Tag: Siti Nadia Tarmizi

  • Bijak Membaca Label Nutrisi, Saksikan di detikcom Leaders Forum Hari Ini

    Bijak Membaca Label Nutrisi, Saksikan di detikcom Leaders Forum Hari Ini

    Jakarta

    Risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular banyak dipengaruhi oleh pola makan. Karenanya, pemerintah menerapkan regulasi yang ketat terkait label nutrisi pada kemasan pangan.

    Salah satu tujuannya adalah untuk membantu konsumen mengontrol asupan gula, garam, dan lemak (GGL) dari produk pangan sehari-hari. Tantangannya, riset Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di tahun 2013 mengungkap, hanya sebanyak 7,9 persen masyarakat Indonesia yang membaca label nutrisi.

    Di sisi lain, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan adanya peningkatan prevalensi diabetes. Jika di tahun 2018 angkanya hanya 1,5 persen, kini meningkat menjadi 1,7 persen di 2023.

    Label nutrisi juga penting ketika konsumen punya tujuan tertentu saat mengonsumsi produk tertentu. Salah satunya susu pertumbuhan, yang jenisnya beragam dengan kandungan nutrisi yang juga berbeda-beda.

    Edukasi untuk memahami label nutrisi dengan baik jadi semakin penting agar pilihan produk sesuai dengan kebutuhan. Linda Lukitasari, R&D Director Tempo Scan Group, akan hadir dalam detikcom Leaders Forum ‘Bijak Membaca Label Nutrisi’, menjelaskan informasi apa saja yang penting diketahui dalam produk susu pertumbuhan.

    Diskusi akan dihadiri juga oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Taruna Ikrar, dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid.

    Selengkapnya, nantikan tayangan streaming detikcom Leaders Forum ‘Bijak Membaca Label Nutrisi’ pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 13.00 WIB hanya di detikcom.

    (up/up)

  • Suka Es Krim Tapi Takut Gemuk? Ngobrol Yuk, Bareng Pakar di Sini

    Suka Es Krim Tapi Takut Gemuk? Ngobrol Yuk, Bareng Pakar di Sini

    Jakarta – Sebagaimana penyakit tidak menular yang lain, diabetes di Indonesia mengalami peningkatan. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan prevalensi diabetes berdasarkan diagnosis dokter mengalami peningkatan dari 1,5 persen di tahun 2018 menjadi 1,7 persen di tahun 2023 pada semua kelompok usia.

    Pada kelompok usia 15 tahun ke bawah, prevalensi diabetes tercatat sebanyak 2,2 persen di 2023, naik dari 2 persen di 2018.

    SKI juga mengungkap sejumlah faktor risiko penyakit tidak menular. Selain faktor risiko yang tidak bisa diubah seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, ada juga faktor risiko yang bisa diubah. Salah satunya pola makan, terutama konsumsi buah dan sayur yang rendah.

    Masih terkait pola makan, es krim kerap dituding sebagai salah satu produk pangan yang menjadi biang kerok obesitas. Tak heran, kandungan es krim tidak jauh dari gula dan lemak, yang memang dapat meningkatkan risiko kegemukan.

    Di sisi lain, es krim merupakan makanan yang disukai banyak masyarakat. Baik disantap saat cuaca sedang panas atau dinikmati ketika sedang bersantai.

    Lalu, apakah ada ‘jalan tengah’ untuk kondisi ini, sehingga es krim tetap bisa dinikmati berdampak buruk bagi kesehatan? detikcom Leaders Forum ‘Bijak Membaca Label Nutrisi’ akan menghadirkan Ice Cream Asia Regulatory Affairs Lead Unilever Indonesia, Tutut Wijayanti, yang akan menjelaskan bagaimana memahami informasi yang tercantum dalam label nutrisi kemasan produk pangan manis kesukaan masyarakat tersebut.

    Hadir pula dalam diskusi ini Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), Taruna Ikrar, yang akan mengupas tuntas regulasi yang berlaku terkait label nutrisi dalam kemasan pangan olahan. Terkait situasi penyakit tidak menular, dari Kementerian Kesehatan juga akan hadir Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, yang akan memberikan gambaran tentang pentingnya edukasi bagi konsumen.

    Selengkapnya, saksikan tayangan streaming detikcom Leaders Forum ‘Bijak Membaca Label Nutrisi’ pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 13.00 WIB hanya di detikcom.

    (dpy/up)

  • Cermat Baca Label Nutrisi Pangan, Cegah Diabetes hingga Penyakit Kardiovaskular

    Cermat Baca Label Nutrisi Pangan, Cegah Diabetes hingga Penyakit Kardiovaskular

    Jakarta – Prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia masih menjadi persoalan tersendiri. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, prevalensi kasus obesitas pada penduduk usia 18 tahun meningkat dari 35,4 persen pada tahun 2018 menjadi 37,8 persen pada tahun 2023.

    Sementara itu, prevalensi diabetes pada penduduk di atas usia 15 tahun mengalami peningkatan dari 10,9 persen di tahun 2018 menjadi 11,7 persen pada tahun 2023. Demikian juga dengan hipertensi, SKI 2023 menunjukkan angkanya masih 30,8 persen, meski sedikit mengalami penurunan dibanding tahun 2018 yakni 34,1 persen.

    Diet atau pola makan merupakan salah satu faktor risiko penting dalam pencegahan penyakit tidak menular. Karenanya, membaca label nutrisi bisa menjadi langkah awal bagi masyarakat untuk memilih produk pangan yang lebih sehat dan berkualitas.

    Sayangnya, kesadaran masyarakat di Indonesia untuk membaca label nutrisi saat ini sangat rendah. Menurut data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di tahun 2013, hanya sebanyak 7,9 persen orang yang memperhatikan label produk pangan olahan sebelum membeli.

    BACA JUGA https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7797012/hari-gini-beli-kosmetik-di-luar-official-store-pikir-ulang-ini-wanti-wanti-bpom

    Menyikapi hal tersebut, detikcom Leaders Forum akan kembali hadir bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Taruna Ikrar, untuk membahas pentingnya memahami nilai gizi dalam sebuah produk pangan. Turut hadir, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Siti Nadia Tarmizi, MEpid yang akan membahas upaya pemerintah dalam mengurangi dampak pola makan tidak sehat terhadap risiko penyakit tidak menular.

    Diskusi ini juga akan menghadirkan Linda Lukitasari, R&D Director Tempo Scan Group, untuk membahas soal apa saja yang perlu diperhatikan konsumen dalam label nutrisi serta memberikan tips yang harus diperhatikan orang tua apabila ingin memilih susu pertumbuhan untuk anak.

    Hal tersebut tentu juga harus menjadi perhatian agar orang tua untuk memastikan kebutuhan gizi, menyesuaikan kebutuhan anak, membantu mengatur pola makan, hingga membantu menemukan produk susu pertumbuhan anak yang lebih berkualitas.

    Selengkapnya, nantikan tayangan streaming detikcom Leaders Forum ‘Bijak Membaca Label Nutrisi’ pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 13.00 WIB. Hanya di detikcom.

    (up/up)

  • Kemenkes Minta Warga RI Ikut Cek Kesehatan Gratis Sebelum Puasa

    Kemenkes Minta Warga RI Ikut Cek Kesehatan Gratis Sebelum Puasa

    Jakarta

    Jelang bulan Ramadan, Kementerian Kesehatan RI mengimbau masyarakat untuk menjaga menu buka puasa agar terhindar dari risiko penyakit diabetes, hipertensi, hingga masalah jantung. Momen puasa sebetulnya menjadi waktu yang baik untuk mengistirahatkan organ tubuh.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi berpesan, jangan sampai manfaat kesehatan dari berpuasa tidak didapat dengan kebiasaan kalap saat berbuka.

    “Iya jadi berpuasa itu kan sebenarnya upaya itu, yang kita tahu manfaatnya adalah mengistirahatkan organ tubuh kita, yang kita berharap justru menyehatkan kembali,” ungkap dr Nadia kepada detikcom saat ditemui di Gedung Transmedia, Selasa (25/2/2025).

    “Sekali lagi, bahwa sesuatu yang berlebihan, termasuk saat berbuka puasa, itu pasti akan memberikan dampak negatif kepada kita, jadi jangan kemudian seperti balas dendam,” sambungnya.

    dr Nadia berpesan untuk tetap memerhatikan konsumsi menu berbuka di batas atau kadar gula, garam dan lemak (GGL) yang baik. “Jangan berbuka berarti bebas merdeka, makan semuanya,” sorot dr Nadia.

    Imbau Cek Kesehatan Gratis

    dr Nadia mengimbau publik untuk segera melakukan cek kesehatan gratis, terutama bagi mereka yang sudah mendapatkan tiket di SATU SEHAT, bertepatan dengan hari ulang tahun.

    Pemeriksaan kesehatan sebelum puasa bisa sekaligus memastikan risiko atau kondisi masing-masing orang sebelum berpuasa.

    “Misalnya apakah kita sudah darah tinggi, atau kita sudah pre diabetes, ya kan, atau kemudian kita gejala-gejala kolesterol tinggi, kita tahu dengan puasa kita bisa kendalikan perilaku,” tandas dr Nadia.

    “Ada nih beberapa hari lagi, datangi ramai-ramai puskesmas, jadi pada saat puasa kita lakukan perubahan perilaku sehingga kita sehat di akhir puasa,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Hampir 200 Ribu Warga RI Sudah Ikut Cek Kesehatan Gratis, Terbanyak Usia Ini

    Hampir 200 Ribu Warga RI Sudah Ikut Cek Kesehatan Gratis, Terbanyak Usia Ini

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI mengungkap sudah hampir 200 ribu warga Indonesia yang mendaftar program cek kesehatan gratis. Data ini berdasarkan periode 10-22 Februari 2025.

    “Sudah ada hampir 200 ribu orang yang ikut cek kesehatan gratis,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi, saat ditemui detikcom di Gedung Transmedia, Selasa (25/2/2025).

    Sebagai rincian, total pendaftar periode 10 hingga 22 Februari mencapai 199.910 orang di 38 provinsi yang melibatkan 8.081 puskesmas. Jumlah pendaftar berdasarkan kelompok usia terbanyak di kelompok dewasa 40-59 tahun dengan 70.619 orang.

    Kedua yakni kelompok usia 30-39 tahun dengan 56.058 pendaftar. Selanjutnya usia dewasa 18-29 tahun dengan 36.705 pendaftar.

    Sementara itu lansia menempati pendaftar keempat terbanyak dengan 22.328 orang. Kelompok balita pra sekolah sebanyak 9.883 anak dan bayi baru lahir 4.385 pendaftar.

    Jumlah pendaftar tersebar di 38 provinsi dengan Jawa Tengah mencapai 37,79 persen dari keseluruhan. Sejumlah daerah terpencil misalnyd di Papua Tengah hingga Papua Pegunungan juga sudah mengikuti CKG, meski angka pendaftar masih relatif kecil di bawah 100 perserta.

    “Ini menunjukkan di wilayah-wilayah yang terbatas aksesnya, juga kita sudah upayakan untuk memberikan cek kesehatan gratis,” ujar Nadia.

    NEXT: Daftar lengkap penyakit yang diperiksa dalam program cek kesehatan gratis

    Daftar penyakit yang diperiksa dalam program cek kesehatan gratis:

    Bayi Baru Lahir

    Kekurangan hormon tiroid bawaanKekurangan enzim pelindung sel darah merah (G6PD)Kekurangan hormon adrenal bawaanPenyakit jantung bawaan kritisKelainan saluran empeduPertumbuhan (berat badan)

    Balita dan Anak Prasekolah

    PertumbuhanPerkembanganTuberkulosisTelingaMataGigiThalasemia (pemeriksaan darah pada usia 2 tahun saja)Gula darah (pemeriksaan darah pada usia 2 tahun saja)

    Dewasa dan Lansia

    MerokokTingkat aktivitas fisikStatus giziGigiTekanan darahGula darahRisiko stroke, risiko jantung (usia 40 tahun atau lebih)Fungsi ginjal (usia 40 tahun atau lebih)TuberkulosisPenyakit paru obstruktif kronis (PPOK)Kanker payudara (usia 30 tahun atau lebih)Kanker leher rahim (usia 30 tahun atau lebih)Kanker paru (usia 45 tahun atau lebih)Kanker usus besar (usia 50 tahun atau lebih)MataTelingaJiwaHati (Hepatitis B, C, dan sirosis)Calon pengantin (anemia, sifilis, HiV)Geriatri (usia 60 tahun atau lebih)

  • Kemenkes Perkirakan 1 Juta Warga RI Kena Kanker, Angka Kematian Capai 60 Persen

    Kemenkes Perkirakan 1 Juta Warga RI Kena Kanker, Angka Kematian Capai 60 Persen

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) memperkirakan ada lebih dari satu juta kasus kanker di Indonesia. Angka ini dibarengi dengan tren kematian karena kanker yang relatif tinggi, mencapai 60 persen.

    “Angkanya sekitar 1 jutaan jumlah kanker. Sekarang yang terdeteksi itu 408 ribuan. Kalau kanker kan estimasi ya, bukan penyakit menular,” kata Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2025)

    “Yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita adalah angka kematiannya yang masih 50 sampai 60 persen,” sambungnya.

    Nadia menambahkan, ada empat jenis kanker yang paling banyak ditemukan kasusnya pada laki-laki dan perempuan.

    “Kanker payudara pertama, kanker leher rahim yang kedua. Untuk laki-laki kanker paru nomor satu, kanker usus nomor dua. Kalau digabung (laki-laki dan perempuan), kanker paru nomor satu, nomor dua kanker payudara, nomor tiga kanker leher rahim, nomor empatnya kanker usus,” tuturnya.

    Kemenkes menekankan pentingnya deteksi dini di masyarakat terkait kanker. Terlebih saat ini pemerintah telah meluncurkan program cek kesehatan gratis (CKG), yang di dalam fiturnya ada pemeriksaan beberapa jenis kanker.

    Namun, Nadia mengatakan masih ada saja hambatan yang ditemukan Kemenkes di lapangan terkait pemeriksaan kanker di masyarakat akar rumput.

    Pertama, masih banyak masyarakat yang merasa takut dan ragu melakukan pemeriksaan kanker, karena takut menerima hasilnya. Kedua, pada wanita, masih banyak ibu-ibu yang tidak mendapatkan izin dari suami untuk melakukan pemeriksaan kanker.

    (dpy/up)

  • Kemenkes Ungkap Tren Kanker Anak Meningkat, Diestimasi Ada 100 Ribu Kasus di RI

    Kemenkes Ungkap Tren Kanker Anak Meningkat, Diestimasi Ada 100 Ribu Kasus di RI

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengestimasi ada sekitar 200.000 kasus kanker pada anak di Indonesia. Namun, saat ini masih kurang dari 10 persen yang mampu terdeteksi.

    “Kalau trennya meningkat. Meningkat ini karena deteksi kita yang semakin baik. Di sisi lain kesadaran orang tua yang lebih baik mengenali jenis kanker ya,” kata Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Jakarta Selatan, Sabtu (15/2/2025).

    “Estimasi kami di Indonesia itu ada 100 ribu kasus kanker anak. Tadi saya sampaikan kami baru mendeteksi sekitar 12 ribu kasus,” sambungnya.

    Nadia menambahkan ada beberapa jenis kanker pada anak yang saat ini banyak ditemukan yakni kanker kelenjar getah bening dan kanker mata (retinoblastoma).

    “Penting diketahui bahwa kalau kanker anak itu 90 persen bisa disembuhkan. Jadi itu tadi syaratnya, bisa dideteksi sejak dini, ketemunya pada stadium awal,” kata Nadia.

    Saat ini, pemerintah sedang dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup besar terkait kanker. Ini karena kebanyakan kasus kanker anak ditemukan sudah pada stadium lanjut, sehingga persentase kesembuhan juga semakin mengecil.

    “Kalau nanti kita atau keluarga kita yang terdiagnosis kanker anak, itu mereka tidak sendiri. Banyak kelompok, banyak orang itu nanti kita bisa bertanya (soal kanker anak),” tutur Nadia.

    Sebagai informasi, Kemenkes hadir mendukung acara peringatan Hari Kanker Anak Internasional (HKAI) setiap tanggal 15 Februari. Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) kembali menggelar aksi #BeraniGundul.

    Pada peringatan International Childhood Cancer Day (ICCD) tahun ini, YKAKI mengusung tema “#BeraniGundul Lawan Kanker pada Anak, Childhood Action-Inspiring Action”. Acara ini digelar di Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Sabtu (15/2/2025).

    Dalam rangka Hari Kanker Anak Sedunia, penting untuk meningkatkan kesadaran akan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kesehatan anak, termasuk paparan bahan kimia berbahaya seperti BPA (Bisphenol-A). World Health Organization (WHO) telah mengingatkan bahwa BPA berisiko mengganggu sistem hormon dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan pada anak-anak. Untuk itu, penggunaan bahan bebas BPA pada kemasan makanan, galon, dan mainan anak sangat dianjurkan demi melindungi kesehatan anak-anak dari paparanzatberbahaya.

    (dpy/kna)

  • YKAKI Kembali Gelar #BeraniGundul 2025, Dukung Anak-anak Sembuh dari Kanker

    YKAKI Kembali Gelar #BeraniGundul 2025, Dukung Anak-anak Sembuh dari Kanker

    Jakarta

    Dalam rangka memeringati Hari Kanker Anak Internasional (HKAI) setiap tanggal 15 Februari, Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) kembali menggelar aksi #BeraniGundul. Acara ini sebagai simbol dukungan kepada para anak-anak pejuang kanker.

    Pada peringatan International Childhood Cancer Day (ICCD) tahun ini, YKAKI mengusung tema “#BeraniGundul Lawan Kanker pada Anak, Childhood Action-Inspiring Action”. Acara ini digelar di Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Sabtu (15/2/2025).

    Tema ini diangkat berdasarkan wawasan yang dikumpulkan pada tahun pertama kampanye (2024) yang bertema “Univeiling Challenges”. Fase kedua kampanye mengalihkan fokusnya ke solusi yang dapat ditindaklanjuti.

    Founder YKAKI Ira Soelistyo mengatakan gelaran ini rutin digelar sejak tahun 2014. Menurutnya, ini sebagai salah satu dukungan kepada para anak-anak pejuang kanker di Indonesia.

    “Umumnya kan mereka dibotakin karena rambutnya rontok ya. Jadi mereka dengan bangganya dengan rambut botak,” kata Ira di Jakarta Selatan, Sabtu (15/2/2025).

    “Kalau di luar negeri anak-anak (pejuang kanker) habis botak dikasih topi, jadi mereka senang. Tapi kalau di Indonesia nggak ada yang mau pakai topi, mereka percaya diri,” sambungnya.

    Melalui aksi #BeraniGundul ini, lanjut Ira, anak-anak pengidap kanker bisa lebih semangat untuk mendapatkan kesembuhan.

    “Gundul is cool. Jadi bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi bagi anak-anak yang perempuan ya,” katanya.

    Senada, Direktur Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan RI, dr Siti Nadia Tarmizi mengapresiasi aksi #BeraniGundul yang digelar YKAKI. Menurutnya, ini bisa sebagai simbol bahwa anak-anak pejuang kanker tidak berjuang sendiri.

    “Untuk anak-anak pengidap kanker membuktikan bahwa kita tidak sendiri. Ada banyak orang tua, anak-anak, adik-adik, dan orang-orang di belakang kita yang mendukung untuk kita menjadi sembuh,” kata Nadia.

    Nadia menambahkan bahwa salah satu pekerjaan rumah Indonesia dalam melawan kanker pada anak adalah terkait pendeteksian. Pasalnya, kasus-kasus kanker anak biasanya ditemukan sudah pada stadium lanjut.

    “Pasti ini akan membutuhkan biaya yang lebih besar karena obatnya pakai yang lebih kuat. Kedua, angka survival-nya menjadi semakin rendah,” kata Nadia.

    Ke depannya, Kemenkes akan memaksimalkan skrining kanker sejak awal seperti di negara-negara maju. Hal ini agar mereka yang mengidap penyakit ini bisa dideteksi lebih dini dan mendapatkan peluang sembuh lebih besar.

    “Upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui cek kesehatan gratis (CKG). Di mana melalui cek kesehatan gratis ini selain bisa cek gula, darah tinggi, tapi juga beberapa penyakit kanker,” tutupnya.

    Dalam rangka Hari Kanker Anak Sedunia, penting untuk meningkatkan kesadaran akan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kesehatan anak, termasuk paparan bahan kimia berbahaya seperti BPA (Bisphenol-A). World Health Organization (WHO) telah mengingatkan bahwa BPA berisiko mengganggu sistem hormon dan dapat menyebabkan gangguan perkembangan pada anak-anak. Untuk itu, penggunaan bahan bebas BPA pada kemasan makanan, galon, dan mainan anak sangat dianjurkan demi melindungi kesehatan anak-anak dari paparan zat berbahaya.

    (dpy/up)

  • Bisa Jadi Alternatif Upaya Berhenti Merokok, Kemenkes Tunggu Hasil Riset Tobacco Harm Reduction – Halaman all

    Bisa Jadi Alternatif Upaya Berhenti Merokok, Kemenkes Tunggu Hasil Riset Tobacco Harm Reduction – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan data risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia.

    Situasi ini memunculkan pentingnya keterbukaan terhadap strategi lain yang bisa diterapkan untuk menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menuturkan, penerapan Tobacco Harm Reduction (THR) bisa menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu.

    “Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, dikutip Selasa (11/2/2025).

    Tobacco Harm Reduction merupakan salah satu metode alternatif untuk menurunkan risiko produk tembakau.

    Dia tidak menampik bahwa THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok.

    Nadia mengatakan, peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok.

    Hingga saat ini, Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.

    “Secara strategi untuk mendorong masyarakat berhenti merokok kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar regulasi yang terbit bisa evidence-based,” kata Nadia.

    Kebijakan Berbasis Data

    Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung dr. Ronny Lesmana menjelaskan, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok.

    Menurutnya, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.

    “Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.

    Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko dibanding konvensional.

    Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia.

    Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan.

    Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi.

    Peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Prof. Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia.

    Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.

    “Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.

  • Mengenal Pendekatan THR, Jurus Jitu Hentikan Kebiasaan Merokok

    Mengenal Pendekatan THR, Jurus Jitu Hentikan Kebiasaan Merokok

    Jakarta: Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Situasi ini membutuhkan strategi yang bisa diterapkan, menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok. 

    Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu. Berdasarkan Laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.

    “Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, yang dikutip Selasa, 11 Februari 2025.

    THR merupakan salah satu metode alternatif, khususnya menurunkan risiko produk tembakau. Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.

    Nadia mengatakan peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok. Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.
     

    “Secara strategi kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar (regulasi yang terbit) bisa evidence-based,” kata Nadia.

    Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia. Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis Laporan “Lives Saved Report”, Ronny Lesmana sepakat dengan hal itu.

    Menurut dia, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok. Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.

    “Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.

    Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko. Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam (6) negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional.

    Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan. 

    Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi. Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran.

    Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.

    “Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.

    Jakarta: Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan risiko merokok menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Situasi ini membutuhkan strategi yang bisa diterapkan, menurunkan risiko akibat rokok hingga membantu perokok berhenti merokok. 
     
    Pendekatan Tobacco Harm Reduction (THR) menjadi salah satu cara yang bisa diambil dalam mengatasi hal itu. Berdasarkan Laporan “Lives Saved Report” yang dikeluarkan oleh Global Health Consults, penerapan THR dapat menyelamatkan 4,6 juta nyawa perokok hingga 2060 di Indonesia.
     
    “Kalau melihat definisinya, THR ini fokus pada mengurangi dampak risiko dari merokok. THR bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya berhenti merokok. Kami akan menunggu hasil risetnya untuk masukan kebijakan kita,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi dalam acara diskusi di Jakarta, yang dikutip Selasa, 11 Februari 2025.

    THR merupakan salah satu metode alternatif, khususnya menurunkan risiko produk tembakau. Pendekatan ini bukan hanya menekankan pada peralihan penggunaan produk alternatif, melainkan keseluruhan upaya menurunkan risiko yang diwujudkan melalui kebijakan, riset, dan perkembangan teknologi hingga akhirnya membuat perokok berhenti merokok.
     
    Nadia mengatakan peran Kemenkes dalam merumuskan kebijakan menjadi salah satu poin penting dalam upaya mengatasi dampak risiko akibat rokok. Kemenkes masih berfokus pada penerapan Upaya Berhenti Merokok (UBM) melalui praktik konseling di tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) dalam membantu orang berhenti merokok.
     

    “Secara strategi kami punya UBM dan hotline berhenti merokok. Memang belum maksimal dan belum ada di semua tempat, ini masukan buat kami. Soal THR, kita lihat perkembangan studinya, apakah THR bisa jadi cara agar (regulasi yang terbit) bisa evidence-based,” kata Nadia.
     
    Penyusunan kebijakan berbasis bukti atau data menjadi hal yang harus didorong, terutama dalam mengatasi masalah perokok di Indonesia. Akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sekaligus salah satu penulis Laporan “Lives Saved Report”, Ronny Lesmana sepakat dengan hal itu.
     
    Menurut dia, selama ini gerakan untuk mengajak orang berhenti merokok sudah masif dilakukan, tetapi belum efisien dalam menurunkan angka perokok. Untuk itu, diperlukan pendekatan dan strategi lain, salah satunya dengan menerapkan metode THR.
     
    “Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kalau THR diterapkan, maka kualitas hidup dan angka harapan hidup masyarakat akan lebih baik. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, dampak penggunaan produk rendah risiko menunjukkan toksisitas lebih rendah dan menurunkan inflamasi paru-paru. Ini data kami,” ujar Ronny.
     
    Uji toksisitas tersebut dilakukan dengan menguji sel molekuler pada perokok konvensional dan perokok produk alternatif rendah risiko. Produk yang digunakan untuk penelitian disesuaikan dengan standar yang ditetapkan di seluruh dunia. Penelitian replikasi yang diuji di enam (6) negara pun menunjukkan bahwa beberapa produk alternatif tersebut terbukti lebih rendah risiko dibanding rokok konvensional.
     
    Kajian berbasis ilmiah yang dilakukan sesuai metodologi sangat dibutuhkan di Indonesia. Riset THR yang spesifik dengan dukungan dari pemerintah sangat penting, terutama dalam mewujudkan kolaborasi bersama lembaga penelitian dan lembaga pendidikan. 
     
    Nantinya, temuan tersebut akan menjadi basis data yang berperan sebagai pertimbangan pemerintah dalam menyusun regulasi. Saat ini, minimnya data soal THR berdampak pula pada keluaran regulasi yang belum tepat sasaran.
     
    Senada, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan World Health Organization (WHO) Tikki Pangestu menekankan pentingnya penelitian soal THR di Indonesia. Hasil penelitian tersebut akan menjadi basis awal dalam proses perumusan kebijakan agar hasilnya lebih efektif. Penelitian mengenai THR yang sebelumnya sudah dilakukan di luar negeri belum bisa sepenuhnya menggambarkan kondisi perokok sesungguhnya di Indonesia.
     
    “Penelitian lanjutan THR dalam konteks lokal harus diberi prioritas tinggi dan mendapat sokongan. Ini yang masih sangat kurang di Indonesia. Penelitian bisa berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi, seperti apa perbandingannya antara rokok konvensional dengan produk alternatif,” kata Tikki.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ADN)