Tag: Sarifuddin Sudding

  • DPR Sebut Masa Jabatan Kapolri Tidak Bisa Dibatasi Hanya 5 Tahun

    DPR Sebut Masa Jabatan Kapolri Tidak Bisa Dibatasi Hanya 5 Tahun

    Bisnis.com, Jakarta — Masa jabatan Kapolri tidak dapat disatukan dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang hanya 5 tahun. 

    Anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengatakan jika masa jabatan Kapolri disamakan dengan jabatan presiden dan wakil presiden, maka jabatan Kapolri itu menjadi jabatan politik, bukan jabatan karir.

    Menurutnya, jika posisi Kapolri jadi jabatan politik yang hanya dijabat selama 5 tahun, maka Korps Bhayangkara tidak akan netral dan tidak bisa menjadi profesional selama menjalankan tugasnya dan fungsinya.

    “Jadi hal ini tidak hanya berbahaya bagi independensi institusi kepolisian tetapi juga bisa menciptakan politisasi aparat penegak hukum,” ujarnya di sela-sela sidang pleno MK dengan agenda mendengar keterangan DPR di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

    Sarifuddin menjelaskan jabatan Kapolri itu merupakan jabatan karier sehingga berlaku ketentuan batas usia pensiun yaitu 58 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan jabatan Kapolri akan berakhir sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentian menjadi Kapolri merupakan hak prerogratif presiden.

    “Meski tidak ada periodesasi dan berlaku usia pensiun bukan berarti Kapolri tidak bisa diberhentikan sebelum memasuki usia pensiun karena pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak prerogratif presiden,” katanya. 

    Sebelumnya, sejumlah mahasiswa menguji materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). 

    Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. 

    Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.

    Sebagai informasi, para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa. 

    Para Pemohon mengatakan frasa disertai dengan alasannya dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. 

    Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

    Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.

    Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. 

    Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.

  • Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

    Demi Penyadapan Kejagung Jalin Kerja Sama dengan 4 Operator Seluler, Pengamat Minta DPR Awasi

    JAKARTA – Pengamat komunikasi politik dari The London School of Public Relations Communication & Bussines Institute, Ari Junaedi menilai penandatanganan kesepakatan antara Kejagung dengan para operator seluler mengenai penyadapan seperti dua sisi mata uang. Ia pun mendorong DPR RI untuk terus mengawal dan mengawasi kerjasama ini agar penegakan hukum tidak kebablasan.

    Disatu sisi, menurut Ari, kerjasama ini bertujuan mulia, namun di sisi lainnya akan lebih banyak dampak negatifnya. Sisi baiknya, kata Ari, yakni membongkar dugaan potensi kasus fraud dan korupsi. Dengan demikian, aparat kejaksaan bisa maksimal dalam upaya pengungkapannya.

    “Maka kehadiran DPR sebagai pengawas penting untuk memastikan bahwa kerja sama ini betul-betul untuk penegakan hukum, termasuk dalam hal penyadapan yang dilakukan atas bantuan operator seluler,” kata Ari Junaedi, Senin, 30 Juni.

    Seperti diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk untuk membantu penegakan hukum.

    Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.

    Menurut Ari, jika kerja-kerja ini dilakukan dengan baik, maka kejaksaan bisa membantu mengurangi beban Presiden Prabowo Subianto dalam menangkap para koruptor.

    “Apalagi Presiden Prabowo akan mengejar koruptor hingga Kutub Utara sampai Kutub Selatan, malah ke gurun pasir segala. Kepercayaan publik terhadap institusi Kejaksaan pun sedang meningkat, jauh di atas Polri dan KPK,” katanya.

    Namun di sisi lain, Ari menilai, penandatanganan nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler jutsru akan lebih banyak kerugian atau mudaratnya. Menurutnya, penyadapan rawan dengan pelanggaran privasi, mengingat tugas kejaksaan dalam penyadapan kebal dari pengawasan lembaga yang independen.

    “Penyadapan tanpa izin atau tanpa prosedur yang jelas, rawan melanggar hak privasi warga negara,” ucap Ari.

    Belum lagi dari tinjauan power abuse atau penyalahgunaan kekuasaan, lanjut Ari, penyadapan bisa saja dilakukan tanpa alasan yang sah mengingat kejaksaan adalah salah satu instrumen yang dimiliki eksekutif dari rezim yang tengah berkuasa.

    “Dengan mudahnya dilakukan penyadapan oleh kejaksaan, publik semakin distrust terhadap institusi kejaksaan dan operator seluler dalam negeri jika tidak ada transparansi yang jelas,” jelasnya.

    Ari pun menilai, tidak menutup kemungkinan apabila publik kemudian merasa khawatir menggunakan operator selular dalam negeri. “Jadi jangan menyalahkan publik akan memilih layanan operator dari negeri jiran jika resiko keamanan data pribadi warga pengguna seluler dalam negeri tidak dikelola dengan baik,” kata Ari.

    “Publik khawatir data yang diperoleh melalui penyadapan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau afiliasi politik,” sambungnya.

    Oleh karena itu, menurut Ari, masukan Ketua DPR RI Puan Maharani yang menegasakan batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Ia juga mendorong agar DPR mengawasi ketat kerja sama tersebut untuk menghindari dampak buruk MoU Kejagung dan Operator seluler ini.

    “Publik tidak saja bersandar dari dukungan akademisi dan penggiat demokrasi saja, tetapi harus meminta dukungan politik dari parlemen. Untuk itu, DPR harus memastikan kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler dijalankan dengan transparan, akuntabel dan apakah selaras dengan Undang-Undang tentang ITE dan Udang- Undang tentang Komunikasi,” katanya.

    Adapun Kejagung menjelaskan kerja sama dengan operator telekomunikasi sejalan dengan UU No.11/2021 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

    Ari sepakat dengan DPR yang mewanti-wanti agar kerja sama soal Kejagung dan operator seluler dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang ada. Hal itu juga sempat disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding.

    “Jangan sampai nota kesepakatan Kejaksaan Agung dengan para operator seluler yang bersifat khusus dan teknis melabrak aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya,” ungkap Ari.

    Ari juga mendukung jika para wakil rakyat bersikap kritis dan korektif terhadap potensi pencideraan demokratis warga terkait kerja sama Kejagung dan operator ini, khususnya dalam hal penyadapan.

    “Kalau perlu DPR bisa ‘menekan’ Kejaksaan dan para operator seluler agar penyadapan yang dilakukan benar-benar tidak melanggar aturan dengan pengawasan badan independen,” pungkasnya.

  • Kejagung Kini Bisa Sadap Nomor Telkomsel, Indosat, XL, hingga Smartfren

    Kejagung Kini Bisa Sadap Nomor Telkomsel, Indosat, XL, hingga Smartfren

    PIKIRAN RAKYAT – Kejaksaan Agung RI resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan empat raksasa telekomunikasi Indonesia: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), PT Indosat Tbk., dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk.

    MoU ini membuka jalan bagi Jamintel Kejaksaan untuk memasang dan mengoperasikan perangkat penyadapan informasi, dengan tujuan utama mendukung penegakan hukum.

    Penyadapan Demi Penegakan Hukum

    Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani menjelaskan kerja sama ini merupakan langkah strategis untuk mendukung tugas intelijen kejaksaan yang berfokus pada pengumpulan data dan informasi hukum.

    “Saat ini business core intelijen kejaksaan berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya sebagai bahan untuk dianalisis, diolah, dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan organisasi,” kata Reda, Kamis 26 Juni 2025.

    Menurutnya, data valid dengan kualifikasi nilai A1 sangat krusial, terutama untuk mengejar buronan, mendalami kejahatan digital, hingga menyusun analisis komprehensif kejahatan lintas sektor.

    Punya Dasar Hukum

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menegaskan penyadapan ini sepenuhnya sah secara hukum, mengacu pada Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Undang-undang tersebut memang mengatur intersepsi untuk penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lain.

    “Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung membantu itu sehingga perlu dikerjasamakan,” ucap Harli di Jakarta, Kamis 26 Juni 2025.

    Contoh nyatanya, kata dia, adalah upaya penelusuran Daftar Pencarian Orang (DPO) yang sering memerlukan pelacakan intensif melalui nomor telepon.

    Meski demikian, Harli menegaskan publik tidak perlu khawatir ruang privasi akan diterobos tanpa batas.

    “Dalam konteks ini, tentu tidak membatasi ruang privasi publik karena itu tidak boleh,” ujarnya.

    Puan Ingatkan Batas Privasi

    Di sisi lain, Ketua DPR RI Puan Maharani langsung mengingatkan Kejagung agar memastikan perlindungan data pribadi warga negara tetap terjaga.

    “Penegakan hukum sangat penting, tetapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” kata Puan.

    Puan menekankan kolaborasi teknologi seperti ini harus berjalan dalam koridor akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan hak sipil.

    “Kemajuan teknologi harus menjadi sahabat demokrasi dan tidak boleh berubah menjadi pengawasan,” ujarnya..

    DPR Wanti-Wanti Penyalahgunaan Wewenang

    Peringatan senada datang dari Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding. Ia mendukung penegakan hukum berbasis teknologi, tetapi meminta agar mekanisme penyadapan benar-benar diawasi ketat.

    “Upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat. Penegak hukum tidak boleh serta merta melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas,” kata Sudding.

    Menurutnya, dalam negara hukum yang demokratis, penyadapan hanyalah opsi luar biasa yang harus dijalankan sesuai kerangka undang-undang, demi menjaga kepercayaan publik.

    Poin Pengawasan Disorot

    Anggota Komisi III DPR lainnya, Martin Tumbelaka, juga menyoroti perlunya akuntabilitas prosedural. Ia mendukung MoU ini asal disertai pengawasan ketat dan keterlibatan lembaga independen seperti Komnas HAM dan Komisi Informasi.

    “Kerja sama ini harus dibarengi mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang,” tutur Martin.

    Ia menambahkan, penyadapan harus dibatasi hanya untuk kasus pidana berat, terutama korupsi dan pencucian uang, melalui mekanisme perizinan dan evaluasi berkala.

    Transparansi Jadi Kunci

    Baik publik maupun anggota DPR sepakat: penyadapan sah dilakukan demi keadilan, asalkan tetap dalam rel hukum dan dilakukan secara transparan.

    “Demokrasi digital harus dibangun dengan kebijakan yang bukan hanya cepat dan efisien, tetapi juga beradab dan menjunjung tinggi etika hukum,” ujar Sudding.***

  • Kejagung Diingatkan Tak Lakukan Penyadapan Tanpa Tujuan Hukum Jelas
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Juni 2025

    Kejagung Diingatkan Tak Lakukan Penyadapan Tanpa Tujuan Hukum Jelas Nasional 27 Juni 2025

    Kejagung Diingatkan Tak Lakukan Penyadapan Tanpa Tujuan Hukum Jelas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota
    Komisi III
    DPR Sarifuddin Sudding menyoroti langkah
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) yang menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan empat
    operator telekomunikasi
    terkait
    penyadapan
    dan akses data.
    Ia mengingatkan, agar kerja sama tersebut tidak dijadikan tempat bagi Kejagung untuk melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas.
    “Upaya penegakan hukum jangan sampai melanggar privasi masyarakat. Penegak hukum tidak boleh serta merta melakukan penyadapan tanpa tujuan hukum yang jelas, dan tentunya harus memenuhi kriteria dan mekanisme yang ada,” ujar Sudding lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).
    Ia menjelaskan, penyadapan merupakan sesuatu yang sensitif yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
    Kedua peraturan perundang-undangan tersebut mewajibkan adanya prosedur hukum yang sah dan terukur untuk melakukan penyadapan, bukan sekadar kesepakatan administratif.

    Penyadapan
    dan akses terhadap komunikasi pribadi merupakan tindakan yang sangat sensitif, sehingga harus dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Sudding.
    Tegasnya, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan sektor telekomunikasi bergantung kepada perlindungan hak warga negara.
    Ia berharap kerja sama antara Kejagung dan empat operator telekomunikasi ini menjadi awal dari sistem peradilan digital yang modern, adil, dan tetap menjunjung tinggi etika hukum.
    “Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum maupun sektor telekomunikasi sangat bergantung pada sejauh mana hak-hak warga dihormati dalam setiap proses,” ujar politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
    Diketahui, Kejagung meneken kerja sama atau nota kesepakatan dengan empat operator telekomunikasi terkait dengan dukungan penegakan hukum.
    Empat operator seluler tersebut, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xlsmart Telecom Sejahtera Tbk.
    Kejagung menyebut kerja sama ini berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data atau informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi serta penyediaan rekaman informasi telekomunikasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Miris! Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan, DPR Soroti Kegagalan Hukum

    Miris! Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan, DPR Soroti Kegagalan Hukum

    Jakarta, Beritasatu.com – Kasus tragis kembali mencoreng institusi kepolisian. Seorang anggota Polsek Wewewa Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), berinisial Aipda PS, ditahan oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya setelah diduga memperkosa korban pemerkosaan yang tengah melapor ke kantor polisi.

    Insiden memilukan ini terjadi ketika seorang perempuan berinisial MML (25) mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo pada 2 Maret 2025.

    Namun, alih-alih mendapatkan keadilan, MML justru menjadi korban kedua kalinya oleh aparat penegak hukum.

    DPR Soroti Kegagalan Sistem Hukum

    Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding menilai, peristiwa ini adalah bentuk kegagalan sistemik paling nyata dari sistem hukum di Indonesia.

    Ia mengecam keras tindakan pelaku dan menyebut bahwa hal ini mencerminkan bobroknya pengawasan serta pembinaan internal dalam institusi Polri.

    “Ini adalah bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng keadilan rakyat,” kata Sudding, Selasa (10/6/2025).

    Menurutnya, kantor polisi seharusnya menjadi tempat paling aman bagi masyarakat, bukan tempat yang mengancam korban. Kasus ini menunjukkan kerapuhan moral dan sistem pengawasan terhadap aparat yang berwenang.

    “Korban datang untuk mencari keadilan, malah diperkosa oleh orang yang seharusnya melindungi. Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi kejahatan pidana berat,” ucapnya.

    Sudding mendesak agar kasus ini tidak cukup diselesaikan lewat sidang etik internal Polri. Ia menuntut proses hukum terbuka dan sanksi maksimal.

    “Tak bisa hanya diberi teguran atau sanksi ringan. Pelaku harus diadili di pengadilan umum, dengan proses yang transparan dan bisa diawasi masyarakat,” tegasnya.

    Kasus Terungkap Lewat Media Sosial

    Kasus ini pertama kali mencuat ke publik setelah unggahan viral di Facebook pada Kamis (5/6/2025). Dalam unggahan itu, MML mengungkapkan bahwa dia menjadi korban pemerkosaan oleh polisi saat melapor sebagai korban.

    Aipda PS bahkan diduga mengancam MML agar tidak membocorkan peristiwa tersebut, tetapi MML akhirnya berani bersuara di media sosial.

    Setelah viral, Propam Polres Sumba Barat Daya langsung menahan Aipda PS untuk menjalani pemeriksaan intensif. Publik kini menanti langkah tegas dari Polri dan proses hukum di pengadilan.

    Kasus pemerkosaan oleh anggota polisi terhadap korban di NTT ini menjadi pengingat keras bahwa reformasi hukum dan pengawasan internal Polri masih menjadi pekerjaan rumah besar. Kantor polisi harus kembali menjadi tempat aman bagi masyarakat, bukan sumber ketakutan baru, terutama bagi para korban kejahatan seksual.

  • 5
                    
                        Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan, DPR: Kegagalan Telanjang Sistem Hukum
                        Nasional

    5 Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan, DPR: Kegagalan Telanjang Sistem Hukum Nasional

    Polisi Perkosa Korban Pemerkosaan, DPR: Kegagalan Telanjang Sistem Hukum
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menilai kasus pencabulan korban pemerkosaan oleh oknum polisi di Nusa Tenggara Timur (
    NTT
    ) sebagai bentuk
    kegagalan sistem hukum
    .
    Terlebih, kasus tersebut terjadi saat korban pemerkosaan sedang melaporkan peristiwa pemerkosaan yang dialaminya di kantor polisi, yakni
    Polsek Wewewa Selatan
    .
    “Kasus ini merupakan bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat. Seharusnya kantor polisi menjadi tempat paling aman bagi rakyat, tapi ini malah sebaliknya,” ujar Sudding, Selasa (10/6/2025).
    Politikus PAN itu berpandangan bahwa peristiwa ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, khususnya institusi Polri.
    Sebab, tindakan pelaku berinisial Aipda PS bukan hanya masuk dalam ranah tindak pidana, tetapi telah mencoreng institusi Polri dan mencederai rasa keadilan.
    “Seorang warga negara datang ke kantor polisi karena telah menjadi korban kejahatan seksual. Tapi alih-alih mendapat perlindungan, dia justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung,” ucap Sudding.
    Dia meyakini bahwa kasus ini menjadi bukti adanya kegagalan sistemik dalam pembinaan personel, tak terkecuali dalam pengawasan di internal aparat penegak hukum.
    “Jika kantor polisi berubah menjadi tempat pelecehan, maka seluruh konsep negara hukum sedang dalam bahaya,” kata Sudding.
    Sudding pun mendesak agar kasus pemerkosaan tersebut tidak hanya diselesaikan lewat mekanisme pelanggaran kode etik.
    Pelaku harus diadili di peradilan umum dan dihukum berat.
    “Tak bisa hanya diselesaikan dalam sidang etik atau diberi teguran atau sanksi ringan saja. Karena ini adalah kejahatan pidana, bukan hanya pelanggaran disiplin. Pelakunya harus diadili di pengadilan umum, dengan proses yang bisa diawasi oleh masyarakat,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, seorang anggota Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT berinisial Aipda PS, resmi ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya.
    Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap seorang korban pemerkosaan yang melapor ke kantor polisi.
    Peristiwa ini mencuat ke publik usai sebuah unggahan viral di media sosial Facebook pada Kamis (5/6/2025).
    Unggahan tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan berinisial MML (25) menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh anggota polisi saat melapor sebagai korban pemerkosaan ke Polsek Wewewa Selatan.
    Kapolres Sumba Barat Daya, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Harianto Rantesalu, membenarkan adanya laporan dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri tersebut.
    Ia menyatakan bahwa Aipda PS kini telah menjalani penahanan khusus selama 30 hari ke depan sambil menunggu proses selanjutnya.
    “Aipda PS telah dikenakan penahanan khusus oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya terhitung sejak hari ini, untuk jangka waktu 30 hari ke depan, sambil menunggu proses sidang Kode Etik Profesi Polri,” kata Harianto saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
    Ke Polsek untuk laporkan kasus pemerkosaan
    Kasus bermula pada 2 Maret 2025 sekitar pukul 21.00 Wita, ketika MML mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan.
    Saat memberikan keterangan, MML diperiksa oleh Aipda PS.
    Namun, dalam proses pemeriksaan tersebut, MML diduga justru menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota polisi yang menangani laporannya.
    Setelah peristiwa itu, Aipda PS disebut meminta MML untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun.
    Namun, MML akhirnya memberanikan diri untuk bersuara.
    Unggahan mengenai kasus ini menyebar luas di media sosial hingga menuai perhatian publik.
    AKBP Harianto menambahkan bahwa Aipda PS sudah diperiksa oleh anggota Provos dan saat ini tengah menjalani proses hukum internal.
    “Berdasarkan pengakuan yang bersangkutan dalam Berita Acara Interogasi (BAI) oleh Seksi Propam Polres Sumba Barat Daya, saat ini kasus tersebut sedang dalam penanganan lebih lanjut,” ungkap Harianto.
    Kapolres menegaskan bahwa institusinya tidak akan menoleransi setiap bentuk pelanggaran oleh anggota, terutama yang mencoreng nama baik institusi Polri, apalagi terkait tindak pelecehan seksual oleh anggota polisi.
    “Kami atas nama institusi Polri, khususnya Polres Sumba Barat Daya, menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat atas kejadian ini. Kami sangat menyesalkan perbuatan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota kami dan berkomitmen untuk menangani kasus ini secara profesional dan sesuai prosedur hukum yang berlaku,” ujar Harianto.
    Ia menegaskan bahwa Polri akan tetap profesional, objektif, dan transparan dalam menangani kasus ini, sesuai ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Susunan Pengurus PAN 2024-2029: Zulhas Tetap Ketum, Trenggono Waketum

    Susunan Pengurus PAN 2024-2029: Zulhas Tetap Ketum, Trenggono Waketum

    Bisnis.com, Jakarta — Partai Amanat Nasional (PAN) telah mengumumkan susunan kepengurusan terbaru untuk periode 2024-2029. Zulkifli Hasan tercatat menduduki posisi sebagai Ketua Umum PAN.

    Selain Zulhas, raja menara BTS sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono ditunjuk menjadi Wakil Ketua Umum PAN.

    Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan di sela-sela acara Halal Bihalal yang digelar di Rumah DPP PAN Jakarta Selatan, hari ini Minggu 20 April 2025.

    Tidak hanya Wahyu Sakti Trenggono yang ditunjuk menjadi wakil ketua umum, tetapi masih ada tujuh wakil ketua umum lainnya yaitu Viva Yoga Mauladi, Yandri Susanto, Zita Anjani, Eddy Soeparno, Nazaruddin Dek Gam, Saleh Partaonan Daulay, dan Priyo Budi Santoso.

    Sementara itu, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dipercayakan mengisi posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PAN. Sementara posisi Bendahara Umum DPP PAN diisi oleh Pangeran Khaerul Saleh.

    Bapillu DPP PAN:

    Wilayah Jabar, Jatim, NTT, NTB, Bali: Bima Arya
    Jawa Tengah: Sakti Wahyu Trenggono
    DKI Jakarta, Sumatra, Yogyakarta: Budi Santoso
    Badan Pengawas & Disiplin Partai: Putri Zulkifli Hasan
    Badan Strategis & Komunikasi: Zita Anjani
    Badan Pencalegan: Desy Ratnasari
    Badan Advokasi: Sarifuddin Sudding
    Badan Pemberdayaan Perempuan & Anak: Lula Kamal
    BSN (Badan Saksi Nasional): Erwin Izharuddin
    Badan Luar Negeri: Eddy Soeparno dan Uya Kuya
    Badan Seni dan Budaya: Sigit Purnomo (Pasha Ungu)
    Badan Kepemudaan dan Olahraga: Verrel Bramastya, Rasyid Rajasa dan Abdul Hakim Bafagih
    Badan Pendidikan Nasional: Dewi Coryati
    Badan Gubungan Antar Lembaga: Priyo Budi Santoso, Sudibyo dan Simon Petrus Kamlasi
    Badan Tenaga Kerja: Muazzim Akbar
    Badan Instruktur Nasional: Didik J Rachbini 
    Badan Pemberdayaan Bantu Desa: Intan Fauzi dan Herry Dermawan
    Badan Sosial: A. Bakri dan Farah Putri Nahlia
    Badan Pengkaderan dan Amanat Academy: Saleh Daulay dan Arizal Tom Liwafa
    Badan Pembinaan Organisasi dan Keanggotan: Viva Yoga Mauladi dan Tedi Kurniawan

  • Zulkifli Hasan Umumkan Susunan Pengurus DPP PAN Periode 2024–2029​, Ini Daftarnya – Halaman all

    Zulkifli Hasan Umumkan Susunan Pengurus DPP PAN Periode 2024–2029​, Ini Daftarnya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas) telah mengumumkan susunan pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN untuk periode 2024–2029. Pengumuman ini disampaikan dalam acara halal bihalal yang digelar di Kantor DPP PAN, Jakarta, pada Minggu (20/4/2025).​

    Susunan pengurus ini merupakan hasil dari Kongres ke-VI PAN yang berlangsung pada 23 Agustus 2024, di mana Zulhas terpilih kembali sebagai Ketua Umum secara aklamasi, melanjutkan kepemimpinannya sejak 2015.

    Dalam struktur kepengurusan baru pan ini, sejumlah tokoh lama tetap menempati posisi strategis, didampingi oleh sejumlah wajah baru.​

    Berikut adalah susunan lengkap DPP PAN periode 2024–2029:

    Ketua Umum: Zulkifli Hasan​

    Wakil Ketua Umum:

    Viva Yoga Mauladi
    Yandri Susanto
    Zita Anjani
    Eddy Soeparno
    Saleh Partaonan Daulay
    Nazaruddin Dek Gam
    Sakti Wahyu Trenggono
    Priyo Budi Santoso​

    Sekretaris Jenderal: Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio)​

    Bendahara Umum: Pangeran Khaerul Saleh​

    Badan Pemenangan Pemilu:

    Wilayah Banten, Papua, Maluku: Yandri Susanto
    Wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, Bali: Bima Arya Sugiarto
    Wilayah Jawa Tengah: Sakti Wahyu Trenggono
    Wilayah Sulawesi: Ashabul Kahfi
    Wilayah DKI Jakarta, Sumatra, Yogyakarta: Budi Santoso​

    Badan Pengawas dan Disiplin Partai:

    Badan Strategis dan Komunikasi Partai:

    Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan:

    Ketua: Viva Yoga Mauladi
    Wakil Ketua: Tedi Kurniawan​

    Badan Pencalegan:

    Ketua: Desy Ratnasari
    Wakil Ketua: Slamet Nur Achmad​

    Badan Advokasi:

    Ketua: Sarifuddin Sudding
    Wakil Ketua: Endang Agustina

    Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak:

    Ketua: Lula Kamal
    Wakil Ketua: Nisya Ahmad​

    Badan Saksi Nasional (BSN):

    Ketua: Erwin Izharuddin​

    Badan Pengkaderan dan Amanat Academy:

    Ketua: Saleh Daulay
    Wakil Ketua: Arizal Tom Liwafa​

    Badan Sosial:

    Ketua: A. Bakri
    Wakil Ketua: Farah Putri Nahlia

    Badan Pendidikan Nasional:

    Badan Pemberdayaan Bantu Desa:

    Ketua: Intan Fauzi
    Wakil Ketua: Herry Dermawan​

    Badan Luar Negeri:

    Ketua: Eddy Soeparno
    Wakil Ketua: Surya Utama (Uya Kuya)​

    Badan Sayap Partai:

    Badan Pengembangan Seni dan Budaya:

    Ketua: Sigit Purnomo (Pasha Ungu)​

    Badan Kepemudaan dan Olahraga:

    Ketua: Verrel Bramastya
    Wakil Ketua: Abdul Hakim Bafagih

    Badan Instruktur Nasional:

    Ketua: Didik J Rachbini​

    Badan Tenaga Kerja:

    Badan Hubungan Antar Lembaga:

    Ketua: Priyo Budi Santoso
    Wakil Ketua: Simon Petrus Kamlasi​

    Dengan terbentuknya struktur kepengurusan ini, PAN diharapkan dapat lebih solid dan efektif dalam menjalankan peran politiknya, serta memperkuat kontribusinya dalam pembangunan bangsa.

  • Sulit Terapkan SIM Berlaku Seumur Hidup, Kompetensi Berkendara Harus Diuji

    Sulit Terapkan SIM Berlaku Seumur Hidup, Kompetensi Berkendara Harus Diuji

    Jakarta

    Pereli nasional Rifat Sungkar angkat bicara soal wacana SIM (Surat Izin Mengemudi) berlaku seumur hidup. Sebelumnya wacana tersebut dilontarkan oleh anggota DPR RI, Sarifuddin Sudding, pada November 2024 lalu.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Korlantas Polri (4/11/2024), Sudding meminta agar usulan SIM seumur hidup, dipertimbangkan kembali. Sudding menilai, perpanjangan SIM yang dilakukan lima tahun sekali justru membebani masyarakat. Apalagi, menurut Sudding, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari proses perpanjangan SIM tidak seberapa.

    “Dulu saya pernah menyoroti, menyangkut masalah perpanjangan SIM, STNK dan TNKB. Karena kalau lihat realisasi atau target perpanjangan SIM, STNK dan TNKB ini tak seberapa. Tapi kadang membuat masyarakat juga yang sering dalam hal pengurusan perpanjangan ini, itu mengalami di satu sisi banyak hambatan-hambatan yang ada di situ,” kata Sudding.

    Untuk itu, Sudding kembali mengusulkan perpanjangan SIM tidak ada lagi. Kata Sudding, SIM harusnya bisa berlaku seumur hidup, seperti KTP. “Supaya tidak membebani masyarakat. Karena ini kan hanya untuk kepentingan vendor. Ini selembar SIM, ukurannya tidak seberapa, STNK tidak seberapa, tapi biayanya sangat luar biasa. Dan itu dibebankan kepada masyarakat. Dan saya minta dalam forum ini agar dikaji ulang. Perpanjangan SIM, STNK, TNKB cukup sekali. Supaya meringankan beban masyarakat, sama kayak KTP, KTP itu kan berlaku seumur hidup. SIM juga harus begitu, berlaku seumur hidup,” ujarnya lagi.

    Lebih lanjut, kalau pemegang SIM melakukan pelanggaran lalu lintas, sanksinya jangan tanggung-tanggung. Sekali-dua kali melakukan pelanggaran, tandai SIM-nya. Lalu kalau tiga kali melakukan pelanggaran, maka SIM harus dicabut.

    “Kalau terjadi pelanggaran cukup dibolongin aja, tiga kali dibolongin sudah, tak perlu lagi (mengemudi) sekian tahun baru kemudian bisa mendapatkan SIM,” usul Sudding.

    Ilustrasi Surat Izin Mengemudi (SIM) Foto: Rifkianto Nugroho

    Kata Rifat Sungkar soal Usulan SIM Berlaku Seumur Hidup

    Rifat Sungkar tidak setuju dengan usulan tersebut. Rifat yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Mobilitas Ikatan Motor Indonesia (IMI) mengatakan, kompetensi seorang pengendara sejatinya wajib untuk selalu dicek atau diuji kembali selama periode tertentu.

    “Saya agak tidak setuju. Karena sebagai orang yang punya kompetensi, maka dia juga harus diuji kembali kompetensinya berdasarkan kemampuan (terkini),” kata Rifat kepada wartawan di Bogor, Senin (13/1/2025).

    Andai pemerintah ingin memberlakukan SIM seumur hidup, kata Rifat, mungkin yang bisa dilakukan adalah membuat kartu fisiknya saja yang berlaku seumur hidup, lalu pemegang SIM tetap harus melakukan tes evaluasi atau uji kompetensi ulang setiap lima tahun.

    “Mungkin di umur tertentu boleh lakukan itu, kayak KTP seumur hidup, kalau umur pemegang SIM sudah di atas beberapa puluh tahun, mungkin ya. Tapi kalau sekarang berdasarkan dengan situasi yang ada, menurut saya sih, SIM, kalau kartunya boleh (berlaku) seumur hidup, itu nggak apa-apa, tapi pemegang SIM tetap harus lewati tes evaluasi untuk bisa membuat ‘barang’ (SIM) itu valid (berlaku) kan,” tambah Rifat.

    (lua/dry)

  • SIM Berlaku Seumur Hidup Tidak di Tahun 2025

    SIM Berlaku Seumur Hidup Tidak di Tahun 2025

    Jakarta, CNN Indonesia

    Masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) per lima tahun mendapat perhatian sejumlah pihak karena kepengurusannya dinilai memberatkan masyarakat.

    Bahkan Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding mengusulkan masa berlaku SIM sama seperti penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berlaku seumur hidup.

    “Saya minta dalam forum ini agar dikaji ulang perpanjangan SIM, STNK, dan TNKB cukup sekali,” kata Sudding saat rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Irjen Polisi Aan Suhanan di Jakarta beberapa waktu lalu.

    Tak hanya Sudding, Anggota Komisi III Fraksi Demokrat Benny K. Harman dalam mengungkapkan proses perpanjangan SIM sangat menyengsarakan masyarakat karena memakan waktu dan banyak biaya.

    Ia mencontohkan salah satu kasus yang ditemuinya, di mana warga salah satu kabupaten di NTT harus mengurus perpanjangan SIM jauh-jauh ke Kupang sebab mesin cetak SIM di daerahnya mengalami kerusakan.

    “Di daerah saya di NTT, provinsi kepulauan, untuk memperpanjang SIM saja harus datang ke Kupang. Ada SIM tertentu yang di kabupaten lah. Di kabupaten saja susah, tiba-tiba mesin rusak, SIM tidak bisa diperpanjang,” ujarnya dikutip dari YouTube.

    Namun usulan tersebut tak bisa direalisasikan menurut Polri. Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan. Ia mengatakan bahwa pemilik SIM harus memiliki keterampilan yang setiap 5 tahun harus diuji.

    Ia juga menjelaskan SIM tak bisa berlaku seumur hidup karena pertimbangan dalam kurun 5 tahun seseorang bisa berganti identitas ataupun alamat.

    Ke depan, polisi sudah menyiapkan aturan yakni sistem poin SIM yang mana jika pemegang SIM telah mencapai batas jumlah poin maksimal melakukan pelanggaran lalu lintas maka wajib melakukan uji SIM ulang atau dicabut hak kepemilikannya.

    Poin ini termasuk jika seorang pemegang SIM mengalami kecelakaan berat yang berpengaruh pada poin pelanggaran dan wajib test ulang SIM.

    “Satu orang pemegang SIM diberikan 12 poin kemudian dipotong ketika melakukan pelanggaran. Ketika melakukan pelanggaran sedang 3 poin. Kalau habis harus dicabut,” kataAan, Kamis (5/12).

    Usulan SIM berlaku seumur hidup ini sebelumnya pernah diajukan ke Mahkamah Konsitusi. Namun usulan ini ditolak pada14 September 2023.

    (can/mik)

    [Gambas:Video CNN]