Tag: Satya Nadella

  • Satya Nadella Ungkap Tantangan Terbesar AI Bukan Chip, Tapi…

    Satya Nadella Ungkap Tantangan Terbesar AI Bukan Chip, Tapi…

    Jakarta

    Di tengah perlombaan global membangun infrastruktur AI, isu terbesar bukan lagi ketersediaan chip, tapi listrik. Hal itu diungkapkan CEO Microsoft Satya Nadella dalam wawancara bersama CEO OpenAI Sam Altman, menyoroti krisis energi yang kini membatasi laju inovasi kecerdasan buatan.

    “Masalah terbesar kami sekarang bukan kelebihan chip, tapi daya listrik. Kami punya banyak GPU di inventori yang belum bisa dipasang karena tak ada daya yang cukup,” kata Nadella dalam sesi di kanal Bg2 Pod di YouTube.

    Kondisi ini menggambarkan pergeseran besar: jika dulu kendala utama adalah kelangkaan GPU, kini perusahaan teknologi justru memiliki stok chip yang tak bisa digunakan karena keterbatasan pasokan energi di pusat data (data center).

    AI generatif yang membutuhkan daya komputasi masif telah membuat konsumsi listrik data center melonjak drastis. Di Amerika Serikat, total konsumsi listrik pusat data pada 2024 mencapai 183 terawatt-jam — sekitar 4% dari total konsumsi nasional, dan diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat pada 2030.

    Bahkan, menurut proyeksi terbaru, tugas-tugas AI saja bisa menghabiskan energi setara 22% dari seluruh rumah tangga AS pada 2028, demikian dikutip detikINET dari Techspot, Minggu (9/11/2025).

    Beberapa kompleks data center baru kini dirancang untuk menggunakan hingga 2 gigawatt listrik, setara kebutuhan satu negara bagian kecil. Fenomena ini mendorong operator pusat data berebut membangun “warm shells” — fasilitas siap pakai yang telah memiliki pasokan daya dan sistem pendingin sebelum GPU dipasang.

    Akibatnya, sebagian infrastruktur cloud milik raksasa teknologi kini mangkrak selama berbulan-bulan, menunggu pasokan listrik baru. Nadella mengakui hal itu sebagai hambatan terbesar Microsoft saat ini.

    Masalah ini juga mulai dirasakan masyarakat umum. Beberapa negara bagian di AS melaporkan kenaikan tagihan listrik hingga 36%, yang sebagian dipicu oleh ekspansi besar-besaran fasilitas AI.

    (asj/asj)

  • Komen Tak Terduga Bill Gates soal ChatGPT Diungkap Bos Microsoft

    Komen Tak Terduga Bill Gates soal ChatGPT Diungkap Bos Microsoft

    Jakarta, CNBC Indonesia – CEO Microsoft Satya Nadella mengungkap cerita di balik keputusan besar perusahaan itu berinvestasi ke OpenAI, pembuat ChatGPT. Ternyata, pendiri Microsoft Bill Gates memandang langkah investasi pada 2019 lalu sebagai sebuah risiko besar.

    Dalam wawancara dengan acara YouTube bertema teknologi “TPBN”, Nadella bercerita bahwa langkah awal Microsoft untuk menyuntikkan dana US$1 miliar ke OpenAI bukanlah keputusan yang mudah.

    Kala itu, OpenAI masih berbentuk organisasi nirlaba (nonprofit) dan belum sepopuler sekarang.

    “Bahkan di Microsoft, kami tetap harus mendapat persetujuan dewan hanya untuk mengeluarkan dana sebesar satu miliar dolar,” kata Nadella, dikutip dari Business Insider, Rabu (29/10/2025).

    “Tapi saya harus bilang, tidak terlalu sulit meyakinkan siapa pun bahwa ini adalah bidang penting, meski berisiko tinggi,” imbuhnya.

    Saat itu, Gates justru sempat menilai keputusan tersebut terlalu berisiko.

    “Ingat, waktu itu OpenAI masih nonprofit, dan saya pikir Bill bahkan berkata, ‘Ya, kamu akan membakar uang satu miliar dolar itu,’” ujarnya.

    Meski mendapat peringatan dari Gates, Nadella tetap melangkah. “Kami memang punya toleransi risiko yang tinggi, dan kami memutuskan untuk mencobanya,” katanya.

    Ia menambahkan, kala itu tidak ada yang menyangka investasi tersebut akan menghasilkan keuntungan besar.

    “Kalau dipikir sekarang, siapa yang menyangka? Saya tidak menanamkan satu miliar dolar sambil berpikir, ‘Ya, ini bakal jadi investasi yang nilainya seratus kali lipat,’” ujarnya.

    Langkah berani perusahaan saat itu, sekarang terbukti menjadi salah satu keputusan paling berpengaruh dalam sejarah Microsoft. Setelah demo awal ChatGPT dirilis pada November 2022, chatbot tersebut langsung viral di media sosial dan menarik satu juta pengguna hanya dalam waktu lima hari.

    Kini, ChatGPT digunakan oleh lebih dari 800 juta orang setiap minggunya, menurut CEO OpenAI Sam Altman dalam konferensi tahunan DevDay pada Oktober lalu.

    Microsoft pun memetik hasil besar. Setelah restrukturisasi OpenAI rampung pekan ini, raksasa teknologi itu tercatat memiliki 27% saham di bisnis komersial OpenAI, dengan nilai sekitar US$135 miliar.

    Saham Microsoft sendiri terus menunjukkan performa positif, naik hampir 29% sepanjang tahun ini.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • CEO Microsoft Naik Gaji Jadi Rp 1,6 T di Tengah Badai PHK

    CEO Microsoft Naik Gaji Jadi Rp 1,6 T di Tengah Badai PHK

    Jakarta

    CEO Microsoft, Satya Nadella, mendapatkan peningkatan kompensasi yang signifikan, seiring terus menguatnya harga saham perusahaan, yang antara lain didorong oleh pesatnya perkembangan kecerdasan buatan. Di sisi lain, banyak karyawan Microsoft kena PHK.

    Microsoft menyatakan, total gaji Nadella untuk tahun fiskal 2025 naik 22% menjadi USD 96,5 juta atau Rp 1,6 triliun, dari USD 79,1 juta tahun lalu. Jumlah tersebut mencakup lebih dari USD 84 juta dalam bentuk penghargaan saham dan lebih dari USD 9,5 juta dalam bentuk insentif tunai untuk Nadella.

    Dikutip detikINET dari CNBC, gaji Nadella sebagian besar terkait dengan kinerja saham Microsoft. Sejauh ini di tahun 2025, harga saham Microsoft telah naik sebesar 23%. Nilai sahamnya telah meningkat lebih dari dua kali lipat selama tiga tahun terakhir.

    Dalam pengungkapan kuartal keempat bulan Juli, perusahaan melaporkan laba dan pendapatan yang lebih baik dari perkiraan, dengan penjualan naik 18%, pertumbuhan tercepat dalam lebih dari tiga tahun. Bisnis Microsoft Azure mendorong ekspansi seiring meningkatnya kebutuhan infrastruktur cloud perusahaan untuk memenuhi permintaan AI.

    Pada tahun fiskal 2024, gaji Nadella melonjak 63% dari USD 48,5 juta pada tahun sebelumnya, dengan 90% kompensasinya berasal dari penghargaan saham. Nadella berhak atas insentif tunai sebesar USD 10,66 juta tahun lalu, tetapi ia meminta komite kompensasi dewan untuk mengurangi jumlah tersebut menjadi USD 5,2 juta akibat serangkaian serangan siber yang dialami perusahaan.

    Meskipun kinerja keuangan dan saham Microsoft kuat, perusahaan telah mengalami gejolak di antara para karyawannya dalam beberapa bulan terakhir. Terlebih, banyak pegawai Microsoft terkena PHK massal.

    Pada bulan Juli, Nadella menulis memo kepada karyawan yang menyatakan bahwa pemecatan lebih dari 15.000 karyawan oleh perusahaan pada tahun 2025 telah sangat membebani dirinya. Microsoft juga telah memberhentikan beberapa karyawan aktivis yang memprotes kerja sama perusahaan dengan militer Israel.

    (fyk/rns)

  • Demi AI, Microsoft Kini Punya 2 CEO

    Demi AI, Microsoft Kini Punya 2 CEO

    Jakarta

    Microsoft melakukan restrukturisasi besar di level pimpinan untuk mempercepat dominasinya di industri kecerdasan buatan.

    Judson Althoff, yang sebelumnya menjabat Chief Commercial Officer, kini naik peran menjadi CEO of Commercial Business dan memimpin organisasi komersial yang diperluas, demikian dikutip detikINET dari Reuters, Jumat (3/10/2025).

    Langkah ini memberi ruang bagi CEO Microsoft Satya Nadella untuk lebih fokus ke sisi teknis perusahaan, terutama di bidang AI, infrastruktur data center, arsitektur sistem, dan inovasi produk.

    Dalam pengumumannya, Nadella menyebut struktur baru ini akan menyatukan divisi penjualan, pemasaran, dan operasi dalam satu organisasi terpadu di bawah Althoff. Ia juga akan mengetuai tim kepemimpinan komersial baru yang mencakup eksekutif dari bidang engineering, finance, marketing, dan operations.

    Nadella menegaskan bahwa Microsoft sedang menghadapi “pergeseran platform AI yang berskala tektonik” dan perusahaan harus mampu mengelola bisnis komersial yang besar sekaligus membangun frontier AI berikutnya secara presisi.

    “Kami sedang berada di tengah-tengah perubahan platform berskala tektonik untuk AI, salah satunya mengharuskan kami mengatur dan mengembangkan bisnis komersial kami dengan skala besar, sambil membangun perbatasan baru dan mengeksekusi keduanya tanpa cela,” kata Nadella.

    Restrukturisasi ini juga melanjutkan konsolidasi sebelumnya. Pada 2021, Microsoft telah menggabungkan unit penjualan global, pemasaran, dan bisnis komersial menjadi satu organisasi, juga di bawah Althoff. Ia bergabung dengan Microsoft sejak 2013 sebagai Presiden Microsoft North America.

    Di sisi lain, Microsoft baru-baru ini menyatukan marketplace untuk produk AI bisnis ke dalam satu platform bernama Microsoft Marketplace. Sebelumnya, aplikasi dan agen AI dipisahkan dari marketplace untuk developer Azure.

    Dengan perubahan struktur ini, Microsoft berharap Nadella dan para pemimpin teknologinya bisa berfokus penuh pada ambisi tertinggi di bidang AI dan infrastruktur komputasi skala besar.

    (asj/asj)

  • Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft, memutus akses layanan teknologi komputasi awan atau cloud Azure terhadap militer Israel.

    Keputusan itu diambil setelah Unit 8200 atau badan mata-mata elit militer, kedapatan melanggar ketentuan layanan perusahaan dengan menyimpan sejumlah besar data pengawasan masyarakat sipil Palestina di platform cloud Azure.

    Berdasarkan laporan The Guardian, Unit 8200 mengumpulkan jutaan panggilan telepon warga sipil Palestina yang dilakukan setiap hari di Gaza dan Tepi Barat, serta melakukan pengawasan ketat terhadap data yang dikumpulkan itu.

    Keputusan untuk menghentikan layanan terhadap Unit 8200 dalam menggunakan beberapa teknologi Microsoft merupakan hasil respons langsung perusahaan terhadap investigasi yang dipublikasikan oleh The Guardian bulan lalu.

    “Investigasi tersebut mengungkap bagaimana Azure digunakan untuk menyimpan dan memproses data komunikasi Palestina dalam program pengawasan massal,” dikutip dari laporan The Guardian, Sabtu (27/9/2025).

    Guardian mengungkapkan bagaimana Microsoft dan Unit 8200 sebetulnya telah bekerja sama dalam rencana untuk memindahkan sejumlah besar materi intelijen sensitif ke Azure.

    Proyek ini dimulai setelah pertemuan pada tahun 2021 antara kepala eksekutif Microsoft, Satya Nadella, dan komandan Unit 8200 saat itu, Yossi Sariel.

    Menanggapi investigasi tersebut, Microsoft memerintahkan penyelidikan eksternal yang mendesak untuk meninjau hubungannya dengan Unit 8200. Temuan awal tersebut kini telah mendorong perusahaan untuk membatalkan akses unit tersebut ke beberapa layanan penyimpanan cloud dan AI miliknya.

    Dilengkapi dengan kapasitas penyimpanan dan daya komputasi Azure yang hampir tak terbatas, Unit 8200 telah membangun sistem baru tanpa pandang bulu yang memungkinkan petugas intelijennya mengumpulkan, memutar ulang, dan menganalisis konten panggilan seluler seluruh populasi.

    Unit 8200 dilaporkan mampu mengumpulkan data satu juta panggilan per jam. Penyimpanan data panggilan yang disadap dalam jumlahnya mencapai 8.000 terabyte disimpan di pusat data Microsoft di Belanda.

    Beberapa hari setelah Guardian menerbitkan investigasi tersebut, Unit 8200 dilaporkan dengan cepat memindahkan data pengawasan tersebut ke luar kawasan Uni Eropa.

    Transfer data besar-besaran itu terjadi pada awal Agustus. Sumber intelijen mengatakan Unit 8200 berencana mentransfer data tersebut ke platform cloud Amazon Web Services. Baik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) maupun Amazon tidak menanggapi permintaan komentar.

    Keputusan Microsoft untuk mengakhiri akses badan mata-mata tersebut ke teknologi utama dibuat di tengah tekanan dari karyawan dan investor terhadap kerja sama perusahaan dengan militer Israel dan peran teknologinya dalam serangan hampir dua tahun di Gaza.

    Komisi penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Israel tetapi didukung oleh banyak ahli hukum internasional.

    Investigasi gabungan The Guardian memicu protes di kantor pusat Microsoft di AS dan salah satu pusat datanya di Eropa, serta tuntutan oleh kelompok kampanye yang dipimpin pekerja bernama No Azure for Apartheid untuk mengakhiri semua hubungan dengan militer Israel.

    Pada hari Kamis lalu, wakil ketua dan presiden Microsoft, Brad Smith, memberi tahu staf tentang keputusan tersebut. Dalam surel yang dilihat oleh Guardian, ia mengatakan perusahaan telah “menghentikan dan menonaktifkan serangkaian layanan untuk sebuah unit di Kementerian Pertahanan Israel”, termasuk layanan penyimpanan cloud dan AI.

    Smith menulis: “Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil. Kami telah menerapkan prinsip ini di setiap negara di dunia, dan kami telah berulang kali menekankannya selama lebih dari dua dekade.”

    Keputusan ini mengakhiri secara tiba-tiba periode tiga tahun kerja badan mata-mata tersebut dengan Microsoft dalam mengoperasikan program pengawasannya menggunakan teknologi perusahaan teknologi raksasa asal AS itu.

    Menurut sebuah dokumen yang dilihat oleh Guardian, seorang eksekutif senior Microsoft mengatakan kepada Kementerian Pertahanan Israel akhir pekan lalu: “Meskipun peninjauan kami masih berlangsung, pada titik ini kami telah mengidentifikasi bukti yang mendukung unsur-unsur pelaporan Guardian.”

    Pihak eksekutif mengatakan kepada pejabat Israel bahwa Microsoft “tidak bergerak di bidang bisnis yang memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil” dan memberi tahu mereka bahwa mereka akan “menonaktifkan” akses ke layanan yang mendukung proyek pengawasan Unit 8200 dan menangguhkan penggunaan beberapa produk AI.

    Penghentian ini merupakan kasus pertama perusahaan teknologi AS menarik layanan yang diberikan kepada militer Israel sejak dimulainya perang di Gaza.

    Keputusan ini tidak memengaruhi hubungan komersial Microsoft yang lebih luas dengan IDF, yang merupakan klien lama dan akan tetap memiliki akses ke layanan lainnya. Penghentian ini sebatas menimbulkan pertanyaan di Israel tentang kebijakan penyimpanan data militer sensitif di cloud pihak ketiga yang di hosting di luar negeri.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Microsoft Putus Akses Layanan Cloud Militer Israel, Ini Alasannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Microsoft, memutus akses layanan teknologi komputasi awan atau cloud Azure terhadap militer Israel.

    Keputusan itu diambil setelah Unit 8200 atau badan mata-mata elit militer, kedapatan melanggar ketentuan layanan perusahaan dengan menyimpan sejumlah besar data pengawasan masyarakat sipil Palestina di platform cloud Azure.

    Berdasarkan laporan The Guardian, Unit 8200 mengumpulkan jutaan panggilan telepon warga sipil Palestina yang dilakukan setiap hari di Gaza dan Tepi Barat, serta melakukan pengawasan ketat terhadap data yang dikumpulkan itu.

    Keputusan untuk menghentikan layanan terhadap Unit 8200 dalam menggunakan beberapa teknologi Microsoft merupakan hasil respons langsung perusahaan terhadap investigasi yang dipublikasikan oleh The Guardian bulan lalu.

    “Investigasi tersebut mengungkap bagaimana Azure digunakan untuk menyimpan dan memproses data komunikasi Palestina dalam program pengawasan massal,” dikutip dari laporan The Guardian, Sabtu (27/9/2025).

    Guardian mengungkapkan bagaimana Microsoft dan Unit 8200 sebetulnya telah bekerja sama dalam rencana untuk memindahkan sejumlah besar materi intelijen sensitif ke Azure.

    Proyek ini dimulai setelah pertemuan pada tahun 2021 antara kepala eksekutif Microsoft, Satya Nadella, dan komandan Unit 8200 saat itu, Yossi Sariel.

    Menanggapi investigasi tersebut, Microsoft memerintahkan penyelidikan eksternal yang mendesak untuk meninjau hubungannya dengan Unit 8200. Temuan awal tersebut kini telah mendorong perusahaan untuk membatalkan akses unit tersebut ke beberapa layanan penyimpanan cloud dan AI miliknya.

    Dilengkapi dengan kapasitas penyimpanan dan daya komputasi Azure yang hampir tak terbatas, Unit 8200 telah membangun sistem baru tanpa pandang bulu yang memungkinkan petugas intelijennya mengumpulkan, memutar ulang, dan menganalisis konten panggilan seluler seluruh populasi.

    Unit 8200 dilaporkan mampu mengumpulkan data satu juta panggilan per jam. Penyimpanan data panggilan yang disadap dalam jumlahnya mencapai 8.000 terabyte disimpan di pusat data Microsoft di Belanda.

    Beberapa hari setelah Guardian menerbitkan investigasi tersebut, Unit 8200 dilaporkan dengan cepat memindahkan data pengawasan tersebut ke luar kawasan Uni Eropa.

    Transfer data besar-besaran itu terjadi pada awal Agustus. Sumber intelijen mengatakan Unit 8200 berencana mentransfer data tersebut ke platform cloud Amazon Web Services. Baik Pasukan Pertahanan Israel (IDF) maupun Amazon tidak menanggapi permintaan komentar.

    Keputusan Microsoft untuk mengakhiri akses badan mata-mata tersebut ke teknologi utama dibuat di tengah tekanan dari karyawan dan investor terhadap kerja sama perusahaan dengan militer Israel dan peran teknologinya dalam serangan hampir dua tahun di Gaza.

    Komisi penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza, sebuah tuduhan yang dibantah oleh Israel tetapi didukung oleh banyak ahli hukum internasional.

    Investigasi gabungan The Guardian memicu protes di kantor pusat Microsoft di AS dan salah satu pusat datanya di Eropa, serta tuntutan oleh kelompok kampanye yang dipimpin pekerja bernama No Azure for Apartheid untuk mengakhiri semua hubungan dengan militer Israel.

    Pada hari Kamis lalu, wakil ketua dan presiden Microsoft, Brad Smith, memberi tahu staf tentang keputusan tersebut. Dalam surel yang dilihat oleh Guardian, ia mengatakan perusahaan telah “menghentikan dan menonaktifkan serangkaian layanan untuk sebuah unit di Kementerian Pertahanan Israel”, termasuk layanan penyimpanan cloud dan AI.

    Smith menulis: “Kami tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil. Kami telah menerapkan prinsip ini di setiap negara di dunia, dan kami telah berulang kali menekankannya selama lebih dari dua dekade.”

    Keputusan ini mengakhiri secara tiba-tiba periode tiga tahun kerja badan mata-mata tersebut dengan Microsoft dalam mengoperasikan program pengawasannya menggunakan teknologi perusahaan teknologi raksasa asal AS itu.

    Menurut sebuah dokumen yang dilihat oleh Guardian, seorang eksekutif senior Microsoft mengatakan kepada Kementerian Pertahanan Israel akhir pekan lalu: “Meskipun peninjauan kami masih berlangsung, pada titik ini kami telah mengidentifikasi bukti yang mendukung unsur-unsur pelaporan Guardian.”

    Pihak eksekutif mengatakan kepada pejabat Israel bahwa Microsoft “tidak bergerak di bidang bisnis yang memfasilitasi pengawasan massal terhadap warga sipil” dan memberi tahu mereka bahwa mereka akan “menonaktifkan” akses ke layanan yang mendukung proyek pengawasan Unit 8200 dan menangguhkan penggunaan beberapa produk AI.

    Penghentian ini merupakan kasus pertama perusahaan teknologi AS menarik layanan yang diberikan kepada militer Israel sejak dimulainya perang di Gaza.

    Keputusan ini tidak memengaruhi hubungan komersial Microsoft yang lebih luas dengan IDF, yang merupakan klien lama dan akan tetap memiliki akses ke layanan lainnya. Penghentian ini sebatas menimbulkan pertanyaan di Israel tentang kebijakan penyimpanan data militer sensitif di cloud pihak ketiga yang di hosting di luar negeri.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump Minta Microsoft Pecat Petingginya Lisa Monaco, Ada Apa?

    Trump Minta Microsoft Pecat Petingginya Lisa Monaco, Ada Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyerukan pemecatan Presiden urusan global Microsoft, Lisa Monaco, pada hari Jumat (26/9).

    Monaco sebelumnya menjabat sebagai wakil jaksa agung di pemerintahan Joe Biden dan penasihat keamanan dalam negeri di pemerintahan Obama. Menurut profil LinkedIn-nya, ia memulai jabatannya sebagai kepala urusan global di Microsoft pada bulan Juli.

    Dalam sebuah postingan di Truth Social, Trump menyebut Monaco sebagai ancaman bagi Keamanan Nasional AS karena kontrak pemerintah Microsoft dan mengatakan izin keamanan pemerintahnya baru-baru ini dicabut.

    “Dia merupakan ancaman bagi Keamanan Nasional AS, terutama mengingat kontrak-kontrak besar yang dimiliki Microsoft dengan Pemerintah Amerika Serikat,” tulis Trump dalam postingan tersebut.

    “Karena banyaknya tindakan Monaco yang salah, Pemerintah AS baru-baru ini mencabut semua Izin Keamanannya, mencabut semua aksesnya ke Intelijen Keamanan Nasional, dan melarangnya dari semua Properti Federal,” tambahnya.

    Terkait hal ini, Microsoft masih tidak bersedia untuk berkomentar.

    Beberapa bagian dari pemerintahan AS menggunakan infrastruktur cloud dan perangkat lunak produktivitas Microsoft. Awal bulan ini, Microsoft setuju untuk menawarkan penghematan sebesar US$ 3,1 miliar dalam satu tahun untuk layanan cloud yang dapat digunakan oleh berbagai lembaga.

    Sebelumnya pada hari Jumat, pembawa acara Fox Business, Maria Bartiromo, menerbitkan postingan berlabel X tentang Monaco yang bergabung dengan Microsoft. Penunjukan tersebut terjadi pada bulan Juli, menurut profil LinkedIn Monaco.

    Unggahan tersebut memuat tautan ke artikel bulan Juli di situs web fakultas hukum Universitas Chicago.

    Pada hari Kamis lalu (25/9/2025), Microsoft mengatakan akan menghentikan langganan penyimpanan berbasis cloud dan kecerdasan buatan untuk sebuah unit militer Israel, setelah menyelidiki klaim bahwa divisi tersebut telah membangun sistem untuk melacak panggilan telepon warga Palestina.

    Sementara itu, NBC News melaporkan, Trump dijadwalkan bertemu dengan Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel. CEO Microsoft Satya Nadella menghadiri jamuan makan malam bersama para eksekutif teknologi lainnya di Gedung Putih awal bulan ini.

    (lih/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Microsoft Blokir Layanan Cloud dan AI untuk Militer Israel

    Jakarta

    Microsoft memblokir akses militer Israel ke layanan cloud dan AI yang dipakai untuk memata-matai warga sipil Palestina. Microsoft mengatakan salah satu unit militer Israel telah melanggar ketentuan layanannya.

    Pemutusan ini diumumkan oleh Vice Chair dan President Microsoft Brad Smith dalam memo internal kepada karyawan. Keputusan ini diambil setelah laporan dari The Guardian bulan lalu yang menemukan pemerintah Israel menyimpan rekaman dan data panggilan telepon yang dilakukan warga Palestina di fasilitas cloud Azure.

    “Sementara peninjauan kami masih berlangsung, kami menemukan bukti yang mendukung elemen laporan The Guardian,” kata Smith, seperti dikutip dari The Verge, Jumat (26/9/2025).

    “Oleh karena itu, kami memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel (IMOD) tentang keputusan Microsoft untuk menguntukkan dan menonaktifkan langganan IMOD tertentu dan layanan mereka, termasuk penggunaan penyimpanan cloud serta layanan dan teknologi AI tertentu,” sambungnya.

    Pemblokiran ini berlaku untuk seperangkat layanan yang digunakan oleh salah satu unit di dalam militer Israel, dan Smith menekankan bahwa Microsoft tidak menyediakan teknologi untuk memfasilitasi pengawasan massal warga sipil.

    Keputusan ini tidak mempengaruhi kontrak Microsoft lainnya dengan pemerintah Israel, dan Smith mengatakan hal ini tidak akan menghentikan pekerjaan Microsoft untuk melindungi keamanan siber Israel dan negara-negara lain di Timur Tengah.

    Microsoft mengambil keputusan ini setelah melakukan penyelidikan eksternal untuk meninjau penggunaan platform cloud Azure oleh unit mata-mata Israel. Keputusan ini juga muncul di tengah tekanan dari karyawan dan investor agar raksasa teknologi itu meninjau ulang hubungannya dengan Israel terkait serangan militer di Gaza.

    Pemblokiran ini disambut positif oleh kelompok aktivis ‘No Azure for Apartheid’ yang memprotes hubungan Microsoft dan Israel dalam setahun terakhir. Namun menurut mereka pemblokiran ini tidak cukup karena Microsoft hanya memutus sebagian kecil layanan untuk satu unit di dalam militer Israel.

    “Sebagian besar kontrak Microsoft dengan militer Israel tetap utuh. Keputusan hari ini justru semakin memotivasi kami untuk terus berorganisir sampai semua tuntutan kami dipenuhi, dan hingga Palestina merdeka,” ujar Hossam Nasr, salah satu anggota kelompok No Azure for Apartheid.

    Kerjasama ini dilaporkan dimulai pada tahun 2021, ketika CEO Microsoft Satya Nadella diduga menyetujui upaya penyimpanan data telepon warga Palestina secara pribadi setelah bertemu dengan komandan dari korps pengawasan militer elit Israel, Unit 8200.

    Nadella dilaporkan memberikan Israel area khusus dan terpisah dalam platform Azure untuk menyimpan panggilan telepon ini, tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari warga Palestina.

    The Guardian melaporkan militer Israel sudah memindahkan sekitar 8TB data dari Azure, tidak lama setelah Microsoft memulai penyelidikannya. Data itu rencananya akan dipindahkan ke platform cloud Amazon Web Services.

    (vmp/rns)

  • Elon Musk Ditendang, 2 Miliarder Makin Kencang Menjilat Donald Trump

    Elon Musk Ditendang, 2 Miliarder Makin Kencang Menjilat Donald Trump

    Jakarta, CNBC Indonesia – Keretakan hubungan Presiden AS Donald Trump dengan miliarder Elon Musk ternyata membuka peluang bagi ‘orang terkaya’ lain. Menurut laporan Financial Times, CEO Meta Mark Zuckerberg dan CEO OpenAI Sam Altman berupaya mendekatkan diri ke Trump.

    Laporan Financial Times ini berbasis informasi dari sumber dalam pemerintahan AS dan perusahaan terkait. Namun, banyak pihak di pemerintahan Trump yang skeptis dengan Zuckerberg dan Altman, sebab keduanya merupakan mantan pendonor Demokrat.

    Seperti diketahui, hubungan Musk dan Trump renggang gara-gara penetapan ‘One Big Beautiful Bill’ yang memangkas insentif pajak untuk mobil listrik. Musk yang merupakan CEO raksasa mobil listrik Tesla terang-terangan mengkritik aturan tersebut.

    Keduanya terlibat adu mulut terbuka secara online. Sejak Mei 2025, Musk juga resmi mengundurkan diri dari posisinya di pemerintahan Trump sebagai kepala Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE).

    Sejak saat itu, Musk dan Trump tak pernah tampil bersama di hadapan publik, kecuali saat keduanya menghadiri upacara peringatan (memorial service) untuk Charlie Kirk yang tewas ditembak pada 10 September 2025.

    Kebersamaan Musk dan Trump disorot dan menunjukkan hubungan yang melunak. Namun, tetap saja Musk dan Trump tidak sedekat dulu.

    Sementara itu, Zuckerberg dan Altman tampak sering mengunjungi Gedung Putih pada tahun ini. Keduanya juga selalu memuji pemerintahan Trump dalam berbagai kesempatan.

    “Di ranah privat, mereka [Zuckerberg dan Altman] mencari dukungan Gedung Putih untuk memperluas peluang komersil dan menghindari tekanan dalam membangun kerajaan AI,” tulis Financial Times dalam laporannya, dikutip Kamis (25/9/2025).

    Sejauh ini, Financial Times melaporkan bahwa kepentingan Zuckerberg dan Altman sejalan dengan Trump. Zuckerberg telah berkomitmen untuk menginvestasikan setidaknya US$600 miliar ke AS hingga 2028.

    Hal ini memungkinkan Trump untuk memamerkan kesuksesan pemerintahannya dalam menggerakkan korporasi besar AS melawan China. Meta dan OpenAI juga sudah mencabut pembatasan penggunaan teknologi AI mereka untuk kebutuhan militer.

    Kedekatan Trump dengan bos-bos raksasa teknologi AS, termasuk Zuckerberg dan Altman, ditunjukkan dengan jamuan makan malam spesial di Gedung Putih. Selain Zuckerberg dan Altman, turut hadir CEO Apple Tim Cook, CEO Microsoft Satya Nadella, pendiri Microsoft Bill Gates, Co-CEO Oracle Safra Catz, dan Co-Founder Google Sergey Brin.

    Upaya Zuckerberg dan Altman untuk mendekati Trump terbukti membawa berkah. Pemerintah AS berkomitmen untuk mengakselerasi izin untuk pembangunan data center super mahal dan ‘haus’ energi yang dibutuhkan dalam pengembangan teknologi AI.

    Meta dan OpenAI juga masuk dalam daftar yang penyuplai AI untuk pemerintah AS yang sudah disetujui.

    Perubahan Dinamika Bos-bos Raksasa Teknologi dan Trump

    Menarik untuk melihat perubahan dinamika antara Altman-Trump dan Zuckerberg Trump.

    Pada 2016 lalu, Altman pernah menuliskan bahwa kemenangan Trump dalam Pemilu terasa seperti “hal terburuk yang terjadi di hidup saya”. Namun, baru-baru ini Altman justru dekat di ‘ketek’ Trump. Ia mengunjungi Arab dan Inggris bersama Trump dan jejeran pejabat negara.

    Saat Trump baru dilantik pada Januari lalu, Altman berdiri bersama sang Presiden baru, pendiri Oracle Larry Ellison, dan CEO SoftBank Masayoshi Son, untuk mengumumkan proyek data center raksasa ‘Stargate’ senilai US$500 miliar.

    Sama seperti Altman, hubungan Zuckerberg dan Trump juga dulunya tak harmonis. Bahkan, Trump sempat berencana memenjarakan Zuckerberg jika pencipta Facebook itu menghalangi upayanya memenangkan Pilpres.

    Namun, kini Zuckerberg juga tunduk pada keinginan Trump. Ia mengubah beberapa kebijakan perusahaan, salah satunya mencaput sistem pengecekan fakta eksternal di platform Meta.

    Trump juga membantu Zuckerberg melawan legislator Uni Eropa yang menargetkan raksasa teknologi melalui ‘Digital Markets Act’ (DMA) dan pemungutan pajak digital.

    Trump tak segan-segan menuliskan di media sosial bahwa pajak digital, aturan layanan digital, dan regulasi pasar digital (yang digaungkan Uni Eropa), dirancang untuk mendiskriminasi teknologi AS.

    Bahaya Jangka Panjang

    Namun, simbiosis mutualisme yang terjalin antara bos-bos raksasa teknologi dengan Trump dinilai sebagian orang sebagai taktik yang berbahaya untuk jangka panjang.

    “Meta akan dihukum saat meja politik berbalik arah,” kata negosiator Brussels, dikutip dari Financial Times.

    “Komisi Eropa memiliki memori institusional yang panjang,” ia menambahkan.

    Nyatanya, saat ini saja kedekatan Meta dengan Gedung Putih tak mampu menyelamatkan perusahaan dari rentetan kasus yang menimpa perusahaan di AS. Misalnya, kasus anti-monopoli yang sedang berkembang, penyelidikan dari FTC, serta pengujian oleh Senator Republik Josh Hawley terkait chatbot berbasis AI.

    Selain itu, masih ada keraguan terkait sikap politik Zuckerberg dan Altman di masa depan saat dinamika berubah pasca midterm tahun depan.

    “Saya rasa mereka tak punya ideologi yang pasti,” kata seseorang yang dekat dengan pemerintahan Trump kepada Financial Times.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bos Microsoft Satya Nadella Takut AI Bisa Hancurkan Perusahaan

    Bos Microsoft Satya Nadella Takut AI Bisa Hancurkan Perusahaan

    Bisnis.com, JAKARTA— CEO Microsoft Satya Nadella secara terbuka mengaku khawatir kecerdasan buatan (AI) justru dapat menghancurkan perusahaannya sendiri. 

    Kekhawatiran itu dia sampaikan dalam pertemuan internal karyawan, di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan pergeseran fokus Microsoft ke investasi miliaran dolar untuk AI.

    Nadella menyinggung kisah Digital Equipment Corporation (DEC), perusahaan komputer yang berjaya pada 1970-an. Namun, kemudian tersingkir karena salah langkah strategis. 

    “Beberapa orang yang berkontribusi pada Windows NT berasal dari laboratorium DEC yang terkena PHK,” katanya dikutip dari laman The Verge pada Senin (22/9/2025). 

    Pernyataan tersebut mencerminkan ketatnya perebutan talenta AI saat ini. Perusahaan-perusahaan teknologi rela menggelontorkan biaya besar untuk membajak tenaga ahli terbaik dari pesaing.

    Suasana di internal perusahaan juga tengah tidak menentu. Ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, sementara yang bertahan diliputi rasa takut akan digantikan oleh teknologi baru. Di sisi lain, Nadella menghadapi tekanan besar untuk memastikan Microsoft tetap relevan di tengah persaingan AI yang semakin sengit.

    Tekanan pada Microsoft makin terasa setelah miliarder Elon Musk meluncurkan proyek AI baru bernama Macrohard bulan lalu. Musk bahkan berspekulasi perusahaan perangkat lunak seperti Microsoft, yang tidak memproduksi perangkat keras, secara teori bisa digantikan sepenuhnya oleh AI.

    Menanggapi hal ini, Nadella menegaskan Microsoft siap beradaptasi, bahkan jika harus merelakan produk yang sudah dicintai puluhan tahun.

    “Semua kategori produk yang mungkin kita cintai selama 40 tahun bisa jadi tidak lagi relevan. Nilai kita ke depan hanya ada jika kita membangun sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan zaman, bukan sekadar terikat pada masa lalu,” katanya. 

    Microsoft masih menegaskan komitmennya pada AI. Tahun ini, perusahaan mengalokasikan dana hingga US$80 miliar atau sekitar Rp1.240 triliun untuk pembangunan pusat data AI. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan investasi yang digelontorkan Google maupun Meta.

    Namun, langkah ini tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hubungan dengan OpenAI. 

    Mitra strategisnya itu kini mendorong perubahan status menjadi perusahaan berorientasi laba sekaligus membutuhkan kapasitas komputasi lebih besar dari yang bisa diberikan Microsoft. Situasi tersebut menekan kerja sama bernilai miliaran dolar yang sudah terjalin.

    Pekan lalu, kedua perusahaan hanya berhasil menandatangani nota kesepahaman yang sifatnya tidak mengikat, sambil berusaha merampungkan kesepakatan resmi.