Tag: Slamet Budiarto

  • BNN dan IDI tingkatkan standardisasi rehabilitasi medis

    BNN dan IDI tingkatkan standardisasi rehabilitasi medis

    Ini merupakan tonggak penting mengingat nilai strategis dan anggaran besar yang terlibat

    Jakarta (ANTARA) – Badan Narkotika Nasional (BNN) RI bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meningkatkan standardisasi rehabilitasi medis melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) terkait penyelenggaraan pelatihan dan peningkatan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam bidang rehabilitasi medis di Jakarta, Kamis (23/10).

    Deputi Rehabilitasi BNN RI Bina Ampera Bukit mengungkapkan saat ini pihaknya membina lebih dari 200 klinik rehabilitasi yang tidak hanya fokus pada penanganan penyalahgunaan narkoba, tetapi juga menyediakan layanan berbasis bukti yang aman dan berkualitas.

    “Ini merupakan tonggak penting mengingat nilai strategis dan anggaran besar yang terlibat,” ujar Bina dalam acara penandatangan, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

    Ruang lingkup kerja sama yang disepakati di antaranya pelatihan daring, luring, atau hybrid yang diselenggarakan oleh IDI melalui Lembaga Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LP3S-IDI).

    Bentuk kegiatan meliputi webinar, pelatihan, simposium, workshop, konferensi, dan e-learning. Selain itu, pengembangan kurikulum atau modul serta penjaminan mutu dan sertifikasi kegiatan ilmiah juga menjadi bagian penting dari kerja sama.

    Bina menuturkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dilakukan melalui webinar dan pelatihan yang dapat terakreditasi merupakan bagian dari transformasi mutu layanan rehabilitasi.

    Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI dr. Slamet Budiarto mengatakan kerja sama tersebut bersifat mutualisme dengan tujuan untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia.

    “Kami memiliki LP3S, lembaga pendidikan Ikatan Dokter Indonesia, yang akan membantu teman-teman BNN sehingga SDM kesehatan di BNN bisa meningkat dan semakin bermanfaat bagi masyarakat,” tutur Slamet dalam kesempatan yang sama.

    Adapun perjanjian diteken langsung oleh Deputi Rehabilitasi BNN RI serta Ketua Umum PB IDI, yang disaksikan langsung oleh Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN RI Agus Irianto.

    Melalui kolaborasi strategis, BNN dan IDI berkomitmen untuk mempercepat standardisasi kompetensi tenaga medis guna meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi yang terstruktur dan berdampak luas bagi masyarakat.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Sambas
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Video: Dokter Teriak! Minta Kembalikan Tugas Pokok Puskesmas-Posyandu

    Video: Dokter Teriak! Minta Kembalikan Tugas Pokok Puskesmas-Posyandu

    Jakarta, CNBC Indonesia- Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Slamet Budiarto mengatakan pentingnya penguatan sistem layanan kesehatan baik layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditunjang oleh SDM yakni tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan serta logistik obat dan alat kesehatan.

    Namun demikian, sistem dan layanan kesehatan RI masih menghadapi tantangan, termasuk dihapus mandatory spending atau belanja kesehatan minimal dalam UU Kesehatan 17/2023 karena kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian terhadap anggaran kesehatan.

    Selain itu IDI juga meminta dikembalikannya tugas Puskesmas dengan program kesehatan masyarakat dan menghidupkan posyandu, sementara saat ini Puskesmas hanya melakukan tugas kuratif atau pengobatan. Padahal penting bagi Dokter dan nakes Puskesmas melakukan tugas promotive dan preventif untuk berkeliling memastikan kesehatan masyarakat.

    Selengkapnya simak dialog Andi Shalini dengan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Slamet Budiarto dalam Profit, CNBC Indonesia (Selasa, 12/08/2025)

  • Pengakuan Dokter RSUD Sekayu yang Dipaksa Buka Masker oleh Keluarga Pasien

    Pengakuan Dokter RSUD Sekayu yang Dipaksa Buka Masker oleh Keluarga Pasien

    Jakarta

    Dokter spesialis penyakit dalam RSUD Sekayu Syahpri Putra Wangsa menyampaikan pernyataan pasca mendapatkan intimidasi dan pengancaman oleh keluarga pasien. Ia mengaku sudah melaksanakan tugas sesuai dengan prosedur.

    “Saya sudah melaksanakan pelayanan sesuai prosedur dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien,” ujarnya saat mediasi yang dilakukan Pemkab Muba, Rabu (13/8/2025).

    Menurutnya, penggunaan masker saat berada di rumah sakit, khususnya di dalam ruangan merupakan kewajiban. Dia juga mengaku dipaksa untuk membuka masker oleh keluarga pasien.

    “Pada kejadian tersebut saya dipaksa untuk membuka masker, tetapi di dalam ruangan perawatan tersebut tidak diperbolehkan,” ujarnya lagi.

    Keluarga Pasien Minta Maaf

    Sementara keluarga pasien RSUD Sekayu, Putra, mengaku setelah kejadian tersebut pihaknya sudah dimediasi pihak RSUD Sekayu. Dia mengaku terkejut video tersebut dipotong dan diviralkan di media sosial.

    “Kami setelah kejadian langsung dimediasi, dan saya selaku keluarga pasien sudah meminta maaf. Saya akui pada saat itu emosi, tetapi kami terkejut mengapa video itu diviralkan di media sosial seolah-olah melakukan kekerasan kepada dokter,” ungkapnya.

    Pemkab Muba melakukan mediasi antara keluarga pasien dan dokter. Sekda Muba Apriyadi langsung mendatangi RSUD Sekayu untuk memediasi permasalahan intimidasi dan pengancaman keluarga pasien terhadap dokter. Pihaknya meminta keterangan dari kedua belah pihak.

    “Kita prihatin atas kejadian seperti ini, jangan sampai terulang,” ujarnya.

    Apriyadi mengatakan walau pelayanan di RSUD Sekayu belum sepenuhnya sempurna, namun tidak dibenarkan melakukan intimidasi apalagi mengancam tenaga medis.

    IDI Kutuk Keras Ancaman Terhadap Dokter

    Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Slamet Budiarto, juga turut menyoroti kasus tersebut. Menurutnya, dokter bekerja berdasarkan standar profesi dan protokol kesehatan. Tindakan kekerasan fisik maupun verbal terhadap dokter tidak hanya melukai individu, tetapi juga mencederai martabat profesi kedokteran.

    “IDI mengutuk perlakuan pada dokter tersebut. Dokter harusnya dihormati sebagai seseorang yang memeriksa pasien, karena dokter memeriksa pasien kan sudah sesuai standar profesi. Tidak boleh menggunakan kekerasan seperti itu,” ujar dr Slamet kepada detikcom, Rabu (13/8/).

    dr Slamet menilai insiden ini mencerminkan minimnya edukasi kepada masyarakat terkait mekanisme pengaduan resmi. Ia menegaskan, setiap rumah sakit memiliki prosedur dan unit pengaduan untuk menampung keluhan pasien dan keluarganya.

    “Pertama, masyarakat harus menghormati dokter yang memeriksa pasien. Mana kala tidak terjadi kepuasan, maka gunakan mekanisme yang ada. Biasanya ada tempat pengaduan di rumah sakit. Jadi tidak boleh menggunakan cara kekerasan seperti itu karena sangat melukai profesi kedokteran,” tegasnya.

    IDI meminta pihak rumah sakit memastikan keamanan dokter dan tenaga kesehatan saat bertugas, baik dari ancaman fisik, verbal, maupun intimidasi. Perlindungan ini, kata dr Slamet, bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi kewajiban hukum.

    “Semua anggota IDI berhak mendapat perlindungan sampai prosesnya benar-benar selesai. Biasanya ada yang langsung ditangani IDI cabang atau di Pengurus Besar IDI yang sifatnya nasional. Ada kasus yang bisa diatasi cepat, ada yang memerlukan waktu. Untuk data kasus (seberapa banyak kriminalisasi terjadi), kami belum cek,” jelasnya.

    Perlindungan tenaga kesehatan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kedua aturan ini menegaskan bahwa tenaga medis berhak atas perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan kerja.

    Pasal 57 UU Tenaga Kesehatan menyebutkan tenaga kesehatan tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata jika bekerja sesuai standar profesi dan prosedur. Artinya, selama tindakan dokter berada dalam koridor medis yang benar, segala bentuk ancaman atau kekerasan kepada mereka dapat diproses hukum sebagai tindak pidana.

    IDI berharap insiden di RSUD Sekayu menjadi momentum untuk memperkuat edukasi publik dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan pada tenaga medis.

    “Ke depan semoga tidak terjadi lagi. Kalau memang ada ketidakpuasan, mohon gunakan mekanisme yang ada. Jangan sampai kekerasan menjadi pilihan,” pungkas dr Slamet.

    Pemeriksaan Dahak untuk TBC

    Keluarga pasien diketahui kesal karena harus menunggu dahak. Dokter Syahpri sebelumnya telah menjelaskan, pasien dibawa ke rumah sakit karena gula darah rendah. Setelah diperiksa lebih lanjut, didapatkan gambaran infiltrat atau gambaran bercak di paru-paru kanan yang mengindikasikan gejala khas dari tuberkulosis (TBC/TB).

    “Ibu saya disuruh tunggu dahak. Tiap hari tunggu dahak, dikit-dikit tunggu dahak,” kata keluarga pasien dalam video yang dilihat detikcom.

    Guru Besar Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr dr Erlina Burhan menyayangkan insiden tersebut. Kata dia, pemeriksaan dahak menjadi prosedur yang harus dilakukan jika ditemukan pasien suspek TBC.

    dr Erlina menjelaskan penegakan tuberkulosis berdasarkan keluhan dan pemeriksaan termasuk rontgen dan cek dahak.

    Senada, spesialis paru dari RSUP Persahabatan, dr Erlang, SpP juga mengatakan Pemeriksaan dahak menjadi prosedur yang harus dilakukan jika ditemukan pasien suspek TBC, selain pengecekan paru dengan rontgen.

    “Jadi pemeriksaan dahak untuk menemukan penyebab dan foto rontgen untuk melihat kerusakan yang ditimbulkan,” jelasnya.

    Risiko Membuka Masker

    Lebih lanjut, dr Erlina juga menyoroti keluarga pasien yang memaksa dokter membuka masker.

    “Nggak boleh tuh. Ya itu nggak boleh (membuka masker), dia itu harusnya dimarahin kalau keluarga pasien kayak gitu,” beber dr Erlina.

    Tuberkulosis termasuk penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bisa menular antar manusia lewat udara melalui droplet yang keluar ketika seorang yang terinfeksi batuk, bersin atau berbicara.

    Oleh karena itu, prosedur pencegahan penularan seperti memakai masker penting untuk dilakukan. Jika suspek terbukti positif melalui hasil pemeriksaan, pasien akan diminta menjalani pengobatan dan minum obat teratur.

    “Tuberkulosis itu penyakit menular, itu harus cepat-cepat diobatin. Tapi kan kalau orang ngawang juga, banyak kan kalau dokter bilang ini TBC, mereka marah-marah, mana buktinya, mana buktinya,” tutup dr Erlina.

    Senada, dr Erlang juga mengatakan sebaiknya jangan melepas masker di ruang isolasi.

    “Kan ruang isolasi karena mengisolasikan pasien infeksius bisa menular,” tutur dr Erlang.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: Reaksi IDI soal Keluarga Pasien TBC Paksa Dokter Buka Masker”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/kna)

  • Viral Keluarga Pasien Paksa Dokter Buka Masker di RSUD Sekayu, IDI Angkat Bicara

    Viral Keluarga Pasien Paksa Dokter Buka Masker di RSUD Sekayu, IDI Angkat Bicara

    Jakarta

    Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengutuk keras tindakan keluarga pasien di RSUD Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, yang memaksa seorang dokter membuka masker saat bertugas. Peristiwa ini dinilai sebagai bentuk kriminalisasi tenaga medis dan ancaman serius bagi keselamatan dokter saat bekerja.

    Ketua Umum IDI, dr Slamet Budiarto, menegaskan bahwa dokter bekerja berdasarkan standar profesi dan protokol kesehatan. Tindakan kekerasan fisik maupun verbal terhadap dokter tidak hanya melukai individu, tetapi juga mencederai martabat profesi kedokteran.

    “IDI mengutuk perlakuan pada dokter tersebut. Dokter harusnya dihormati sebagai seseorang yang memeriksa pasien, karena dokter memeriksa pasien kan sudah sesuai standar profesi. Tidak boleh menggunakan kekerasan seperti itu,” ujar dr Slamet kepada detikcom, Rabu (13/8/2025).

    Pengaduan Ada Jalurnya

    dr Slamet menilai insiden ini mencerminkan minimnya edukasi kepada masyarakat terkait mekanisme pengaduan resmi. Ia menegaskan, setiap rumah sakit memiliki prosedur dan unit pengaduan untuk menampung keluhan pasien dan keluarganya.

    “Pertama, masyarakat harus menghormati dokter yang memeriksa pasien. Mana kala tidak terjadi kepuasan, maka gunakan mekanisme yang ada. Biasanya ada tempat pengaduan di rumah sakit. Jadi tidak boleh menggunakan cara kekerasan seperti itu karena sangat melukai profesi kedokteran,” tegasnya.

    IDI meminta pihak rumah sakit memastikan keamanan dokter dan tenaga kesehatan saat bertugas, baik dari ancaman fisik, verbal, maupun intimidasi. Perlindungan ini, kata dr Slamet, bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi kewajiban hukum.

    “Semua anggota IDI berhak mendapat perlindungan sampai prosesnya benar-benar selesai. Biasanya ada yang langsung ditangani IDI cabang atau di Pengurus Besar IDI yang sifatnya nasional. Ada kasus yang bisa diatasi cepat, ada yang memerlukan waktu. Untuk data kasus (seberapa banyak kriminalisasi terjadi), kami belum cek,” jelasnya.

    Perlindungan tenaga kesehatan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Kedua aturan ini menegaskan bahwa tenaga medis berhak atas perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan kerja.

    Pasal 57 UU Tenaga Kesehatan menyebutkan tenaga kesehatan tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata jika bekerja sesuai standar profesi dan prosedur. Artinya, selama tindakan dokter berada dalam koridor medis yang benar, segala bentuk ancaman atau kekerasan kepada mereka dapat diproses hukum sebagai tindak pidana.

    IDI berharap insiden di RSUD Sekayu menjadi momentum untuk memperkuat edukasi publik dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan pada tenaga medis.

    “Ke depan semoga tidak terjadi lagi. Kalau memang ada ketidakpuasan, mohon gunakan mekanisme yang ada. Jangan sampai kekerasan menjadi pilihan,” pungkas dr Slamet.

    Sebelumnya diberitakan, viral seorang dokter di RSUD Sekayu mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga pasien. Dalam video yang viral beredar di media sosial, keluarga pasien tampak emosi saat dokter dinilai lambat dalam menangani proses pemeriksaan pasien.

    “Buka masker kamu, dokter apa kamu jelaskan! Ini kami di ruang VVIP paling layak. Ibu saya sudah tiga hari dirawat, dokter ini cuma melihatkan hasil rontgen,” beber salah satu anggota keluarga pasien dalam video yang ramai beredar.

    Keluarga pasien mencecar dokter lantaran pelayanan yang didapat disebut tidak sesuai dengan kamar VVIP yang sudah dibayar untuk merawat ibunya.

    Simak Video “Video: Reaksi IDI soal Keluarga Pasien TBC Paksa Dokter Buka Masker”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/naf)

  • Viral Keluarga Pasien Paksa Dokter Buka Masker di RSUD Sekayu, IDI Angkat Bicara

    IDI Kutuk Keluarga Pasien yang Paksa Dokter Buka Masker di RSUD Sekayu

    Jakarta

    Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengutuk perlakuan keluarga pasien RSUD Sekayu yang memaksa dokter membuka masker. Hal tersebut dinilai sudah termasuk pada perlakuan kriminalisasi tenaga medis.

    IDI menyesalkan minimnya edukasi pada pasien terkait pengaduan ketidaknyamanan dalam pelayanan, yang sebenarnya bisa melalui mekanisme tertentu, tanpa perlu melakukan kekerasan.

    “IDI mengutuk perlakuan pada dokter tersebut, dokter harusnya dihormati sebagai seseorang yang memeriksa pasien, karena dokter memeriksa pasien kan sudah sesuai standar profesi, tidak boleh menggunakan kekerasan seperti itu,” tutur Ketua Umum IDI dr Slamet Budiarto saat dihubungi detikcom Rabu (13/8/2025).

    IDI meminta pihak rumah sakit juga ikut memberikan perlindungan kepada dokter yang sedang bertugas. Hal ini demi memastikan keamanan para tenaga medis saat tengah berpraktik.

    dr Slamet menyebut pihaknya berharap kejadian kriminalisasi semacam ini bisa dicegah di kemudian hari.

    “Ke depan semoga tidak terjadi lagi, kalau memang ada ketidakpuasan ya mohon mekanismenya kan ada, tidak seperti itu,” sambungnya.

    Sebelumnya diberitakan, viral seorang dokter di RSUD Sekayu mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga pasien. Dalam video yang viral beredar di media sosial, keluarga pasien tampak emosi saat dokter dinilai lambat dalam menangani proses pemeriksaan pasien.

    “Buka masker kamu, dokter apa kamu jelaskan! Ini kami di ruang VVIP paling layak. Ibu saya sudah tiga hari dirawat, dokter ini cuma melihatkan hasil rontgen,” beber salah satu anggota keluarga pasien dalam video yang ramai beredar.

    Keluarga pasien mencecar dokter lantaran pelayanan yang didapat disebut tidak sesuai dengan kamar VVIP yang sudah dibayar untuk merawat ibunya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • PB IDI Keberatan atas Mutasi Mendadak Dokter oleh Kemenkes

    PB IDI Keberatan atas Mutasi Mendadak Dokter oleh Kemenkes

    PB IDI Keberatan atas Mutasi Mendadak Dokter oleh Kemenkes
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (
    PB IDI
    ) Slamet Budiarto menyampaikan keprihatinan yang mendalam mengenai banyaknya anggota IDI di rumah sakit vertikal yang dimutasi secara mendadak.
    Menurutnya, anggota IDI yang terakhir dimutasi secara mendadak adalah beberapa dokter yang bertugas di rumah sakit vertikal. Satu orang dokter yang bertugas di Rumah Sakit H Adam Malik diberhentikan secara mendadak.
    Slamet menyampaikan, tindakan dan keputusan secara sepihak oleh
    Kementerian Kesehatan
    (Kemenkes) tersebut dinilai kontraproduktif dan dapat berdampak negatif terhadap layanan kesehatan di rumah sakit vertikal tersebut.
    “Mutasi atau pemberhentian mendadak ini berpotensi menciptakan situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian di kalangan dokter, dan mengganggu pelayanan di rumah sakit vertikal,” ujar Slamet kepada Kompas.com, Minggu (4/5/2025) malam.
    Dia pun menekankan, dokter memiliki hak untuk menyampaikan pendapat yang konstruktif, dan masukan terkait kebijakan Kemenkes berpotensi dapat merugikan pelayanan kesehatan.
    “Sebagai organisasi profesi, kami mendorong dialog antara Kementerian Kesehatan dan tenaga medis untuk mencapai kesepakatan yang memberi manfaat kesehatan bagi masyarakat,” sambungnya.
    Slamet mengatakan, PB IDI memohon kepada Kemenkes untuk menghormati dan melindungi hak dokter, terutama dalam menyampaikan pendapat, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pelayanan kesehatan.
    Sebagai bentuk keprihatinan atas tindakan dan keputusan sepihak ini, PB IDI meminta Kemenkes untuk meninjau kembali dan membatalkan keputusan mutasi dan pemberhentian terhadap dokter tersebut demi kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat.
    Dikutip dari Tribunnews.com baru-baru ini ramai soal mutasi dr Piprim B Yanuarso, yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). dr Piprim Yanuarso pindah dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke Rumah Sakit Fatmawati (RSF).
    Terkait hal ini, dr Piprim pun memberikan responsnya.
    Ia mengungkapkan, mutasi ini dianggap menyalahi prosedural, tidak adil, dan diskriminatif.
    Pada keterangannya, dr Piprim menyebut jika ia belum menerima secara fisik surat mutasi tersebut.
    “Jadi kronologinya pada hari Jumat sekitar jam 10-an saya ditelepon oleh salah seorang teman sejawat yang melihat potongan foto yang memuat nama saya dimutasi. Bukan hanya saya, ada beberapa dokter. Dan saya dimutasikan dari Rumah Sakit RSCM ke RS Fatmawati,” kata dr Piprim lewat keterangan resmi, Selasa (29/4/2025).
    “Itu tanggal 25 April. Sampai dengan kemarin, 28 April, saya sendiri belum menerima fisik surat mutasi tersebut. Sehingga saya juga tidak tahu ini benar-benar atau hoaks. Tapi sepertinya benar-benar ya. Surat mutasi yang ditandatangani oleh Dirjen Azhar Jaya itu sampai sekarang belum saya terima,” sambungnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 6
                    
                        Sejumlah Dokter Dimutasi dan Diberhentikan Mendadak oleh Kemenkes
                        Nasional

    6 Sejumlah Dokter Dimutasi dan Diberhentikan Mendadak oleh Kemenkes Nasional

    Sejumlah Dokter Dimutasi dan Diberhentikan Mendadak oleh Kemenkes
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Sejumlah
    dokter diberhentikan
    dan dimutasi mendadak dari rumah sakit vertikal atau yang berada di bawah Kementerian Kesehatan.
    Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto menyampaikan, anggota IDI yang terakhir dimutasi secara mendadak adalah beberapa dokter yang bertugas di rumah sakit vertikal.
    Satu orang dokter yang bertugas di Rumah Sakit H Adam Malik diberhentikan secara mendadak.
     
    Slamet pun menyampaikan keprihatinan yang mendalam mengenai kejadian ini.
    “Mutasi atau pemberhentian mendadak ini berpotensi menciptakan situasi dan kondisi yang penuh dengan ketidakpastian di kalangan dokter, dan mengganggu pelayanan di rumah sakit vertikal,” ujar Slamet kepada Kompas.com, Minggu (4/5/2025) malam.
    Seperti dikutip dari Tribunnews.com, baru-baru ini ramai soal mutasi
    dr Piprim
    B Yanuarso, yang juga dikenal Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
    Piprim Yanuarso pindah dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke Rumah Sakit Fatmawati (RSF).
    Terkait hal ini, dr Piprim pun memberikan responsnya. Ia mengungkapkan mutasi ini dianggap menyalahi prosedural, tidak adil dan diskriminatif.
    Pada keterangannya, dr Piprim menyebut jika ia belum menerima secara fisik surat mutasi tersebut.
    “Jadi kronologinya pada hari Jumat sekitar jam 10-an saya ditelepon oleh salah seorang teman sejawat yang ada melihat potongan foto yang memuat ada nama saya dimutasi dokter. Bukan hanya saya, ada beberapa dokter. Dan saya dimutasikan dari RSCM ke RS Fatmawati,” kata dr Piprim lewat keterangan resmi, Selasa (29/4/2025).
    “Itu tanggal 25 April. Sampai dengan kemarin 28 April saya sendiri belum menerima fisik surat mutasi tersebut. Sehingga saya juga tidak tahu ini beneran atau hoax. Tapi sepertinya beneran ya,” sambungnya.
    Slamet menyampaikan, tindakan dan keputusan secara sepihak oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tersebut dinilai kontraproduktif dan dapat berdampak negatif terhadap layanan kesehatan di rumah sakit vertikal tersebut.
    Dia pun menekankan bahwa dokter memiliki hak untuk menyampaikan pendapat yang konstruktif, dan masukan terkait kebijakan Kemenkes berpotensi dapat merugikan pelayanan kesehatan.
    “Sebagai organisasi profesi, kami mendorong dialog antara Kementerian Kesehatan dan tenaga medis untuk mencapai kesepakatan memberi manfaat kesehatan bagi masyarakat,” sambungnya.
    Slamet mengatakan, PB IDI memohon kepada Kemenkes untuk menghormati dan melindungi hak dokter, terutama dalam menyampaikan pendapat, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pelayanan kesehatan.
    Sebagai bentuk keprihatinan atas tindakan dan keputusan sepihak ini, PB IDI meminta Kemenkes untuk meninjau kembali dan membatalkan keputusan mutasi dan pemberhetian terhadap dokter tersebut demi kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PB IDI Prihatin Kebijakan Mutasi dan Pemberhentian Mendadak Sejumlah Dokter di Rumah Sakit Vertikal – Halaman all

    PB IDI Prihatin Kebijakan Mutasi dan Pemberhentian Mendadak Sejumlah Dokter di Rumah Sakit Vertikal – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kebijakan mutasi dan pemberhentian mendadak sejumlah dokter yang bertugas di rumah sakit vertikal milik pemerintah.

    PB IDI menilai keputusan sepihak dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini tidak hanya mencederai hak profesional tenaga medis, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas dan kualitas pelayanan kesehatan nasional.

    Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto menyebut bahwa mutasi dilakukan tanpa alasan yang jelas dan dilakukan secara tiba-tiba, termasuk terhadap seorang dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik yang diberhentikan secara mendadak.

    “Tindakan dan keputusan sepihak oleh Kementerian Kesehatan ini dinilai kontraproduktif dan dapat berdampak negatif terhadap layanan kesehatan di rumah sakit vertikal tersebut,” kata Slamet Budiarto dalam keterangan yang diterima pada Minggu (4/5/2025).

    PB IDI menegaskan bahwa setiap dokter memiliki hak untuk menyampaikan pendapat secara konstruktif dan memberikan masukan terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan kesehatan masyarakat.

    Organisasi profesi ini juga menyebut bahwa kebijakan mutasi tanpa kejelasan dan transparansi dapat menimbulkan ketidakpastian di kalangan dokter, serta menciptakan iklim kerja yang tidak sehat.

    “Mutasi atau pemberhentian mendadak ini menciptakan situasi yang penuh ketidakpastian di kalangan dokter dan mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat, terutama di rumah sakit vertikal,” kata Slamet.

    Sebagai organisasi profesi, PB IDI mendorong agar Kementerian Kesehatan membuka ruang dialog yang sehat dan transparan dengan tenaga medis, guna mencapai kebijakan yang adil dan bermanfaat bagi pelayanan kesehatan nasional.

    Menurutnya, PB IDI juga secara tegas meminta Kemenkes untuk meninjau ulang dan membatalkan kebijakan mutasi dan pemberhentian tersebut.

    “PB IDI memohon kepada Kementerian Kesehatan untuk menghormati dan melindungi hak-hak dokter, terutama dalam hal menyampaikan pendapat serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada pelayanan kesehatan,” katanya.

    Sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap rekan sejawat yang terdampak, PB IDI menyerukan kepada seluruh dokter di Indonesia untuk tetap bersatu, mendukung kebebasan berpendapat, dan berjuang bersama demi terciptanya sistem kesehatan yang lebih baik.

    Pernyataan PB IDI tersebut sekaligus merespon pemindahan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pusat dr. Piprim Basarah Yanuarso dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ke Rumah Sakit Fatmawati (RSF). Menurut Kementerian Kesehatan, pemindahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak di RS Fatmawati, Jakarta.

    Tidak lama setelah pemindahan dr Piprim melalui media sosial Ketua Unit Kerja Koordinasi Kardiologi IDAI Rizky Adriansyah berkomentar. Menurutnya, keputusan itu tidak terlepas dari sikap IDAI yang menolak pengambilalihan Kolegium Ilmu Kesehatan Anak oleh Kemenkes.

    Dalam unggahan tersebut, disebutkan bahwa sejumlah dampak pemindahan tersebut antara lain kualitas pendidikan dokter subspesialis kardiologi anak yang akan memburuk, karena dengan pemindahan tersebut, hanya ada satu pengajar yang kompeten memberikan materi tersebut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

    Pemindahan ini, katanya, membuat para pasien tak bisa berkonsultasi dengan dr. Piprim secara langsung lagi. Selain itu, dia menilai bahwa hal ini tidak sesuai dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan jumlah dokter subspesialis kardiologi anak.

    Dalam unggahan terpisah, Rizky menyebutkan bahwa apabila ingin menguatkan dan mengembangkan layanan jantung anak, maka seharusnya dipindahkan ke daerah, bukan di Jakarta yang sudah banyak RS yang mampu melaksanakan layanan itu.

    Namun demikian, kata Rizky, pemindahan tugas ini tidak akan mengubah sikap IDAI terkait kolegium.

    Tidak lama setelah itu dikabarkan bahwa dr. Rizky Adriansyah diberhentikan dari posisinya di Rumah Sakit Adam Malik, Medan, Sumatera Utara.

    Respons Kemenkes

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) memberikan penjelasan terkait mutasi dokter spesialis di RS vertikal milik pemerintah.

    Melalui keterangan resmi yang diterima Tribunnews.com, Kemenkes menegaskan rotasi tersebut merupakan hal biasa dalam organisasi.

    Selaim dr. Piprim, ada 12 dokter lainnya dari spesialis yang berbeda yang turut dirotasi untuk pengembangan RS Kemenkes.

    Kemenkes menilai, perpindahan dr Piprim untuk memenuhi kebutuhan mendesak di Rumah Sakit Fatmawati (RSF).

    Saat ini di RSF, hanya memiliki satu sub-spesialis kardiologi anak dan akan segera memasuki masa pensiun.

    “Kehadiran dr.Piprim diperlukan untuk memperkuat dan mengembangkan layanan kardiologi anak di RSF,” tulis keterangan itu pada Selasa (29/4/2025).

    Kemenkes menjelaskan,RSF juga merupakan rumah sakit pendidikan utama bagi Fakultas Kedokteran UIN serta menjadi bagian dari jejaring rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).

    Kemenkes juga membantah adanya informasi bahwa RSCM akan kekurangan pendidik dokter sub-spesialis jantung anak adalah tidak tepat.

    Saat ini, RSCM memiliki 4 dokter sub-spesialis jantung anak aktif lainnya, sehingga pelayanan kepada peserta didik dan pasien tetap terjamin dan tidak terganggu.

    Pasien yang sebelumnya mendapatkan layanan dari dr. Piprim di RSCM tetap dapat dilayani di RSF.

    Jarak tempuh antara RSCM dan RSF tidaklah jauh sehingga pelayanan kesehatan pediatrik/anak masih bisa dilakukan.

    “Adapun mutasi ini telah dilakukan sesuai dengan ketentuan dan regulasi yang berlaku. Mutasi juga berdasarkan pada kebutuhan institusi dan pengembangan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,” tegas rilis tersebut.

    Kemenkes menegaskan, rotasi ini bukan penghambatan karir dr. Piprim.

    Namun, penugasan ini merupakan kepercayaan untuk memperluas peran beliau dalam membangun dan mengembangkan layanan jantung anak di RSF, sekaligus memperkuat layanan kesehatan anak tingkat nasional.

  • Dokter PPDS Perkosa Anak Pasien: Izin Praktik Dicabut, Korban Berhak Aborsi?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 April 2025

    Dokter PPDS Perkosa Anak Pasien: Izin Praktik Dicabut, Korban Berhak Aborsi? Nasional 13 April 2025

    Dokter PPDS Perkosa Anak Pasien: Izin Praktik Dicabut, Korban Berhak Aborsi?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dunia kedokteran dikejutkan dengan pemerkosaan anak pasien oleh Priguna Anugerah, dokter anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (
    PPDS
    ) Universitas Padjajaran (Unpad) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat.
    Peristiwa ini pertama kali viral setelah kasusnya diunggah di media sosial, salah satunya oleh akun @txtdari**** yang membagikan tangkapan layar pesan WhatsApp kepada seorang dokter.
    Pesan tersebut berisi laporan dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan dua dokter residen di RSHS kepada keluarga pasien.

    Selamat malam dok. Maaf mengganggu. Dok, saya dapat informasi ada 2 residen anestesi Unpad melakukan pemerkosaan ke penunggu pasien (menggunakan obat bius, ada bukti CCTV lengkap)….
    ,” bunyi pesan dalam tangkapan layar tersebut, Selasa (7/4/2025).
    Postingan itu lantas menyorot perhatian publik. Kata PPDS bahkan menjadi salah satu kata populer yang banyak diperbincangkan di X pada Rabu (8/4/2025) siang.
    Priguna Anugerah memerkosa keluarga pasien pada pertengahan Maret 2025 di salah satu ruangan lantai 7 gedung RSHS.
    Pada saat itu, pelaku yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad meminta korban untuk menjalani
    crossmatch
    .
    Alasan yang digunakan pelaku adalah mencocokkan jenis golongan darah yang akan ditransfusikan kepada orang lain.
    Ketika didatangi oleh pelaku, korban sedang menjaga ayahnya yang menjalani perawatan dan membutuhkan transfusi darah.
    Pelaku diketahui memerkosa korban dalam keadaan tidak sadarkan diri.
    Berdasarkan pengakuan korban, dia merasakan nyeri di bagian tangan yang telah diinfus dan area kemaluan setelah siuman.
    Korban akhirnya menjalani visum dan hasilnya terdapat cairan sperma di area kemaluan.
    Pihak keluarga tidak tinggal diam mengetahui hal tersebut dan melaporkan peristiwa yang dialami korban ke Polda Jabar.
    Menanggapi kasus yang beredar, Kepala Kantor Hubungan Masyarakat (Humas) Unpad, Dandi Supriadi mengonfirmasi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh salah satu mahasiswanya.
    Unpad dan RSHS telah menerima laporan pelecehan seksual tersebut.
    “Benar, ada insiden yang diduga melibatkan satu orang residen (bukan dua) yang merupakan mahasiswa kami,” kata Dandi saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Rabu (9/4/2025).
    Kemudian, Unpad memberikan sanksi tegas kepada pelaku berupa pemberhentian dari program PPDS.
    Kemenkes
    juga menghentikan kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat.
    Kemenkes sudah menginstruksikan kepada Dirut RSUP Hasan Sadikin untuk menghentikan sementara waktu Kegiatan residensi PPDS dan Terapi Intensif. Kegiatan dihentikan selama satu bulan untuk dievaluasi bersama FK Unpad.
    Di sisi lain, Unpad juga berjanji akan mendampingi korban untuk melapor ke Polda Jawa Barat.
    Saat ini, korban sudah mendapatkan pendampingan dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polda Jabar.
    Unpad dan RSHS mengaku sepenuhnya mendukung proses penyelidikan Polda Jabar, serta berkomitmen melindungi privasi korban dan keluarga.
    Adapun pelakunya sudah ditahan sejak 23 Maret 2025. Sejumlah barang bukti dalam kasus ini juga telah dikumpulkan penyidik.
    Kasus ini mengundang laporan lain yang masuk. Setidaknya, ada dua korban lainnya yang turut melapor peristiwa yang sama.
    Terkait nasib korban, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan memiliki pandangan terkait aborsi.
    Menurut
    Komnas Perempuan
    , para korban perkosaan oleh Priguna Anugerah berhak menggugurkan kehamilan. Bukan tanpa alasan, hal ini merujuk pada Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
    “Berhak menggugurkan kandungannya sebelum 14 minggu. Berdasarkan Pasal 75 ayat 2 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer, dalam keterangannya, Sabtu (12/4/2025).
    Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dalam kondisi tertentu, termasuk kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
    Chatarina juga menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur lebih lanjut mengenai aborsi akibat perkosaan.
    “Aborsi karena perkosaan hanya boleh dilakukan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir,” ujarnya.
    Tak hanya itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan kebijakan “Zona Tanpa Toleransi” terhadap kekerasan di seluruh fasilitas layanan kesehatan di Indonesia.
    Komnas Perempuan mendorong agar RSHS untuk mengambil langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual dalam bentuk apa pun sehingga kejadian serupa tidak terulang.
    Peristiwa perkosaan ini juga diharapkan menjadi momentum untuk evaluasi menyeluruh terhadap jaminan ruang aman di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
    Kemudian, rumah sakit harus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, baik bagi tenaga kesehatan maupun pasien dan keluarganya.
    Namun, keputusan penghentian program PPDS bidang anestesiologi dan terapi intensif di RS Hasan Sadikin ini juga dinilai tidak tepat oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
    Ketua Umum AIPKI Budi Santoso menilai, Indonesia saat ini kekurangan dokter spesialis. Penutupan sementara PPDS dinilai dapat menghambat proses pendidikan serta mengganggu pelayanan.
    Budi mengatakan, penghentian pendidikan PPDS di rumah sakit vertikal oleh Kemenkes merupakan langkah reaktif yang sudah dilakukan sebanyak tiga kali.
    ”Kami berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan yang lebih bijak, adil, dan mendukung keberlangsungan pendidikan kedokteran, serta mempertimbangkan dampak luas terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional,” ujarnya.
    Dia menilai, masalah ini adalah tindakan kriminalitas yang dilakukan individu.
    Tindakan itu bukan kesalahan institusi pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu, kasus ini sebaiknya disikapi secara obyektif dan proposional.
    Institusi pendidikan dan pelayanan kesehatan diharapkan bisa mengevaluasi dan menyelesaikan masalah internal secara profesional.
    ”Jadi, bukan dengan menutup atau menghentikan proses pendidikan secara reaktif,” kata Budi.
    Tak hanya AIPKI, penghentian program PPDS juga dikritik Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
    Menurut Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto, penghentian program PPDS ini dikhawatirkan mengganggu proses pendidikan serta layanan pada pasien.
    Dia menilai, keputusan menghentikan PPDS di rumah sakit tersebut kurang bijak, karena yang terlibat dalam kasus itu bukan institusinya.
    ”Begitu PPDS dihilangkan di rumah sakit itu, yang terkena (dampak) masyarakat dan dunia Pendidikan,” ujar Slamet.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tanda Tanya IDI soal Pengawasan Obat Bius di Balik Kasus Pemerkosaan RSHS

    Tanda Tanya IDI soal Pengawasan Obat Bius di Balik Kasus Pemerkosaan RSHS

    Jakarta

    Dalam proses pelayanan setiap fasilitas kesehatan, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Slamet Budiarto menilai selalu ada SOP yang sudah diatur. Bila kasus kekerasan seksual sampai terjadi di lingkup rumah sakit, hal yang kemudian dipertanyakan adalah apakah pengawasan tidak berjalan.

    Pasalnya, SOP mengatur setiap tahapan proses pelayanan, mulai dari administrasi hingga pengobatan atau perawatan.

    “Kapan kami mau meriksa, kapan kami ngambil obat, itu di-data betul. Karena ada akreditasi. Nah itu apakah, karena ini rumah sakit milik Kementerian Kesehatan? Tentunya mereka punya kewenangan menjelaskan,” ungkap dr Slamet pasca pelantikan kepengurusan IDI, di Grand Mercure Kemayoran, Sabtu (12/4/2025).

    Setiap pengambilan obat harus tercatat, termasuk saat pemeriksaan pasien. Dalam proses pemeriksaan, dokter juga seharusnya didampingi oleh rekan sejawat atau perawat.

    Keluarga pasien juga dalam hal ini berhak menemani.

    “Saya tidak tahu kasus yang di Bandung itu seperti apa. Tapi bisa dikatakan ini pelanggaran SOP,” sesal dia.

    “Tapi ini yang benar-benar tahu adalah tentu pihak rumah sakit, itu Direktur Utama rumah sakit yang bertanggung jawab penuh terhadap semua yang ada di dalam rumah sakit. Mulai dari pasien, sampai dokter, sampai semua pihak,” pungkasnya.

    dr Slamet menyayangkan hal ini bisa terjadi, terutama dalam profesi dokter yang selama ini selalu mengedepankan etika.

    “Sumpah dokter, sudah sebegitunya. Kemudian masuk koas saja sudah disumpah juga.”

    (naf/kna)