Tag: Soeharto

  • Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ahmad Muzani Bilang Tak Bermasalah

    Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ahmad Muzani Bilang Tak Bermasalah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengusulan nama Presiden ke-2 RI, Soeharto jadi Pahlawan Nasional menuai pro dan kontra. Sejumlah pihak mempersoalkan pengusulan tersebut dengan alasan jejak masa lalunya saat berkuasa.

    Merespons pro dan kontra itu, Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menyebut pemberian gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden kedua RI, Soeharto sudah tak bermasalah.

    Alasannya, karena pencabutan nama eks Pangkostrad itu dalam TAP Nomor XI/MPR/1998.

    “Kalau dari sisi MPR, kan, pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan klir, dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR, sehingga seharusnya juga itu tidak menimbulkan problem lagi,” ujar Muzani kepada awak media seperti dikutip, Jumat (24/10).

    Namun, Sekretaris Dewan Pembina Gerindra itu menyerahkan kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto.

    Muzani merasa yakin Prabowo memiliki pertimbangan yang matang dalam memberikan seseorang gelar Pahlawan Nasional.

    “Jadi, saya kira tunggu bagaimana keputusan Presiden untuk memberi gelar Pahlawan Nasional ke tokoh yang dipilih,” ujarnya.

    Kementerian Sosial (Kemensos) mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh bisa memperoleh gelar Pahlawan Nasional pada Hari Pahlawan 10 November 2025 mendatang.

    Nama Soeharto bersama aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah dan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masuk usulan Kemensos.

    Mensos Saifullah Yusuf menyerahkan berkas usulan tersebut kepada Menteri Kebudayaan (Mnebud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta.

  • Ada Soeharto, Gus Dur, HB Jassin hingga Marsinah

    Ada Soeharto, Gus Dur, HB Jassin hingga Marsinah

    GELORA.CO –  Kementerian Sosial telah mengusulkan 40 nama untuk diberikan gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).

    Mensos, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, menegaskan bahwa seluruh calon telah melalui proses panjang dan memenuhi persyaratan.

    Menurut Gus Ipul, setiap usulan diawali dari kabupaten/kota dengan melibatkan masyarakat setempat, ahli sejarah, dan bukti dokumenter.

    Selanjutnya, nama-nama itu dibawa ke tingkat provinsi, kemudian ke Kemensos, dan terakhir ke Dewan Gelar.

    “Karena memang sebelumnya harus diproses lewat kabupaten kota bersama masyarakat setempat, ahli sejarah, dan tentu ada bukti-bukti yang menyertai dari proses itu,” ujarnya.

    Beberapa tokoh yang masuk daftar usulan termasuk Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, serta aktivis buruh Marsinah.

    “Beberapa nama di antaranya kemarin sudah saya sampaikan ada Presiden Abdurrahman Wahid, ada Presiden Soeharto, juga ada pejuang buruh Marsinah,” jelas Gus Ipul.

    40 Calon Pahlawan Nasional

    Berikut daftar 40 tokoh yang diusulkan mendapatkan gelar pahlawan nasional pada 2025:

    Usulan 2025:

    1. KH. Muhammad Yusuf Hasyim – Jawa Timur

    2. Demmatande – Sulawesi Barat

    3. KH. Abbas Abdul Jamil – Jawa Barat

    4. Marsinah – Jawa Timur

    Usulan Tunda 2024:

    5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah – Sumatera Barat (Diusulkan pada 2024)

    6. Abdoel Moethalib Sangadji – Maluku (Diusulkan pada 2023)

    7. Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin – DKI Jakarta (Diusulkan pada 2010)

    8. Letnan Kolonel (Anumerta) Charles Choesj Taulu – Sulawesi Utara (Diusulkan pada 2023)

    9. Mr. Gele Harun – Lampung (Diusulkan pada 2023)

    10. Letkol Moch. Sroedji – Jawa Timur (Diusulkan pada 2019)

    11. Prof. Dr. Aloei Saboe – Gorontalo (Diusulkan Tahun 2021)

    12. Letjen TNI (Purn) Bambang Sugeng – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2010)

    13. Mahmud Marzuki – Riau (Diusulkan Tahun 2022)

    14. Letkol TNI (Purn) Teuku Abdul Hamid Azwar – Aceh (Diusulkan Tahun 2021)

    15. Drs. Franciscus Xaverius Seda – Nusa Tenggara Timur (Diusulkan Tahun 2012)

    16. Andi Makkasau Parenrengi Lawawo – Sulawesi Selatan (Diusulkan Tahun 2010)

    17. Tuan Rondahaim Saragih – Sumatera Utara (Diusulkan Tahun 2020)

    18. Marsekal TNI (Purn) R. Suryadi Suryadarma – Jawa Barat (Diusulkan Tahun 2024)

    19. K.H. Wasyid – Banten (Diusulkan Tahun 2024)

    20. Mayjen TNI (Purn) dr. Roebiono Kertopati – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2024)

    Usulan Memenuhi Syarat Diajukan Kembali (2011-2023):

    21. Syaikhona Muhammad Kholil – Jawa Timur (Diusulkan Tahun 2021)

    22. K.H. Abdurrahman Wahid – Jawa Timur (Diusulkan Tahun 2010)

    23. H.M. Soeharto – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2010)

    24. K.H. Bisri Syansuri – Jawa Timur (Diusulkan Tahun 2020)

    25. Sultan Muhammad Salahuddin – Nusa Tenggara Barat (Diusulkan Tahun 2012)

    26. Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf – Sulawesi Selatan (Diusulkan Tahun 2010)

    27. H.B. Jassin – Gorontalo (Diusulkan Tahun 2022)

    28. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja – Jawa Barat (Diusulkan Tahun 2022)

    29. M. Ali Sastroamidjojo – Jawa Timur (Diusulkan Tahun 2023)

    30. dr. Kariadi – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2020)

    31. R.M. Bambang Soeprapto Dipokoesoemo – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2023)

    32. Basoeki Probowinoto – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2023)

    33. Raden Soeprapto – Jawa Tengah (Diusulkan Tahun 2010)

    34. Mochamad Moeffreni Moe’min – DKI Jakarta (Diusulkan Tahun 2018)

    35. K.H. Sholeh Iskandar – Jawa Barat (Diusulkan Tahun 2023)

    36. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli – Sumatera Barat (Diusulkan Tahun 2022)

    37. Zainal Abidin Syah – Maluku Utara (Diusulkan Tahun 2021)

    38. Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy – Maluku (Diusulkan Tahun 2021)

    39. Chatib Sulaiman – Sumatera Barat (Diusulkan Tahun 2023)

    40. Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri – Sulawesi Tengah (Diusulkan Tahun 2010).***

  • Pameran Studi Arsip Mia Bustam dari Karya, Kehidupan hingga Pemikiran

    Pameran Studi Arsip Mia Bustam dari Karya, Kehidupan hingga Pemikiran

    Yogyakarta: Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, nama Mia Bustam selama ini seringkali hanya dilihat sebagai mantan istri seorang maestro. 

    Kiprah Mia yang meliputi kerja-kerja perawatan dalam berbagai interaksi kerja kolektif seni rupa (Seniman Indonesia Muda/SIM, Lembaga Kebudayaan Rakyat/LEKRA, dan Sanggar Pelukis Rakyat) sekaligus proses keseniannya sebagai seorang ibu tunggal dari delapan anak seolah dilupakan begitu saja. 
     

    Lahir dengan nama Sasmiyati Sri Mojoretno, Mia Bustam (1920–2011) adalah seorang seniman, penyulam, penulis, dan penerjemah. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Van Deventer Surakarta dan lulus pada 1937. 

    Lalu Mia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), bahkan sempat memimpin LEKRA Yogyakarta (1963-1965).  Ia sempat belajar di Universitas Rakyat (UNRA) dan menjadi siswa terbaik pada 1963. Karyanya, Potret Diri (1959), pernah dipamerkan keliling Eropa Timur sebelum lenyap dalam prahara politik 1965.

    Studi arsip dari majalah Api Kartini Edisi 10 Tahun 1960 mengungkapkan cita-cita Mia Bustam mengadakan pameran tunggal. 

    Sayangnya, impian ini tak pernah terwujud selama ia hidup. Ia diciduk pada 23 November 1965 di hadapan anak-anaknya, kemudian ditahan tanpa proses peradilan selama tiga belas setengah tahun berikutnya hingga akhirnya dibebaskan pada 27 Juli 1978. 

    Temuan dalam Api Kartini tentang impian Mia Bustam mengadakan pameran tunggal inilah yang memantik tim riset dan pameran yang terdiri dari Astrid Reza, Dyah Soemarno, Sylvie Tanaga, Alfian Widi, dan Balqis Nabila menginisiasi pameran tunggal Mia Bustam di bawah payung Biennale Jogja 18 “KAWRUH: Tanah Lelaku” yang dikuratori oleh Alia Swastika. 

    Meski sebagian besar karya seni lenyap dan impian pameran tunggal tak pernah terwujud, sosok Mia Bustam tetap dikenang sebagai perupa dan penulis yang gigih berkarya di tengah represi dan stigma rezim Soeharto. 

    Mengingat sebagian besar karya visual Mia telah musnah, tim riset memilih pendekatan rekonstruksi dan interpretasi dari arsip-arsip yang ada, reproduksi dokumentasi karya yang tersisa, serta penggalian narasi biografis dan sejarah personal Mia Bustam. 

    Berangkat dari tesis Astrid Reza di jenjang Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma dengan topik Memoar Mia Bustam: Melampaui Melankolia Kaum Kiri (2025), tim riset menggodok pameran ini sebagai inisiatif solidaritas kebersamaan antar generasi lintas disiplin untuk menghadirkan narasi seniman masa lalu dan menemukan konteksnya pada generasi hari ini.

    Proses kesenian Mia Bustam sempat terhenti karena tragedi 1965 walaupun ia masih melukis dalam penjara sekalipun itu pesanan sipir. Ia menuangkan banyak energi kesenian dan proses meditatif yang sarat kerinduan pada anak-anaknya. 

    “Hari ini, Mia Bustam mengajarkan kita bahwa melankolia harus dilampaui. Keteguhan Mia menjadi pelajaran tentang daya tahan sekaligus semangat menggerakkan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan pembodohan,” papar Astrid Reza dalam pembukaan pameran yang berlangsung 6 Oktober 2025 petang di pelataran Benteng Vredeburg.

    Astrid pun menegaskan pameran ini mengimajinasikan kemungkinan utopis tentang sejarah seni rupa jika tragedi 1965 tidak terjadi, sekaligus menghadirkan ruang reflektif-interaktif untuk merenungkan kembali makna kehilangan, pelarangan, dan keterputusan dalam sejarah seni perempuan.

    Senada Astrid, St. Sunardi, dosen dari Universitas Sanata Dharma yang juga pembicara dalam acara pembukaan pameran menyerukan pentingnya menggarisbawahi daya hidup Mia yang jauh lebih besar daripada karya seninya itu sendiri. 

    “Daya hidup jauh lebih penting daripada ambisi diakui sebagai seniman sukses. Kehidupan Mia Bustam yang tercermin dalam memoarnya-lah yang seharusnya merevitalisasi dunia seni rupa di Indonesia, bukan sebaliknya,” ucap Sunardi. 

    Alia Swastika, kurator pameran arsip Mia Bustam, menjabarkan peran krusial Mia sebagai pendukung kiprah para seniman muda dalam gerakan internasionalisme. 

    “Merujuk pada majalah Api Kartini yang ditemukan oleh tim riset pameran, Mia terdaftar sebagai anggota Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia dengan Uni Soviet. Ini menunjukkan  perempuan daerah seperti Mia pun bisa punya visi yang sangat besar dan sangat kosmopolitan,” kata Alia.  

    Enam anak Mia Bustam turut menghadiri pembukaan pameran tunggal ibundanya yang sangat bersejarah. 

    “Ini pertama kalinya dalam sejarah karya-karya ibu ditampilkan dalam pameran tunggal. Dari diskusi-diskusi terkait pameran ini, kami anak-anaknya baru sadar betapa istimewanya sosok ibu. Selama ini kami tak pernah berpikir sejauh itu. Kami hanya melihatnya sebagai seorang ibu,” terang Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia Bustam yang juga didapuk sebagai pembicara. 

    Pameran Studi Arsip Mia Bustam berlangsung 6 Oktober hingga 20 November 2025 mendatang di Ruang Sultan Agung, Benteng Vredeburg, Yogyakarta. 
    Pameran masa perjalanan hidup Mia Bustam 
    Pameran antara lain menampilkan lini masa perjalanan hidup Mia Bustam, arsip, foto, tulisan tangan, dan karya-karya visual yang masih tersisa seperti lukisan, sketsa, dan sulaman. Tim juga berkolaborasi dengan lima seniman kontemporer Yogyakarta yakni Awanda B. Destia, Kemala Hayati, Nadya Hatta, Nessa Theo, dan Chandra Rossellini yang merespons jejak artistik Mia Bustam. 

    “Saya ‘menyelesaikan’ lukisan Mia yang tak selesai karena beliau keburu masuk penjara. Di sini, saya mencoba memahami bagaimana karya seni sebetulnya lekat sekali dengan kehilangan, tetapi kita juga tidak bisa mereduksi hidup sebagai kesedihan belaka. Saya bereksperimen dengan bentuk-bentuk tiga dimensi untuk merayakan perjuangan dan cita-cita mereka yang tak gentar berjuang bagi kita yang hidup hari ini,” jelas Nessa Theo yang menjuduli lukisannya The Other Side of Melancholia (2025).

    Pimpinan Produksi Pameran Mia Bustam, Dyah Soemarno, memaknai pameran ini sebagai pintu masuk mengenalkan Mia Bustam pada publik yang selama ini tidak pernah mendengar sosok Mia sebelumnya mengingat banyaknya babak sejarah yang luput dari narasi arus utama. 

    Bagi Dyah, pameran ini permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang bahkan berkontribusi membantu keluarga penyintas seperti dirinya mengetahui apa yang sesungguhnya menimpa nenek-moyangnya. 

    “Mia Bustam meninggalkan catatan-catatan yang seolah mewakili suara hati kakek-nenek lainnya yang juga mengalami hal serupa. Keluarga tercerai-berai karena pilihan politik dan anak-cucunya tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau korban langsungnya saja bingung, apalagi kita. Saya rasa pameran ini menjadi semacam jalan menuju rekonsiliasi. Catatan Mia yang sangat detail setidaknya bisa membantu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu, yang selama ini tidak pernah bisa dijelaskan dengan baik dalam narasi sejarah mana pun,” tutur Dyah.

    Yogyakarta: Dalam sejarah seni rupa di Indonesia, nama Mia Bustam selama ini seringkali hanya dilihat sebagai mantan istri seorang maestro. 
     
    Kiprah Mia yang meliputi kerja-kerja perawatan dalam berbagai interaksi kerja kolektif seni rupa (Seniman Indonesia Muda/SIM, Lembaga Kebudayaan Rakyat/LEKRA, dan Sanggar Pelukis Rakyat) sekaligus proses keseniannya sebagai seorang ibu tunggal dari delapan anak seolah dilupakan begitu saja. 
     

    Lahir dengan nama Sasmiyati Sri Mojoretno, Mia Bustam (1920–2011) adalah seorang seniman, penyulam, penulis, dan penerjemah. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Van Deventer Surakarta dan lulus pada 1937. 
     
    Lalu Mia bergabung dengan Seniman Indonesia Muda (SIM) dan Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), bahkan sempat memimpin LEKRA Yogyakarta (1963-1965).  Ia sempat belajar di Universitas Rakyat (UNRA) dan menjadi siswa terbaik pada 1963. Karyanya, Potret Diri (1959), pernah dipamerkan keliling Eropa Timur sebelum lenyap dalam prahara politik 1965.

    Studi arsip dari majalah Api Kartini Edisi 10 Tahun 1960 mengungkapkan cita-cita Mia Bustam mengadakan pameran tunggal. 
     
    Sayangnya, impian ini tak pernah terwujud selama ia hidup. Ia diciduk pada 23 November 1965 di hadapan anak-anaknya, kemudian ditahan tanpa proses peradilan selama tiga belas setengah tahun berikutnya hingga akhirnya dibebaskan pada 27 Juli 1978. 
     
    Temuan dalam Api Kartini tentang impian Mia Bustam mengadakan pameran tunggal inilah yang memantik tim riset dan pameran yang terdiri dari Astrid Reza, Dyah Soemarno, Sylvie Tanaga, Alfian Widi, dan Balqis Nabila menginisiasi pameran tunggal Mia Bustam di bawah payung Biennale Jogja 18 “KAWRUH: Tanah Lelaku” yang dikuratori oleh Alia Swastika. 
     
    Meski sebagian besar karya seni lenyap dan impian pameran tunggal tak pernah terwujud, sosok Mia Bustam tetap dikenang sebagai perupa dan penulis yang gigih berkarya di tengah represi dan stigma rezim Soeharto. 
     
    Mengingat sebagian besar karya visual Mia telah musnah, tim riset memilih pendekatan rekonstruksi dan interpretasi dari arsip-arsip yang ada, reproduksi dokumentasi karya yang tersisa, serta penggalian narasi biografis dan sejarah personal Mia Bustam. 
     
    Berangkat dari tesis Astrid Reza di jenjang Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma dengan topik Memoar Mia Bustam: Melampaui Melankolia Kaum Kiri (2025), tim riset menggodok pameran ini sebagai inisiatif solidaritas kebersamaan antar generasi lintas disiplin untuk menghadirkan narasi seniman masa lalu dan menemukan konteksnya pada generasi hari ini.
     
    Proses kesenian Mia Bustam sempat terhenti karena tragedi 1965 walaupun ia masih melukis dalam penjara sekalipun itu pesanan sipir. Ia menuangkan banyak energi kesenian dan proses meditatif yang sarat kerinduan pada anak-anaknya. 
     
    “Hari ini, Mia Bustam mengajarkan kita bahwa melankolia harus dilampaui. Keteguhan Mia menjadi pelajaran tentang daya tahan sekaligus semangat menggerakkan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan pembodohan,” papar Astrid Reza dalam pembukaan pameran yang berlangsung 6 Oktober 2025 petang di pelataran Benteng Vredeburg.
     
    Astrid pun menegaskan pameran ini mengimajinasikan kemungkinan utopis tentang sejarah seni rupa jika tragedi 1965 tidak terjadi, sekaligus menghadirkan ruang reflektif-interaktif untuk merenungkan kembali makna kehilangan, pelarangan, dan keterputusan dalam sejarah seni perempuan.
     
    Senada Astrid, St. Sunardi, dosen dari Universitas Sanata Dharma yang juga pembicara dalam acara pembukaan pameran menyerukan pentingnya menggarisbawahi daya hidup Mia yang jauh lebih besar daripada karya seninya itu sendiri. 
     
    “Daya hidup jauh lebih penting daripada ambisi diakui sebagai seniman sukses. Kehidupan Mia Bustam yang tercermin dalam memoarnya-lah yang seharusnya merevitalisasi dunia seni rupa di Indonesia, bukan sebaliknya,” ucap Sunardi. 
     
    Alia Swastika, kurator pameran arsip Mia Bustam, menjabarkan peran krusial Mia sebagai pendukung kiprah para seniman muda dalam gerakan internasionalisme. 
     
    “Merujuk pada majalah Api Kartini yang ditemukan oleh tim riset pameran, Mia terdaftar sebagai anggota Badan Hubungan Kebudayaan Indonesia dengan Uni Soviet. Ini menunjukkan  perempuan daerah seperti Mia pun bisa punya visi yang sangat besar dan sangat kosmopolitan,” kata Alia.  
     
    Enam anak Mia Bustam turut menghadiri pembukaan pameran tunggal ibundanya yang sangat bersejarah. 
     
    “Ini pertama kalinya dalam sejarah karya-karya ibu ditampilkan dalam pameran tunggal. Dari diskusi-diskusi terkait pameran ini, kami anak-anaknya baru sadar betapa istimewanya sosok ibu. Selama ini kami tak pernah berpikir sejauh itu. Kami hanya melihatnya sebagai seorang ibu,” terang Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia Bustam yang juga didapuk sebagai pembicara. 
     
    Pameran Studi Arsip Mia Bustam berlangsung 6 Oktober hingga 20 November 2025 mendatang di Ruang Sultan Agung, Benteng Vredeburg, Yogyakarta. 

    Pameran masa perjalanan hidup Mia Bustam 
    Pameran antara lain menampilkan lini masa perjalanan hidup Mia Bustam, arsip, foto, tulisan tangan, dan karya-karya visual yang masih tersisa seperti lukisan, sketsa, dan sulaman. Tim juga berkolaborasi dengan lima seniman kontemporer Yogyakarta yakni Awanda B. Destia, Kemala Hayati, Nadya Hatta, Nessa Theo, dan Chandra Rossellini yang merespons jejak artistik Mia Bustam. 
     
    “Saya ‘menyelesaikan’ lukisan Mia yang tak selesai karena beliau keburu masuk penjara. Di sini, saya mencoba memahami bagaimana karya seni sebetulnya lekat sekali dengan kehilangan, tetapi kita juga tidak bisa mereduksi hidup sebagai kesedihan belaka. Saya bereksperimen dengan bentuk-bentuk tiga dimensi untuk merayakan perjuangan dan cita-cita mereka yang tak gentar berjuang bagi kita yang hidup hari ini,” jelas Nessa Theo yang menjuduli lukisannya The Other Side of Melancholia (2025).
     
    Pimpinan Produksi Pameran Mia Bustam, Dyah Soemarno, memaknai pameran ini sebagai pintu masuk mengenalkan Mia Bustam pada publik yang selama ini tidak pernah mendengar sosok Mia sebelumnya mengingat banyaknya babak sejarah yang luput dari narasi arus utama. 
     
    Bagi Dyah, pameran ini permulaan dari sebuah perjalanan panjang yang bahkan berkontribusi membantu keluarga penyintas seperti dirinya mengetahui apa yang sesungguhnya menimpa nenek-moyangnya. 
     
    “Mia Bustam meninggalkan catatan-catatan yang seolah mewakili suara hati kakek-nenek lainnya yang juga mengalami hal serupa. Keluarga tercerai-berai karena pilihan politik dan anak-cucunya tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau korban langsungnya saja bingung, apalagi kita. Saya rasa pameran ini menjadi semacam jalan menuju rekonsiliasi. Catatan Mia yang sangat detail setidaknya bisa membantu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu, yang selama ini tidak pernah bisa dijelaskan dengan baik dalam narasi sejarah mana pun,” tutur Dyah.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (SAW)

  • 3
                    
                        Lengkap! Ini 40 Calon Pahlawan Nasional yang Diserahkan ke Fadli Zon
                        Nasional

    3 Lengkap! Ini 40 Calon Pahlawan Nasional yang Diserahkan ke Fadli Zon Nasional

    Lengkap! Ini 40 Calon Pahlawan Nasional yang Diserahkan ke Fadli Zon
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Sosial (Kemensos) telah mengusulkan 40 nama untuk diberikan gelar pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.
    Ke-40 nama tersebut telah melewati proses yang panjang dan dinyatakan memenuhi persyaratan untuk sebagai calon pahlawan nasional.
    “Karena memang sebelumnya harus diproses lewat kabupaten kota bersama masyarakat setempat, ahli sejarah, dan juga tentu ada bukti-bukti yang menyertai dari proses itu,” ungkap Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (24/10/2025).
    “Kemudian dibawa ke tingkat provinsi, di tingkat provinsi dibawa ke Kementerian Sosial. Setelah lewat Kementerian Sosial diproses lagi baru naik ke Dewan Gelar,” sambungnya.
    Pria yang akrab disapa Gus Ipul itu menjelaskan, 40 nama tersebut sudah diusulkan sejak lama. Beberapa nama yang diusulkan adalah Presiden ke-2 RI Soeharto; Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur; hingga aktivis buruh, Marsinah.
    “Beberapa nama di antaranya kemarin sudah saya sampaikan ada Presiden Abdurrahman Wahid, ada Presiden Soeharto, juga ada pejuang buruh Marsinah, dan ada beberapa tokoh-tokoh juga dari berbagai provinsi yang ada di Indonesia,” kata Gus Ipul.
    Berikut daftar 40 nama yang diusulkan mendapatkan gelar pahlawan nasional:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Oktober 2025

    Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional Nasional 24 Oktober 2025

    Pro-Kontra Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Meski pro dan kontra mengemuka, Kementerian Sosial RI resmi turut mengusulkan nama Presiden Kedua RI, Soeharto, sebagai salah satu pahlawan nasional pada 21 Oktober 2025.
    Usulan tersebut diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan yang kini memegang mandat untuk menetapkan gelar pahlawan nasional atas usulan yang diberikan.
    Menteri Sosial RI, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, usulan Soeharto jadi ”
    National Hero
    ” sudah melalui proses panjang.
    Dia mengatakan, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah dia terima sejak menjabat sebagai Menteri Sosial.
    “Jadi ini juga sudah dibahas oleh tim secara sungguh-sungguh. Berulang-ulang mereka melakukan sidang, telah melalui proses itu,” kata Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
    Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional sebenarnya bukan kali pertama mencuat.
    Catatan
    Kompas.com
    , usulan ini juga pernah digaungkan oleh elit politik partai Golkar yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR-RI, Ade Komarudin pada 2016 silam.
    Ade mengatakan, Soeharto banyak berbakti pada bangsa, terllepas dari kekurangan yang ada.
    Wacana ini kemudian terus bergulir dari tahun ke tahun, bahkan sempat menjadi dagangan politik untuk Partai Berkarya jelang pemilihan umum 2019.
    DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengikrar janji, jika partai pecahan Golkar itu masuk Senayan, maka usulan Soeharto jadi pahlawan nasional bisa diperjuangkan lebih kuat lagi.
    Kini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali mencuat. Partai Golkar konsisten mendukung usulan tersebut.
    Golkar yang besar dan dibesarkan Soeharto itu mendorong agar Soeharto bisa menjadi nama yang bersanding dengan pahlawan-pahlawan nasional lainnya karena memiliki jasa yang besar.
    “Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” kata Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, Selasa (21/10/2025).
    Sarmuji menilai, generasi muda saat ini mungkin tidak dapat membayangkan kondisi ekonomi Indonesia sebelum Soeharto memimpin.
    Dia menyebut, dulu, kondisi rakyat sebenarnya kesulitan pangan.
    “Dari kisah orangtua kami dan catatan sejarah, kondisi saat itu sangat berat, banyak rakyat yang kesulitan memperoleh pangan,” ucap dia.
    Setelah Soeharto memimpin, ada perubahan besar dalam waktu relatif singkat, terutama di bidang ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi.
    “Di bawah kepemimpinan Pak Harto, situasi itu berubah drastis. Indonesia bukan hanya keluar dari krisis pangan, tetapi juga sempat mencapai swasembada yang membanggakan,” kata Sarmuji.
    Namun suara lantang penolakan Soeharto sebagai
    National Hero
    tak kalah konsisten, datang dari para pegiat HAM, aktivis, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
    Politikus PDI-P, Guntur Romli mengatakan, gelar “hero” untuk Soeharto akan menimbulkan stigma gerakan reformasi sebagai ”
    villain
    “, penjahat, atau musuh dari pahlawan.
    Para korban khususnya mahasiswa yang memperjuangkan demokrasi pada 1998 akan dianggap sebagai penjahat dan pengkhianat.
    “Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
    Dia menilai pemberian gelar itu juga akan mengaburkan sejumlah catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi sepanjang masa Orde Baru.
    Guntur menyebut negara telah mengakui sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto, mulai dari peristiwa 1965–1966 hingga penghilangan paksa aktivis menjelang kejatuhan rezim pada 1998.
    “Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong, Penghilangan Paksa 1997–1998, Trisakti, Semanggi I dan II, hingga Kerusuhan Mei 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru saat itu,” tutur Guntur.
    Belum lagi usulan ini disejajarkan dengan para tokoh yang menentang Orde Baru dan kepemimpinan Soeharto, seperti Marsinah, dan Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    “Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru,” kata Guntur.
    Selain melanggar HAM, Soeharto secara spesifik disebut dalam TAP MPR 11/1998 atas perlakuan nepotisme dan tindakan korupsi.
    TAP MPR itu mengatakan:

    Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia
    ,”
    Namun TAP MPR tersebut kini telah berubah, dan nama Soeharto menghilang.
    Koordinator untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai pencabutan itu tak lantas membuat Soeharto layak menjadi pahlawan nasional.
    Karena meski dibebaskan secara politis atas dugaan nepotisme dan korupsi, nama Soeharto berkelindan dengan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
    “Pada sekitar Mei sampai dengan Juni, kami bahkan telah menyerahkan kepada Kementerian Kebudayaan maupun kepada Kementerian Sosial terkait catatan-catatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, di mana kita tahu terdapat 5-6 kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di era Orde Baru, dan itu disebabkan karena rezim pada saat itu menggunakan kekuatan militer untuk melakukan kekerasan,” kata Wakil Koordinator Kontras, Andrie Yunus, Kamis.
    Selain itu, kaitan erat dengan nepotisme di masa Orde Baru, sudah sepantasnya Soeharto tidak memenuhi syarat pemberian gelar pahlawan.
    “Dari syarat-syarat tersebut yang juga tidak terpenuhi, kemudian catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di era Soeharto, kami tegaskan kembali bahwa Soeharto tidak layak untuk diberikan gelar pahlawan,” ujar dia.
    Catatan Kompas.com, terdapat beberapa kejahatan kemanusiaan yang terjadi saat Soeharto memimpin. Pertama, kasus Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985 dengan perintah langsung Soeharto untuk menghukum mati para bromocorah hingga preman tanpa proses peradilan.
    Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat bahwa korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5.000 orang, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bandung.
    Kedua, peristiwa Tanjung Priok 1984-1987. Soeharto disebut menggunakan militer sebagai instrumen kebijakan politiknya.
    Akibat dari kebijakan ini, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih dari 24 orang meninggal, 36 terluka berat, dan 19 luka ringan.
    Ketiga, peristiwa Talangsari 1984-1987 yang menyebabkan 130 orang meninggal, 77 orang mengalami pengusiran paksa, 45 orang mengalami penyiksaan, dan 229 orang mengalami penganiayaan.
    Keempat, peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan peristiwa Kudatuli yang mencoba mendongkel Megawati sebagai Ketua DPP PDI saat itu.
    Peristiwa ini menyebabkan 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan.
    Kemudian, ada peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang juga terjadi perkosaan massal, dan penculikan para aktivis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahasiswa 98 yang Menggulingkan Dia akan Disebut Penjahat

    Mahasiswa 98 yang Menggulingkan Dia akan Disebut Penjahat

    GELORA.CO – PDIP menolak wacana pengangkatan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional, yang diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). 

    Politisi PDIP, Guntur Romli, menilai langkah tersebut akan menodai semangat reformasi 1998 yang justru menggulingkan kekuasaan Soeharto karena praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    “Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” kata Guntur, Kamis (23/10/2025).

    Menurutnya, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan berimplikasi pada pembenaran terhadap sejumlah peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, yang telah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat pada masa Orde Baru.

    “Kalau Soeharto diangkat pahlawan, maka peristiwa-peristiwa yang disebut pelanggaran HAM seperti peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, Talangsari 1989, Rumah Geudong 1989–1998, penghilangan paksa 1997–1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II, serta pembantaian dukun santet 1998 bukan lagi pelanggaran HAM, tapi bisa disebut kebenaran oleh rezim Orde Baru,” ujarnya.

    Dia menegaskan, logika sejarah dan moral tidak dapat dibalik demi kepentingan politik tertentu. Dia mengingatkan, Gus Dur dan Marsinah, yang dikenal sebagai simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan represi Orde Baru, justru menjadi korban dari kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Soeharto.

    “Saya miris, untuk mengangkat Soeharto jadi pahlawan, tapi seakan-akan nama seperti Gus Dur dan Marsinah dijadikan barter. Padahal Gus Dur dan Marsinah dikenal melawan Soeharto dan Orde Baru. Maka secara logika, tidak mungkin semuanya disebut pahlawan,” tuturnya.

    Politisi muda PDIP itu menegaskan bahwa pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional bertentangan dengan fakta sejarah. Justru, gerakan reformasi 1998 yang berhasil menumbangkan Soeharto itulah yang harus dijaga sebagai tonggak demokrasi dan kebebasan bangsa Indonesia.

    “Karena melawan Soeharto dan Orde Baru, yang layak jadi pahlawan ya Gus Dur dan Marsinah. Soeharto tetap dengan fakta sejarah, mantan presiden yang digulingkan oleh gerakan reformasi 1998 karena KKN, otoriter, dan pelanggaran HAM berat,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, menyerahkan berkas 40 nama yang diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional ke Menteri Kebudayaan (Menbud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon di Kantor Kemenbud, Jakarta Pusat, Selasa (21/10/2025).

    Beberapa nama yang tercantum dalam berkas tersebut dan dinilai telah memenuhi syarat adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta Marsinah yang merupakan tokoh buruh dan aktivis perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur.

    “Usulan ini berupa nama-nama yang telah dibahas selama beberapa tahun terakhir ini. Jadi ada yang mungkin sudah memenuhi syarat sejak 5 tahun lalu, 6 tahun lalu, 7 tahun lalu. Dan ada beberapa nama yang memang kita bahas dan kita putuskan pada tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid dan juga ada Marsinah serta ada beberapa tokoh-tokoh yang lain,” kata Gus Ipul, sapaan akrabnya, kepada wartawan.

  • Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Oktober 2025

    Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan Nasional 23 Oktober 2025

    Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti usulan pemerintah untuk menyodorkan nama Marsinah sebagai pahlawan nasional.
    Wakil Ketua Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengatakan, usulan tersebut datang di saat kasus pembunuhan Marsinah masih belum dituntaskan hingga saat ini.
    Dia menilai pemerintah seharusnya berpikir prioritas untuk menegakkan hukum secara jelas atas kasus pembunuhan aktivis buruh tersebut.
    “Bicara terkait Marsinah, saya pikir lebih penting untuk kemudian berbicara bagaimana penegakan hukum, investigasi pengungkapan kasus Marsinah secara terang benderang, karena sampai hari ini kita tahu bahwa belum ada pengungkapan yang utuh yang kemudian mengungkap seluruh pelakunya,” kata Arif saat ditemui di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
    Karena pengungkapan kasusnya tak kunjung selesai, Arif mengatakan bahwa kasus pembunuhan Marsinah pun berulang kepada pihak yang mengadvokasi.
    Salah satunya adalah pengacara keluarga Marsinah yang tidak lain adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib.
    “Dan ini kemudian berulang bahkan terhadap advokat yang kemudian mendampingi dan juga mengadvokasi kasus Marsinah, Munir Said Thalib, peristiwanya juga terjadi lagi,” ucapnya.
    Sebab itu, pemerintah dan negara harus melihat persoalan Marsinah tidak selesai hanya dengan pengusulan pemberian gelar.
    Kasus Marsinah justru tidak hanya soal pengungkapan pembunuhan yang terjadi pada 1993 itu, tetapi juga tentang bagaimana hak-hak buruh yang diperjuangkan Marsinah juga bisa direalisasikan.
    “Dan ini bukan hanya Marsinah, sebetulnya masyarakat secara umum yang ketika kemudian menggunakan haknya untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, termasuk berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berekspresi, saya kira itu mas,” tandasnya.
    Sebagai informasi, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk tokoh buruh Marsinah, Presiden ke-2 RI Soeharto, hingga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Usulan ini diserahkan Gus Ipul kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, di Kantor Kementerian Kebudayaan, Selasa (21/10/2025) siang.
    “Usulan ini berupa nama-nama yang telah dibahas selama beberapa tahun terakhir. Ada yang memenuhi syarat sejak lima atau enam tahun lalu, dan ada pula yang baru diputuskan tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, dan juga Marsinah,” kata Saifullah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tangis Pelawak Kirun Pecah saat Takziah ke Rumah Duka Ki Anom Suroto

    Tangis Pelawak Kirun Pecah saat Takziah ke Rumah Duka Ki Anom Suroto

    Ki Anom Suroto mempunyai nama lengkap Ki KKRT H Lebdo Nagoro Anom Suroto. Lahir pada tanggal 11 Agustus 1948 di Klaten. Ki Anom sudah pernah tampil di RRI sejak 1968 dan pernah menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat Persatuan Pendalangan Indonesia (Pepadi) 1996-2001.

    Sebagai seorang dalang, Ki Anom sudah mendalang sejak usia 12 tahun dan belajar melalui sang ayah yang juga seorang dalang bernama Ki Sadiyun Harjadarsana. Ia kemudian tumbuh besar dengan banyaknya kecintaannya pada wayang kulit.

    Ki Anom juga mempunyai akses dengan para dalang mentereng lainnya seperti Ki Nartasabdo. Selain itu kemampuan mendalangnya dipelajari melalui kursus pendalangan di berbagai tempat.

    Ki Anom pernah belajar mendalam di Himpunan Budaya Surakarta (HBS), Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, hingga di Habiranda Yogyakarta. Adapun pada 1968 Ki Anom debut sebagai pendalang di Radio Republik Indonesia (RRI).

    Melansir dari beberapa sumber, Ki Anom mempunyai karya-karya yang tidak hanya dikenal di dalam negeri namun juga secara internasional. Ki Anom mempunyai ciri khas tersendiri dan membuatnya menjadi dalang Indonesia pertama yang pernah tampil di lima benua.

    Dia pernah mendalang di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Spanyol, Australia, hingga Rusia. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu bentuk kesuksesan Ki Anom dalam memperkenalkan budaya Indonesia di negara lain.

    Ki Anom juga mempunyai banyak prestasi yang berhasil ia raih, mulai dari terpilih sebagai dalang kesayangan dalam Pekan Wayang Indonesia VI 1993. Kemudian mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan yang saat itu diberikan oleh Presiden RI Soeharto.

  • Riwayat Mobil Nasional Timor, Terjual Nyaris 20 Ribu Unit sebelum Dihantam Krisis

    Riwayat Mobil Nasional Timor, Terjual Nyaris 20 Ribu Unit sebelum Dihantam Krisis

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menghidupkan kembali cita-cita Indonesia memiliki mobil nasional. Prabowo mengatakan dalam tiga tahun ke depan, Indonesia bakal mempunyai mobil nasional. Menilik sejarahnya, Indonesia sempat memiliki mobil nasional bernama Timor. Mobil ini sempat terjual hingga nyaris 20 ribu unit sebelum dihantam krisis.

    Dalam catatan detikOto, mobil nasional Timor hadir lantaran keinginan mantan Presiden Soeharto untuk membuat mobil nasional pada awal 1990-an. Dia kemudian membuat aturan soal pajak impor mobil. Aturan tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional.

    Aturan tersebut ibarat memberi karpet merah buat pembentukan mobil nasional Timor. Contohnya tertuang dalam poin kedua nomor dua, di mana Menteri Keuangan memberi kemudahan di bidang perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku:

    a. pembebasan bea masuk atas impor komponen yang masih diperlukan;
    b. pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai 10% atas penyerahan mobil yang diproduksi;
    c. pembayaran Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan mobil yang diproduksi, ditanggung oleh Pemerintah.

    Timor sendiri merupakan gagasan salah satu anak Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau biasa dikenal Tommy Soeharto. Tommy diketahui memiliki hobi di dunia otomotif dan mengoleksi sejumlah mobil mewah, mulai Lamborghini, hingga Audi.

    Dalam perjalanannya, Tommy dengan bantuan pengusaha Setiawan Djody membangun perusahaan di Bermuda yang dinamakan Megatech. Kemudian dia memutuskan untuk membeli Lamborghini tahun 1994 dengan maksud dipelajari. Tommy dan Djody mendapat bantuan dari Vector Aeromotive karena dia diketahui memiliki 57% saham di Vector.

    Pada tanggal 19 Februari 1996, Tommy kembali membuat perusahaan yang disebut PT Timor Putra Nasional (TPN). Timor sendiri merupakan singkatan dari Teknologi Industri Mobil Rakyat. Nah, saat itu Timor dikabarkan akan meminjam desain dan teknologi dari Lamborghini.

    Namun, 28 Februari 1996, Soeharto meminta Menteri Ekonomi Indonesia yang saat itu dijabat Tungky Ariwibowo untuk mempercepat pengembangan mobil nasional Indonesia. Soeharto bahkan rela menggelontorkan sejumlah uang demi terwujudnya mobil nasional Indonesia. Banyak perusahaan berminat untuk membantu membuat mobil di Tanah Air untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, namun rupanya Timor yang dipilih.

    Mobil Timor Foto: ROMEO GACAD / AFP

    Keputusan itu kabarnya membuat kecewa beberapa brand mobil asal Jepang seperti Toyota dan Suzuki. Alasannya sederhana, Timor tidak memiliki prototipe mobil sama sekali.

    Tungky kemudian memberi tahu Timor setidaknya Timor harus memproduksi 15.000 mobil pada September 1996. Kalau Timor gagal, maka mereka harus mengembalikan uang pinjaman dari pemerintah tersebut.

    Perusahaan Tommy ini kemudian dengan cepat membangun pabrik mobilnya di kawasan Cikampek. Pada 8 Juli 1996, Timor mengenalkan model S515 yang ternyata hanya me-rebadged mobil Korea Selatan, Kia Sephia. Saat itu Tommy optimistis mobil Timor bisa terjual 70.000 unit per tahunnya.

    Target tersebut terbilang cukup besar untuk pemain baru sekelas Timor. Soalnya, pasar mobil di Indonesia kala itu hanya 150.000 unit per tahunnya. Di bulan yang sama, mobil sudah bisa dipesan dan pengiriman baru dilakukan bulan September.

    Konsumen Indonesia tak banyak pilihan saat akan membeli mobil Timor karena hanya ada satu warna saja yang ditawarkan yakni metalik dengan harga US Dolar 250 atau saat itu di kisaran Rp 35-37 jutaan.

    Banyak nada miring yang mengatakan Timor bukanlah mobil nasional Indonesia yang sesungguhnya, karena hanya mengganti logo Kia dengan Timor. Kia disebut sebagai satu-satunya yang mau menjual mobilnya di Indonesia tanpa emblem Kia. Selain Kia ada Lada dan Khodro asal Iran yang juga masuk dalam radar Tommy dalam proyek mobil nasionalnya ini.

    Kendati didatangkan dari luar, Timor dijual dengan harga murah karena dibebaskan dari pajak-pajak dan bea lainnya yang biasa dikenakan pada mobil-mobil lain yang dijual di Indonesia. Namun Kia Sephia yang dijual di Indonesia ini tak memiliki fitur seperti airbag dan ABS, padahal di negara asalnya fitur tersebut ada.

    Gara-gara dinilai curang, Timor pun digugat ke WTO (World Trade Organization) oleh perusahaan Jepang. Perusahaan Jepang tersebut menang dan WTO memutuskan, supaya Indonesia mencabut keputusan penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah mobil Timor.

    Meski banyak diliputi kontroversi, mobil nasional Timor bisa dibilang cukup sukses secara penjualan. Berdasarkan data distribusi milik Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), di tahun pertamanya Timor bisa merangsek ke posisi enam besar penjualan mobil di Indonesia tahun 1997. Timor mampu menjual hingga nyaris 20 ribu unit atau lebih tepatnya 19.471 unit. Penjualan ini lebih besar dari Nissan yang saat itu hanya menjual 9.037 unit. Masih dalam data yang sama, Timor tampak ada dalam data Gaikindo terakhir pada tahun 2008 yakni sebesar 4 unit saja.

    Sayangnya, pamor Timor tak bertahan lama. Merek ini ikutan runtuh setelah krisis ekonomi Asia yang menyebabkan Kia Motors pada tahun 1997 bangkrut (pada tahun 1998 dibeli oleh Hyundai). Selain itu rezim Soeharto juga jatuh, maka proyek mobil nasional Timor juga ditutup.

    (lua/rgr)

  • Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Sekjen Golkar Bicara Soeharto, ‘Bapak Pembangunan’ yang Dianggap Layak Jadi Pahlawan Nasional – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Empat puluh nama masuk daftar usulan pahlawan nasional tahun ini. Namun, ada satu nama yang langsung jadi bahan perbincangan, ialah nama Presiden ke-2 RI Soeharto.

    Namanya dinilai telah memenuhi syarat, dan berkas usulan itu sudah diserahkan oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf ke Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Selasa 21 Oktober 2025. Sejak saat itu, ruang publik kembali riuh.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, salah satunya yang bersuara keras menolak usulan tersebut. Bahkan, dipandang ini sebagai akhir dari reformasi jika gelar pahlawan nasional itu diberikan.

    Namun, berbeda halnya oleh Sekretaris Jenderal Golkar, Sarmuji. Soeharto dipandangnya layak menyandang gelar pahalawan nasional, karena terbukti sejarah. Salah satunya dikenal sebagai bapak pembangunan.

    “Pak Harto juga begitu, sampai saat ini orang masih terngiang-ngiang Pak Harto sebagai bapak pembangunan,” kata Sarmuji di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

    Menurut dia, di era pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami swasembada pangan. Bahkan, terjadi transformasi teknologi yang dianggap membuat bangga masyarakat kala itu.

    “Kita mengalami swasembada panggan di jaman Pak Harto, teknologinya juga begitu, kita waktu itu bangga sekali dengan kemampuan dirgantara kita, itu semua karena jasa-jasa Pak Harto,” kata dia.