Tag: Soeharto

  • Mengenang IGK Manila, sang pejuang di berbagai bidang

    Mengenang IGK Manila, sang pejuang di berbagai bidang

    Mantan pengurus PSSI Bidang Wasit, IGK Manila. (ANTARA)

    Mengenang IGK Manila, sang pejuang di berbagai bidang
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 18 Agustus 2025 – 17:55 WIB

    Elshinta.com – Pada 18 Agustus 2025, dunia olahraga dan masyarakat Indonesia kehilangan salah satu tokoh pentingnya. Mayor Jenderal (Purn) I Gusti Kompyang (IGK) Manila yang aktif di berbagai bidang tutup usia pada 83 tahun.

    Lahir di Singaraja, Bali pada 8 Juli 1942, IGK Manila memulai perjalanan hidupnya dengan menekuni militer. Ia merupakan salah satu dari 15 perwira remaja pertama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) dengan kecabangan Polisi Militer. Karir militernya kemudian menanjak hingga mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI AD (POM ABRI).

    Selain itu, beliau juga aktif di berbagai organisasi. Manila pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum ORARI dan Direktur Akademi Olahraga Indonesia (AKORIN), serta dikenal dengan panggilan radio amatirnya, YB0AA.

    Namun mungkin kiprah pria yang setia dengan kumis tebalnya yang paling mencolok bagi publik olahraga tanah air adalah saat ia menjadi manajer timnas Indonesia pada SEA Games 1991. Manila sukses membawa timnas Indonesia memenangi medali emas SEA Games. Prestasi itu sempat bertahan cukup lama sebelum akhirnya tim Merah-Putih kembali memenangi medali emas SEA Games pada 2023.

    Di level klub, Manila pun memiliki catatan manis. Ia pernah ditugasi Ketua KONI Jawa Barat Suryatna Subrata untuk mengurusi klub Bandung Raya. Di Bandung Raya, kiprah Manila juga sangat bagus dengan berhasil mengantarkan klub itu menjuarai Liga Indonesia pada 1996.

    Bagi publik sepak bola Jakarta, nama Manila juga terukir dengan tinta emas. Ia merupakan manajer Persija sejak 1997 sampai 2005, dan menjadi salah satu sosok penting saat Macan Kemayoran mengakhiri dahaga gelarnya dengan menjadi juara Liga Indonesia pada 2001.

    Sepak bola bukan satu-satunya olahraga yang diurusi oleh Manila. Ia juga aktif di cabang olahraga wushu dan membidani kelahiran organisasi Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) pada 1992. Manila bahkan merupakan ketua umum PB WI yang pertama.

    Patut dicatat bahwa pada masa orde baru, wushu termasuk kegiatan yang dilarang muncul di ruang publik. Namun perjuangan Manila dan beberapa tokoh wushu lainnya, termasuk dengan melobi Presiden Soeharto untuk dapat membantu pembinaan dan pembiayaan olahraga wushu.

    Belakangan Manila mengemban tanggung jawab sebagai Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem. Di lembaga itu, ia mengarahkan fokus dan energinya untuk mendidik generasi muda agar dapat menjadi pemimpin masa depan yang berintegritas, mampu berpikir visioner, tanpa abai terhadap nilai kebangsaan.

    Kepulangan Manila jelas menghadirkan duka di hati banyak kalangan. Bukan hanya dari para penikmat sepak bola tanah air, namun juga para pegiat wushu, serta organisasi politik yang akan sulit mencari pengganti sosok jendral nyentrik itu.

    Sumber : Antara

  • Bapak Wushu Mayjen (Purn) IGK Manila Meninggal Dunia, Ini Profil Lengkap dan Perjalanan Karirnya – Page 3

    Bapak Wushu Mayjen (Purn) IGK Manila Meninggal Dunia, Ini Profil Lengkap dan Perjalanan Karirnya – Page 3

    I Gusti Kompyang Manila adalah purnawirawan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal TNI Angkatan Darat (AD).

    Lahir di Singaraja, Bali, pada 8 Juli 1942, I Gusti Kompyang Manila adalah sosok yang disiplin, berintegritas, dan memiliki kecintaan tinggi terhadap Tanah Air, yang tercermin dari perjalanan hidup dan kariernya yang multidimensional.

    I Gusti Kompyang Manila merupakan lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) angkatan tahun 1964, sebuah angkatan yang melahirkan banyak perwira tangguh. Beliau termasuk dalam 15 perwira remaja pertama lulusan AMN dengan kecabangan Korps Polisi Militer (POM ABRI), menunjukkan keahliannya dalam penegakan disiplin dan hukum militer.

    Selama karier militernya, IGK Manila berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal TNI AD (POM ABRI), sebuah pencapaian yang menandakan dedikasi dan prestasinya. Salah satu jejak penting yang tak terlupakan dalam karier militernya adalah keberhasilannya dalam “Operasi Ganesha 1982”, sebuah operasi yang menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan mengelola situasi sulit.

    Pada tahun 1967, I Gusti Kompyang Manila juga pernah mengemban tugas penting sebagai petugas keamanan di Wisma Yaso, mengawal Presiden Sukarno saat menyusun naskah Pidato Nawaksara. Pengalaman ini membentuk kekagumannya terhadap dua tokoh besar Indonesia, Sukarno dan Soeharto, yang ia kagumi karena kepemimpinan dan visi mereka.

  • Sederet Kemeriahan HUT ke-80 RI: dari Proklamasi, hingga Karnaval Rakyat di Monas

    Sederet Kemeriahan HUT ke-80 RI: dari Proklamasi, hingga Karnaval Rakyat di Monas

    Bisnis.com, JAKARTA — Langit pagi Jakarta tampak bersih setelah semalaman diguyur hujan ringan. Udara yang biasanya padat dengan polusi, seolah memberi jeda pada Minggu (17/8/2025).

    Ribuan pasang mata menatap ke halaman Istana Merdeka, tempat Sang Saka Merah Putih akan dikibarkan pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia.

    Di antara semarak musik, derap langkah pasukan, hingga riuh sorak masyarakat yang memenuhi undangan, ada banyak yang berbeda dari perayaan kali ini.

    Kemeriahan tidak hanya hadir di halaman utama upacara. Di sudut istana, berdiri photobooth dengan latar dedaunan dan ornamen khas daerah yang lengkap dibubuhi tulisan tagline “HUT Ke-80 RI Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”.

    Warga, undangan, hingga pejabat tampak antusias berfoto, mengabadikan momen bersejarah ini dengan senyum lebar. Tak jauh dari sana, sebuah pameran mobil klasik menarik perhatian. Deretan kendaraan dinas presiden terdahulu—mulai dari Mercedes Benz putih yang pernah ditumpangi Soeharto hingga Cadillac Fleetwood hitam era 1980-an—menjadi magnet nostalgia. Seakan waktu berhenti sejenak, menyambungkan generasi lama dan baru dalam satu ruang kebanggaan yang sama.

    Saat upacara berlangsung pun Presiden Prabowo Subianto, untuk pertama kalinya, membacakan naskah Proklamasi di hadapan rakyat—sebuah momen simbolis yang mengikat sejarah dengan masa kini.

    Tepat pukul 10.00 WIB, halaman Istana Merdeka yang biasanya teduh berubah hening. Semua mata tertuju pada mimbar utama ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri dengan tegap. Dengan suara mantap, dia membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

    “Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…” suara itu bergema melalui pengeras suara, lalu disambut hening khidmat di antara ribuan tamu undangan.

    Biasanya, pembacaan teks Proklamasi adalah tugas Ketua DPR atau MPR. Namun, tahun ini sejarah mencatat perubahan penting untuk pertama kalinya, teks sakral itu dibacakan langsung oleh Presiden setelah pertama kali dibaca oleh proklamator RI Soekarno.

    Setelah pembacaan Proklamasi, suasana hening beralih menjadi degup yang penuh harap. Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) memasuki lapangan dengan langkah tegap. Seragam putih mereka berkilau di bawah sinar matahari.

    Sang Merah Putih, dilipat rapi dan dijaga dengan penuh kehormatan, perlahan dibawa menuju tiang utama. Ketika bendera mulai ditarik ke atas, hembusan angin membuatnya terbentang sempurna. Tepuk tangan bergemuruh.

    Bagi rakyat biasa yang lebih sering melihat megah dengan menonton dari luar pagar Istana, momen itu juga tak kalah emosional. Para pengunjung pun tampak tertib dan kooperatif, meski harus melewati beberapa lapisan pemeriksaan sebelum masuk ke area istana.

    “Ini pertama kalinya saya ikut upacara di Istana. Tak sabar sekali saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan bendera Merah Putih dikibarkan. Saya menangis,” ujar Clorinda Rahmania Revan, seorang siswi asal Padang yang datang bersama orang tuanya.

    Sejak beberapa tahun terakhir, setiap peringatan HUT RI di Istana selalu menghadirkan parade busana adat. Tradisi itu kembali hadir, dengan Presiden Prabowo tampil mengenakan pakaian adat Melayu berwarna hitam dengan berkalung melati.

    Salah satu momen paling menyentuh datang dari Presiden Prabowo sendiri. Sebelum bendera dikibarkan, ia terlihat menundukkan badan dan mencium Sang Merah Putih.

    Gerakan sederhana itu sontak mengundang decak kagum. Banyak yang menilai, ciuman tersebut melambangkan penghormatan kepada para pahlawan bangsa.

    “Saya sangat terharu. Itu simbol kecintaan pada bangsa, penghormatan pada sejarah,” ujar Utusan Khusus Presiden untuk Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni Raffi Ahmad.

    Upacara kenegaraan tahun ini juga mencatat pertemuan bersejarah: tiga presiden hadir dalam satu panggung. Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-7 Joko Widodo, dan Presiden ke-8 Prabowo Subianto duduk berdampingan.

    Kebersamaan itu mengingatkan publik pada pentingnya kesinambungan kepemimpinan. Meski berbeda latar belakang politik, ketiga presiden itu tampil akrab dan saling melempar senyum.

    Meski begitu, ada satu kursi kosong yang menyita perhatian. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri absen dari upacara.

    Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menanggapinya santai. Saat ditanya mengenai absennya Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Luhut menilai hal tersebut tidak menjadi persoalan.

    “Ya memang kita berharap lengkap, tapi mungkin Ibu Mega berhalangan, enggak apa-apa,” tandas Luhut.

    Dari Istana ke Jalanan

    Seiring matahari bergeser ke barat, suasana berubah. Jika pagi hari khidmat, maka sore hingga malam hari adalah pesta rakyat. Ribuan warga berbondong-bondong menuju kawasan Monumen Nasional (Monas) untuk menyaksikan karnaval rakyat.

    Mobil hias dari setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berparade dengan dekorasi khas. Ada yang menampilkan kapal phinisi, ada yang menghadirkan ondel-ondel raksasa, hingga miniatur naga barongsai.

    Anak-anak kecil bersorak gembira melihat pertunjukan tari daerah. Orang dewasa sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponsel.

    Di tengah keriuhan karnaval, suara rakyat tetap menjadi inti perayaan. Bagi sebagian orang, HUT ke-80 RI bukan sekadar pesta, melainkan ruang untuk merenung. Namun, bagi generasi muda, perayaan ini lebih seperti ajang kebanggaan.

    “Seru sekali saya ikut acara dari pagi sampai malam. Capek, tapi seru sekali” kata Irfan warga asal Cibubur.

    Menjaga Api Persatuan

    Perayaan 80 tahun Indonesia bukanlah garis akhir, melainkan titik awal menuju masa depan. Pemerintah berjanji akan melanjutkan program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis, pemerataan pendidikan, hingga transformasi energi.

    Namun, lebih dari sekadar program, peringatan HUT RI adalah ajakan untuk menjaga api persatuan.

    Jelang pergantian hari, di bawah langit Jakarta yang terang benderang dengan lampu malam, ribuan bendera kecil berkibar bersamaan. Di wajah-wajah rakyat, terpancar kebanggaan dan harapan. Delapan dekade Indonesia menjadi pengingat: bahwa kemerdekaan adalah hadiah yang harus dijaga, dan persatuan adalah kunci untuk melangkah lebih jauh.

  • Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

    Jakarta

    Seorang dosen senior mengatakan “Jangan panggil saya dengan Pak, cukup panggil saja dengan nama saya,” ujarnya dengan setengah memaksa. Namun seorang dosen muda menyahut “Waduh, maaf sepertinya permintaan itu sulit sekali bisa dilakukan… Pak.”

    Penggalan interaksi itu saya dapati secara langsung di kehidupan kampus, tidak lama ini. Kata sapaan Bapak atau Ibu untuk dosen yang lebih senior adalah hal yang lumrah saja, kadang juga diselipi dengan panggilan atas gelarnya.

    Namun apa yang ingin disampaikan dosen senior itu saya memahaminya–mungkin–sebagai ekspresi keinginan mendobrak relasi kuasa yang menurutnya tidak seharusnya. Bagi seorang dosen muda memanggil dengan sapaan Bapak atau Ibu kepada dosen senior, selain sebagai bentuk penghormatan juga merupakan sopan santun yang harus dijaga.

    Entah, saya sendiri belum memahami betul, apakah itu baik atau buruk sebagai iklim akademis di kampus. Tapi umumnya bagi masyarakat dengan adat ketimuran seringkali kita dengar “adab lebih utama dari ilmu”.

    Hal itu mungkin yang menjadi dasar bagi sebagian besar dosen, termasuk dosen muda untuk lebih menjunjung dan menjaga adab.

    Kisah Ben Anderson Soal Istilah ‘Bule’

    Saya jadi teringat dengan sebuah kisah dari seorang Indonesianis, Benedict Anderson (Ben), yang memberikan kontribusi kecil dalam bahasa Indonesia (tapi bertahan hingga kini). Ben mempopulerkan kata “bule”.

    Bagi sebagian orang mungkin sapaan itu adalah terdengar rasis. Faktanya justru sebaliknya, Ben hanya tidak suka seringkali dipanggail dengan sapaan “Tuan” oleh orang-orang Indonesia pada masa itu hanya karena warna kulitnya putih. Ia juga membenci ketika orang Indonesia terkesan menunduk-nunduk hormat kepadanya, hanya karena warna kulitnya.

    Bagi orang Indonesia yang baru bebas dari kolonialisme, pada masa itu sekitar 1960-an, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan memanggil “Tuan” kepada orang-orang kulit putih. Karena bagi orang Belanda, pada masa kolonial itu, keinginan untuk dipanggil “Tuan” karena merasa derajatnya yang lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia.

    Akhirnya Ben menemukan jalan keluar. Ia menyadari bahwa warna kulitnya sebenarnya bukan putih melainkan lebih mendekati warna merah muda kelabu. Akhirnya ia memberi tahu kawan-kawannya orang Indonesia, bahwa ia seharusnya dipanggil bule karena warna kulitnya mendekati seperti hewan albino yang biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai “bulai” atau “bule”.

    Dari sini kita memahami bahwa kata sapaan saja mengandung relasi kuasa. Ben hanya mencoba untuk membuat dirinya diterima sebagaimana adanya, sebagai dirinya tanpa embel-embel warna kulit.

    Saya memahami itu karena Ben seringkali adalah pendukung mereka yang tak diperhitungkan atau underdog.

    Pada masa kelam, Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun sebuah preliminary analysis yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah “Premimenary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia”, kurang lebih argumentasi awalnya adalah “percobaan kudeta” pada masa itu sebenarnya bisa dilacak pada konflik internal di tubuh militer sendiri, dan bukan PKI, sebagaimana yang luas tersiar pada masa itu.

    Karena bocornya dokumen tersebut Ben dicekal masuk ke Indonesia selama 27 tahun, dan ia baru bisa kembali saat Soeharto tumbang.

    Saya jadi teringat dengan kisah seorang pahlawan nasional, Sutan Syahrir. Ia adalah Perdana Menteri Indonesia pertama, termasuk orang yang secara aktif ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri maupun forum-forum internasional. Namun naas bagi Syahrir, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Syahrir seperti dikhianati oleh bangsanya sendiri.

    Berbeda dengan Syahrir, Ben wafat di Kota Batu sebelum akhirnya abunya di Larung di laut utara Jawa. Sementara itu, jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

    Demokrasi Masa Depan

    “Dimana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang” tulis William Liddle. Saya kira apa yang menjadi kalimat pembuka sebuah naskah orasi ilmiah yang pernah diberikan William Liddle, pada 2011 silam, masih sangat relevan dengan kondisi dunia hari ini, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah orasi ilmiah pada masa itu, muncul beragam perdebatan atasnya, dapat membacanya pada masa itu saya merasa beruntung.

    Gelombang otokrasi seperti merebak. Banyak negara mulai menunjukkan gejala apa yang disebutkan oleh Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive
    authoritarianism. Tanda-tandanya bisa banyak dan beragam, seperti adalah terjadi represi kepada pihak-pihak “oposisi” atau mereka yang mengkritik pemerintah.

    Penggunaan kekuasaan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan organisasi masyarakat sipil, tujuannya agar suara kritis tidak terdengar nyaring.

    Hukum digunakan sebagai senjata untuk mengadili lawan dan mengamankan kawan adalah tanda lainnya. Selain itu, mengamankan kursi mayoritas di parlemen menjadi bagian penting untuk memastikan setiap kebijakan berjalan lancar, serta membungkam suara sumbang. Dalih yang sering digunakan adalah sebuah bangsa yang besar butuh persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, koalisi gemuk adalah jalan yang pasti ditempuh.

    Namun sadarkah kita? Bahwa koalisi gemuk, bahkan ketiadaan oposisi, justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang keliru seringkali awalnya tidak datang awal meja-meja parlemen. Namun apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan-kekecewaan kita terhadapnya?

    Pernah suatu sore di akhir pekan dalam sebuah obrolan ringan seorang kawan dengan nada setengah bercanda menuturkan, “Demokrasi itu bikinan barat, nggak cocok buat kita.” Kawan lain ikut menyahut, “Lalu yang origin kita apa? Kerajaan atau monarki”, tiba-tiba suasana menjadi hening.

    Refleksi Kemerdekaan

    Menjelang hari kemerdekaan, pada 17 Agustus 2025, di pingir-pingir jalanan mulai menjamur penjual bendera dan umbul-umbul merah putih dengan beragam ukuran dan jenis. Kita Bersiap untuk merayakannya dengan beragam acara.

    Namun apakah hari kemerdekaan ini hanya akan kita maknai sebatas ritual pengibaran bendera, acara perlombaan, atau seremonial?

    Memang tidak salah merayakannya dengan cara demikian. Tapi mengingat usia republik yang sudah tidak lagi muda-80 tahun-upaya perayaan secara reflektif penting untuk dilakukan.

    Refleksi memungkinkan kita untuk meneropong jauh ke depan, sekaligus memaknai masa lalu secara kontemplatif. Karena berbagai persoalan bangsa hari ini, tidak muncul tiba-tiba, ia merupakan penjelmaan dari beragam artikulasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

    Dari Ben kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita harus menghilangkan puing-puing kolonialisme, termasuk neo-kolonialisme yang menjangkiti bangsa kita sekian lama. Ben menunjukkan seharusnya politik juga berpihak pada mereka yang tak dihitung, mereka yang lemah, atau mereka yang terpinggirkan.

    Selanjutnya dari Syahrir kita juga memahami, bahwa terkadang cinta dan ketulusan terhadap Republik tidak selalu berbalas sebagaimana mestinya, dan kita mesti siap dengan segala konsekuensi. Namun bagaimanapun kecintaan terhadap Republik tidak boleh luntur.

    Liddle menunjukkan kepada kita, meskipun demokrasi itu terkadang mengecewakan dan tidak seperti yang kita harapkan, namun langkah-langkah perbaikan atas mutu demokrasi harus selalu diupayakan. Karena melalui demokrasi pelbagai kepentingan dan pertisipasi warga negara menjadi dimungkinkan, serta demokrasi memungkinkan terwujudnya mekanisme perbaikan diri yang bisa terus tumbuh.

    Selanjutnya, ketidakjelasan oposisi dalam pemerintahan kita hari ini, bisa menjadi pertanda buruk. Karena ketiadaan mitra kritis pemerintah, parlemen hanya akan jadi tukang stempel bagi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak evidence-based policy atau lebih buruk lagi hanya didasarkan pada selera penguasa.

    Adakah jalan lainnya? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang pernah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya “Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics”. Setidaknya dalam demokrasi radikal, ‘perbedaan’ tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya berfungsi melalui adanya ‘perbedaan’.

    Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memainkan antagonisme dalam politik. Sehingga melaluinya demokrasi radikal perbedaan dalam politik “kita” dan “mereka” akan selalu tumbuh, dan dengan demikian demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

    Faris Widiyatmoko. Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

    (rdp/imk)

  • Iriana Jokowi dan Titiek Soeharto Kompak Ikut Joget Diiringi Lagu Tabola Bale usai Upacara HUT RI – Page 3

    Iriana Jokowi dan Titiek Soeharto Kompak Ikut Joget Diiringi Lagu Tabola Bale usai Upacara HUT RI – Page 3

    Sementara itu, Titiek Soeharto yang memakai baju adat Sumatera Barat bewarna merah juga ikut berjoget. Titiek yang duduk disebelah putranya, Didit Hediprasetyo terlihat tersenyum sambil menggoyangkan badannya mengikuti suara lagu Tabola Bale.

    Lagu Tabola Bale menjadi penutup rangkaian peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka. Saat lagu tersebut dinyanyikan, tamu undangan maju kedepan halaman Istana Merdeka untuk berjoget bersama.

    Para menteri Kabinet Merah Putih juga ikut berjoget, terutama Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya. Presiden Prabowo Subianto yang awalnya duduk di mimbar kehormatan, akhirnya turun ke tengah masyarakat dan ikut berjoget.

  • Gerobak UMKM dan mobil kepresidenan hadir di Istana jelang HUT RI

    Gerobak UMKM dan mobil kepresidenan hadir di Istana jelang HUT RI

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah gerobak kuliner usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta mobil kepresidenan disiapkan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia.

    Berdasarkan pantauan ANTARA di Jakarta, Sabtu, deretan gerobak UMKM ditempatkan di halaman tengah dan beberapa titik lainnya di area Istana.

    Berbagai menu khas Nusantara tersedia bagi tamu undangan, di antaranya nasi goreng, tahu gejrot, kue cubit, bakso Malang, soto ayam, siomay, kue pukis, sate Padang, es cendol, hingga gado-gado.

    Deretan gerobak UMKM disiapkan di halaman tengah Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Sabtu (16/8/2025). ANTARA/Fathur Rochman

    Makanan tersebut disiapkan secara cuma-cuma untuk tamu undangan yang hadir. Selain kuliner, turut pula disiapkan panggung hiburan untuk memeriahkan suasana perayaan kemerdekaan.

    Di halaman belakang Istana Kepresidenan, mobil-mobil kepresidenan yang pernah digunakan sejumlah Presiden RI turut dipamerkan.

    Koleksi tersebut mencakup Cadillac Fleetwood Brougham tahun 1980 yang pernah dipakai Presiden ke-3 RI B.J. Habibie, serta Mercedes Benz S280 tahun 1980 yang tercatat digunakan Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-3 RI B.J. Habibie, dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.

    Peringatan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka akan dihadiri sekitar 16 ribu tamu undangan. Sebanyak 8.000 tamu dijadwalkan hadir pada upacara Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI pada pagi hari, sementara 8.000 tamu lainnya akan mengikuti upacara penurunan bendera pada sore hari.

    Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Minggu (17/8), akan dipusatkan di halaman Istana Merdeka dan kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta.

    Berdasarkan Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara Nomor B-25/M/S/TU.00.03/08/2025, upacara peringatan Detik-detik Proklamasi dan Upacara Penurunan Bendera Sang Merah Putih akan dipimpin langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto selaku inspektur upacara.

    Tamu undangan meliputi pimpinan lembaga negara, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Kabinet Merah Putih, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, duta besar negara sahabat, serta masyarakat. Peserta diimbau mengenakan wastra nusantara.

    Pewarta: Fathur Rochman
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Singgung Peristiwa 1998, Rocky Gerung Prediksi Gibran Bisa Alami Skenario Lengser ala Soeharto

    Singgung Peristiwa 1998, Rocky Gerung Prediksi Gibran Bisa Alami Skenario Lengser ala Soeharto

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik Rocky Gerung menilai Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berpotensi menghadapi tekanan politik yang bisa memaksanya mengambil langkah ekstrem, termasuk mengundurkan diri, bahkan mengalami situasi seperti peristiwa 1998.

    Pendapat ini ia sampaikan melalui kanal YouTube Hendri Satrio Official. Rocky menjelaskan, meskipun secara konstitusi pemakzulan dimungkinkan melalui mekanisme DPR, MPR, hingga Mahkamah Konstitusi, proses tersebut panjang dan rumit.

    “Yang gampang, senior di kampus pasti akan mengajari cara berorganisasi dan cara untuk berdemonstrasi ke junior. Kalau mahasiswa sudah masuk kuliah demo ke DPR, (Gibran) tinggal pilih, mengundurkan diri atau (mengulangi peristiwa) ’98. Gitu aja kan lebih efisien,” ujar Rocky, dikutip Sabtu (16/8/2025).

    Rocky mengingatkan, sejarah mencatat bagaimana tekanan massa mahasiswa memaksa Presiden ke-2 RI Soeharto turun demi meredam kerusuhan nasional.

    “Beliau sangat cerdas dan cerdik dalam politik, tapi beliau merasa sudah melihat massa sebanyak itu, artinya kerusuhan di mana-mana, ya mundur,” ungkapnya.

    Menurut Rocky, skenario serupa bukan hal yang mustahil terjadi lagi.

    Ia menegaskan, Indonesia memiliki banyak sosok pengganti jika Gibran harus mundur.

    “Gibran akan diganti karena ada tekanan politik. Dari mana? Ya dari partai politik,” tegas Rocky.

    Ia juga menilai prosedur resmi hanyalah salah satu sisi persoalan. Dalam banyak kasus, dinamika politik dan respons publik sering kali lebih menentukan nasib pejabat tinggi negara.

  • Top 3 News: Prabowo Peringatkan Beking Tambang Ilegal – Page 3

    Top 3 News: Prabowo Peringatkan Beking Tambang Ilegal – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan akan menindak tegas tambang-tambang illegal di Tanah Air. Hal ini ia ungkapkan dalam Sidang Tahunan DPR/MPR, Jumat 15 Agustus 2025. Itulah top 3 news hari ini.

    Prabowo mengaku mendapatkan laporan bahwa ada ribuan tambang illegal di Indonesia. Dan ini membuat RI mengalami potensi kerugian yang sangat besar.

    Ketua Umum Partai Gerindra itu mengaku tak peduli jika tambang ilegal dibeking oleh aparat militer, kepolisian, atau politisi dari partai-partai besar. Semua akan diberantas.

    Sementara itu, Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi memberikan dua jempol tangan kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Momen ini terjadi usai Prabowo selesai menyampaikan pidato kenegaraan perdananya dalam Sidang Tahunan MPR-DPR RI yang digelar di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Jakarta, Jumat 15 Agustus 2025.

    Presiden Prabowo awalnya menghampiri satu per satu para mantan presiden, wakil presiden, dan tokoh politik yang duduk di tribun atas ruang paripurna.

    Berita terpopuler lainnya di kanal News Liputan6.com adalah terkait Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato kenegaraannya untuk pertama kali di sidang tahunan MPR menjelang HUT ke-80 RI, Jumat 15 Agustus 2025.

    Dalam pidatonya, sejumlah capaian dan persoalan disampaikan. Prabowo sampai mendapatkan standing ovation dari para anggota MPR/DPR. Setelah pidato, ada momen unik yang terpotret kamera. Prabowo sempat menghampiri sejumlah hadirin yang ada di kursi parlemen.

    Duduk di baris paling depan, Tampak ada Titiek Soeharto. Tak luput jadi orang yang dihampiri Prabowo. Momen inilah yang menjadi sorotan publik.

    Berikut deretan berita terpopuler di kanal News Liputan6.com sepanjang Jumat 15 Agustus 2025:

    Sidang Tahunan MPR RI, Sidang Bersama DPR RI-DPD RI, hingga Rapat Paripurna DPR RI penyampaian Nota Keuangan dan RUU APBN 2026 digelar hari ini, Jumat (15/8/2025). Sejumlah tokoh telah hadir, termasuk Presiden Prabowo dan Wapres Gibran yang sempat be…

  • Kementan target mendistribusikan beras SPHP 7.000 ton per hari

    Kementan target mendistribusikan beras SPHP 7.000 ton per hari

    Ada target capaian hariannya. Ini sekarang sudah di atas 3.000 ton per hari, kita target 7.000 ton per hari.

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan dapat mendistribusikan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebanyak 7.000 ton per hari.

    “Ada target capaian hariannya. Ini sekarang sudah di atas 3.000 ton per hari, kita target 7.000 ton per hari,” ujar Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono saat ditemui seusai Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025, di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

    Sudaryono mengatakan pendistribusian beras SPHP sangat penting di masa tidak ada panen raya saat ini, sebagai upaya untuk menstabilkan harga beras di pasaran.

    “Di masa sekarang ini, dimana masa sekarang tidak ada panen, ini penting untuk penstabilan harga. Ini kan sebetulnya siklus biasa tahunan, siklusnya selalu ada dan kita harus lebih siap,” ujar Sudaryono.

    Pihaknya memastikan pemerintah siap untuk mencapai target distribusi beras SPHP sebanyak 7.000 ton per hari tersebut, seiring cadangan beras nasional yang memadai.

    “Kenapa kita harus lebih siap. Dan kita siap saat ini karena kita punya cadangan berasnya,” ujar Sudaryono.

    Ia menjelaskan, peningkatan distribusi beras SPHP akan dilakukan secara bertahap, di antaranya awalnya sebanyak 2.000 ton per hari, dan saat ini telah meningkat menjadi 3.000 ton per hari, kemudian akan ditingkatkan menjadi sebanyak 7.000 ton per hari.

    “Target 7.000 per hari ini kan naik terus tiap hari. Mulai dari awalnya 2.000 ton per hari, sekarang sudah 3.000 sekian, terus kita tingkatkan terus,” ujar Sudaryono.

    Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto meminta Perum Bulog mempercepat penyaluran beras melalui program SPHP secara merata ke seluruh daerah.

    “(Program) SPHP-nya jalan terus. Kita minta supaya cepat selesai, cepat dihabiskan,” ujar Titiek.

    Ia mengatakan sejauh ini hasil pemantauan pihaknya di sejumlah daerah, termasuk Sulawesi Selatan, menunjukkan penyaluran SPHP telah berjalan.

    Meski demikian, ia menekankan agar Bulog segera mengeluarkan stok-stok lama di gudang agar perputaran pasokan berjalan lancar.

    Menjelang peringatan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, program pendistribusian beras SPHP yang dijalankan Perum Bulog secara masif di seluruh wilayah mulai membuahkan hasil positif.

    Harga beras di pasar berangsur turun, yang diikuti penurunan harga gabah di tingkat petani setelah sebelumnya sempat melambung tinggi.

    Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, dalam periode 1-14 Agustus 2025, harga GKP terkoreksi di sejumlah wilayah, antara lain: Aceh dari Rp7.750 menjadi Rp6.900 per kilogram, Jambi dari Rp6.867 menjadi Rp6.720/kg; Sumatera Selatan dari Rp6.666 menjadi Rp6.543/kg; Jawa Tengah dari Rp6.814 menjadi Rp6.809/kg; DIY dari Rp6.608 menjadi Rp6.547/kg; Banten dari Rp6.527 menjadi Rp6.500/kg; Kalimantan Selatan dari Rp6.581 menjadi Rp6.533/kg; dan Sulawesi Barat dari Rp6.759 menjadi Rp6.730/kg.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jelang HUT ke-80 RI, Ini Pesan dari Seluruh Presiden RI Sepanjang Masa

    Jelang HUT ke-80 RI, Ini Pesan dari Seluruh Presiden RI Sepanjang Masa

    Bisnis.com, JAKARTA — Sidang Tahunan MPR 2025 kini menayangkan video capaian kinerja dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Adapun, dalam penayangan video ini menjadi yang berbeda dari era Presiden-presiden sebelumnya.

    Video tersebut diputar setelah Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan pidato, Jumat (15/8/2025).

    Tayangan dibuka dengan narasi: “Setiap pemimpin bangsa ikut andil dalam pembangunan, menyiapkan landasan yang kokoh menuju Indonesia maju. Tugas kita sekarang melanjutkan perjuangan.”

    Urutan tayangan dimulai dengan suara Proklamasi Kemerdekaan oleh Presiden Pertama RI Soekarno.

    “Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan indonesia,” tutur suara Soekarno.

    Selanjutnya, Presiden ke-2 Soeharto menuturkan soal kemakmuran dan keadilan sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
    Lalu, ditampilkan kutipan dari Presiden ke-3 RI B.J. Habibie yang menuturkan bahwa Indonesia yang harus tetap satu.

    “Bangsa Indonesia harus tetap dari Sabang sampai Merauke satu sepanjang masa,” jelas kutipan B.J Habibie.

    Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menekankan penghargaan terhadap kemajemukan.

    “Republik Indonesia menghargai kemajemukan baldatun thayyibatun wa robbun ghafur,” tutur Gus Dur.

    Setelahnya, ditampilkan kutipan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri soal mengajak masyarakat menatap masa depan dan bersatu memperbaiki kehidupan serta martabat bangsa.

    Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono juga ditampilkan soal pentingnya memperkokoh persatuan, karena Indonesia adalah bangsa besar yang rukun dan bersatu.

    Presiden ke-7 Joko Widodo menyebut Indonesia sebagai “rumah besar” yang terwujud jika seluruh elemen bangsa bersatu.

    Terakhir, adalah penayangan kutipan Presiden ke-8 Prabowo Subianto yang mengajak untuk membangun Indonesia, dari apa yang sudah dibangun oleh Presiden-Presiden sebelumnya.

    “Mari kita bangun Indonesia di atas landasan yang sudah dirintis oleh pendahulu-pendahulu kita,” ucap Prabowo.