Tag: Sidney Jones

  • Silat Lidah Fadli Zon Bantah Pemerkosaan Massal 1998, Sampai Bikin Anggota DPR Nangis

    Silat Lidah Fadli Zon Bantah Pemerkosaan Massal 1998, Sampai Bikin Anggota DPR Nangis

    Silat Lidah Fadli Zon Bantah Pemerkosaan Massal 1998, Sampai Bikin Anggota DPR Nangis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    menjelaskan pandangannya mengenai
    pemerkosaan massal 1998
    yang menjadi sorotan beberapa waktu belakangan ini. 
    Di hadapan anggota DPR, dia menegaskan tidak menyangkal pemerkosaannya. Namun dia meragukan tragedi itu berlangsung massal. 
    Dia mempertanyakan penggunaan diksi “massal” yang menurutnya mengandung makna terstruktur dan sistematis.
    “Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia itu antara 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” ujar Fadli dalam rapat kerja bersama Komisi X di Gedung DPR RI, Rabu (3/7/2025).
    Fadli mengaku telah mengikuti perdebatan mengenai isu ini selama lebih dari 20 tahun, termasuk berdiskusi secara terbuka di berbagai forum.
    Dia pun menyatakan siap berdialog sebagai sejarawan, bukan semata sebagai menteri.
    “Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini. Tidak ada denial sama sekali,” ujarnya.
    Meski begitu, politikus Gerindra itu mengaku tetap memiliki sejumlah keraguan terhadap pendokumentasian peristiwa pemerkosaan massal 1998.
    Dia pun menyinggung laporan awal Majalah Tempo dan pernyataan aktivis hak asasi manusia Sidney Jones, yang disebutnya kesulitan menemukan korban secara langsung dalam investigasi.
    “Ini Majalah Tempo yang baru terbit pada waktu itu tahun ’98, dibaca di sini dan bisa dikutip bagaimana mereka juga melakukan (investigasi),” ucap Fadli sambil mengangkat Majalah Tempo.
    “Kalau tidak salah seorang wartawannya mengatakan investigasi tiga bulan soal perkosaan massal itu, ada kesulitan. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban,” sambungnya.
    Suasana rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Fadli Zon berubah menjadi emosional ketika orang kepercayaan Presiden Prabowo Subianto itu bersikeras tidak ada pemerkosaan massal.
    Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI-P Mercy Chriesty Barends, menangis saat mendengar Fadli tetap mempertanyakan penggunaan diksi “massal” dalam kasus pemerkosaan 1998.
    Air mata My Esti tumpah saat menginterupsi penjelasan Fadli yang meragukan data dan informasi soal pemerkosaan massal 1998, hingga membandingkannya dengan kasus kekerasan seksual massal di Nanjing dan Bosnia.
    “(Mendengar) Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata My Esti, dengan suara bergetar.
    Menurut My Esti, penjelasan Fadli yang teoretis dan tak menunjukkan kepekaan justru menambah luka bagi mereka yang menyaksikan dan mengalami langsung situasi mencekam pada masa itu.
    “Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban pemerkosaan. Sehingga menurut saya, penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini, dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu, itu justru akan semakin membuat luka dalam,” ujar dia.
    Fadli pun menyela pernyataan Esti dan menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal peristiwa tersebut.
    “Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.
    Namun, respons itu tidak cukup meredam emosi My Esti, yang kembali menegaskan bahwa penjelasan Fadli justru mengesankan keraguan penderitaan para korban.
    “Itu yang kemudian Bapak seolah-olah mengatakan…,” ucap My Esti, sebelum kembali terdiam karena emosi.
    Setelahnya, Mercy pun ikut bersuara sambil menangis.
    Dia menyampaikan betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.
    “Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” tutur Mercy.
    Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Fadli Zon di Gedung DPR RI juga diwarnai aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil.
    Sejumlah anggota koalisi yang hadir di balkon ruang rapat mendadak membentangkan spanduk dan poster sebagai bentuk penolakan terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional.
    Aksi dimulai saat Fadli Zon hendak menyampaikan tanggapan terhadap pertanyaan sejumlah anggota dewan dalam rapat.
    Tiba-tiba, koalisi masyarakat sipil membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan mereka di pagar balkon ruang rapat.
    “Hentikan pemutihan sejarah!” teriak salah satu perwakilan koalisi, yang langsung disambut teriakan serupa dari rekan-rekannya.
    “Dengarkan suara korban!” seru lainnya.
    Koalisi juga menyerukan agar pemerintah dan DPR RI menghentikan rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
    “Tolak gelar pahlawan Soeharto!” teriak mereka.
    Mendengar seruan tersebut, pimpinan dan anggota Komisi X beserta Fadli Zon dan jajarannya langsung menoleh ke arah balkon tempat aksi berlangsung.
    Fadli Zon menanggapi santai aksi Koalisi Masyarakat Sipil yang menolak dan meminta dihentikannya penulisan ulang sejarah oleh pemerintah.
    “Ya, biasalah, kita dulu juga begitu,” ujar Fadli Zon.
    “Biasa sajalah, aspirasi ya,” sambung dia.
    Meski begitu, Fadli mengingatkan semua pihak untuk tidak langsung menghakimi proyek penulisan ulang sejarah yang sedang dilakukan.
    Fadli Zon menyatakan akan tetap melanjutkan penulisan sejarah ulang meski terjadi penolakan atas rencana ini.
    Ia meminta masyarakat tidak cepat-cepat menghakimi penulisan sejarah yang belum selesai.
    Terlebih, sejarah ulang ini ditulis oleh para sejarawan profesional dari berbagai wilayah.
    “Enggak (akan ditunda). Jangan menghakimi apa yang belum ada. Jangan-jangan nanti Anda lebih suka dengan sejarah ini,” kata Fadli Zon.
    Fadli juga mengaku heran mengapa masyarakat menuntut agar sejarah ulang tidak ditulis.
    Ia mengutip kata-kata Presiden ke-1 RI Soekarno, yang meminta Indonesia jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
    “Kok kita sekarang malah menuntut tidak boleh menulis sejarah, itu bagaimana ceritanya? Gitu ya, jadi kita tentu harus menulis sejarah kita,” beber dia.
    Lebih lanjut, Fadli menyebut penulisan sejarah diperlukan untuk pembaruan mengisi kekosongan selama 26 tahun.
    Kini, sejarah seolah berhenti di presiden-presiden terdahulu, seperti Presiden ke-1 Soekarno, Presiden ke-2 Soeharto, dan Presiden ke-3 B.J. Habibie.
    Penulisan sejarah ulang ini juga akan melengkapi temuan-temuan arkeologis dan temuan sejarah lainnya, dengan tone positif sesuai dengan perspektif Indonesia.
    “Jadi enggak ada yang aneh-aneh, yang menurut saya, nanti kalau ada di situlah ruang para sejarawan, para intelektual untuk menulis, mengkaji. Dan perspektifnya bisa berbeda-beda, antara sejarawan mungkin dari perguruan tinggi A dengan perguruan tinggi B, bisa beda. Yang kita tulis ini adalah secara umum untuk mengisi kekosongan 26 tahun kita tidak menulis sejarah,” jelasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal Isu Pemerkosaan Massal 1998, Menbud Fadli Zon Kini Berkilah Sebut Tak Pernah Menyangkal

    Soal Isu Pemerkosaan Massal 1998, Menbud Fadli Zon Kini Berkilah Sebut Tak Pernah Menyangkal

    JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan dirinya siap berdiskusi secara terbuka sebagai sejarawan dan peneliti tentang isu pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Kerusuhan Mei 1998. Fadli menyatakan tidak pernah menyangkal peristiwa itu, tetapi ia meragukan penggunaan diksi “massal” yang dianggap identik dengan kejadian yang terstruktur dan sistematis.

    “Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000, di Bosnia 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras,” kata Fadli dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Gedung DPR, Rabu, 2 Juni.

    Politikus Gerindra itu mengaku mengikuti perdebatan isu ini lebih dari 20 tahun, termasuk diskusi di berbagai forum publik. “Saya siap sebagai seorang sejarawan dan peneliti untuk mendiskusikan ini. Tidak ada denial sama sekali,” ujarnya.

    Fadli menyinggung laporan awal Majalah Tempo yang menurutnya kesulitan menemukan korban secara langsung. Ia juga mengutip pernyataan aktivis hak asasi manusia Sidney Jones yang disebut tidak berhasil bertemu satu pun korban dalam investigasi panjang. “Ini Majalah Tempo yang baru terbit waktu itu, tahun 1998. Bisa dibaca dan dikutip bagaimana mereka juga melakukan investigasi tiga bulan soal perkosaan massal itu, ada kesulitan. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban,” jelasnya sambil mengangkat Majalah Tempo di hadapan anggota dewan.

    Selain soal pendokumentasian, Fadli mengingatkan potensi narasi adu domba yang dimanfaatkan pihak asing untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan tuduhan yang diarahkan ke institusi militer dan dikaitkan dengan agama tertentu. “Jangan sampai kita masuk dalam narasi adu domba dari kekuatan asing. Misalnya, sebelum melakukan perkosaan massal meneriakkan ‘Allahu Akbar’. Itu ditulis dan disebut pelakunya berambut cepak, diarahkan ke militer. Ini narasi yang harus diteliti lebih dalam,” tegasnya.

    Fadli juga memastikan proses penulisan ulang sejarah tragedi 1998 tidak akan diintervensi atau dicampuri oleh dirinya sebagai menteri. Semua kajian dan dokumentasi sepenuhnya dilakukan para pakar sejarah yang independen.

    Dalam kesempatan itu, Fadli juga mengungkapkan sudah membaca dokumen lengkap Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998. Meski begitu, ia menekankan perlunya pendalaman akurasi data agar publik tidak terjebak kesimpulan menyesatkan. “Kita tidak ingin ini menjadi narasi adu domba dan kita kemudian mengenyampingkan ketelitian. Pendokumentasian yang kokoh itu masalahnya,” katanya.

    Fadli menegaskan, pengakuan bahwa peristiwa pemerkosaan memang terjadi harus dibarengi upaya membangun basis data yang valid. “Kita harus akui bahwa jelas itu ada perkosaan dan itu terus terjadi juga, tetapi secara hukum kita sulit untuk mendapatkan faktanya,” tutup Fadli.

  • Mendagri Tito Soroti Peran Strategis Non-State Actors dalam Stabilitas Keamanan Global

    Mendagri Tito Soroti Peran Strategis Non-State Actors dalam Stabilitas Keamanan Global

    JAKARTA – Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Muhammad Tito Karnavian, menyampaikan pentingnya memahami serta menjalin kolaborasi efektif dengan non-state actors dalam menghadapi tantangan keamanan yang bersifat transnasional.

    Perihal tersebut disampaikan saat berpidato pada forum internasional bertema keamanan global yang diselenggarakan di Doha, Qatar.

    “Indonesia memandang non-state actors sebagai entitas yang memainkan peran signifikan dalam lanskap keamanan saat ini.”

    “Mereka terbagi ke dalam dua kategori: hostile non-state actors yang menjadi ancaman terhadap stabilitas dan friendly non-state actors yang dapat menjadi mitra strategis dalam menjaga perdamaian dan keamanan,” ujar Mendagri Tito dalam paparannya dikutip Kamis, 1 Mei 2025.

    Tito turut memaparkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi kelompok ekstremis kekerasan yang memiliki keterkaitan internasional, seperti Jemaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan Jamaah Ansharut Daulah yang terkait dengan ISIS.

    Indonesia juga telah menghadapi konflik bersenjata berkepanjangan dengan kelompok separatis, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Selain itu, Mendagri juga menyoroti berbagai tantangan kejahatan transnasional yang melibatkan kolaborasi antara non-state actors domestik dan asing, seperti penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, serta eksploitasi ilegal sumber daya alam.

    Aktivitas tersebut tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan nasional, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi negara.

    Di sisi lain, Tito menegaskan bahwa banyak friendly non-state actors yang justru menjadi mitra penting dalam upaya perdamaian dan kontra-radikalisasi.

    Ia menyebut keberhasilan proses damai di Aceh sebagai contoh nyata, yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Presiden Finlandia saat itu, Martti Ahtisaari, serta tokoh mediator Juha Christensen, yang kemudian bergabung Asian Peace and Reconciliation Center.

    Dalam penanganan terorisme, Indonesia juga banyak terbantu oleh kerja sama dengan lembaga kajian, seperti International Crisis Group yang dipimpin oleh Sidney Jones serta Rajaratnam School of International Studies dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura.

    Lembaga-lembaga ini telah memberikan analisis berbasis riset yang mendalam terhadap jaringan terorisme, termasuk wawancara dengan tokoh-tokoh kunci di dalamnya.

    Berdasarkan pengalaman tersebut, Mendagri menyampaikan dua rekomendasi utama. Pertama, memperkuat kerja sama antarnegara, tidak hanya pada tingkat strategis, tetapi juga operasional antar-aparat keamanan.

    Selanjutnya yang kedua, melibatkan friendly non-state actors, seperti LSM, think tank, dan komunitas sipil lainnya dalam strategi pencegahan serta penanggulangan ancaman dari hostile non-state actors.

    “Forum ini merupakan contoh nyata bagaimana kolaborasi antara negara, lembaga kajian, dan organisasi internasional seperti The Soufan Center dapat memperkuat kerja sama lintas batas dalam menghadapi ancaman global,” kata Tito.

    Tak lupa, Mendagri menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdurahman Al Thani, Menteri Dalam Negeri Qatar Khalifa bin Hamad bin Khalifa Al Thani, serta kepada Ali Soufan dari The Soufan Center, atas penyelenggaraan forum yang menjadi ajang penting pertukaran pandangan dan penguatan jejaring internasional.

    Global Security Forum (GSF) 2025 adalah forum keamanan internasional tahunan yang berlangsung di Doha, Qatar, pada 28–30 April 2025.

    Forum tahunan yang pertama kali diselenggarakan pada 2018 ini menjadi ajang strategis bagi pemimpin dunia dan pakar keamanan untuk membahas isu-isu global, termasuk terorisme, kejahatan siber, dan mediasi konflik.

    Tahun ini, GSF menyoroti peran non-state actors yang kian dominan dalam mengancam stabilitas dan kedaulatan negara.

  • Indonesia Bagikan Pengalaman Tangani Terorisme dan Konflik di Global Security Forum Qatar – Halaman all

    Indonesia Bagikan Pengalaman Tangani Terorisme dan Konflik di Global Security Forum Qatar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, QATAR – Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Muhammad Tito Karnavian, menyampaikan pidato kunci dalam forum internasional Global Security Forum (GSF) 2025 yang berlangsung di Doha, Qatar, pada 28–30 April 2025.

    Forum ini mengangkat tema keamanan global, dengan fokus pada peran non state actors dalam dinamika keamanan transnasional.

    Dalam sambutannya, Mendagri Tito menekankan pentingnya memahami serta menjalin kolaborasi efektif dengan nonstate actors dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks dan lintas batas.

    “Indonesia memandang nonstate actors sebagai entitas yang memainkan peran signifikan dalam lanskap keamanan saat ini. Mereka terbagi ke dalam dua kategori: hostile nonstate actors yang menjadi ancaman terhadap stabilitas, dan friendly nonstate actors yang dapat menjadi mitra strategis dalam menjaga perdamaian dan keamanan,” ujar Mendagri Tito dalam paparannya.

    Mendagri menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdurahman Al Thani, Menteri Dalam Negeri Qatar Khalifa bin Hamad bin Khalifa Al Thani, serta kepada Ali Soufan dari The Soufan Center, atas penyelenggaraan forum yang menjadi ajang penting pertukaran pandangan dan penguatan jejaring internasional.

    Ia memaparkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi kelompok ekstremis kekerasan yang memiliki keterkaitan internasional, seperti Jemaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, serta Jamaah Ansharut Daulah yang terkait dengan ISIS.

    Tak hanya itu, Mendagri juga mengangkat isu konflik bersenjata yang telah dihadapi Indonesia, seperti dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Mendagri Tito menyoroti tantangan kejahatan transnasional yang turut melibatkan kolaborasi antara non state actorsdomestik dan asing, seperti penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, serta eksploitasi ilegal sumber daya alam.

    Aktivitas semacam ini, menurutnya, tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan nasional tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi negara.

    Namun di sisi lain, ia juga menegaskan pentingnya peran friendly non state actors dalam menjaga keamanan dan mendukung upaya perdamaian.

    Ia menyebut keberhasilan proses damai di Aceh sebagai contoh nyata, yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Presiden Finlandia saat itu, Martti Ahtisaari, serta tokoh mediator Juha Christensen, yang kemudian bergabung dengan Asian Peace and Reconciliation Center.

    Dalam konteks penanganan terorisme, Indonesia juga bekerja sama dengan lembaga-lembaga kajian terkemuka.

    “Indonesia juga banyak terbantu oleh kerja sama dengan lembaga kajian seperti International Crisis Group yang dipimpin oleh Sidney Jones, serta Rajaratnam School of International Studies dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura,” ujarnya.

    Lembaga-lembaga ini memberikan analisis berbasis riset yang mendalam terhadap jaringan terorisme, termasuk wawancara dengan tokoh-tokoh kunci di dalamnya.

    Berdasarkan pengalaman tersebut, Mendagri menyampaikan dua rekomendasi utama dalam forum internasional tersebut.

    Pertama, memperkuat kerja sama antarnegara tidak hanya pada tingkat strategis, tetapi juga operasional antar aparat keamanan.

    Kedua, melibatkan friendly non state actors seperti LSM, lembaga riset, dan komunitas sipil lainnya dalam strategi pencegahan dan penanggulangan ancaman dari hostile non state actors.

    “Forum ini merupakan contoh nyata bagaimana kolaborasi antara negara, lembaga kajian, dan organisasi internasional seperti The Soufan Center dapat memperkuat kerja sama lintas batas dalam menghadapi ancaman global,” tegas Mendagri Tito.

    Global Security Forum sendiri merupakan forum keamanan internasional tahunan yang pertama kali diselenggarakan pada 2018.

    Ajang ini mempertemukan para pemimpin dunia dan pakar keamanan untuk membahas isu-isu strategis, termasuk terorisme, kejahatan siber, dan mediasi konflik.

    Tahun ini, GSF menyoroti peran nonstate actors yang semakin dominan dalam mengancam stabilitas dan kedaulatan negara. 

     

  • Jokowi Ajak Rakyat Indonesia Bersatu Lawan Terorisme dalam Memori Hari Ini, 1 April 2021

    Jokowi Ajak Rakyat Indonesia Bersatu Lawan Terorisme dalam Memori Hari Ini, 1 April 2021

    JAKARTA – Memori hari ini, empat tahun yang lalu, 1 April 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu melawan terorisme. Ajakan itu diungkap Jokowi sebagai bentuk komitmen tiada tempat bagi terorisme di Indonesia.

    Sebelumnya, rakyat Indonesia dihehohkan oleh aksi seorang wanita misterius –belakangan diketahui berinisial ZA– mendatangi Mabes Polri dengan senjata api. Wanita itu mendatangi pos penjagaan dan menodongkan pistol ke petugas. Aksi wanita misterius lalu dilumpuhkan.

    Aksi teror tak dapat dianggap remeh. Terorisme kadang kala begitu mengancam banyak hal. Kedaulatan negara bahkan bisa terganggu. Kondisi itu membuat pemerintah berkerja keras untuk dapat mengungkap jaringan terorisme yang ingin melancarkan aksi di Indonesia.

    Masalah muncul. Tak semua rencana teror bisa dideteksi oleh aparat keamanan. Ambil contoh aksi teror yang dilakukan wanita misterius ke Mabes Polri pada 31 Maret 2021. Wanita yang mengenakan jilbab biru dan membawa map kuning tampak berjalan ke arah pos penjagaan.

    Potret wanita misterius kala melangsungkan aksi teror di Mabes Polri 31 Maret 2021. (Istimewa)

    Wanita tersebut mengeluarkan senjata api. Aparat keamanan yang menjaga langsung mengambil tindakan tegas. Wanita itu dilumpuhkan dengan tembakan. Aksi teror itu membawa kehebohan.

    Rakyat Indonesia mengecam aksi teror yang terjadi. Berbagai spekulasi terkait aksi teror pun bermunculan. Para ahli menduga bahwa wanita misterius yang melakukan teror tak terafiliasi dengan jaringan terorisme yang ada – istilahnya lone wolf.

    Wanita itu dianggap berkerja sendiri. Artinya aksi teror yang dilakukan cenderung sesuatu yang jarang terjadi di Indonesia — lone wolf dan oleh wanita pula. Namun, Polri diminta terus waspada.

    Mereka juga tak boleh kecolongan dan jangan memperlakukan aksi teror wanita misterius seperti teror biasa. Polri juga perlu memahami lebih dalam terkait aksi terorisme yang dilakukan kaum wanita.

    Joko Widodo (Jokowi) yang pernah menjadi Presiden Indonesia era 2014-2024. (ANTARA)

    “Jangan (anggap kasus ini) sebagai suatu yang biasa. Karena di Indonesia lone wolf masih sesuatu yang agak jarang terjadi. Jadi saya enggak setuju 100 persen dengan apa yang disampaikan Pak Boy Rafli bahwa perempuan terlalu lemah dan sebagainya. Mungkin sebagian, tapi kita lihat juga perempuan ingin dapat peran lebih aktif sendiri,” ungkap pengamat terorisme, Sidney Jones sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 1 April 2021.

    Aksi wanita misterius yang mencoba menyerang Mabes Polri sampai ke telingga Presiden Jokowi. Presiden Jokowi pun mengutuk aksi penyerangan tersebut pada 1 April 2021. Ia lalu mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu melawan terorisme.

    Ajakan itu dianggap ampuh supaya mata rantai penyebaran terorisme di Nusantara bisa dipukul mundur. Jokowi pun tak tinggal diam. Ia segera memerintahkan jajarannya untuk serius melawan teror. Ia telah memerintahkan Kapolri, Panglima TNI, hingga Kepala BIN untuk meningkatkan kewaspadaan.

    “Saya minta kepada seluruh masyarakat di seluruh tanah air agar semuanya tetap tenang, tapi tetap waspada dan menjaga persatuan dan semuanya kita bersatu melawan terorisme. Saya tegaskan sekali lagi tidak ada tempat bagi terorisme di tanah air,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip laman ANTARA, 1 April 2021.