geografi, Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Norwegia. Di sana, ia akan mengikuti sejumlah mata kuliah seperti Diskursus Pembangunan dan Globalisasi, Jaringan Produksi Global, Perencanaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Lanskap dan Perencanaan: Konsep, Teori, dan Praktik.
    DI TENGAH
    riuhnya janji desentralisasi dan otonomi khusus, narasi ironis kembali mencuat dari ujung barat Nusantara: kisah “hilangnya” empat pulau dari pangkuan Aceh.
    Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang selama ini diakui dan dikelola oleh Kabupaten Aceh Singkil, tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025.
    Keputusan ini, yang menguap begitu saja dari meja birokrasi Jakarta, memicu gelombang protes dan kebingungan di Bumi Serambi Mekkah, merobek kain perdamaian yang terjahit.
    Fakta ini, yang secara gamblang memperlihatkan arogansi kekuasaan pusat, dapat dianalogikan sebagai Jakarta yang seolah sedang bermain papan Monopoli, menggeser kepulauan seperti pion, tanpa sedikit pun mendengar suara lokal.
    Ini bukan sekadar sengketa batas wilayah administratif semata. Lebih dari itu, kasus ini adalah cerminan telanjang dari krisis legitimasi dan efektivitas otonomi khusus Aceh pasca-MoU Helsinki.
    Insiden ini secara fundamental mempertanyakan sejauh mana otonomi khusus benar-benar memberikan kekuasaan substantif, ataukah ia hanya menjadi simbol kosong di tengah upaya resentralisasi pusat yang tak kunjung berhenti?
    Sengketa empat pulau ini bukanlah fenomena baru, melainkan episode terbaru dari ketegangan historis yang tak kunjung usai antara Jakarta dan Aceh.
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui bahwa konflik ini telah berlangsung sejak tahun 1928.
    Pola intervensi pusat yang berulang ini menunjukkan bahwa relasi kuasa antara Jakarta dan Aceh selalu diwarnai tarik ulur, bahkan setelah era Reformasi. Ini adalah “penyakit turunan” dalam hubungan pusat-daerah yang terus kambuh.
    Pasca-Orde Baru, Indonesia mengadopsi desentralisasi secara besar-besaran pada 2001. Kebijakan ini, sebagaimana dianalisis oleh Ostwald (2016), dapat termotivasi secara politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan separatisme yang mengancam stabilitas nasional setelah jatuhnya rezim Soeharto.
    Namun, Hadiz (2010) dalam karyanya
    Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
    menunjukkan bahwa desentralisasi, alih-alih menyelesaikan masalah, justru dapat membuka medan konflik kewenangan yang baru.
    Elite-elite lokal memang memanfaatkan ruang otonomi. Namun, mereka tetap berhadapan dengan logika dominasi pusat dan seringkali terjerat dalam sistem kekuasaan “predatory” yang memanfaatkan desentralisasi untuk kepentingan elite.
    Dalam sengketa pulau ini, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat memilih untuk menunjukkan amnesia historis yang mencolok di hadapan klaim Aceh.
    Aceh bersandar pada bukti-bukti historis, sosiologis, bahkan administratif yang kuat: KTP warga yang menetap di pulau-pulau tersebut adalah KTP Aceh, infrastruktur fisik seperti prasasti, mushala, dan dermaga dibangun dengan dana Pemerintah Aceh pada tahun 2012, dan batas wilayah telah diketahui turun-temurun oleh masyarakat lokal.
    Namun, Kementerian Dalam Negeri justru menolak peta topografi tahun 1978 dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) sebagai referensi resmi, mendasarkan keputusannya pada analisis spasial yang “lebih relevan”.
    Pendekatan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah pusat untuk mengabaikan konteks historis dan realitas lokal yang mengakar demi “kebenaran” administratif yang lebih baru dan sepihak.
    Hal ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga mengindikasikan bahwa keputusan pusat mungkin didorong oleh motif tersembunyi.
    Salah satu motif yang paling santer terdengar adalah potensi kandungan minyak dan gas bumi (migas) di sekitar pulau-pulau yang disengketakan, serta rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di sana.
    Jika ini benar, maka sengketa ini bukan lagi sekadar masalah administratif, melainkan konflik yang didorong oleh kepentingan sumber daya.
    Aspinall (2014) dalam analisisnya tentang “predatory peace” di Aceh, mengemukakan bagaimana elite pasca-konflik, termasuk mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi yang seringkali terkait dengan sumber daya alam.
    Kondisi ini memperkuat narasi dominasi pusat yang berorientasi pada ekstraksi ekonomi, bukan pada keadilan administratif atau penghormatan otonomi.
    Ini menguatkan kecurigaan bahwa “permainan Monopoli” Jakarta adalah manuver strategis untuk keuntungan ekonomi, bukan sekadar ketepatan batas wilayah.
    Pemberian otonomi khusus Aceh, yang diformalkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 (UU Pemerintahan Aceh) pasca-MoU Helsinki 2005, merupakan proyek kompromi monumental yang membuka jalan damai setelah konflik bersenjata berkepanjangan.
    UU ini memberikan kewenangan luas bagi Aceh untuk mengatur urusan lokal, termasuk kehidupan beragama, pendidikan, adat, pengelolaan sumber daya alam, dan pembentukan partai politik lokal.
    Namun, Aspinall (2014) mengindikasikan bahwa otonomi khusus ini “tidak menyentuh akar konflik relasi kuasa Jakarta–Aceh”.
    Kasus sengketa pulau ini menjadi bukti nyata kegagalan otonomi khusus dalam mencegah intervensi pusat yang bersifat sepihak, meskipun UU 11/2006 telah memberikan otonomi yang luas, pemerintah pusat tetap mempertahankan “kewenangan Pemerintah” dalam bidang-bidang strategis seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, dan moneter/fiskal nasional.
    Pemerintah Aceh memiliki bukti historis dan administratif yang kuat atas kepemilikan empat pulau tersebut.
    Selain KTP warga dan pembangunan infrastruktur, terdapat pula dokumen resmi seperti Kesepakatan Bersama Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Aceh Tahun 1988.
    Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan menegaskan bahwa Keputusan Mendagri yang memindahkan pulau-pulau ini “cacat formil” karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, yang merupakan dasar hukum resmi pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan mengatur batas wilayahnya.
    Lebih lanjut, MoU Helsinki merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
    Tindakan pemerintah pusat yang menggunakan regulasi di bawah undang-undang untuk mengubah batas wilayah yang diatur oleh undang-undang dan dirujuk dalam perjanjian damai menunjukkan pengikisan hierarki hukum.
    Apabila keputusan menteri dapat secara sepihak mengubah batas yang ditetapkan oleh UU dan diperkuat kesepakatan internasional seperti MoU Helsinki, maka hal ini secara fundamental merusak prinsip negara hukum dan asas
    lex superior derogat legi inferiori
    (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).
    Ini berarti status “khusus” Aceh bukan lagi hak konstitusional yang kokoh, melainkan hak istimewa yang rapuh dan mati di mata kehendak pusat.
    Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum bagi Aceh, tetapi juga menetapkan preseden berbahaya bagi daerah otonom lainnya di Indonesia, mengancam stabilitas hubungan pusat-daerah di seluruh Nusantara.
    Ironisnya, pengikisan ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, yang notabene adalah mantan Panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Kehadirannya di kursi pemerintahan seharusnya menjadi simbol penguatan otonomi dan perdamaian, namun justru menjadi saksi bisu betapa rapuhnya janji-janji pusat di hadapan realitas kekuasaan.
    Krisis ini juga mengancam rapuhnya kepercayaan pasca-konflik di Aceh. Otonomi khusus adalah hasil dari kompromi besar, di mana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) “rela mengubur mimpi merdekanya menjadi otonomi khusus” demi perdamaian.
    Ketika perdamaian telah dicapai, Aceh justru kehilangan empat pulaunya. Tentu, itu sangat menyakitkan hati, seperti diungkapkan oleh Alkaf.
    Perasaan dikhianati ini sangat dalam, mengingat pengorbanan besar yang telah dilakukan. Bräuchler (2015) dalam karyanya
    The Cultural Dimension of Peace
    menekankan pentingnya memahami dan menghormati konsepsi lokal tentang konflik, keadilan, dan rekonsiliasi, yang seringkali berakar pada narasi budaya dan historis.
    Mengabaikan dimensi ini, seperti yang dilakukan pemerintah pusat, dapat membahayakan upaya rekonsiliasi.
    Pelanggaran kepercayaan ini berisiko menghidupkan kembali keluhan historis dan sentimen alienasi dari negara Indonesia, berpotensi memicu bentuk-bentuk resistensi baru dan merongrong perdamaian yang telah susah payah dibangun.
    Resistensi masyarakat Aceh terhadap pemindahan empat pulau ini melampaui sekadar masalah batas wilayah administratif; ini adalah perjuangan yang mendalam untuk mempertahankan “harga diri” atau “marwah Aceh” dan identitas politik yang telah lama diperjuangkan.
    Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, Ahmad Humam Hamid, secara tajam menyatakan bahwa bagi masyarakat Aceh, keputusan ini “bukan sekadar titik di peta, melainkan bagian dari ruang simbolik yang menyimpan memori konflik, perjuangan otonomi, dan perjanjian damai yang diperoleh dengan pengorbanan besar”.
    Pernyataan ini menggarisbawahi betapa teritori terkait erat dengan narasi historis dan jati diri kolektif masyarakat Aceh.
    Dalam konteks ini, perlawanan Aceh mencerminkan bagaimana desentralisasi, seperti yang dijelaskan oleh Bräuchler (2015), seharusnya membuka ruang bagi ekspresi identitas lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap “kewajaran” negara pusat.
    Penekanan pada bukti-bukti sosiologis dan historis yang diwariskan turun-temurun, seperti pengakuan warga yang ber-KTP Aceh di pulau-pulau tersebut dan penggunaan dana Aceh untuk pembangunan infrastruktur di sana, adalah manifestasi dari perlawanan yang mengakar pada legitimasi lokal dan historis.
    Ini adalah upaya untuk menegaskan kembali keberdayaan dan identitas mereka di hadapan pemaksaan dari pusat.
    Bagi daerah pasca-konflik dengan identitas yang kuat, integritas teritorial tidak dapat dipisahkan dari martabat kolektif dan narasi sejarah mereka.
    Tindakan sepihak oleh pusat, meskipun mungkin dibenarkan secara administratif dari perspektif mereka, secara tidak sengaja dapat memicu kebencian yang mendalam dan memobilisasi perlawanan berbasis identitas, yang pada akhirnya mengancam perdamaian dan stabilitas.
    Para akademisi, anggota DPR RI dari Aceh, dan aktivis telah memperingatkan secara eksplisit bahwa keputusan sepihak ini berpotensi memicu ketegangan baru dan “memanaskan kembali relasi hubungan antara Aceh dan pemerintah pusat”.
    Mereka menyebutnya sebagai risiko “api dalam sekam” yang dapat mengancam stabilitas pasca-konflik, mengingat sejarah panjang perjuangan Aceh untuk otonomi dan bahkan kemerdekaan yang berdarah-darah.
    Desakan agar Presiden Prabowo mengambil alih persoalan ini dan membatalkan SK Kemendagri menunjukkan tingkat urgensi dan kekhawatiran akan eskalasi.
    Ironisnya, kebijakan desentralisasi yang menurut Ostwald (2016) awalnya dirancang sebagai manuver politik untuk meredam tekanan sentrifugal dan meningkatkan stabilitas pasca-Soeharto, kini justru menjadi pemicu ketidakstabilan baru.
    Hadiz (2010) telah mengkritik bahwa desentralisasi seringkali menciptakan “arena baru konflik” di mana elite lokal memanfaatkan peluang untuk kepentingan mereka.
    Dalam kasus ini, ambiguitas administratif atau intervensi pusat yang berlebihan telah menciptakan titik nyala baru.
    Ini mengungkapkan paradoks mendasar: kebijakan yang dirancang untuk mencegah separatisme dan meningkatkan stabilitas dapat, jika diimplementasikan dengan buruk atau ditegakkan secara sepihak, menjadi sumber ketidakstabilan baru.
    Desentralisasi yang sejati membutuhkan bukan hanya kerangka hukum, tetapi juga kemauan politik yang konsisten, penghormatan terhadap otonomi lokal, dan proses konsultatif yang transparan untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan yang mengancam kohesi nasional.
    Kasus sengketa empat pulau ini secara brutal menelanjangi kerapuhan otonomi khusus Aceh di hadapan dominasi pusat.
    Jika hak dasar atas teritori, yang merupakan inti dari kedaulatan lokal dan identitas politik, dapat digeser begitu saja dengan keputusan sepihak Kemendagri, maka otonomi khusus yang dijanjikan dalam MoU Helsinki dan UU 11/2006 tak lebih dari simbol kosong.
    Ini adalah pengkhianatan terhadap semangat perdamaian dan kompromi yang telah dicapai dengan pengorbanan besar.
    Dugaan adanya kandungan migas di pulau-pulau yang disengketakan memperkuat narasi bahwa dominasi pusat seringkali didorong oleh kepentingan ekonomi yang terselubung, bukan semata-mata efisiensi administrasi.
    Ini sejalan dengan kritik Aspinall (2014) tentang “predatory peace” di Aceh, di mana elite pasca-konflik, termasuk mantan GAM, terlibat dalam praktik
    rent-seeking
    dan korupsi, seringkali terkait dengan sumber daya alam, dan dana otonomi khusus pun belum berdampak signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
    Konflik ini menggarisbawahi bahwa relasi kuasa Jakarta–Aceh masih didominasi oleh logika ekstraksi sumber daya, yang mengabaikan hak-hak dan martabat lokal.
    Peristiwa ini secara telanjang menunjukkan bagaimana pemerintah pusat telah mengabaikan hierarki hukum, mengkhianati kepercayaan yang dibangun pasca-konflik, dan meremehkan bobot simbolis teritori bagi identitas Aceh.
    Tindakan unilateral yang dianggap sewenang-wenang ini, yang tercermin dalam analogi “Jakarta bermain Monopoli,” secara fundamental mempertanyakan ketulusan desentralisasi dan otonomi khusus.
    Mungkin sudah saatnya kita menyebutnya apa adanya: otonomi kerdil, hak istimewa yang telah dimutilasi, hanya ada di atas kertas, namun mati di lapangan.
    Dalam negara kepulauan yang beragam seperti Indonesia, integrasi nasional bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara otoritas pusat dan
    otonomi daerah
    , yang dibangun atas dasar kepercayaan dan saling menghormati.
    Ketika kekuasaan pusat dipersepsikan tidak terkendali, sepihak, dan didorong oleh kepentingan ekstraktif, hal itu berisiko mengasingkan daerah-daerah, terutama yang memiliki sejarah konflik.
    Ini dapat menyebabkan kebangkitan sentimen separatis atau ketidakpuasan yang meluas, yang pada akhirnya merongrong persatuan yang ingin dipertahankan oleh pemerintah pusat.
    Untuk menjaga keutuhan bangsa dan merawat perdamaian yang telah diraih dengan susah payah, pemerintah pusat harus segera meninjau ulang keputusan ini.
    Dialog konstruktif yang menghormati sejarah, identitas, dan martabat masyarakat lokal adalah satu-satunya jalan ke depan.
    Mengabaikan suara lokal dan menggeser batas wilayah seperti pion di papan Monopoli hanya akan menabur benih konflik baru, mengancam fondasi perdamaian dan integrasi nasional yang rapuh.
    Tanpa penghormatan tulus terhadap kekhususan dan kedaulatan teritori, otonomi khusus Aceh akan selamanya menjadi janji hampa, sebuah ironi pahit di tengah upaya membangun Indonesia yang adil dan beradab.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 9
                    
                        2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang
                        Surabaya

    9 2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang Surabaya

    2 Kali Dihalangi Ormas, Eksekusi Rumah Laksamana Soebroto Joedono di Surabaya Dijadwal Ulang
    Tim Redaksi
    SURABAYA, KOMPAS.com
    – Juru sita Pengadilan Negeri
    Surabaya
    dijadwal kembali melakukan eksekusi rumah pensiunan TNI AL di Jalan dr Soetomo, Nomor 55, Surabaya pada 17 Juni 2025 mendatang. 
    Sebelumnya eksekusi 2 kali gagal dilakukan karena diadang oleh massa ormas, yakni pada 13 Februari dan 27 Februari 2025.
    Karena pertimbangan keamanan, eksekusi pun gagal dilaksanakan. 
    Reno Suseno, kuasa hukum pemegang hak kuasa atas rumah tersebut mengaku sudah berkoordinasi dengan juru sita Pengadilan Negeri Surabaya terkait jadwal pengosongan atau eksekusi obyek rumah dimaksud.
    “Sesuai hasil koordinasi, eksekusi kembali dilakukan pada 17 Juni 2025,” katanya kepada wartawan, Jumat (13/6/2025). 
    Dia menegaskan, eksekusi rumah ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 391/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 5 Desember 2022. 
    Dia meminta kepada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri Surabaya itu menempuh proses hukum sesuai aturan hukum yang berlaku. 
    “Keputusan tersebut sudah berkekuatan hukum. Bagi siapa pun yang berkeberatan bisa mengajukan proses hukum sesuai undang-undang yang berlaku,” ujarnya.
    Dia berharap, dalam eksekusi ketiga nanti, aparat penegak hukum lebih tegas menindak dan mengawal putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum. 
    “Kami minta polisi tidak kalah dengan aksi premanisme,” katanya. 
    Rumah sebagai obyek sengketa tersebut adalah milik Laksamana
    Soebroto Joedono
    , mantan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Wapangab) era Presiden Soeharto. 
    Laksamana Soebroto Joedono menempati rumah tersebut berdasarkan izin dari TNI AL.
    Pada 28 November 1972, Laksamana Soebroto membeli rumah tersebut melalui surat pelepasan nomor K.4000.258/72. 
    Sepeninggalan Laksamana Soebroto, rumah kemudian ditempati Tri Kumala Dewi sebagai ahli waris. 
    Permasalahan hukum mulai muncul ketika terbit gugatan dari Hamzah Tedjakusuma.
    Dia mengeklaim kepemilikan berdasarkan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Gugatan yang berujung pada peninjauan kembali (PK) ini awalnya dimenangkan oleh Tri.
    Namun, Hamzah justru menjual SHGB tersebut kepada istrinya, Tina Hinderawati Tjoanda pada 23 September 1980. 
    Dari tangan Tina, dokumen tersebut kemudian dijual kembali kepada Rudianto Santoso. 
    Rudianto kemudian kembali menggugat Tri. Awalnya, Majelis Hakim menolak gugatan Rudianto. 
    Bahkan, Rudianto justru ditetapkan oleh Polda Jatim masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada 8 Juli 2013 karena melakukan pemalsuan dalam penerbitan akta jual beli. 
    Namun, Rudianto justru menjual kembali SHGB tersebut kepada Handoko Wibisono. Tri kemudian kembali mendapatkan gugatan yang kini datang dari Handoko. 
    Berbeda dari putusan sebelumnya, kali ini Tri kalah. 
    Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan Handoko Wibisono sebagai pemilik sah dengan mendasarkan pada transaksi jual beli tanah. 
    Putusan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi PN melakukan eksekusi. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.