Tag: Sheikh Hasina

  • Bangladesh Mencari Keseimbangan Antara Pengaruh China-India-Barat

    Bangladesh Mencari Keseimbangan Antara Pengaruh China-India-Barat

    Jakarta

    Setelah Liga Awami di Bangladesh memenangkan pemilu dan Sheikh Hasina memasuki masa jabatan kelima sebagai Perdana Menteri, Cina dan India buru-buru memberikan ucapan selamat. Kedua negara besar di Asia ini punya kepentingan untuk membentuk kemitraan dan memperluas wilayah pengaruh mereka..

    Michael Kugelman, direktur Asia Selatan di Wilson Center, mengatakan Bangladesh berhasil “meraup keuntungan dari persaingan kekuatan besar” dalam hubungannya dengan Cina dan India.

    “Hubungan ekonomi dan pertahanan dengan Beijing telah tumbuh secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kita telah mencapai titik, di mana Cina mendanai pembangunan pangkalan kapal selam pertama di Bangladesh. Ini merupakan cerminan lain dari keberhasilan Dhaka sebagai penyeimbang,” katanya kepada DW.

    Tahun lalu, Bangladesh meresmikan pangkalan kapal selam senilai USD1,2 miliar di Cox’s Bazar, yang diberi nama pangkalan Sheikh Hasina. Pangkalan militer tersebut dibangun dengan bantuan dari Cina, yang menimbulkan kekhawatiran di India bahwa militer Cina sedang berusaha diam-diam masuk ke wilayah pengaruh India.

    Investasi besar Xi Jinping

    Menurut Kementerian Luar Negeri Cina, investasi negara itu di Bangladesh saat ini berjumlah sekitar USD1,5 miliar. Bangladesh juga sejak tahun 2016 telah menjadi bagian dari proyek infrastruktur global Xi Jinping, Belt and Road Initiative (BRI).

    Mantan Menteri Luar Negeri Bangladesh Md. Touhid Hossain mengatakan kepada DW, proposal proyek baru yang didanai Cina di Sungai Teesta, yang mengalir antara India dan Bangladesh, bisa menimbulkan perselisihan dengan New Delhi.

    Pemerintah Bangladesh sedang mempertimbangkan usulan Cina untuk melakukan pengerukan dan membangun tanggul di sebagian besar sungai. Proyek Pengelolaan dan Restorasi Sungai Teesta ini diperkirakan bernilai sekitar USD1 miliar. “Masalah potensial mungkin muncul jika Cina terlalu jauh memaksakan diri, terutama dengan adanya kemajuan dalam proyek Teesta,” kata Hossain.

    Bangladesh akan berpaling dari Barat?

    Pemilu Bangladesh pada 7 Januari lalu mendapat kritik dari negara-negara Barat karena kekhawatiran adanya kemunduran demokrasi, menyusul tindakan keras pemerintah terhadap oposisi Partai Nasionalis Bangladesh BNP, yang akhirnya memboikot pemilu tersebut.

    Setelah pemilu tanggal 9 Januari, Sheikh Hasina berpidato di hadapan para fungsionaris partai Liga Awami dan menuduh BNP bekerja atas nama “tuan asing” yang tidak disebutkan namanya.

    Mantan Kepala Ekonom Bank Dunia di Bangladesh Zahid Hussain mengatakan kepada DW, Bangladesh dapat mengambil opsi lain untuk mempertahankan keunggulan ekonomi dengan negara-negara Barat. “Manfaat yang diperoleh dengan masuk dalam daftar negara-negara berkembang juga dapat diperoleh dengan mengambil pendekatan alternatif,” katanya. “Misalnya, jika Bangladesh menandatangani perjanjian perdagangan bebas atau aliansi ekonomi, negara tersebut dapat dengan mudah mengakses pasar dari aliansi tersebut.”

    Menteri luar negeri baru Bangladesh, Hasan Mahmud, dikenal memiliki hubungan baik dengan negara-negara Eropa. Duta Besar Uni Eropa untuk Bangladesh, Charles Whiteley, setelah bertemu dengan Mahmud baru-baru ini memuji “hubungan kuat” Mahmud dengan Uni Eropa dan “pemahamannya yang mendalam” terhadap Eropa.

    Michael Kugelman dari Wilson Center mengatakan, dia yakin Bangladesh akan mampu menyeimbangkan hubungannya dengan negara- negara adidaya dengan cukup baik.

    “Ini adalah negara yang, seperti halnya India, telah menunjukkan kapasitas yang kuat untuk menyeimbangkan persaingan dan bukannya menyerah pada persaingan” katanya. “Sheikh Hasina sangat mahir dalam menyeimbangkan hubungan dengan negara maju dan berkembang, dengan India dan Cina, dengan Barat dan non-Barat, dan seterusnya,” pungkasnya.

    (hp/as)

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Peraih Nobel Perdamaian Bangladesh Muhammad Yunus Dihukum 6 Bulan Bui

    Peraih Nobel Perdamaian Bangladesh Muhammad Yunus Dihukum 6 Bulan Bui

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pengadilan di Bangladesh menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, dengan tuduhan pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan. 

    Ketua Pengadilan Perburuhan Ketiga Dhaka, Sheikh Merina Sultana, menjatuhkan hukuman penjara dan denda atas Yunus sebesar 30 ribu taka (setara Rp4,2 juta).

    Yunus menyatakan akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

    “Saya telah dihukum karena dosa yang tidak saya lakukan,” kata Yunus kepada wartawan, seperti dikutip Anadolu Agency.

    Muhammad Yunus yang juga menjabat sebagai pimpinan Grameen Telecom, telah lama terlibat perselisihan dengan pemerintah di Dhaka. Dia tersangkut 168 kasus, termasuk dugaan penggelapan pajak dan penyelewengan keuntungan.

    Usai vonis, Yunus dan tiga rekannya yang juga terlibat dalam tuduhan itu, diberi jaminan. Pengadilan memberi mereka waktu 30 hari untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.

    Pengadilan di Dhaka disebut mengumpulkan bukti soal pelanggaran UU ketenagakerjaan yang dilakukan Yunus, sekitar Agustus dan November 2023 lalu.

    Kuasa hukum Yunus menuduh proses perkara yang melibatkan kliennya itu diselesaikan secara terburu-buru dan berbeda dengan proses pengadilan lainnya.

    Sebelumnya 40 pemimpin dunia dan peraih Nobel telah menulis surat kepada Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina, tentang perlakuan pemerintahnya terhadap Yunus.

    Dalam surat itu mereka menyatakan Yunus “diserang secara tidak adil”, berulang kali dilecehkan serta diselidiki dan menyerukan agar praktik semacam itu diakhiri. Namun pemerintah menyebut surat itu sebagai bagian dari konspirasi.

    Muhammad Yunus merupakan seorang pengusaha, bankir, ekonom, dan pemimpin pergerakan masyarakat sipil.

    Dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 karena mendirikan Grameen Bank dan mempelopori konsep kredit mikro dan keuangan mikro.

    (dna/dna)

  • Peraih Nobel Muhammad Yunus Dihukum dalam Kasus Perburuhan Bangladesh

    Peraih Nobel Muhammad Yunus Dihukum dalam Kasus Perburuhan Bangladesh

    Dhaka

    Peraih Nobel, Muhammad Yunus, dihukum karena melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan Bangladesh. Para pendukung Yunus mengecam kasus ini dan menyebut proses hukum terhadap Yunus bermotif politik.

    “Profesor Yunus dan tiga rekannya di Grameen Telecom dinyatakan bersalah berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara sederhana,” kata pemimpin jaksa Khurshid Alam Khan seperti dilansir AFP, Senin (1/1/2024).

    Dia menambahkan keempatnya segera diberikan jaminan sambil menunggu banding. Yunus (83) dipuji karena dianggap berhasil mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan melalui bank keuangan mikro.

    Namun, dia mendapat permusuhan dari Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina. Yunus dituduh ‘mengisap darah’ orang miskin oleh Hasina.

    Hasina telah melancarkan beberapa serangan verbal pedas terhadap pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006 itu. Yunus dan tiga rekannya dari Grameen Telecom, salah satu perusahaan yang dia dirikan, dituduh melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan ketika mereka gagal menciptakan dana kesejahteraan pekerja di perusahaan tersebut. Keempatnya menyangkal tuduhan tersebut.

    “Putusan ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Pengacara Yunus, Abdullah Al Mamun.

    “Kami tidak mendapatkan keadilan,” sambungnya.

    “Itu bukan untuk kepentingan saya pribadi,” kata Yunus.

    Pengacaranya yang lain, Khaja Tanvir, mengatakan kasus tersebut ‘tidak berdasar dan palsu’.

    “Satu-satunya tujuan dari kasus ini adalah untuk melecehkan dan mempermalukannya di depan dunia,” katanya.

    Lihat juga Video ‘Oposisi Bangladesh Bentrok dengan Polisi saat Gelar Demo’:

    (haf/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Aksi Kerusuhan Hantui Bangladesh Jelang Pemilu

    Aksi Kerusuhan Hantui Bangladesh Jelang Pemilu

    Dhaka

    Ketegangan meningkat di Bangladesh setelah dua aktivis oposisi terbunuh, Selasa (31/10) di tengah meluasnya protes anti-pemerintah dalam beberapa hari terakhir.

    Polisi mengatakan, bentrokan terjadi di berbagai kota, ketika simpatisan oposisi dari Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) dan Jamaat-e-Islami, partai Islam terbesar di Bangladesh, menuntut Perdana Menteri Sheikh Hasina agar mundur dan menyerahkan kekuasaanya kepada pejabat sementara, menjelang pemilihan legislatif pada akhir Januari mendatang. Tuntutan tersebut digaungkan dengan alasan demi menjamin netralitas negara selama pemilu.

    Dalam aksinya, para demonstran membakar kendaraan, memblokir jalan dan terlibat dalam bentrokan dengan pasukan keamanan. Polisi melaporkan, para demonstran melemparkan bom molotov dan melempari petugas dengan batu. Pendukung partai pemerintah, Liga Awami, juga terlibat bentrokan melawan para pengunjuk rasa, lapor media-media lokal.

    Partai oposisi terbesar, BNP, mengatakan puluhan kader dan simpatisan partai tewas tertembak dan menuduh polisi menangkap hampir 2.300 anggotanya sejak protes besar-besaran pecah tanggal 28 Oktober lalu.

    Kepolisian mengaku melakukan penangkapan, antara lain dengan tujuan menyelidiki kasus kematian seorang polisi dalam aksi protes, Sabtu (28/10) pekan lalu.

    Bagaimana reaksi komunitas internasional?

    Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) Selasa (31/10) mengeluarkan pernyataan keprihatinan atas perkembangan terakhir di Bangladesh.

    Duta Besar Amerika Serikat Peter Haas meminta semua pihak untuk menggiatkan dialog agar menjamin “pemilihan umum yang bebas, adil dan damai,” tulis harian berbahasa Inggris, Dhaka Tribune.

    PM Hasina menolak seruan serahkan jabatan

    PM Hasina sedang mengincar masa jabatan keempat dan telah berulang kali menolak ide penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan sementara. Dia juga menuduh BNP melakukan “terorisme dan premanisme.”

    “Pemilu akan terjadi seperti yang terjadi di negara-negara lain seperti Kanada dan India… seperti yang terjadi pada tahun 2018 di Bangladesh,” katanya dalam konferensi pers pada hari Selasa, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.

    “Pekerjaan rutin pemerintah tidak akan berhenti,” tukasnya.

    Michael Kugelman, pakar Asia Selatan di Woodrow Wilson International Center for Scholars di Washington, menilai ketegangan di Bangladesh menjadi kekhawatiran bagi komunitas internasional.

    “Instabilitas politik yang meningkat pesat – meningkatnya protes yang diikuti dengan penangkapan dan bertambahnya amarah serta ancaman protes yang lebih besar – tidak meredakan kekhawatiran komunitas internasional.”

    Ali Riaz, profesor ilmu politik di Illinois State University, punya pandangan serupa. “Mengingat kesenjangan antara oposisi dan pemerintah yang semakin besar dan meningkatnya kekerasan yang berpotensi mengganggu stabilitas dan perekonomian yang sudah rapuh, komunitas internasional harus mengambil peran proaktif,” kata Riaz kepada DW.

    Hasina rombak sistem pemilu

    Partai Liga Awami yang dipimpin Hasina dituduh melakukan kecurangan dalam dua pemilu terakhir pada tahun 2014 dan 2018. Selama hampir 15 tahun berkuasa sejak 2009 dia giat mengkriminalisasi ribuan aktivis oposisi .

    Ragam kejanggalan pada penyelenggaraan pemilu 2014 dan 2018 mendorong partai-partai oposisi menuntut netralitas negara dalam pemilihan Januari mendatang.

    Hingga tahun 2011, Bangladesh sejatinya mempunyai sistem “pemerintahan transisional” yang didesain untuk mencegah partai berkuasa melakukan manipulasi dan pelanggaran pemilu.

    Di bawah sistem tersebut, pemerintahan sementara, yang terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, akan mengambil alih pengelolaan lembaga-lembaga negara selama tiga bulan dan menyelenggarakan pemilu.

    Pemerintahan transisi di Bangladesh pernah menyelenggarakan tiga pemilu pada tahun 1996, 2001, dan 2008. Pemilu-pemilu tersebut dianggap bebas, adil, dan inklusif oleh para pengamat domestik dan internasional.

    Namun Liga Awami menganulir sistem tersebut pada tahun 2011, melalui keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut melanggar prinsip demokrasi perwakilan.

    “Hambatan utama untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas, adil, dan inklusif adalah tidak adanya ketentuan untuk memiliki pemerintahan yang netral selama masa pemilu; sampai ada cara untuk mengatasi masalah ini, saya rasa pemilu yang adil tidak mungkin terjadi,” pungkas Riaz.

    rzn/as

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu