Tag: Siti Zuhro

  • Pengamat: Prabowo serius tangani korupsi pada tahun pertama menjabat

    Pengamat: Prabowo serius tangani korupsi pada tahun pertama menjabat

    Walau dinilai serius dalam urusan pemberantasan korupsi, komitmen Prabowo perlu diuji untuk konsistensinya

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat dan Executive Director dari Next Indonesia, Christiantoko, menilai Presiden Prabowo Subianto dinilai serius berupaya memulihkan perekonomian Indonesia dengan memberantas korupsi pada tahun pertama menjabat.

    “Hal itu terlihat dari rentetan kasus korupsi besar yang terungkap pada satu tahun pertama kepemimpinan Prabowo Subianto. Salah satu yang paling menyita perhatian publik yakni penyerahan uang sitaan kasus CPO dari Kejaksaan Agung ke Kementerian Keuangan senilai Rp13,2 triliun,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Tidak hanya itu, Prabowo melalui jajaran penegak hukum dinilai berani menangani kasus dugaan korupsi tata kelola di lingkungan kelompok usaha PT Pertamina (Persero) dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp285 triliun.

    Walau dinilai serius dalam urusan pemberantasan korupsi, Christiantoko menilai komitmen Prabowo perlu diuji untuk konsistensinya.

    “Dari pernyataan terbaru kemarin di Kejagung oleh Presiden, dia tidak pandang bulu. (Tapi) kita tidak bisa menilai sekarang, apakah Presiden memenuhi apa yang diucapkan atau tidak,” kata Christiantoko.

    Dengan konsistensi yang tinggi dalam penegakan hukum, Christiantoko yakin Prabowo dapat mencegah terjadinya kebocoran anggaran negara.

    Terkait mencegah kebocoran anggaran negara, Prabowo dinilai harus membenahi beberapa hal selain korupsi untuk mencegah bocornya uang negara.

    Sementara itu, Peneliti Utama Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro menilai pemerintah perlu mengefektifkan sistem birokrasi yang ada di pemerintahan.

    Hal tersebut perlu dilakukan karena saat ini terlalu banyak pemecahan sistem birokrasi yang berpotensi dapat memperbesar anggaran negara.

    “Jadi birokrasi krusial itu maksudnya bagaimana sekarang mengefektifkan birokrasi,” kata dia.

    Siti juga menyarankan agar adanya keterlibatan pemerintah daerah terkait program-program populis pemerintah agar program besar tersebut bisa berjalan baik.

    Dengan sistem birokrasi yang baik, Siti yakin pemerintahan akan berjalan dengan efektif dan celah untuk melakukan korupsi akan semakin diperkecil.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Disebut Berjanji Partisipatif, Terbuka, dan Mendengarkan Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 September 2025

    DPR Disebut Berjanji Partisipatif, Terbuka, dan Mendengarkan Rakyat Nasional 5 September 2025

    DPR Disebut Berjanji Partisipatif, Terbuka, dan Mendengarkan Rakyat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peneliti Senior BRIN sekaligus pengurus Mujadalah Kiai Kampung, Siti Zuhro mengungkap janji pimpinan DPR yang akan terbuka dalam berkomunikasi dengan masyarakat.
    Hal tersebut disampaikan usai Majelis Mujadalah Kiai Kampung menggelar pertemuan tertutup dengan Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
    “Yang paling melegakan adalah DPR (berkomitmen) tidak boleh elitis lagi, tapi DPR yang betul-betul partisipatif yang mau mendengarkan dan membuka diri untuk terjadinya komunikasi dua arah dengan masyarakat luas,” ujar Siti Zuhro usai pertemuan, Kamis (5/9/2025).
    Pihaknya meminta DPR sebagai perwakilan rakyat untuk benar-benar menjalankan fungsinya sebagai representasi warga yang memilih mereka.
    Termasuk dalam menjalankan salah satu tugas utama DPR, yakni fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
    “Kita harapkan memang DPR melakukan fungsi representasi tadi itu perwakilan dengan sangat efektif. Kali ini kita tidak boleh missed,” ujar Siti.
    Di samping itu, Siti juga mengungkap bahwa DPR menghentikan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan yang sebelumnya dikritisi publik.
    “Jadi uang untuk kompensasi rumah bagi anggota DPR tidak jadi diberikan, jadi diputus dan kunjungan ke luar negeri untuk anggota dewan tidak ada lagi, kecuali mungkin atas nama ketua, mewakili ketua DPR RI, itu masih dimungkinkan. Tapi yang lain tidak ada lagi,” ujar Siti.
    Sebelumnya, delapan fraksi yang ada di DPR sepakat untuk menghapus tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan.
    Kesepakatan tersebut diambil usai Ketua DPR Puan Maharani memimpin rapat bersama delapan pimpinan fraksi di parlemen.
    “Semua Ketua Fraksi sepakat menghentikan tunjangan perumahan bagi anggota, dan melakukan moratorium kunjungan kerja bagi anggota dan komisi-komisi DPR,” ujar Puan dalam siaran persnya, Kamis (4/9/2025).
    Rapat tersebut turut dihadiri oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR Saan Mustofa, dan Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal.
    Selain menghapus tunjangan perumahan DPR, Puan mengatakan bahwa rapat tersebut juga membahas tuntutan masyarakat terhadap lembaga yang dipimpinnya.
    Puan memastikan bahwa DPR bakal berupaya melakukan reformasi kelembagaan agar bisa sesuai harapan masyarakat luas.
    “Saya sendiri yang akan memimpin reformasi DPR,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
    “Prinsipnya kami DPR akan terus berbenah dan memperbaiki diri. Apa yang menjadi aspirasi masyarakat pasti akan kami jadikan masukan yang membangun,” sambungnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Puan tegaskan transformasi DPR saat bertemu akademisi-tokoh agama

    Puan tegaskan transformasi DPR saat bertemu akademisi-tokoh agama

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan komitmen bahwa DPR RI akan melakukan transformasi setelah adanya aksi unjuk rasa yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia pada akhir Agustus lalu, ketika menerima audiensi dengan sejumlah tokoh akademisi dan tokoh keagamaan.

    Dia menjelaskan bahwa transformasi akan dilakukan terhadap kelembagaan secara menyeluruh. Dia juga menyampaikan permohonan maaf atas sikap atau pernyataan sejumlah anggota DPR yang belakangan dinilai menyinggung perasaan publik.

    “Saya minta maaf jika ada anggota yang bertutur atau berlaku kurang berkenan. Memang ada beberapa informasi yang beredar, tapi tidak semuanya sesuai fakta,” kata Puan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Adapun sejumlah tokoh yang hadir dalam pertemuan itu yakni Peneliti Senior BRIN, Siti Zuhro, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga tokoh NU, KH Marsudi Syuhud, mantan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi, hingga Pakar Komunikasi Effendi Gazali. Mereka tergabung dalam wadah bernama Majelis Mujadalah Kiai Kampung.

    Dia pun menyinggung sejumlah isu yang sempat memicu kegaduhan, antara lain soal kenaikan gaji hingga tunjangan kompensasi perumahan bagi anggota. Dia menegaskan bahwa DPR RI tak mengalami kenaikan gaji.

    Selain itu, tunjangan perumahan tersebut sudah dihentikan dan DPR juga memberlakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

    “Terkait tunjangan perumahan, per 31 Agustus sudah dihentikan. Moratorium sudah diberlakukan untuk kunjungan luar negeri, terutama oleh komisi, kecuali untuk agenda konferensi kenegaraan yang betul-betul mewakili negara,” katanya.

    Saat ini, dia mengatakan bahwa DPR juga tengah memperkuat transparansi melalui sistem digital. Menurut dia, semua laporan kegiatan dan rapat terbuka DPR dapat diakses di website DPR.

    “Kami sungguh-sungguh ingin melakukan transformasi kelembagaan. DPR harus lebih terbuka, aspiratif, dan akuntabel,” kata.

    Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan bahwa DPR tidak boleh lagi bersikap elitis lagi, tetapi harus betul-betul partisipatif, mau mendengarkan dan membuka diri untuk terjadinya komunikasi dua arah dengan masyarakat luas.

    Dia pun berharap DPR melakukan fungsi dan wewenangnya dengan amanah, termasuk dalam memberikan pengawasan secara konstruktif kepada Pemerintah.

    “Kita harapkan, memang DPR melakukan fungsi representasi tadi itu perwakilan dengan sangat efektif. Kali ini kita tidak boleh missed,” kata Zuhro.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Dinonaktifkan Partai, Hendri Satrio Pertanyakan Nasionalisme Sahroni Cs, Harusnya Mundur Secara Sukarela

    Dinonaktifkan Partai, Hendri Satrio Pertanyakan Nasionalisme Sahroni Cs, Harusnya Mundur Secara Sukarela

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Partai NasDem dan Partai Amanat Nasional (PAN) resmi menonaktifkan Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya sebagai anggota DPR RI per 1 September 2025.

    Keputusan ini diambil menyusul pernyataan dan gestur kontroversial keempat politisi tersebut yang memicu aksi protes masyarakat dalam beberapa hari terakhir.

    Sebelumnya, analis komunikasi politik Hendri Satrio atau Hensa menilai seharusnya Sahroni, Nafa, Eko, dan Uya mempertimbangkan untuk mundur dari jabatan mereka. Menurutnya, langkah itu tidak hanya akan meredam gejolak publik, tetapi juga menjadi ujian bagi rasa nasionalisme mereka.

    “Kini nasionalisme mereka diuji. Mereka harusnya mendengarkan rakyat dengan mundur dari kursi mereka, atau selamanya akan terus terjadi situasi seperti saat ini, aksi di mana-mana,” kata Hensa kepada wartawan, Sabtu (30/8/2025).

    Pendapat serupa disampaikan peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof R. Siti Zuhro. Ia menilai keempat politisi tersebut sebaiknya mundur secara sukarela tanpa harus menunggu diberhentikan partai.

    “Iya benar (soal mundur itu), termasuk saya mengusulkan di Indonesia ini memang belum ada tradisi atau budaya malu dan mundur. Kalau sudah tidak becus, tidak mumpuni untuk mengembangkan amanah tadi, seyogyanya yang bersangkutan itu pamit, mundur dan berhenti. Itu jauh lebih elegan daripada diberhentikan,” ujar Siti Zuhro saat dihubungi, Minggu (31/8/2025).

    Meski demikian, ia menegaskan partai politik memiliki kewenangan penuh untuk menonaktifkan kadernya dari jabatan di parlemen. Namun, keputusan itu tetap harus mempertimbangkan dampak publik.

  • Pilkada tak bisa diseragamkan antardaerah

    Pilkada tak bisa diseragamkan antardaerah

    Peneliti Ahli Utama BRIN Siti Zuhro di Jakarta, Kamis (31/7/2025). ANTARA/Melalusa Susthira K

    Peneliti: Pilkada tak bisa diseragamkan antardaerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 01 Agustus 2025 – 07:40 WIB

    Elshinta.com – Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai bahwa model pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak bisa diseragamkan antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia

    Sebab, kata dia, keragaman karakteristik sosial, ekonomi, hingga budaya antar-wilayah menuntut pendekatan yang berbeda, termasuk dalam pelaksanaan pilkada.

    “Daerah itu sangat Bhinneka Tunggal Ika, sangat unik. Provinsi, kabupaten, kota karakteristik kekhasan potensinya itu beda-beda maka kalau diseragamkan itu pasti gagal,” katanya di Jakarta, Kamis (31/7).

    Meski sistem pilkada langsung memiliki kelebihan berupa partisipasi rakyat yang memilih secara langsung, kata dia, dalam praktiknya kerap disalahgunakan oleh elite politik sehingga merusak tujuan demokrasi, seperti maraknya penggunaan praktik politik uang dan mobilisasi massa.

    “Ketika one man one vote, jangan cuman mengandalkan mobilisasi dengan vote buying. Itu bukan membangun peradaban. Demokrasi itu membangun peradaban. Bukan membangun ketidakberadaban,” ujarnya.

    Ia juga menilai penyelenggaraan pilkada langsung di wilayah-wilayah dengan tingkat pendidikan rendah dan fiskal lemah hanya akan memperburuk keadaan

    “Dalam keadaan ekonomi kita seperti ini, pendidikan SDM kita yang masih SMP, bahkan SD, itu menurut saya menistakan. Memberikan uang terus-menerus setiap pilkada itu menistakan masyarakat,” katanya.

    Untuk itu, dia memandang daerah-daerah tertentu yang belum siap secara ekonomi dan sumber daya manusia (SDM) maka mekanisme pilkada melalui DPRD dapat dipertimbangkan ulang.

    “Jadi maka kalau ada daerah yang seperti Jakarta mumpuni untuk dilakukan pilkada langsung, silakan. Tapi yang tidak mumpuni karena fiskalnya rendah, ekonominya potensinya juga rendah, pendidikan SDM sebagian besar juga itu tidak eligible, gitu ya,” ucapnya.

    Dia memandang apabila pilkada dipilih melalui DPRD maka dapat mengurangi potensi yang kiranya muncul di tengah masyarakat dan menekan biaya pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.

    “Sehingga kelebihan-kelebihan dari dipilih melalui DPRD itu harus menonjol. Orang yang akan dipilih menjadi kepala daerah, wakilnya mungkin diseleksi sendiri gitu, itu betul-betul mumpuni berdasarkan kriteria,” ujarnya.

    Ia mengemukakan pentingnya DPRD memilih calon kepala daerah yang terbaik.

    “Sehingga DPRD memilihnya itu the best among the best, bukan the best among the worst. Bukan dipilih karena baik di antara yang jelek-jelek, bukan,” katanya.

    Sumber : Antara

  • F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara d

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dari yang sebelumnya dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).

    “Oleh sebab itu, PKB sempat mengusulkan dan kami juga akan usulkan nanti kalau ada pembicaraan revisi Undang-Undang Pemilu, semestinya diputuskan MK enggak apa-apa, bahwa untuk pilkada dilakukan secara serentak dipilih oleh anggota DPRD. Itu lebih bagus,” kata Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi oleh Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Sebab, kata dia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah secara demokratis dapat diartikan pilkada langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD.

    “Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara demokratis,” ujarnya.

    Menurut dia, usulan pihaknya yang menghendaki kepala daerah dipilih melalui DPRD tersebut sebagaimana yang paradigma Mahkamah Konstitusi (MK) gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah lantaran faktor kelelahan.

    “Kalau MK mendalilkan bahwa kenapa dibuat desain pemilu pusat dan daerah itu karena capek katanya, enggak fokus. (Kalau begitu) lebih hemat lagi kalau pilkadanya dipilih oleh anggota DPRD Tingkat II sebagai representasi, sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyatnya di Tingkat II sehingga dia bisa menentukan siapa bupatinya, dan itu lebih mudah,” tuturnya.

    Terpisah, anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menyebut alasan pihaknya mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui DPRD berangkat atas dasar filosofi otonomi daerah.

    “Karena kalau kita melihat dalam filosofi otonomi daerah, yaitu tadi yang saya sampaikan di forum, ada desentralisasi, ada dekonsentrasi, dan tugas pengampuan, istilahnya penugasan. Nah, desentralisasi itu lebih pasnya di kabupaten,” kata Khozin ditemui usai diskusi.

    Dia kemudian berkata, “Sementara dekonsentrasi itu lebih pasnya di gubernur karena gubernur itu menjalankan tugas dan kewenangan itu delegatif dari pusat.”

    Senada dengan Jazilul, dia pun memandang usulan PKB agar kepala daerah dipilih melalui DPRD itu sebagaimana perspektif yang MK gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah dalam rangka menyederhanakannya.

    “Pertimbangan MK dalam Putusan 135 (Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024) itu kan berbicara kerumitan, mencari kesederhanaan terkait dengan pelaksanaan pemilu; dan kalau bicara kerumitan kan lebih rumit mana dibeli DPRD sama kemarin (dipilih langsung lewat pilkada)?” ucap dia.

    Dalam diskusi tersebut turut hadir pula sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, hingga Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.

    Pewarta: Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MenPANRB terima masukan dari periset untuk susun kebijakan aspiratif

    MenPANRB terima masukan dari periset untuk susun kebijakan aspiratif

    “Kementerian PANRB sebagai pembina pelayanan publik, mendorong terciptanya inovasi sebagai respons atas tantangan pelayanan publik yang semakin kompleks, dinamis, dan berbasis kebutuhan masyarakat. Maka diperlukan masukan dari banyak pihak, tidak han

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Rini Widyantini menerima sejumlah masukan dari Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) untuk terus melaukan perbaikan kualitas pelayanan publik melalui perumusan kebijakan.

    Ia menilai mendengar masukan dari para ahli dibidangnya penting guna perbaikan pelayanan kepada publik maupun dalam merumuskan kebijakan yang berdampak langsung bagi masyarakat.

    “Kementerian PANRB sebagai pembina pelayanan publik, mendorong terciptanya inovasi sebagai respons atas tantangan pelayanan publik yang semakin kompleks, dinamis, dan berbasis kebutuhan masyarakat. Maka diperlukan masukan dari banyak pihak, tidak hanya dari masyarakat namun juga para ahli,” kata Rini dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Rini mengatakan jika pelayanan publik yang berkualitas adalah ujung tombak reformasi birokrasi. Oleh karena itu, pihaknya perlu mendengar masukan dari para ahli guna menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran.

    Hal tersebut dirasa dapat membuat perubahan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan layanan yang dibutuhkan secara terpadu dan terdigitalisasi.

    Disampaikan bahwa peran PPI diperlukan untuk menyusun kajian kebijakan berbasis evidence untuk menyatukan arah kebijakan, mendukung pelembagaan inovasi. Peran lain adalah pengembangkan pelatihan, asistensi, dan model pembinaan SDM berbasis riset serta membantu membangun ekosistem inovasi yang tidak bergantung pada figur.

    Selain pelayanan publik, pihaknya juga memerlukan masukan dari PPI dalam hal implementasi reformasi birokrasi. Dimana birokrasi yang kapabel, berdaya saing, dan berintegritas merupakan faktor pendukung tercapainya visi besar Indonesia untuk menjadi negara maju, bermartabat, dan sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Hal tersebut merupakan arahan Presiden dan Wakil Presiden.

    “Birokrasi yang berdampak dapat tercapai apabila kita dapat bekerja secara kolaboratif untuk mencapai tujuan nasional bersama. Apa yang kita kerjakan sesungguhnya bukan untuk kita sendiri, tetapi untuk masyarakat dan bangsa Indonesia,” ujarnya.

    Lebih lanjut pihaknya akan membuka peluang kerja sama antara Kementerian PANRB dengan PPI, terutama dalam hal pemberian masukan guna menghasilkan kebijakan yang tepat fungsi. Karena memang untuk meningkatkan kepuasan masyarakat atas pelayanan publik harus menjadi prioritas setiap instansi, baik pusat maupun daerah serta kolaborasi dari banyak pihak.

    Pada kesempatan tersebut Ketua Umum PPI Syahrir Ika mengapresiasi kerja – kerja yang dilakukan Kementerian PANRB yang dirasa terus mengalami perbaikan terutama dalam bidang digitalisasi dan reformasi birokrasi.

    Pihaknya juga meminta Kementerian PANRB dapat memanfaatkan SDM yang ada di PPI yang merupakan organisasi profesi periset Indonesia yang diamanatkan oleh BRIN selaku instansi Pembina periset di Indonesia.

    “Kami datang dengan konsep rekomendasi dalam berbagai sektor, baik sektor penataan aparatur negara, pelayanan publik, maupun digitalisasi kami siap membantu Kementerian PANRB untuk menghasilkan kebijakan,” katanya.

    Senada dengan hal tersebut Wakil Ketua Dewan Pakar PPI Siti Zuhro menyampaikan Kementerian PANRB merupakan lokomotif dari reformasi birokrasi pemerintahan.

    Dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan ragam keahlian, PPI dapat turut serta mengawal kebijakan Kementerian PANRB seperti inovasi pelayanan publik yang tidak hanya menyasar pemerintah pusat namun hingga pemerintah daerah, dan lainnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemakzulan Hal Biasa di Indonesia dan Tidak Bisa Sepaket

    Pemakzulan Hal Biasa di Indonesia dan Tidak Bisa Sepaket

    GELORA.CO – Pemimpin di Indonesia memiliki sejarah pemakzulan yang cukup banyak, sehingga hal itu merupakan lumrah terjadi. Namun pemakzulan tidak bisa dilakukan secara sepaket.

    Demikian pandangan pakar politik dari BRIN Prof. Siti Zuhro dalam acara diskusi virtual yang digagas Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita bertemakan ‘Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Perspektif Hukum dan Politik’, Senin malam, 16 Juni 2025.

    “Secara empirik kita juga mencatat bahwa sebetulnya Indonesia pernah mengalami dwi tunggal yang pisah di tengah jalan. Jadi tidak hanya kepala daerah dan wakil kepala daerah, dwi tunggal ditinggal, nasional juga, demikian juga Wapres,” kata Prof. Siti Zuhro.

    Ia mengurai beberapa kepala negara yang mundur dari jabatannya, seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta atau Bung Hatta, kemudian Presiden Soeharto hingga Presiden Habibie yang hanya 15 bulan menjabat serta Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

    “Jadi pengalaman empirik ini menunjukkan bahwa sebetulnya mundurnya atau berhentinya atau bahkan dimakzulkannya Presiden itu sudah pernah terjadi,” jelasnya.

    Dari pengalaman tersebut, lanjut dia, juga menunjukkan bahwa mundur atau berhenti dari jabatan presiden bahkan wakil presiden tidak sepaket. 

    Maka dari itu, alasan bahwa pemakzulan harus sepaket tidak relevan dan signifikan serta bisa diperdebatkan.

    “Capres cawapres diamanatkan dalam konstitusi tapi setelah dilantik dan menjadi presiden dan wakil presiden pertanggungjawaban terhadap tindakan dan pelanggaran hukum yang dilakukan akan menjadi ranah masing-masing. Sangat tidak logis bila hal itu disebut sebagai paket,” tandasnya.

  • Sepaket Itu Hanya di Pemilu, Bukan untuk Pemakzulan

    Sepaket Itu Hanya di Pemilu, Bukan untuk Pemakzulan

    GELORA.CO -Konstitusi menyatakan hanya partai politik dan gabungan partai politik atau koalisi yang bisa mengusung capres dan cawapres. Namun, mengacu pada Pasal 7A UUD 1945, hal ini tidak berlaku dalam hal pemakzulan salah satu pemimpin negara.

    Pakar Ilmu Politik Profesor Siti Zuhro berpendapat, aturan itu hanya berlaku dalam kontestasi Pilpres atau Pemilu 5 tahunan, tidak bisa dikaitkan dengan aturan impeachment. Lantaran kesalahan salah satu pemimpin negara merupakan tanggung jawab masing-masing individu.

    “Selanjutnya enggak diatur, jadi kalau presiden mundur, satu paket, wakil presiden mundur, satu paket, enggak ada gitu loh. Kesalahan dibuat oleh masing-masing,” kata Siti Zuhro kepada RMOL, Selasa, 10 Juni 2025.

    Ia memaparkan, dalam aturan pemilihan presiden digarisbawahi bahwa hanya partai politik, dan koalisi atau gabungan partai yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden, tidak ada calon independen seperti dalam Pilkada. 

    Namun, dalam perjalanannya, proses pemilu yang dianggap melanggar aturan konstitusi, perlu dikoreksi. Terutama ketika salah satu dari paket pemimpin negara jelas-jelas melakukan pelanggaran maka dorongan impeachment berlaku.

    “Itu kan bukan rahasia lagi, Mahkamah Konstitusi, cawe-cawe ketuanya gitu kan, muncullah ‘Dirty Vote’ gitu kan. Emang pernah ada ‘Dirty Vote’ sebelumnya? Enggak ada. Dirty Election? Enggak ada itu sebelumnya. Ada gurubesar sampai nangis-nangis gitu kan, hanya karena Pilpres? Enggak ada sebelumnya. Baru di 2024 saking luar biasanya kasusnya kan gitu, melanggar etika gitu ya, itu yang udah etika, itu di atas semuanya,” katanya.

    “Kalau menurut saya enggak ada urusan sepaket-sepaket, ini masing-masing,” tutupnya. 

    Sebelumnya, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo menekankan bahwa proses pemakzulan memiliki aturan ketatanegaraan yang ketat. Menurutnya, pemakzulan presiden maupun wakil presiden dilakukan sepaket kalau terbukti melakukan pelanggaran berat.

    “Pemakzulan itu harus presiden atau wakil presiden misalnya korupsi, atau melakukan perbuatan tercela, atau melakukan pelanggaran berat, Itu baru (bisa dimakzulkan),” kata Jokowi kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, Jumat 6 Juni 2025. 

  • BRIN: Penambahan dana parpol harus dibarengi dengan penerapan penalti

    BRIN: Penambahan dana parpol harus dibarengi dengan penerapan penalti

    Jadi, sudah dikasih ancang-ancang, kalau uang ini kamu korupsi, pidana dan partaimu didiskualifikasi.

    Jakarta (ANTARA) – Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai penambahan dana bantuan keuangan untuk partai politik (parpol) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus dibarengi dengan adanya penerapan penalti bagi parpol yang melakukan penyelewengan dana.

    “Mungkin sebelum sampai ada pendanaan, itu harus dirumuskan secara serius gitu ya, dengan semua penalti yang mungkin diterapkan atau ditetapkan untuk partai yang nakal,” kata Siti di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Siti Zuhro menilai penalti terhadap parpol yang menyelewengkan dana tersebut harus memuat sanksi yang tegas dan berat agar parpol tidak menjadikannya sebagai “bancakan” politik.

    “Katakan siapa pun yang mencuri uang untuk partai itu dipenalti secara sangat serius. Jadi, ada klausul yang membunyikan itu. Kalau enggak, ya bancakan lagi, bancakan lagi,” ujarnya.

    Adanya pengaturan tersebut, dia berharap mampu menjadi pengingat agar parpol senantiasa waspada dalam mengelola dana tersebut demi optimalisasi kerja-kerja kepartaian.

    “Jadi, sudah dikasih ancang-ancang, kalau uang ini kamu korupsi, pidana dan partaimu didiskualifikasi,” ucapnya.

    Ia optimistis penambahan bantuan keuangan itu dapat efektif mencegah praktik korupsi yang kerap diselewengkan untuk menopang operasional parpol.

    Menurut dia, besaran bantuan keuangan itu dapat diberikan kepada parpol sesuai dengan pengelompokan atas raihan suara dalam pemilu sehingga pemanfaatannya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

    “Menurut saya daripada korupsi besar-besaran seperti ini, mending partai itu didanai sesuai dengan platformnya. Jadi, platformnya itu dia partai besar, menengah, atau kecil. Jadi sesuai, enggak terus juga disamaratakan, beda,” tuturnya.

    Terakhir, dia mengingatkan agar pemberian dana bantuan parpol itu harus dibarengi pula dengan adanya pemeriksaan laporan keuangan oleh auditor independen yang profesional ketimbang audit tersebut dilakukan oleh institusi pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Harus diaudit uang tadi itu sehingga kalau dicuri dan sebagainya penalti bagi partai itu. Itu baru mantap,” kata dia.

    Siti Zuhro lantas melanjutkan, “Jangan sampai digelontorkan uang ini sih nambah korupsi saja, percuma, tambal sulam.”

    Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan bahwa lembaganya mengusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan dana yang besar dari APBN kepada partai politik sebagai salah satu upaya memberantas korupsi di Indonesia.

    “KPK adalah memberikan rekomendasi pendanaan terhadap partai politik agar partai politik itu dibiayai dari APBN,” jelas Fitroh dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (16/5).

    Apalagi, kata Wakil Ketua KPK ini, pihak yang ingin menjadi kepala desa, wali kota, bahkan menjadi presiden membutuhkan dana yang besar.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.