Tag: Sanae Takaichi

  • Tegang dengan Jepang, Kapal Penjaga Pantai China Melintas di Senkaku

    Tegang dengan Jepang, Kapal Penjaga Pantai China Melintas di Senkaku

    Jakarta

    Formasi kapal Penjaga Pantai (Coast Guard) China melintasi perairan Kepulauan Senkaku pada Minggu waktu setempat. Coast Guard China menyatakan ini sebagai ‘patroli penegakan hak’ di tengah meningkatnya ketegangan China dan Jepang buntut pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi soal Taiwan.

    Dilansir Reuters, Minggu (16/11/2025), perseteruan diplomatik China dan Jepang semakin memanas sejak PM Takaichi mengatakan kepada Parlemen Jepang bahwa serangan hipotetis China terhadap Taiwan yang diperintah secara demokratis dapat memicu respons militer dari Tokyo.

    Pernyataan tersebut kemudian memicu kemarahan dari Beijing, yang mengisyaratkan bahwa mereka berharap Takaichi akan menarik kembali pernyataan tersebut.

    China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya dan tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan untuk menguasai pulau tersebut, yang terletak hanya 110 km (68,35 mil) dari wilayah Jepang. Namun Pemerintah Taiwan menolak klaim kedaulatan Beijing.

    “Formasi kapal Penjaga Pantai Tiongkok 1307 melakukan patroli di perairan teritorial Kepulauan Diaoyu. Ini adalah operasi patroli yang sah yang dilakukan oleh Penjaga Pantai China untuk menegakkan hak dan kepentingannya,” demikian pernyataan itu.

    China dan Jepang telah berulang kali berseteru di sekitar kepulauan yang dikelola Jepang, yang disebut Beijing sebagai Diaoyu dan Tokyo sebagai Senkaku. Kedutaan Besar Jepang di Beijing belum memberikan tanggapan mengenai hal itu.

    Beijing kemudian memanggil duta besar Jepang untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun. Kementerian Pertahanan China menyatakan bahwa intervensi Jepang apa pun pasti akan gagal.

    Pada Jumat kemarin, China memperingatkan warganya agar tidak bepergian ke Jepang. Hal itu dibalas Tokyo, yang mendesak Beijing mengambil ‘tindakan yang tepat’ meskipun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Tiga maskapai penerbangan China mengatakan pada hari Sabtu bahwa tiket ke Jepang dapat dikembalikan dananya atau diubah secara gratis.

    Di Taiwan, Kementerian Pertahanan mengatakan pada Minggu pagi bahwa mereka telah mendeteksi 30 pesawat militer China yang beroperasi di sekitar pulau itu dan tujuh kapal angkatan laut selama 24 jam terakhir.

    Sabtu malam, Kementerian Pertahanan menyampaikan China telah melakukan ‘patroli tempur gabungan’ lainnya untuk ‘mengganggu wilayah udara dan laut di sekitar kita’. Taiwan telah mengirimkan pesawat dan kapalnya sendiri untuk memantau situasi. Taiwan melaporkan patroli Chinasemacam itu beberapa kali sebulan sebagai bagian dari apa yang disebutnya sebagai kampanye tekanan militer yang sedang berlangsung.

    Pemerintah Taiwan mengatakan hanya rakyat pulau itu yang dapat menentukan masa depannya.

    Tonton juga video “Imbas Topan Kalmaegi, Bangkai Kapal Abad ke-14 Muncul di Pantai Vietnam”

    (knv/gbr)

  • Jepang Protes Imbauan Perjalanan China Buntut Pernyataan soal Taiwan

    Jepang Protes Imbauan Perjalanan China Buntut Pernyataan soal Taiwan

    Jakarta

    Jepang menyampaikan keberatan setelah China menyerukan warganya untuk menghindari kunjungan ke Jepang. Perseteruan imbas komentar pemimpin baru Jepang, Sanae Takaichi, soal Taiwan ini belum menunjukkan tanda-tanda reda.

    Dikutip dari AP News, Minggu (16/11/2025), pemerintah di Tokyo melayangkan protes melalui juru bicara utamanya, Kepala Sekretaris Kabinet Minoru Kihara. Dia mendesak China untuk mengambil ‘langkah yang semestinya’ seperti dalam laporan Kyodo News Service.

    China sebelumnya meminta warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Jepang dalam waktu dekat. China mengutip adanya serangan terhadap warganya di Jepang dan menyebut pernyataan PM Takaichi tentang Taiwan sebagai ‘pernyataan keliru’ yang merusak hubungan bilateral.

    Minoru Kihara mengatakan bahwa justru karena adanya perbedaan antara kedua pemerintah, komunikasi berlapis-lapis itu sangat penting.

    Bukan kali ini saja China meminta warganya berhati-hati terhadap keamanan selama berada di Jepang. Imbauan telah disampaikan berulang kali selama setahun terakhir.

    Namun imbauan terbaru ini terlihat lebih kuat karena menyarankan agar tak melakukan perjalanan, seperti dalam pemberitahuan di situs Kedutaan Besar China di Tokyo.

    Untuk diketahui, Jepang merupakan tujuan wisata yang sangat populer bagi para turis China. Hal itu memberikan dorongan ekonomi yang penting tapi juga memicu sentimen anti-China dan anti-orang asing di kalangan sebagian masyarakat.

    Perihal imbauan terbaru yang dikeluarkan China, belum diketahui secara jelas bagaimana dampaknya terhadap kunjungan wisatawan. Namun beberapa maskapai China dilaporkan menawarkan pengembalian dana tanpa penalti untuk tiket yang telah dibeli sebelumnya setelah pengumuman pemerintah itu.

    Hubungan Jepang dan China

    Perselisihan Jepang dan China ini menandakan bahwa hubungan kedua negara yang sudah rapuh dapat semakin goyah di bawah kepemimpinan PM Takaichi. Hal itu disebabkan oleh pernyataannya yang mendukung peningkatan kemampuan militer untuk mengantisipasi potensi ancaman dari Beijing dan klaim-klaim teritorialnya di perairan sengketa di kawasan Pasifik barat.

    Berbicara di parlemen, Takaichi mengatakan bahwa serangan China terhadap Taiwan dapat dianggap sebagai ‘ancaman eksistensial’ bagi Jepang sehingga memungkinkan penggunaan kekuatan oleh militer Jepang.

    Pernyataan itu kemudian memicu protes keras dari China, termasuk unggahan di media sosial oleh konsul jenderal China di Osaka akhir pekan lalu yang menyatakan ‘kami tak punya pilihan selain memutus leher kotor itu yang diarahkan kepada kami’. Komentar tersebut, yang kemudian dihapus, memicu protes diplomatik dari Jepang yang disusul saling balas pernyataan sepanjang pekan.

    China mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya dan dalam beberapa tahun terakhir menggelar latihan militer yang bersifat mengancam di perairan sekitar pulau tersebut. Amerika Serikat (AS) maupun Jepang tidak menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, tetapi AS adalah pemasok utama peralatan pertahanan bagi militer Taiwan dan menentang penyelesaian isu China dan Taiwan melalui kekerasan.

    Jepang adalah sekutu militer Amerika Serikat dan menjadi tuan rumah beberapa pangkalan militer AS, termasuk pangkalan Angkatan Laut besar di selatan Tokyo.

    Tonton juga video “Indonesia-Jepang Sepakat Teruskan Kerja Sama Karbon”

    Halaman 2 dari 2

    (knv/gbr)

  • PM Jepang Takaichi Akui Cuma Tidur 2-4 Jam Tiap Malam, Ini Dampak yang Dirasakannya

    PM Jepang Takaichi Akui Cuma Tidur 2-4 Jam Tiap Malam, Ini Dampak yang Dirasakannya

    Jakarta

    Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengaku hanya tidur dua hingga empat jam setiap malam. Hal itu disampaikan dalam rapat komite legislatif, di tengah kritik publik yang menilai ia malah mendorong budaya kerja berlebihan.

    Pernyataan Takaichi muncul setelah minggu lalu ia membuat heboh karena menggelar rapat staf pada pukul 3 dini hari. Itu dilakukan untuk persiapan sidang parlemen.

    “Saya tidur sekitar dua jam sekarang, paling lama empat jam. Saya rasa, ini buruk untuk kulit saya,” terangnya saat menjawab soal pentingnya mengurangi jam kerja panjang di Jepang, dikutip dari The Straits Times.

    Jepang memang lama bergelut dengan masalah keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi. Fenomena pekerja yang meninggal karena kelelahan sampai punya istilah sendiri, yakni ‘Karoshi’.

    Di sisi lain, dalam rapat, Takaichi juga diminta menjelaskan rencana pemerintah yang mempertimbangkan penyesuaian batas lembur demi mendukung pertumbuhan ekonomi. Ia menilai kebutuhan pekerja dan perusahaan berbeda-beda.

    Menurutnya, ada pekerja yang mengambil dua pekerjaan demi memenuhi kebutuhan, sementara perusahaan sering membatasi lembur dengan ketat. Takaichi menegaskan perubahan apapun harus tetap melindungi kesehatan pekerjaan.

    “Idealnya, setiap orang bisa menyeimbangkan pengasuhan anak, bekerja, menikmati waktu luang, dan beristirahat,” beber Takaichi.

    Perdana menteri perempuan pertama Jepang itu mulai menjabat Oktober 2025. Saat terpilih sebagai ketua Partai Demokrat Liberal, ia sempat berjanji akan menyingkirkan istilah work-life balance dan fokus bekerja sekeras mungkin.

    Sejak menjabat, Takaichi menjalani jadwal yang padat, termasuk menghadiri pertemuan regional, serta menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung.

    (sao/suc)

  • Tegang dengan Jepang, Kapal Penjaga Pantai China Melintas di Senkaku

    China Serukan Warganya Tidak Bepergian ke Jepang, Ada Apa?

    Jakarta

    Pemerintah China menyerukan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang. Ini dilakukan menyusul protes China atas pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang menyebutkan kemungkinan keterlibatan negaranya, jika perang China dan Taiwan pecah.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (15/11/2025), komentar Takaichi pada 7 November lalu tersebut secara luas ditafsirkan menyiratkan bahwa serangan China terhadap Taiwan, dapat memicu aksi militer oleh Tokyo. Diketahui bahwa Taiwan yang diklaim oleh China, hanya berjarak 100 kilometer (62 mil) dari pulau terdekat di Jepang.

    Pada hari Jumat (14/11), Beijing mengatakan telah memanggil duta besar Jepang untuk dimintai keterangan. Sementara Tokyo pun mengatakan telah memanggil duta besar China setelah sebuah unggahan daring yang “tidak pantas” dan kini telah dihapus.

    Jepang menegaskan posisinya terhadap Taiwan tidak berubah.

    Dalam sebuah unggahan daring Jumat malam waktu Beijing, Kedutaan Besar China di Jepang memperingatkan warganya agar tidak bepergian ke negara tersebut.

    “Baru-baru ini, para pemimpin Jepang telah melontarkan pernyataan yang terang-terangan provokatif mengenai Taiwan, yang sangat merusak suasana komunikasi antarmasyarakat,” demikian bunyi unggahan WeChat tersebut.

    “Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar serta Konsulat China di Jepang dengan sungguh-sungguh mengingatkan warga negara China untuk menghindari perjalanan ke Jepang dalam waktu dekat,” tambahnya.

    Beijing telah berulang kali menegaskan bahwa Taiwan — yang diduduki Jepang selama beberapa dekade hingga 1945 — adalah bagian dari wilayahnya dan tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan kekerasan untuk merebut kendali.

    Lihat juga Video ‘Perusahaan Penyedot Debu asal China Ini Bakal Memproduksi Supercar’:

    (ita/ita)

  • Kritik ke PM Jepang Saat Slogan ‘Kerja Bagai Kuda’ Jadi Nyata

    Kritik ke PM Jepang Saat Slogan ‘Kerja Bagai Kuda’ Jadi Nyata

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi dikritik karena membuat stafnya mulai bekerja pada dini hari. Sikap Takaichi ini dinilai berlebihan.

    Dilansir South China Morning Post, Jumat (14/11/2025), Takaichi disebut membuat stafnya mulai bekerja pada dini hari, tepatnya pukul 03.00 pagi waktu setempat. Pada Jumat (7/11) pekan lalu, Takaichi tiba di kantornya pukul 03.00 pagi untuk menggelar rapat dengan para ajudannya guna mempersiapkan debat parlemen pertamanya.

    Sidang komite anggaran dijadwalkan digelar di gedung parlemen Jepang pada pukul 09.00 waktu setempat pada hari itu.

    “Saya ternganga ketika mendengar pukul 03.00 pagi,” kata seorang pejabat Jepang, yang tidak mau disebut namanya, saat berbicara kepada Fuji News Network.

    Slogan ‘Kerja Bagai Kuda’

    Takaichi diketahui pernah berjanji untuk “bekerja bagai kuda” setelah berhasil memenangkan pemilihan ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) yang membawanya ke kekuasaan. Dengan adanya kabar mengenai bekerja pukul 03.00 pagi, tampaknya Takaichi tidak bercanda dengan ucapannya itu.

    Diketahui, di Jepang sedang marak kasus karoshi, atau kematian akibat kerja berlebihan, Jepang juga saat ini sedang berupaya melonggarkan batasan jam kerja maksimum.
    Meskipun orang Jepang dinilai gila kerja, jam kerja dini hari itu mengejutkan banyak orang. Media lokal Jepang menyebutnya sebagai “sesi belajar pukul 03.00 pagi”. Rapat Takaichi dengan para stafnya itu, seperti dikutip Kazinform News Agency, dilaporkan berlangsung selama tiga jam.

    Kritik ke Takaichi

    Kritikan terhadap Takaichi datang dari kubu oposisi, yang menyebut jam kerja dini hari itu memberikan beban yang tidak perlu terhadap stafnya. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat untuk Rakyat, Kazuyu Shimba, yang menegur sang PM Jepang karena mengabaikan kesejahteraan stafnya.

    “Jika Perdana Menteri mulai kerja pukul 03.00 pagi waktu setempat, maka stafnya harus mulai bekerja pukul 01.30 atau pukul 02.00 pagi waktu setempat,” ucap Shimba dalam pernyataannya, seperti dikutip Chosun Daily. “Orang-orang tidak bisa menghadapi itu secara fisik,” sebutnya.

    Mantan PM Jepang Yoshihiko Noda, yang kini memimpin partai oposisi utama, Partai Demokrat Konstitusional, menyebut keputusan Takaichi itu “tidak masuk akal”. Dia mengatakan bahwa para pemimpin nasional seharusnya tidak mewajibkan para stafnya bekerja ketika “semua orang sedang tidur”.

    Respons Takaichi

    Dalam responsnya, Takaichi, yang saat ini tinggal di salah satu asrama parlemen di Tokyo, menjelaskan bahwa asrama tempat dia tinggal hanya memiliki mesin faksimili tua, yang memicu masalah logistik.

    Dia mengatakan harus meninggalkan tempat tinggalnya lebih awal karena mesin faksimili itu tidak berfungsi, yang membuatnya tidak dapat meninjau materi debat tepat waktu.

    Saat berbicara di parlemen, Takaichi menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami para stafnya. Namun dia mengatakan bahwa rapat dini hari itu diperlukan untuk menyelesaikan revisi dokumen pengarahan.

    Halaman 2 dari 3

    (zap/isa)

  • Suruh Staf Rapat Jam 3 Pagi, PM Jepang Ramai Dikritik!

    Suruh Staf Rapat Jam 3 Pagi, PM Jepang Ramai Dikritik!

    Tokyo

    Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi berjanji untuk “bekerja bagai kuda” setelah berhasil memenangkan pemilihan Ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) yang membawanya ke kekuasaan. Tampaknya Takaichi tidak bercanda dengan ucapannya itu.

    Baru-baru ini, seperti dilansir South China Morning Post, Jumat (14/11/2025), Takaichi menuai kritikan karena membuat stafnya mulai bekerja pada dini hari, tepatnya pukul 03.00 pagi.

    Hal itu memicu kekhawatiran karena dianggap memberikan contoh berbahaya untuk kerja berlebihan atau overwork. Terlebih, Jepang secara memprihatinkan marak diselimuti kasus karoshi, atau kematian akibat kerja berlebihan, dan saat ini sedang berupaya melonggarkan batasan jam kerja maksimum.

    Pada Jumat (7/11) pekan lalu, Takaichi tiba di kantornya pukul 03.00 pagi untuk menggelar rapat dengan para ajudannya guna mempersiapkan debat parlemen pertamanya. Sidang komite anggaran dijadwalkan digelar di gedung parlemen Jepang pada pukul 09.00 waktu setempat pada hari itu.

    “Saya ternganga ketika mendengar pukul 03.00 pagi,” kata seorang pejabat Jepang, yang tidak mau disebut namanya, saat berbicara kepada Fuji News Network.

    Meskipun orang Jepang dinilai gila kerja, jam kerja dini hari itu mengejutkan banyak orang. Media lokal Jepang menyebutnya sebagai “sesi belajar pukul 03.00 pagi”. Rapat Takaichi dengan para stafnya itu, seperti dikutip Kazinform News Agency, dilaporkan berlangsung selama tiga jam.

    Kritikan terhadap Takaichi datang dari kubu oposisi, yang menyebut jam kerja dini hari itu memberikan beban yang tidak perlu terhadap stafnya. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat untuk Rakyat, Kazuyu Shimba, yang menegur sang PM Jepang karena mengabaikan kesejahteraan stafnya.

    “Jika Perdana Menteri mulai kerja pukul 03.00 pagi waktu setempat, maka stafnya harus mulai bekerja pukul 01.30 atau pukul 02.00 pagi waktu setempat,” ucap Shimba dalam pernyataannya, seperti dikutip Chosun Daily. “Orang-orang tidak bisa menghadapi itu secara fisik,” sebutnya.

    Mantan PM Jepang Yoshihiko Noda, yang kini memimpin partai oposisi utama, Partai Demokrat Konstitusional, menyebut keputusan Takaichi itu “tidak masuk akal”. Dia mengatakan bahwa para pemimpin nasional seharusnya tidak mewajibkan para stafnya bekerja ketika “semua orang sedang tidur”.

    Dalam responsnya, Takaichi, yang saat ini tinggal di salah satu asrama parlemen di Tokyo, menjelaskan bahwa asrama tempat dia tinggal hanya memiliki mesin faksimili tua, yang memicu masalah logistik.

    Dia mengatakan harus meninggalkan tempat tinggalnya lebih awal karena mesin faksimili itu tidak berfungsi, yang membuatnya tidak dapat meninjau materi debat tepat waktu.

    Saat berbicara di parlemen, Takaichi menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami para stafnya. Namun dia mengatakan bahwa rapat dini hari itu diperlukan untuk menyelesaikan revisi dokumen pengarahan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • China Minta Jepang Berhenti Ikut Campur Urusan Taiwan

    China Minta Jepang Berhenti Ikut Campur Urusan Taiwan

    JAKARTA  – Pemerintah China meminta Jepang agar berhenti mencampuri hal-hal terkait Taiwan karena dapat berdampak buruk bagi hubungan kedua negara.

    “Beberapa hari yang lalu, pemimpin Jepang secara terang-terangan membuat pernyataan yang salah tentang Taiwan yang menyiratkan kemungkinan intervensi bersenjata di Selat Taiwan,”  kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing dilansir ANTARA, Selasa, 11 November.

    “Hal ini merupakan campur tangan besar-besaran dalam urusan internal China dan melanggar prinsip satu China,” kata Lin Jian melanjutkan.

    Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi pekan lalu menyampaikan penggunaan kekuatan militer China terhadap Taiwan, dapat menimbulkan situasi yang mengancam kelangsungan hidup bagi Jepang.

    Sebagai gambaran, pasca Perang Dunia II, konstitusi Jepang mempertahankan kontrol ketat atas operasi militer. Namun, mantan PM Shinzo Abe pada 2015 mengubah undang-undang keamanan nasional sehingga mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membela diri kolektif ketika ada situasi mengancam.

    “Hal tersebut sangat tidak konsisten dengan komitmen politik yang telah dibuat oleh pemerintah Jepang sejauh ini dan sangat buruk baik dari segi sifat maupun dampaknya. China menyesalkan dan menentang hal tersebut dan telah melakukan ‘démarche’ dan protes serius terhadap Jepang,” tambah Lin Jian.

    Lin Jian menyebut Taiwan adalah bagian dari China dan cara menyelesaikan masalah Taiwan dan mencapai reunifikasi merupakan urusan China sendiri yang tidak menoleransi campur tangan asing.

    “Sinyal apa yang ingin dikirimkan pemimpin Jepang kepada pasukan separatis ‘kemerdekaan Taiwan’? Apakah Jepang siap menantang kepentingan utama China dan menghentikan reunifikasi? Ke mana sebenarnya Jepang ingin membawa hubungannya dengan China?” ungkap Lin Jian.

    Jepang, kata Lin Jian, telah melakukan banyak kejahatan selama penjajahannya atas Taiwan.

    “Upaya pemimpin Jepang untuk ikut campur dalam urusan lintas Selat merupakan penghinaan terhadap keadilan internasional, provokasi terhadap tatanan pasca-Perang Dunia II, dan pukulan telak bagi hubungan China-Jepang. China harus dan akan mencapai reunifikasi,” tegas Lin Jian.

    Lin Jian menyebut rakyat China memiliki tekad, kemauan, dan keyakinan penuh untuk menggagalkan segala campur tangan dan hambatan eksternal terhadap reunifikasi China.

    “China mendesak Jepang untuk segera berhenti mencampuri urusan dalam negeri China, berhenti melakukan provokasi dan melewati batas, serta berhenti melangkah lebih jauh ke jalan yang salah,” kata Lin Jian.

  • Tegang, Jepang Panas ke China Gegara ‘Penggal Leher’ PM

    Tegang, Jepang Panas ke China Gegara ‘Penggal Leher’ PM

    Jakarta CNBC Indonesia – Jepang panas ke China. Tokyo bahkan telah mengajukan protes ke Beijing, Senin (10/11/2025).

    Ini terkait ancaman “pemenggalan kepala” yang dilontarkan seorang diplomat China secara daring setelah pernyataan tentang Taiwan oleh perdana menteri baru Jepang, PM Sanae Takaichi. Ini terungkap dalam unggahan X, Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian, Sabtu.

    Mengutip AFP, ia mengancam akan “memenggal leher kotor itu tanpa ragu sedetik pun”. “Apakah Anda siap untuk itu?,” tulisnya, tanpa menyebut nama Takaichi tetapi mengutip sebuah artikel berita tentang pernyataannya di parlemen pada Jumat.

    Sebenarnya, Takaichi mengatakan serangan bersenjata terhadap Taiwan dapat membenarkan Jepang mengirimkan pasukan untuk mempertahankan pulau itu dengan alasan “pertahanan diri kolektif”. Jika keadaan darurat di Taiwan melibatkan kapal perang dan penggunaan kekuatan, ujarnya, maka itu bisa menjadi situasi yang mengancam kelangsungan hidup (Jepang), bagaimanapun Anda melihatnya.

    “Apa yang disebut sebagai kontingensi Taiwan telah menjadi begitu serius sehingga kita harus mengantisipasi skenario terburuk,” tambah Takaichi, yang telah lama dianggap sebagai sosok yang agresif terhadap China.

    Perlu diketahui, China bersikeras bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya. Negeri itu pun tidak mengesampingkan kemungkinan penggunaan kekuatan untuk merebut kendali atas pulau yang memiliki pemerintahan sendiri tersebut.

    “Unggahan diplomat China itu sangat tidak pantas”, kata juru bicara pemerintah Jepang, Minoru Kihara.

    “Kami memprotes keras dan mendesak agar unggahan itu segera dihapus,” tambahnya.

    Konsisten

    Di sisi lain, Takaichi pada pernyataan terbaru, Senin, mengatakan kepada parlemen bahwa ia tidak berniat mencabut ucapannya. Ia bersikeras bahwa pernyataan tersebut konsisten dengan sikap Tokyo sebelumnya.

    Namun, PM perempuan pertama Jepang itu menambahkan bahwa ia akan menahan diri untuk tidak merujuk secara eksplisit pada skenario tertentu di masa mendatang. Undang-undang keamanan yang disahkan pada tahun 2015 memungkinkan Jepang untuk menggunakan hak bela diri kolektif dalam kondisi tertentu, termasuk jika terdapat bahaya yang nyata bagi kelangsungan hidup Jepang.

    Taiwan Tak Terpisahkan dari China

    Masih mengutip AFP, Kementerian Luar Negeri China telah menegaskan kembali bahwa Taiwan adalah “bagian tak terpisahkan dari wilayah China”. Bahkan pemerintah Presiden Xi Jinping mendesak “Jepang untuk merenungkan kesalahan historisnya dalam masalah Taiwan”.

    “Berhenti mengirimkan sinyal yang salah kepada pasukan separatis kemerdekaan Taiwan,” ujar juru bicara Kementerian, Lin Jian, dalam jumpa pers rutin.

     

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Penyebab PM Jepang Berniat Potong Gaji Sendiri

    Penyebab PM Jepang Berniat Potong Gaji Sendiri

    Tokyo

    Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi berniat memotong gajinya sendiri. Hal itu bakal dilakukannya lewat revisi undang-undang remunerasi pegawai negeri.

    Dilansir Japan Times, Senin (10/11/2025), revisi UU itu akan menyebabkan pemotongan gaji para anggota kabinet, termasuk PM Jepang. Rencana tersebut diumumkan dalam sidang luar biasa parlemen Jepang.

    Pemerintah akan menggelar rapat menteri terkait paling cepat pada Selasa (11/11) untuk mengonfirmasi penangguhan gaji tambahan bagi Perdana Menteri Jepang dan para menteri anggota kabinetnya. Gaji tambahan itu dibayarkan di luar gaji mereka sebagai anggota parlemen.

    Takaichi disebut ingin menunjukkan komitmennya terhadap reformasi. Salah satunya lewat seruan sejak lama untuk memotong gaji para menteri.

    Rencananya itu mendapat dukungan dari Partai Inovasi Jepang atau Nippon Ishin no Kai. Partai itu merupakan mitra koalisi terbaru untuk Partai Demokrat Liberal yang menaungi PM Takaichi.

    “Saya akan mengupayakan revisi undang-undang agar (para anggota kabinet) tidak menerima gaji yang melebihi gaji anggota parlemen,” kata Takaichi saat berbicara dalam konferensi pers pelantikannya pada Oktober lalu.

    Pemerintah Jepang disebut sedang mempertimbangkan untuk menyatakan dalam undang-undang bahwa gaji tambahan untuk Perdana Menteri dan para menteri kabinet tidak akan diberikan ‘untuk sementara waktu’. Saat ini, menurut Kepala Sekretaris Kabinet Minoru Kihara, anggota parlemen Jepang menerima gaji bulanan sebesar 1,294 juta Yen atau Rp 140 juta.

    Selain itu, seorang PM Jepang menerima gaji tambahan sebesar 1,152 juta yen (Rp 124,6 juta). Sementara, para menteri kabinet menerima gaji tambahan sebesar 489.000 Yen (Rp 52,9 juta).

    Dalam rencana terbarunya, Takaichi akan mengembalikan 30 persen dari gaji bulanannya dan para menteri kabinet mengalami pemotongan gaji sebesar 20 persen. Hal ini secara efektif mengurangi gaji tambahan sebesar 390.000 Yen (Rp 42,2 juta) untuk PM Jepang dan sebesar 110.000 Yen (Rp 11,9 juta) untuk menteri kabinet.

    Pujian pun dilontarkan terhadap rencana Takaichi memotong gajinya sendiri dan para menteri kabinet tersebut. Salah satu pemimpin Partai Inovasi Jepang, Fumitake Fujita, menyebutnya sebagai langkah ‘luar biasa’.

    “Ini mencerminkan kesediaan Perdana Menteri untuk melakukan reformasi yang sulit jika Nippon Ishin juga melakukannya,” ujar seorang pejabat senior pemerintah Jepang.

    Namun di sisi lain, beberapa pihak mempertanyakan gagasan pemotongan gaji itu saat pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan rakyat. Pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat, Yuichiro Tamaki, mengkritik rencana itu sebagai ‘simbol pola pikir deflasi’.

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • PM Jepang Akan Potong Gajinya dan Para Menteri

    PM Jepang Akan Potong Gajinya dan Para Menteri

    Tokyo

    Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi berencana merevisi undang-undang remunerasi pegawai negeri untuk memotong gaji para anggota kabinet, termasuk dirinya sendiri.

    Rencana tersebut, seperti dilansir Japan Times, Senin (10/11/2025), diumumkan dalam sidang luar biasa parlemen Jepang.

    Pemerintah akan menggelar rapat menteri terkait paling cepat pada Selasa (11/11) besok untuk mengonfirmasi penangguhan gaji tambahan bagi Perdana Menteri Jepang dan para menteri anggota kabinetnya. Gaji tambahan itu dibayarkan di luar gaji mereka sebagai anggota parlemen.

    Dengan rencana tersebut, PM Takaichi tampaknya ingin menunjukkan komitmennya terhadap reformasi dengan mewujudkan seruan sejak lama untuk memotong gaji para menteri.

    Partai Inovasi Jepang atau Nippon Ishin no Kai, yang merupakan mitra koalisi terbaru untuk Partai Demokrat Liberal yang menaungi PM Takaichi, juga menyerukan reformasi untuk mengurangi hak istimewa para anggota parlemen.

    “Saya akan mengupayakan revisi undang-undang agar (para anggota kabinet) tidak menerima gaji yang melebihi gaji anggota parlemen,” tegas PM Takaichi saat berbicara dalam konferensi pers pelantikannya pada Oktober lalu.

    Pemerintah Jepang disebut sedang mempertimbangkan untuk menyatakan dalam undang-undang bahwa gaji tambahan untuk Perdana Menteri dan para menteri kabinet tidak akan diberikan “untuk sementara waktu”.

    Saat ini, menurut Kepala Sekretaris Kabinet Minoru Kihara, anggota parlemen Jepang menerima gaji bulanan sebesar 1,294 juta Yen (Rp 140 juta). Selain itu, seorang PM Jepang menerima gaji tambahan sebesar 1,152 juta (Rp 124,6 juta) dan para menteri kabinet menerima gaji tambahan sebesar 489.000 Yen (Rp 52,9 juta).

    Namun, sebagai bagian dari reformasi administrasi dan fiskal, PM Jepang akan mengembalikan 30 persen dari gaji bulanannya, dan para menteri kabinet mengalami pemotongan gaji sebesar 20 persen. Hal ini secara efektif mengurangi gaji tambahan sebesar 390.000 Yen (Rp 42,2 juta) untuk PM Jepang dan sebesar 110.000 Yen (Rp 11,9 juta) untuk menteri kabinet.

    Pujian dilontarkan terhadap rencana PM Takaichi memotong gaji dirinya dan para menteri kabinet tersebut. Salah satu pemimpin Partai Inovasi Jepang, Fumitake Fujita, menyebutnya sebagai langkah “luar biasa”.

    “Ini mencerminkan kesediaan Perdana Menteri untuk melakukan reformasi yang sulit jika Nippon Ishin juga melakukannya,” ujar seorang pejabat senior pemerintah Jepang.

    Namun di sisi lain, beberapa pihak mempertanyakan gagasan pemotongan gaji itu saat pemerintah berupaya meningkatkan pendapatan rakyat. Pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat, Yuichiro Tamaki, mengkritik rencana itu sebagai “simbol pola pikir deflasi”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)