Tag: Shinta Kamdani

  • Forum Bisnis Indonesia-Brasil Hasilkan Kerja Sama Rp42 Triliun

    Forum Bisnis Indonesia-Brasil Hasilkan Kerja Sama Rp42 Triliun

    Jakarta: Forum Bisnis Indonesia-Brasil (FBIB) menghasilkan lima nota kesepakatan (MoU). Kerja sama antara korporasi Indonesia dan korporasi Brasil itu menyentuh angka USD2,65 miliar atau sekitar Rp42 triliun.
     
    Turut menyaksikan penandatanganan MoU adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto; Utusan Khusus Presiden/Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia Hashim S Djojohadikusumo; dan Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie.
     
    “Forum ini menekankan komitmen Indonesia mendorong pembangunan berkelanjutan lewat kemitraan dengan negara-negara seperti Brasil,” kata Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri FBIB di sela penyelenggaraan KTT G20, di Istana Copacabana, Rio De Janeiro, Brasil, dikutip dari Antara, Senin, 18 November 2024.
    Prabowo mengatakan Indonesia dan Brasil merupakan negara yang kaya sumber daya alam dan biodiversitas. Artinya, memiliki peluang kerja sama tidak hanya terkait perdagangan, tetapi juga dalam mewujudkan agenda pembangunan global. 
     
    Kerja sama berbagai sektor
    FBIB sepakat bekerja sama dalam isu-isu utama seperti energi terbarukan, agrikultur berkelanjutan, dan pengurangan emisi karbon. Prabowo berharap kerja sama ini mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan hubungan bisnis kedua negara.
     
    “Kita bisa mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi kedua negara dan berkontribusi pada capaian tujuan pembangunan global,” kata Prabowo.
     
    Ketua Dewan Penasihat Kadin Indonesia Hashim S Djojohadikusumo mengapresiasi penandatanganan MoU antarperusahaan besar kedua negara. “Forum ini menandakan Indonesia terbuka untuk bisnis,” ujar Hashim.
     
    Ketum Kadin Indonesia Anindya Bakrie mengaku bangga menjadi bagian dari kerja sama transformatif ini. “MoU ini merepresentasikan babak baru dari kolaborasi kita (Indonesia-Brasil), utamanya di sektor vital seperti energi terbarukan, agrikultur, dan teknologi,” kata dia.
     
    Tentang FBIB
    FBIB digelar dalam konteks berbagi komitmen di antara Indonesia dan Brasil untuk pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Indonesia dan Brasil sama-sama merupakan rumah dari hutan hujan tropis terbesar dunia dan berperan penting bagi regulasi iklim dan pelestarian biodiversitas.
     
    FBIB juga fokus mengeksplorasi peluang-peluang kolaborasi baru, teruta terkait perdagangan, investasi, energi, dan pembangunan berkelanjutan. Tema-tema itu sekaligus menjadi tema utama dari Presidensi G20 di Brasil, yakni Building a Just World and a Sustainable Planet.
     
    Acara FBIB diprakarsai Kementerian Luar Negeri Indonesia, Kadin Indonesia, serta berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brasil dan bermitra dengan RGE di Brasil melalui Bracell.
     
    Hadirkan CEO Dialogue
    Usai penandatanganan MoU, FBIB menghadirkan CEO Dialogue. Pesertanya adalah gabungan antara CEO Indonesia dan Brasil. 
     
    CEO Dialogue menghadirkan paparan dari pelaku bisnis Indonesia yang memiliki usaha di Brasil. Salah satunya adalah Managing Director Royal Golden Eagle (RGE) Anderson Tanoto. Anderson berbagi wawasan tentang kontribusi RGE di sektor biofuel di Brasil. 
     
    Hadir juga Country Head FKS Group di Indonesia, Yanuar Samron. Dia menekankan poin pembelajaran dari praktik perkebunan tebu di Brasil serta potensi aplikasinya di industri bioetanol Indonesia.
     
    Acara FBIB diprakarsai oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia, Kadin Indonesia, serta berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brasil dan bermitra dengan RGE di Brasil melalui Bracell.
     
    Kerja sama Indonesia-Brasil
    Kerja sama ekonomi bilateral antara Indonesia dan Brasil terus meningkat beberapa tahun terakhir. Pada 2022, Indonesia mengekspor barang senilai USD1,91 miliar dengan produk utama sawit, minyak kelapa, dan karet.
     
    Sebaliknya, Brasil mengekspor barang senilai USD359 juta pada 2024 dengan menghasilkan neraca perdagangan positif senilai USD169 juta. 
     
    “Dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi masing-masing dan keahlian di industri kunci seperti agribisnis, biofuel, dan pertambangan, kita mendorong pertumbuhan ekonomi sambil berbagi tanggung jawab memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang,” kata Presiden Brazilian National Confederation of Industry (CNI), Ricardo Alban.
     

    Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kadin Indonesia, Shinta Kamdani, mengatakan FBIB menjadi contoh bagaimana pengaruh kemitraan internasional dalam menciptakan solusi nyata untuk mengatasi tantangan global. 
     
    Tidak hanya memperkuat ikatan bisnis, FBIB juga membangun aliansi untuk mendorong inovasi dan keberlanjutan di berbagai sektor dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. 
     
    “Hari ini diskusi dan penandatanganan MoU menunjukkan komitmen kedua negara dalam mengatasi tantangan kunci seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan energi terbarukan,” kata Shinta yang juga merupakan International Advocacy Caucus B20 2024 Brasil.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (UWA)

  • Bahas UMP 2025 Bersama Apindo, Airlangga Harap Pengupahan Cerminkan Perkembangan Ekonomi

    Bahas UMP 2025 Bersama Apindo, Airlangga Harap Pengupahan Cerminkan Perkembangan Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Koordinator (Menko) Airlangga Hartarto bertemu dengan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani dan jajarannya. Pertemuan ini membahas kebijakan pemerintah terkait upah minimum provinsi (UMP) 2025. Airlangga berharap pengupahan mencerminkan perkembangan perekonomian.

    “Pertemuan kali ini adalah pertemuan untuk mendengar masukan dari Apindo. Kita ketahui bahwa Apindo ini bagian dari tripartit dengan serikat pekerja dan pemerintah, terutama dalam siklus terkait dengan pengupahan,” ujar Airlangga, di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (30/10/2024).

    Airlangga mengatakan, pengusaha berharap kebijakan upah minimum bagi pekerja dapat mempertimbangkan sejumlah faktor, di antaranya, mencerminkan perkembangan perekonomian, berbasis regulasi, tak hanya berpatokan pada UMP tetapi juga mempertimbangkan struktur skala upah, serta menyesuaikan produktivitas perusahaan.

    “Tentu dalam pembicaraan tadi juga muncul terkait dengan kondisi terkini daripada industri padat karya. Dalam pembahasan juga para pengusaha yang tercakup dalam Apindo yang terdiri dari berbagai sektor, termasuk otomotif, kawasan industri, retail, dan tekstil. Mereka mengharakan pengupahan dapat mencerminkan terkait dengan perkembangan perekonomian,” terangnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Shinta menuturkan bahwa para pengusaha merekomendasikan kepada pemerintah agar penetapan UMP 2025 dapat menyesuaikan kondisi perusahaan, khususnya yang bergerak di industri padat karya yang tengah terpukul.

    “Oleh karenanya kami mengimbau bahwa tantangan ini harus kita perhatikan bersama. Dengan kondisi seperti ini, kita juga perlu mewaspadai, dan jangan sampai kondisi yang sudah berat ini akan bisa tambah besar yang harus dihadapi,” kata Shinta.

    Shinta menyampaikan, Apindo juga sebelumnya telah merekomendasikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) agar pengupahan pekerja tidak hanya berpatokan dengan UMP, tetapi penetapannya harus diserahkan kepada pelaku usaha masing-masing.

    “Tadi kami mengedepankan mengenai isu bipartit. Jadi di atas UMP sebaiknya diserahkan kepada pelaku usaha masing-masing, karena kondisinya juga berbeda-beda. Jadi ini ada negosiasi bipartit dan social dialogue yang terus kami ke depankan dengan para pekerja,” pungkasnya.

  • Apindo Minta Penghitungan UMP 2025 Sesuai PP Pengupahan

    Apindo Minta Penghitungan UMP 2025 Sesuai PP Pengupahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai dasar penyusunan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Regulasi tersebut dinilai sudah memiliki komponen yang tepat dalam penyusunan UMP.

    Hal ini sebagai respons Apindo terhadap permintaan serikat pekerja yang meminta kenaikan upah minimum hingga 10% pada 2025. Kalangan pengusaha menilai setiap daerah memiliki standar yang berbeda untuk menentukan UMP.

    “Jadi tidak bisa disamaratakan semua daerah di Indonesia. Provinsi, kabupaten, dan kota itu semua sudah ada formulanya. Jadi kami harapkan dan mengimbau bahwa kita tetap ada konsisten kepada formula yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” ucap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani dalam konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Rabu (30/10/2024).

    Dalam PP 51/2023 disebutkan, kenaikan upah minimum dengan rumus inflasi ditambahkan pertumbuhan ekonomi dan dikalikan dengan indeks. Koefisien merupakan variabel yang berada dalam rentang nilai 0,1 sampai dengan 0,3.

    “Karena kalau kita setiap kali harus mengubah aturan kan jadi susah. Ini kan yang penting buat pengusaha itu kepastian. Formula itu ada kan untuk kita ikuti,” tutur Shinta.

    Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dengan deflasi yang terjadi selama 5 bulan terakhir menunjukkan bahwa daya beli masyarakat turun.

    Menurut dia, untuk mengembalikan daya beli masyarakat, khususnya untuk segmen pekerja, seharusnya pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap kenaikan upah minimum pada 2025.

    “Permintaan serikat pekerja dengan kenaikan hingga 10% cukup rasional,” kata Timboel.

    Dia mengatakan, apabila kenaikan upah minimum 2025 menggunakan formula dalam PP 51/2023, maka daya beli buruh belum mampu untuk pulih sehingga penurunan daya beli buruh masih berlanjut.

    “Oleh karenanya penting adanya kebijakan khusus dengan menetapkan indeks menjadi 0,8-1, sehingga kenaikan upah minimum bisa di atas 6%. Dengan asumsi inflasi 2,5 % dan pertumbuhan ekonomi 5%,” terang Timboel.

    Kemudian, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta, kenaikan upah minimum 2025 sebesar 8% hingga 10%. Adapun dasar perhitungan kenaikan tersebut, yakni pertama, inflasi 2025 yang diperkirakan sebesar 2,5% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%. Jika dijumlahkan, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan angka 7,7%.

    Selain itu, di kawasan industri, pada 2024, buruh  memiliki tambahan biaya hidup yang belum diakomodasi dari kenaikan gaji. Sebagai contoh, inflasi di kawasan industri, terutama di Jabotabek, tercatat 2,8%, sementara kenaikan upah hanya 1,58%.

    “Artinya, buruh harus nombok sekitar 1,3% dari selisih antara inflasi 2,8% dan kenaikan upah 1,58%. Berdasarkan perhitungan tersebut angka 8%  berasal dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah faktor tambahan biaya hidup sebesar 1,3%,” tutur Said.

    Kedua, ada faktor disparitas upah yang juga menjadi perhatian. Di wilayah-wilayah yang berbatasan, kesenjangan upah atau disparitas masih tinggi. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi dibandingkan di Subang. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ditambahkan angka disparitas sebesar 2%.

    “Berdasarkan analisis litbang Partai Buruh dan KSPI, tambahan ini menghasilkan kenaikan 10%, untuk mencegah kesenjangan yang semakin melebar,” ujar Said.

    Sementara itu, Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam mengatakan, perusahaan tidak hanya memperhatikan UMP tetapi juga harus memperhatikan struktur dan skala upah. Upaya kenaikan upah diperhitungkan berdasarkan produktivitas. Lantaran perhitungan berdasarkan UMP hanya untuk masa kerja sampai dengan satu tahun.

    “Kita mendorong dengan perhitungan struktur dan skala upah, jadi jangan setiap tahun kita ribut upah minimum tetapi lupa untuk bicara mengenai upah yang di atas upah minimum yang sesuai dengan produktivitas,” kata Bob.

    Dia mengatakan, apabila produktivitas karyawan tinggi dan kinerja perusahaan bagus, maka perusahaan bisa memberikan kenaikan gaji berdasarkan struktur dan skala upah. Namun, hal itu harus berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.

    “Jadi demokratisasi itu harus dimulai dari level perusahaan. Upah minimum tetap ada tetapi lebih dari itu sebaiknya diakomodasi melalui struktur upah masing-masing perusahaan karena yang paling tahu maju mundurnya perusahaan itu adalah bipartit perusahaan,” terang Bob.