Tag: Siti Nadia Tarmizi

  • Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Kemenkes Kaji Terapi GLP-1 untuk Obesitas Susul Panduan Resmi WHO

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal mengkaji penggunaan dan pembiayaan terapi Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1) untuk penanganan obesitas di Indonesia. Langkah ini diambil menyusul terbitnya rekomendasi terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait pengobatan tersebut.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan obesitas kini masuk dalam lima besar temuan masalah kesehatan terbanyak berdasarkan program cek kesehatan gratis (CKG). Kondisi ini banyak ditemukan pada kelompok dewasa hingga lanjut usia.

    “Pemerintah sedang memperbarui Pedoman Nasional Praktek Klinis (PNPK) untuk obesitas, termasuk tata laksana pengobatannya. Selama ini obat diberikan pada pasien obesitas yang sudah memiliki gejala penyakit lain, seperti gangguan jantung atau sulit bergerak,” beber Nadia dalam keterangan tertulis, diterima detikcom Minggu (7/12/2025).

    Terkait kemungkinan memasukkan terapi GLP-1 sebagai layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan, Nadia menegaskan keputusan tersebut membutuhkan proses penilaian Health Technology Assessment (HTA). Selain itu, pemerintah perlu memastikan ketersediaan obat GLP-1 di Indonesia.

    Ia menambahkan, Kemenkes juga akan melibatkan pakar untuk mendapatkan masukan terkait penggunaan obat-obatan bagi penderita obesitas.

    GLP-1 sendiri merupakan hormon yang berperan dalam mengatur metabolisme. Adapun GLP-1 Receptor Agonist adalah kelompok obat yang umum digunakan untuk menurunkan kadar gula darah, membantu penurunan berat badan, menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal, serta menurunkan risiko kematian dini pada pasien diabetes tipe 2.

    Sebelumnya diberitakan, WHO menerbitkan pedoman penggunaan terapi GLP-1 untuk menangani obesitas. Dokumen itu disusun sebagai respons atas meningkatnya permintaan dari berbagai negara yang menghadapi tantangan obesitas.

    Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pedoman tersebut menekankan pentingnya akses terhadap terapi GLP-1 dan perlunya sistem kesehatan mempersiapkan fasilitas pendukungnya.

    “Obesitas berdampak pada semua negara dan dikaitkan dengan 3,7 juta kematian di seluruh dunia pada 2024. Tanpa tindakan tegas, jumlah orang dengan obesitas diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 2030,” ujar Tedros dalam laman resmi WHO.

    Ia menilai obesitas menjadi awal munculnya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskular, diabetes tipe 2, kanker, hingga memperburuk penyakit infeksi.

    Pedoman tersebut juga menegaskan obesitas merupakan penyakit kronis yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berkelanjutan. Tedros menekankan penggunaan obat saja tidak cukup untuk menyelesaikan krisis obesitas global.

    “Terapi GLP-1 bisa membantu jutaan orang mengatasi obesitas dan mengurangi risikonya. Namun terapi ini tetap harus disertai pendekatan lain,” ujarnya.

    Dalam pedoman tersebut, WHO memberikan dua rekomendasi utama yang bersifat kondisional:

    Terapi GLP-1 dapat digunakan untuk pengobatan obesitas jangka panjang pada orang dewasa, kecuali ibu hamil.

    Rekomendasi ini bersifat kondisional karena keterbatasan data mengenai efektivitas dan keamanan jangka panjang, biaya yang tinggi, serta kesiapan sistem kesehatan.

    Perubahan pola hidup intensif, seperti konsumsi makanan sehat dan peningkatan aktivitas fisik, wajib menjadi bagian dari terapi GLP-1.

    “Obesitas bukan hanya masalah individu, tetapi tantangan masyarakat yang memerlukan aksi multisektor,” kata Tedros.

    Kemenkes memastikan kajian penggunaan GLP-1 di Indonesia akan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut, mulai dari efektivitas, keamanan, hingga kesiapan sistem pembiayaan kesehatan nasional.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: WHO Keluarkan Pedoman Baru Syarat Terapi GLP-1 untuk Obesitas”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Jerat Obesitas di Balik Akses Makanan Serba Instan Makin Menjamur

    Jerat Obesitas di Balik Akses Makanan Serba Instan Makin Menjamur

    Jakarta

    Laporan Child Nutrition Report 2025 ‘Feeding Profit: How food environments are failing children’ Unicef mengungkap negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan prevalensi obesitas pesat dalam dua dekade terakhir.

    Prevalensi kelebihan berat badan di kalangan anak-anak dan remaja berusia 5 hingga 19 tahun bahkan meningkat tiga kali lipat antara periode 2000 dan 2022, serta mencapai tingkat sedang, dari 15 persen menjadi kurang dari 25 persen di sembilan negara. Lima di antaranya berada di Asia Selatan, Afghanistan, Bhutan, Republik Demokratik Kongo, Liberia, Maladewa, Pakistan, Sri Lanka, Vietnam, dan tentu Indonesia.

    Spesialis gizi dr Angela Dalimarta SpGK menyebut banyak faktor di balik pemicu obesitas semakin tinggi. Terbanyak menurutnya berkaitan dengan akses pola makan serba instan yang semakin mudah ditemui.

    “Ketersediaan makanan instan, makanan cepat saji, makanan ultraproses makin tinggi, sehingga gampang didapat oleh beragam macam kalangan,” sorot dr Angela saat ditemui detikcom di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (6/12/2025).

    Tidak jarang dari mereka yang belum sempat menyiapkan atau memasak ‘real food’ bahan segar langsung diolah, memilih makanan cepat saji dengan alasan lebih praktis. Hal ini sejalan dengan laporan Unicef terkait peningkatan paparan industri retail yang menjajakan makanan rendah gizi, camilan murah, ultra processed food (UPF), makanan siap saji dengan banyak bahan kimia tambahan, sampai minuman manis.

    “Karena tidak sempat prepare makanan, mencari makanan instan, risiko obesitas tentu akan semakin meningkat, bahkan sekitar 23 persen orang dewasa sudah mengalami obesitas di Indonesia,” tuturnya.

    Sementara anak dan remaja disebutnya sangat rentan dengan obesitas akibat faktor lingkungan. Mereka bisa lebih bebas memilih makanan di retail terdekat tanpa pengawasan orangtua, atau malah mengikuti kebiasaan dan gaya hidup tidak sehat dari keluarga.

    “Anak-anak juga meningkat trennya, makanya sekarang harus diubah gaya hidupnya supaya kalau keluarga hidupnya sehat pastinya anak-anak juga akan lebih sehat hidupnya, jadi nanti ke depan saat dewasanya pun, menurunkan angka obesitas ke depannya,” lanjut dia.

    Tren yang tidak jauh berbeda bahkan terpantau lebih tinggi ditemukan pada usia dewasa, dan dewasa muda. Berdasarkan hasil cek kesehatan gratis (CKG) yang dihimpun hingga Oktober 2025, puncak kasus obesitas berada di rentang 40 hingga 59 tahun atau sekitar 1,1 juta kasus pada wanita dan 200 ribu orang pada pria.

    Sebagai catatan, data tersebut belum benar-benar menggambarkan realita yang ada di Indonesia. Mengingat, baru sekitar 60 dari 280 juta penduduk yang mengikuti CKG. Meski begitu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menekankan salah satu penyebab utama obesitas sudah bisa terlihat, yakni 96 persen kurang aktivitas fisik.

    dr Nadia juga menyoroti perubahan pola hidup di tengah era modernisasi yang semakin bergeser.

    “Yang tadinya kita harus jalan dulu untuk mendapatkan makanan, sekarang nggak. Ibu rumah tangga yang dulu harus masak, sekarang tinggal pesan. Bukan cuma fast food, makanan apa pun sekarang tersedia dan gampang diakses online,” tutur dia.

    “Hanya dengan beberapa klik, makanan datang dalam waktu singkat.”

    Cegah Obesitas Memburuk, Harus Gimana?

    Beberapa waktu lalu, dokter spesialis penyakit dalam Dicky Tahapary, SpPD-KEMD, PhD, menekankan aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu sangat disarankan. Perubahan kecil yang dimulai sejak dini dapat mencegah obesitas tanpa harus langsung mengonsumsi obat.

    Jika hasil belum optimal, dokter baru mempertimbangkan farmakoterapi. “Tidak semua pasien langsung diberi obat. Kami menilai dulu kondisi metaboliknya,” katanya.

    Obat hanya berfungsi sebagai pendamping, bukan solusi utama, serta harus digunakan dengan pengawasan ketat karena tetap memiliki risiko efek samping. Ketika masih belum berhasil, barulah pasien dipertimbangkan untuk operasi bariatrik, prosedur yang mengecilkan kapasitas lambung guna mengontrol asupan.

    Namun ini bukan solusi instan. “Bariatrik harus sesuai indikasi medis. Setelah operasi, pola hidup sehat tetap wajib,” tegasnya.

    Beda Bariatrik Vs Liposuction

    Selain bariatrik, prosedur sedot lemak atau liposuction juga kerap menjadi pilihan. Lantas apa bedanya?

    dr Kuswan Ambar Pamungkas SpBPRE, Subsp K (K), M, menjelaskan perbedaan mendasar antara operasi bariatrik dan liposuction yang kerap disalahpahami sebagai prosedur serupa. Menurutnya, keduanya justru memiliki tujuan, indikasi, serta manfaat klinis sangat berbeda.

    “Sebetulnya masyarakat awam tidak perlu bingung memilih antara bariatrik dan liposuction karena indikasinya jauh berbeda,” kata dr Kuswan kepada detikcom Sabtu (6/12).

    Rekomendasi bariatrik

    Ia menegaskan, bariatrik direkomendasikan untuk pasien dengan BMI >35, atau BMI >30 disertai komorbid seperti diabetes, hipertensi, atau gangguan metabolik lainnya.

    Prosedur ini dilakukan dengan mengubah struktur saluran cerna, misalnya memotong sebagian lambung atau usus, sehingga penyerapan makanan berkurang dan penurunan berat badan dapat dicapai lebih cepat.

    “Tujuan bariatrik adalah menurunkan berat badan secara signifikan untuk mencegah munculnya penyakit atau mencegah penyakit menjadi lebih berat,” jelasnya.

    Sementara itu, liposuction bukan prosedur pengobatan obesitas. Tindakan ini bertujuan mengangkat lemak di area tertentu untuk membentuk kontur tubuh, bukan mengatasi gangguan metabolik.

    “Indikasi utamanya adalah adanya distribusi lemak yang tidak merata. Liposuction tidak bisa menggantikan bariatrik. Keduanya bukan substitusi,” tegas dr Kuswan.

    Dengan kata lain, bariatrik bekerja pada akar masalah obesitas dan metabolisme, sedangkan liposuction bersifat kosmetik.

    Halaman 2 dari 4

    (naf/kna)

  • Skrining Digital AI Ditargetkan Bantu Deteksi Retinopati Diabetik

    Skrining Digital AI Ditargetkan Bantu Deteksi Retinopati Diabetik

    Jakarta, Beritasatu.com– Pendekatan skrining digital dan tele-oftalmologi yang kini tengah dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) diharapkan akhirnya bisa menjadi bukti ilmiah yang dijadikan dasar kebijakan negara seputar penanganan penyakit tak menular, contohnya diabetes.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, metode skrining retinopati diabetic (RD) berbasis digital tele-oftalmologi dengan pemanfaatan artificial intelligence (AI) diharapkan bisa menjadi dasar kebijakan nasional.

    “Kami berharap metode skrining RD berbasis digital tele-oftalmologi dengan pemanfaatan AI ini dapat menjadi bukti ilmiah yang ke depannya dapat kita terjemahkan menjadi kebijakan nasional,” kata Nadia dalam sambutan penandatanganan perjanjian kerja sama antara FK-KMK UGM dan Roche Indonesia untuk percontohan penanganan komprehensif RD,” dikutip dari Antara, Kamis (20/11/2025).

    RD merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan pada penyandang diabetes. Data menunjukkan dua dari lima atau 43,1% orang dewasa dengan diabetes melitus tipe 2 mengalami RD, dan seperempat di antaranya berisiko kehilangan penglihatan. Deteksi dan tata laksana dini dapat mencegah hingga 95% risiko kebutaan, namun cakupan skrining populasi baru sekitar 5%.

    Dokter Nadia menekankan, beban diabetes nasional terus meningkat dan menjadi faktor risiko utama bagi RD.

    “Masalah diabetes ini cukup besar. Prevalensinya menurut survei kesehatan mencapai hampir 30%. Artinya sekitar 65 juta masyarakat Indonesia terindikasi mengidap diabetes melitus dan baru 10 juta yang terdeteksi,” ujarnya.

    Sebagai informasi, program skrining kesehatan sejak 2024 telah menemukan 5-7,5 juta kasus baru diabetes, tetapi upaya pengendalian masih terkendala keterbatasan alat dan tenaga kesehatan.

  • Awas Diabetes! Ini Batas Konsumsi Gula yang Aman Menurut Kemenkes

    Awas Diabetes! Ini Batas Konsumsi Gula yang Aman Menurut Kemenkes

    Jakarta

    Konsumsi gula berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit diabetes. Tak hanya dialami oleh orang dengan usia di atas 50 tahun, kini diabetes juga banyak dialami oleh usia muda.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyoriti tingginya konsumsi gula melebihi batas normal.

    “Kita bisa lihat di survei-survei kesehatan kita kan, berapa persen tuh? 50 persen masyarakat kita konsumsinya lebih dari batas normal yang seharusnya dia minum gitu,” kata dr Nadia dalam wawancara dengan detikcom, Jumat (31/10/2025).

    Menurut dr Nadia, rasa manis seperti adiksi, semakin sering merasakan manis, maka semakin membutuhkan yang lebih manis. Sebaliknya, jika tidak terbiasa dengan yang manis maka akan lebih sensitif merasakannya.

    “Kalau kita sudah biasa tidak manis, dikasih yang manis, itu kan kita merasa kayak manis banget,” ungkap dr Nadia.

    Untuk itu, Kementerian Kesehatan memiliki kampanye maksimal asupan 4 sendok makan gula dalam sehari. Sementara, untuk garam 1 sendok dan lemak 5 sendok sehari.

    “Kan sumbernya bukan hanya gula pasir kan, makanan lain itu intinya juga ada yang mengandung gula. Makanya kita mencoba untuk menurunkan dulu deh rasa manisnya,” tambahnya.

    Jika masyarakat bisa mematuhi asupan gula yang dianjurkan, maka risiko terkena penyakit tidak menular juga akan menurun.

    “Kalau kemudian kita bisa mengendalikan konsumsi gula. Itu penyakit jantung, stroke, dan penyakit-penyakit akibat penyakit tidak menular itu bisa turun 50 persen,” tambahnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kenali Tanda-tanda Gejala Diabetes di Pagi Hari”
    [Gambas:Video 20detik]
    (elk/up)

  • Kemenkes Bicara Kebiasaan Minum Manis Warga +62, Penyumbang 30 Persen Kasus Diabetes

    Kemenkes Bicara Kebiasaan Minum Manis Warga +62, Penyumbang 30 Persen Kasus Diabetes

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis menjadi salah satu penyumbang tingginya kasus diabetes melitus di Indonesia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi menuturkan prevalensi kasus diabetes Indonesia saat ini sebanyak 11,7 persen.

    Jika ditotal, kasus diabetes di Indonesia diperkirakan berada di angka sekitar 30 juta orang. dr Nadia menjelaskan pola konsumsi dari luar seperti mengonsumsi minuman manis dalam kemasan menyumbang sekitar 30 persen dari keseluruhan kasus diabetes.

    Oleh karena itu, pihaknya mendorong penerapan label nutri-level di produk minuman manis untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait konsumsi gula.

    “Kalau konsumsi dari luar itu 30 persen, tapi kemudian kan kita mau edukasi masyarakat,” ungkap dr Nadia pada detikcom, di Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).

    “Kita belajar dari negara-negara lain, mereka juga mengaturnya dari makanan kemasan. Sebenarnya ini mau nitipin edukasi. Edukasi yang paling mudah kita bisa sama-sama lakukan menempelkan label pada produk makanan,” sambungnya.

    Proses penerapan label nutri-level pada kemasan produk minuman akan dilakukan secara bertahap dan saat ini sudah memasuki tahap edukasi. dr Nadia menegaskan label ini bukan untuk melarang konsumsi produk yang memiliki level ‘merah’.

    Label ini diberikan untuk memudahkan mengukur jumlah konsumsi gula harian agar nantinya tidak berlebihan.

    “Tidak ada larangan. Kalau mau makan 3-4 kali yang merah juga tidak apa-apa. Tapi mungkin kan besok Anda puasa atau olahraga, silahkan. Tapi artinya pola-pola itu yang sebenarnya kita inginkan,” sambung dr Nadia.

    dr Nadia mengatakan pola konsumsi tinggi gula garam lemak (GGL) paling banyak terjadi di rumah tangga. Misalnya, dari makanan atau minuman yang dibuat dan dikonsumsi sendiri.

    Rencana jangka panjangnya, label nutri-level akan diterapkan pada produk tinggi GGL, bukan tinggi gula saja. Selain itu, makanan siap saji rencananya juga akan masuk dalam aturan tersebut.

    Namun, dr Nadia menuturkan saat ini pihaknya bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI tengah berfokus pada minuman manis dalam kemasan terlebih dahulu. Implementasi dilakukan secara perlahan sambil melakukan edukasi pada masyarakat serta koordinasi dengan pihak industri.

    “Jadi itu yang sebenarnya kita coba turunkan pelan-pelan. Jadi dua yang dibangun. Pemerintah memberikan informasi, masyarakat juga paham bahwa apa sih yang dia konsumsi,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Kenali Tanda-tanda Gejala Diabetes di Pagi Hari”
    [Gambas:Video 20detik]
    (avk/up)

  • Wanti-wanti Kemenkes RI soal Konsumsi Gula Berlebih, Bisa Picu Penyakit Ini

    Wanti-wanti Kemenkes RI soal Konsumsi Gula Berlebih, Bisa Picu Penyakit Ini

    Jakarta

    Mengonsumsi minuman dan makanan manis memang nikmat. Namun, di balik kenikmatan tersebut, hidangan dengan kandungan gula tinggi dapat memicu berbagai gangguan kesehatan.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan konsumsi gula yang berlebih bisa memicu penyakit tidak menular, salah satunya diabetes.

    “Nah, nanti kalau penyakit gula ini terus kita tidak kendalikan, ujung-ujungnya kita akan bisa terkena penyakit jantung, stroke, ginjal, bahkan juga kanker,” ujarnya dalam acara detikcom Leaders Forum, Jumat (31/10/2025).

    dr Nadia menjelaskan, penyakit-penyakit tersebut tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga menjadi beban besar bagi sistem pembiayaan kesehatan nasional.

    Mengacu pada data, prevalensi diabetes di Indonesia kini mencapai 11,7 persen, naik hampir dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu yang hanya sekitar 6 persen. Dengan jumlah penduduk sekitar 280 juta jiwa, diperkirakan lebih dari 30 juta orang Indonesia hidup dengan diabetes.

    Kondisi ini, lanjut dr Nadia, menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang menargetkan lahirnya generasi emas 2045, generasi yang sehat, produktif, dan bebas dari beban penyakit kronis. Pemerintah menilai, upaya pengendalian penyakit tidak menular harus dimulai dari perubahan perilaku masyarakat.

    “Kalau kemudian kita bisa mengendalikan konsumsi gula, itu penyakit jantung, stroke, dan penyakit-penyakit akibat penyakit tidak menular itu bisa turun 50 persen,” kata dr Nadia.

    “Karena balik lagi ya, penyakit-penyakit PTM itu adalah penyakit yang perilaku. Dan salah satunya, kita tahu sedentary, apa-apa sekarang, kita cukup duduk manis, semua datang. Makanan datang, makanya itu perlu kita kendalikan pola konsumsi kita,” tuturnya.

    Karenanya, dr Nadia mengingatkan untuk tidak menunggu hingga sakit baru memeriksakan diri. Pemeriksaan kesehatan sebaiknya dilakukan secara rutin sebagai langkah pencegahan dini.

    Saat ini, pemerintah telah menyediakan program cek kesehatan gratis di seluruh puskesmas. Melalui program ini, masyarakat dapat memeriksa berbagai aspek kondisi tubuhnya, mulai dari berat badan, indeks massa tubuh (IMT), kebiasaan merokok, tingkat aktivitas fisik, hingga kadar gula darah.

    Bagi yang sudah terdiagnosis memiliki penyakit tidak menular seperti diabetes, layanan ini juga mencakup pemeriksaan lanjutan untuk kolesterol, tekanan darah, fungsi ginjal, dan kesehatan jantung. Semua layanan diberikan secara gratis untuk memastikan masyarakat memiliki akses mudah terhadap pemeriksaan dasar kesehatan.

    “Jadi jangan lupa nih, habis ini yuk periksa, cek kesehatan gratis, dan itu diberikan betul-betul gratis di seluruh puskesmas,” lanjutnya.

    dr Nadia juga menekankan pentingnya kesadaran individu dalam menjaga kesehatan. Ia menekankan untuk lebih pintar memilih makanan, menjaga pola makan seimbang, membatasi gula, garam, dan lemak, serta rutin berolahraga agar tetap sehat dan produktif hingga usia lanjut.

    “Supaya nanti kita usianya 100 tahun. Jadi tetap produktif ya. Tetap produktif, bukan bolak-balik ke rumah sakit,” sambungnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/up)

  • Kemenkes Soroti Lingkungan ‘Obesogenik’, Bikin Gen Z Gampang Kena Diabetes!

    Kemenkes Soroti Lingkungan ‘Obesogenik’, Bikin Gen Z Gampang Kena Diabetes!

    Jakarta

    Diabetes kini tak hanya banyak dialami oleh orang dengan usia di atas 50 tahun. Penyakit ini juga dirasakan oleh usia yang lebih muda.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, jumlah pengidap diabetes di usia muda bertambah. Meski demikian, proporsi lebih banyak masih ditemukan di usia 50 tahun.

    “Tapi di usia muda, di usia 40 tahun, itu sudah banyak yang terkena prediabetes, bahkan diabetes,” kata dr Nadia kepada detikcom, Rabu, (29/9/2025).

    Salah satu faktor yang menyebabkan diabetes di usia muda adalah gaya hidup. dr Nadia menuturkan, salah satu gaya hidup yang berkontribusi adalah konsumsi gula berlebihan.

    “Jadi prinsipnya kan (faktor) PTM (penyakit tidak menular) itu gaya hidup. Salah satu gaya hidup adalah konsumsi gula yang berlebihan,” katanya.

    Selain itu, terdapat faktor lainnya, yaitu lingkungan obesogenik, yaitu lingkungan yang cenderung membuat orang menjadi obesitas. Contohnya, kini ada kemudahan-kemudahan teknologi yang mengubah pola konsumsi masyarakat.

    “Yang tadinya kita harus jalan dulu untuk mendapatkan makanan, sekarang nggak. Yang tadinya ibu rumah tangga harus masak dulu, karena nggak ada tersedia, sekarang kan dia dengan mudah, mungkin bukan fast food ya. Kalau dulu kan isunya fast food. Sekarang kan makanan yang bukan fast food, tapi kan juga disediakan banyak dijual dan paling mudah online kan” kata dr Nadia.

    Hanya dengan memesan dan menunggu beberapa menit, makanan akan sampai. Meski memudahkan, menurut dr Nadia teknologi seperti ini bisa memicu lingkungan yang cenderung membuat orang obesitas.

    “Sehingga, teknologi-teknologi seperti itu juga membuat sisi lain itu bisa membuat lingkungan obesogenik nantinya,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (elk/up)

  • Tren Diabetes RI Meningkat, Ahli Ingatkan Bahaya Penyakit Gula yang Tak Terkendali

    Tren Diabetes RI Meningkat, Ahli Ingatkan Bahaya Penyakit Gula yang Tak Terkendali

    Jakarta

    Konsumsi gula yang berlebihan berpotensi menyebabkan penyakit tidak menular. Salah satunya adalah diabetes melitus atau penyakit gula, yang pada akhirnya bisa memicu penyakit lainnya.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, tren dari diabetes atau penyakit gula tersebut terus meningkat di Indonesia. Saat ini, kurang lebih prevalensi dari penyakit gula di masyarakat Indonesia sekitar 11,7 persen.

    “Kalau kita bandingkan 10 tahun yang lalu, itu hanya 6 persen. Nah, bayangkan ya, kalau 11,7 persen kali penduduk kita 280 juta, jumlahnya luar biasa. Itu mencapai kurang lebih 30 juta penduduk,” kata dr Nadia dalam acara detikcom Leaders Forum, Jumat (31/10/2025).

    Jika tidak dikendalikan, maka diabetes bisa menyebabkan penyakit-penyakit lainnya. Sehingga hal ini penting untuk diperhatikan.

    “Kalau penyakit gula ini terus kita tidak kendalikan, ujung-ujungnya kita akan bisa terkena penyakit jantung, strok, ginjal, bahkan juga kanker. Nah, kita tahu itu adalah penyakit-penyakit yang biayanya besar, pengobatannya sendiri,” kata dr Nadia.

    dr Nadia mengingatkan, penyakit tidak menular adalah penyakit yang disebabkan karena perilaku. Salah satunya adalah sedentary lifestyle atau perilaku duduk atau berbaring sepanjang hari, di luar waktu tidur.

    “Apa-apa sekarang, kita cukup duduk manis, semua datang. Makanan datang, makanya itu perlu kita kendalikan pola konsumsi kita,” tutur dr Nadia.

    Pengendalian konsumsi gula sendiri bisa menurunkan penyakit jantung, stroke, dan penyakit tidak penular lainnya turun 50 persen. Angka harapan hidup di Indonesia juga terus meningkat, yaitu mencapai sekitar usia 72 tahun, tapi masih jauh dari negara-negara lain.

    “Kita pengen Indonesia seperti itu dengan angka harapan hidupnya semakin naik,” katanya.

    (elk/up)

  • Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Jakarta

    Diabetes, ‘ibu dari segala penyakit’ yang bisa memicu komplikasi sejumlah penyakit seperti stroke, jantung, gagal ginjal, mulai mengintai usia muda. Pola makan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) menjadi salah satu faktor pemicu utamanya.

    Survei Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 29,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi pangan dengan kandungan GGL melampaui batas rekomendasi. Kondisi ini berpotensi memperburuk tren peningkatan kasus diabetes yang mulai banyak menyerang usia produktif.

    Salah satu upaya yang tengah disiapkan pemerintah adalah penerapan label informasi gizi atau rencananya ‘Nutri-level’ pada produk pangan olahan dan pangan siap saji.

    Melalui sistem Nutri Level, konsumen dapat dengan cepat mengetahui seberapa tinggi kandungan GGL pada suatu produk, dengan melihat warna serupa ‘traffic light’. Pendekatan kebijakan yang juga dipilih di beberapa negara lain, termasuk Singapura. Warna hijau menandakan kandungan rendah GGL, sementara merah sebaliknya.

    Langkah ini diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk merubah pola makan menjadi lebih sehat.

    “Penerapan kewajiban pencantuman Nutri Level dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama, ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL level C dan D,” beber Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Taruna Ikrar, dalam satu kesempatan.

    Kebijakan ini akan diselaraskan antara BPOM dan Kementerian Kesehatan, agar regulasi pangan olahan dan pangan siap saji berjalan seiring dan saling memperkuat.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi juga menekankan perubahan perilaku konsumsi perlu dilakukan sedini mungkin.

    “Anak muda sekarang rentan karena gaya hidupnya serba instan dan banyak konsumsi minuman tinggi gula. Tanpa intervensi kebijakan seperti Nutri Level, risiko diabetes akan terus meningkat di usia muda,” jelas dia.

    Upaya ini juga diharapkan dapat mendorong transparansi industri pangan dan menciptakan ekosistem yang lebih sehat, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha.

    Lebih detail tentang rencana penerapan Nutri Level di Indonesia, detikcom Leaders Forum kembali hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat‘. Akan hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan praktisi klinis – dokter spesialis penyakit dalam Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Biang Kerok Banyak Penyakit, Berapa Batas Maksimum Konsumsi Gula Garam Lemak Harian?

    Jakarta

    Penyakit degeneratif kini semakin banyak ditemui pada usia yang masih tergolong muda. Mengenali anjuran batas maksimum konsumsi gula, garam, dan lemak harian dapat mengurangi risiko tersebut.

    Kondisi seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit jantung dulu lebih sering dialami orang lanjut usia, tetapi sekarang makin banyak terjadi di usia produktif. Salah satu pemicu utamanya adalah pola makan tinggi Gula, Garam, dan Lemak (GGL).

    Di tengah gaya hidup yang serba cepat, pilihan makanan sering ditentukan oleh faktor praktis dan rasa. Makanan-makanan yang tinggi gula memang terasa lebih memuaskan dan makanan asin lebih menggugah selera. Namun konsumsi berlebihan dalam jangka panjang dapat memberi dampak besar pada kesehatan tubuh.

    Apa itu Penyakit Degeneratif?

    Penyakit degeneratif adalah penyakit yang muncul akibat penurunan fungsi atau kerusakan organ tubuh secara bertahap. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan berlangsung perlahan dan sering tanpa disadari.

    Ada dua faktor risiko yang tidak bisa diubah, yaitu:

    1. Usia

    Semakin bertambah usia, metabolisme mulai melambat, pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas, dan respons sel tubuh terhadap hormon seperti insulin ikut menurun.

    2. Keturunan/Genetik

    Seseorang bisa memiliki risiko/kecenderungan alami lebih tinggi mengalami hipertensi, diabetes, stroke, atau penyakit jantung karena faktor riwayat penyakit keluarga.

    Meski demikian, ada satu faktor risiko yang sangat berpengaruh dan sepenuhnya dapat dikendalikan, yaitu pola makan. Jadi penyakit degeneratif dapat kita cegah dengan mengurangi konsumsi GGL.

    Asupan gula yang berlebihan dapat memicu lonjakan glukosa darah yang membuat pankreas bekerja berat untuk memproduksi insulin. Garam berlebih bisa memicu peningkatan tekanan darah, sementara asupan lemak yang tinggi, terutama lemak jenuh dan lemak trans, mempercepat pembentukan plak pada pembuluh darah. Ketiganya saling berhubungan dan penyebab kesehatan menjadi buruk.

    Anjuran Batas Konsumsi GGL

    Kementerian Kesehatan RI menganjurkan batas konsumsi GGL harian berikut:

    Gula: maksimal 50 gram per hari.

    World Health Organization tahun 2015 menjelaskan konsumsi gula tambahan di atas 10% total energi harian meningkatkan risiko inflamasi sistemik, obesitas, dan diabetes.

    Garam: maksimal 5 gram per hari atau setara satu sendok teh.

    Studi dari jurnal Frontiers in Physiology tahun 2015 menunjukkan bahwa penurunan asupan garam

    Lemak: maksimal sekitar 67 gram per hari

    Laporan American Heart Association tahun 2019 menyebutkan bahwa mengurangi lemak jenuh dan trans menurunkan kadar kolesterol LDL serta risiko penyakit jantung koroner.

    Anjuran pembatasan GGL oleh Kementerian Kesehatan RI, bukan hanya angka yang dibuat tanpa dasar, melainkan hasil tinjauan ilmiah jangka panjang terhadap data kesehatan masyarakat dunia. Konsumsi yang melebihi batas yang dianjurkan dalam waktu lama akan meningkatkan beban kerja organ, mempercepat peradangan, dan memicu kerusakan jaringan.

    Penyakit Degeneratif yang Berkaitan dengan Konsumsi GGL Berlebih

    Beberapa penyakit yang berkaitan dengan konsumsi GGL berlebih adalah sebagai berikut.

    1. Stroke

    Stroke terjadi ketika suplai darah ke otak terhenti atau berkurang. Kondisi ini sangat berkaitan dengan hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi. Penelitian dari Jurnal Lancet Neural tahun 2021 menjelaskan bahwa ketiga faktor tersebut merupakan penyumbang utama risiko stroke secara global.

    Gula berlebih dapat merusak pembuluh darah halus (kapiler) di otak. Garam berlebih meningkatkan tekanan darah sehingga pembuluh darah dapat pecah. Kolesterol berlebih mempersempit aliran darah. Ketiganya saling berinteraksi dan mempercepat kerusakan.

    2. Hipertensi

    Garam menyebabkan retensi cairan di dalam tubuh. Semakin banyak garam yang dikonsumsi, tubuh akan menahan air lebih banyak untuk menyeimbangkannya. Hal ini menyebabkan volume darah meningkat dan tekanan pada dinding pembuluh darah naik.

    Studi ilmiah yang diterbitkan di Jurnal Nutrients tahun 2019 menunjukkan bahwa pengurangan garam secara konsisten menurunkan tekanan darah, termasuk pada individu yang sebelumnya tidak memiliki hipertensi.

    Hipertensi disebut sebagai silent killer karena sering berlangsung tanpa gejala, tetapi menjadi penyebab penyakit yang lebih berat seperti serangan jantung dan stroke.

    3. Diabetes

    Konsumsi gula berlebih dalam jangka panjang memicu resistensi insulin. Tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin sehingga gula tidak dapat masuk ke sel dan tetap tinggi dalam darah. Diabetes tipe 2 kemudian dapat memicu komplikasi lain seperti kebutaan, gagal ginjal, dan kerusakan saraf.

    4. Penyakit Jantung Koroner

    Asupan lemak jenuh dan lemak trans berlebih meningkatkan kadar Low-Density Lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat. LDL yang tinggi dapat memicu pembentukan plak di dinding pembuluh darah (aterosklerosis).

    Ketika plak menebal, pembuluh darah menyempit sehingga aliran darah ke jantung berkurang. Kondisi ini dapat memicu nyeri dada (angina) hingga serangan jantung.

    Penelitian yang berjudul Reduction in Saturated Fat Intake for Cardiovascular Disease tahun 2020 menyatakan bahwa pengurangan lemak trans dan jenuh secara konsisten menurunkan risiko penyakit jantung koroner dalam jangka panjang.

    5. Penyakit Ginjal Kronis

    Tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi merupakan dua penyebab utama kerusakan ginjal. Pembuluh darah pada ginjal menjadi kaku dan rusak, menyebabkan fungsi filtrasi menurun. Data dari National Kidney Foundation tahun 2025 mencatat bahwa 66% kasus penyakit ginjal kronis berhubungan dengan diabetes dan hipertensi yang tidak terkontrol.

    Kesimpulan

    Penyakit degeneratif bukan terjadi tiba-tiba. Ia terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang tampak sederhana tetapi berlangsung bertahun-tahun. Usia dan faktor keturunan memang tidak dapat diubah, namun pola makan dan gaya hidup dapat dikendalikan sepenuhnya.

    Membatasi konsumsi GGL bukan berarti harus menghindari penggunaan GGL dalam makanan, tetapi memahami bahwa tubuh harus membatasi konsumsi GGL. Apabila konsumsi GGL dilewati terus-menerus dari batas anjuran, akan berujung pada peningkatan risiko penyakit degeneratif.

    Terkait asupan GGL, detikcom Leaders Forum akan hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat’. Hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan dokter spesialis penyakit dalam dari Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 5

    Simak Video “BPOM Akan Edukasi Masyarakat soal Labeling Gula, Garam, Lemak”
    [Gambas:Video 20detik]
    (mal/up)