Tag: Sanae Takaichi

  • Presiden Taiwan Unggah Foto Makan Sushi, Tunjukkan Dukungan untuk Jepang

    Presiden Taiwan Unggah Foto Makan Sushi, Tunjukkan Dukungan untuk Jepang

    Jakarta

    Foto-foto Presiden Taiwan Lai Ching-te memegang sepiring sushi diunggah di media sosial sebagai bentuk dukungan untuk Tokyo. Unggahan foto Lai makan sushi setelah laporan bahwa China akan menghentikan impor makanan laut Jepang.

    Dilansir AFP, Kamis (20/11/2025), perselisihan antara Jepang dan Tiongkok dipicu oleh Perdana Menteri (PM) Jepang, Sanae Takaichi, yang bulan ini mengisyaratkan bahwa Tokyo dapat melakukan intervensi militer dalam setiap serangan terhadap Taiwan.

    China mengklaim Taiwan yang demokratis sebagai bagian dari wilayahnya dan mengancam akan menggunakan kekuatan untuk membawa pulau yang berpemerintahan sendiri itu di bawah kendalinya.

    Lai, seorang pembela kedaulatan Taiwan yang vokal dan dibenci oleh Tiongkok, menuduh Beijing sangat memengaruhi perdamaian regional dalam perselisihan yang semakin memanas ini. Sebuah foto Lai yang tersenyum sambil memegang sepiring sushi diunggah di halaman Facebook-nya.

    “Makan siang hari ini adalah sushi dan sup miso,” demikian bunyi pesan yang diunggah bersama foto tersebut, disertai tagar #Yellowtail dari Kagoshima dan kerang dari Hokkaido.

    Foto-foto serupa diunggah di akun X milik Lai, dengan pesan dan tagar berbahasa Jepang. Sebuah video Lai yang mengisyaratkan kepada para pengikutnya bahwa sekarang “mungkin saat yang tepat untuk menikmati masakan Jepang” juga dibagikan di laman Instagram-nya.

    “Ini sepenuhnya menunjukkan persahabatan yang erat antara Taiwan dan Jepang,” kata Lai sambil memegang sepiring sushi. Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyebut unggahan Lai sebagai “aksi tipuan”.

    Unggahan tersebut menyusul laporan media di Tokyo pada Rabu (19/11) bahwa Tiongkok akan menangguhkan impor makanan laut Jepang. Kedua pemerintah belum mengonfirmasi langkah tersebut. China telah memanggil duta besar Tokyo dan mengimbau warganya untuk tidak bepergian ke Jepang setelah perselisihan mengenai komentar Takaichi.

    Perilisan setidaknya dua film Jepang juga akan ditunda di Tiongkok, menurut media pemerintah.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, mengatakan pada Kamis (20/11), bahwa Jepang harus “berperilaku bermartabat” dan mengambil “tindakan nyata”, termasuk mencabut pernyataan Takaichi, untuk memperbaiki hubungan.

    “Sekadar menegaskan bahwa posisinya (terkait Taiwan) tetap tidak berubah sama sekali tidak menjawab kekhawatiran Tiongkok,” ujarnya dalam konferensi pers rutin.

    Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Minoru Kihara, pekan lalu mengatakan bahwa posisi negaranya terhadap Taiwan “tidak berubah” terlepas dari pernyataan Takaichi.

    Menteri Luar Negeri Taiwan, Lin Chia-lung, mengatakan Partai Komunis Tiongkok (PKT) “telah menggunakan taktik seperti pemaksaan ekonomi dan intimidasi militer untuk menindas negara lain” tetapi mendesak warga Taiwan untuk pergi ke Jepang dan membeli produk-produk Jepang.

    “Pada momen kritis ini, kita harus mendukung Jepang agar dapat menstabilkan situasi, untuk menghentikan perilaku menindas PKT,” ujarnya.

    Duta Besar AS untuk Jepang, George Glass, berjanji bahwa Washington akan mendukung Tokyo selama perselisihan ini.

    “Pemaksaan adalah kebiasaan yang sulit dihentikan bagi Beijing,” tulis Glass di X.

    “Namun, sebagaimana Amerika Serikat mendukung Jepang selama larangan Tiongkok terakhir yang tidak beralasan terhadap makanan laut Jepang, kami akan mendukung sekutu kami lagi kali ini.”

    Lihat juga Video: Filadelfia Sushi Kini Ada di Jakarta, Owner-nya Jebolan MasterChef

    Halaman 2 dari 2

    (rfs/eva)

  • Diplomasi Buntu, Konflik China-Jepang Berpotensi Melebar ke Ekonomi

    Diplomasi Buntu, Konflik China-Jepang Berpotensi Melebar ke Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketegangan China–Jepang kembali memanas setelah upaya awal meredakan konflik gagal. Hal ini memperbesar risiko gesekan diplomatik dan ekonomi di tengah saling balas pernyataan keras kedua negara

    Melansir Bloomberg pada Rabu (19/11/2025), Direktur Jenderal Departemen Urusan Asia di Kementerian Luar Negeri China Liu Jinsong menyatakan dirinya tidak puas dengan hasil pertemuannya pada Selasa waktu setempat dengan diplomat Jepang Masaaki Kanai.

    Hubungan Beijing–Tokyo memanas setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menjadi pemimpin Jepang pertama dalam beberapa dekade yang secara terbuka mengaitkan potensi krisis Selat Taiwan dengan kemungkinan pengerahan pasukan Jepang. Komentar tersebut memicu respons keras dari Beijing, yang memperingatkan akan ada tindakan lanjutan.

    Sementara itu, Kanai menegaskan kembali bahwa posisi Jepang terkait Taiwan tidak berubah. Kanai juga mengecam pernyataan yang sangat tidak pantas dari Konsul Jenderal China di Osaka Xue Jian.

    Xue sempat menuliskan ancaman akan memenggal kepala Takaichi dalam unggahan di X sebelum akhirnya dihapus. Tokyo menuntut tindakan segera terhadap diplomat tersebut.

    Rentetan saling balas komentar ini menunjukkan ketegangan belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Beijing telah memperingatkan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang—kebijakan yang membuat setidaknya dua agen perjalanan BUMN China membatalkan tur kelompok yang sudah dipesan berbulan-bulan sebelumnya. 

    Peringatan tersebut sempat memicu aksi jual saham perusahaan wisata dan ritel terbesar Jepang sebelum sebagian pulih. Sejumlah perusahaan milik negara China juga mengimbau karyawan untuk menghindari perjalanan ke Jepang, dengan beberapa perusahaan investasi, bank, pialang, hingga korporasi lainnya mengeluarkan pesan kewaspadaan kepada staf sepanjang pekan ini.

    Kekhawatiran juga meningkat bahwa China dapat kembali menggunakan perdagangan sebagai senjata. Hal tersebut pernah terjadi dalam sengketa dengan Jepang, Australia, Korea Selatan, dan negara lainnya. 

    Lebih dari satu dekade lalu, ketika Beijing dan Tokyo berselisih soal wilayah, China sempat menghentikan sementara pasokan logam tanah jarang.

    Industri Jepang khawatir langkah serupa bisa kembali terjadi. Ketua Foreign Trade Council Tatsuo Yasunaga mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menepis kemungkinan masalah ini memicu ketidakpastian baru dalam pasokan mineral kritis. Dia menambahkan, pelaku usaha akan meminta pemerintah mengambil tindakan yang tepat.

    China juga telah menuntut Takaichi menarik ucapannya, sementara media pemerintah mengecam komentar tersebut dan menyebutnya sebagai peringatan keras bahwa militerisme Jepang sedang dibangkitkan kembali.

    Kementerian Keamanan Negara China juga ikut angkat suara melalui unggahan di media sosial, menyatakan bahwa Takaichi sedang “bermain api” dan mengancam konsekuensi yang tidak dijelaskan apabila ia tidak menarik pernyataannya. 

    Unggahan itu juga menyebut bahwa China telah mengungkap sejumlah kasus spionase yang melibatkan Jepang dalam beberapa tahun terakhir dan berjanji akan melindungi keamanan nasional, tanpa memberikan rinciannya.

    Zhu Fenglian, juru bicara kantor Beijing yang menangani urusan Taiwan, mengatakan bahwa pernyataan Takaichi merupakan upaya untuk menghidupkan kembali militerisme yang menginjak-injak keadilan internasional.

    Dia menambahkan bahwa Beijing mendesak Jepang untuk segera berhenti mencampuri urusan dalam negeri China serta menghentikan provokasi dan pelanggaran.

  • Wanti-wanti Jepang ke Warga Buntut Tensi Tinggi dengan China

    Wanti-wanti Jepang ke Warga Buntut Tensi Tinggi dengan China

    Tokyo

    Jepang mengeluarkan peringatan ke warganya yang berada di China. Peringatan itu disampaikan saat tensi antara kedua negara semakin tinggi.

    Dirangkum detikcom, Selasa (18/11/2025), pemerintah China awalnya menyerukan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang. Seruan ini disampaikan sebagai bentuk protes China atas pernyataan PM Jepang Sanae Takaichi yang menyebut kemungkinan keterlibatan negaranya jika perang China dan Taiwan pecah.

    Komentar Takaichi pada 7 November lalu itu secara luas ditafsirkan menyiratkan bahwa serangan China terhadap Taiwan dapat memicu aksi militer oleh Tokyo. Taiwan, yang diklaim oleh China, hanya berjarak 100 kilometer (62 mil) dari pulau terdekat di Jepang.

    Pada Jumat (14/11), Beijing mengatakan telah memanggil duta besar Jepang untuk dimintai keterangan. Sementara, Tokyo mengatakan telah memanggil duta besar China setelah sebuah unggahan daring yang ‘tidak pantas’ dan kini telah dihapus.

    Tensi tinggi terus berlanjut. Terbaru, Jepang meminta warganya yang berada di China untuk berhati-hati.

    “Perhatikan lingkungan sekitar Anda dan sebisa mungkin hindari alun-alun tempat berkumpulnya banyak orang atau tempat-tempat yang kemungkinan besar digunakan oleh banyak orang Jepang,” kata kedutaan besar Jepang di China dalam sebuah pernyataan di situs webnya, dilansir kantor berita AFP, Selasa (18/11/2025).

    Juru Bicara pemerintah Jepang, Minoru Kihara, mengatakan peringatan tersebut dikeluarkan ‘berdasarkan penilaian komprehensif terhadap situasi politik, termasuk situasi keamanan di negara atau kawasan terkait, serta kondisi sosial’.

    Perselisihan Jepang dan China ini menandakan hubungan kedua negara yang sudah rapuh dapat semakin goyah di bawah kepemimpinan PM Takaichi. Hal itu disebabkan oleh pernyataan Takaichi yang mendukung peningkatan kemampuan militer untuk mengantisipasi potensi ancaman dari China dan klaim-klaim teritorialnya di perairan sengketa di kawasan Pasifik barat.

    Tensi tinggi itu bukan cuma terjadi dalam urusan diplomatik. China telah mengerahkan formasi kapal Penjaga Pantai (Coast Guard) melintasi perairan Kepulauan Senkaku pada Minggu waktu setempat. Coast Guard China menyatakan ini sebagai ‘patroli penegakan hak’.

    “Formasi kapal Penjaga Pantai Tiongkok 1307 melakukan patroli di perairan teritorial Kepulauan Diaoyu. Ini adalah operasi patroli yang sah yang dilakukan oleh Penjaga Pantai China untuk menegakkan hak dan kepentingannya,” demikian pernyataan itu.

    China dan Jepang telah berulang kali berseteru di sekitar kepulauan yang dikelola Jepang itu. Beijing menyebut wilayah itu sebagai Diaoyu dan Tokyo menyebutnya Senkaku.

    Jepang juga mengerahkan jet tempur setelah mendeteksi sebuah drone China mengudara di dekat pulau paling selatan di wilayahnya. Kementerian Pertahanan Jepang, seperti dilansir AFP, melaporkan insiden tersebut terjadi pada Sabtu (15/11) waktu setempat. Drone yang diyakini berasal dari China itu terdeteksi mengudara di wilayah udara antara Pulau Yonaguni, yang merupakan pulau paling selatan di Jepang, dan wilayah Taiwan.

    “Pada Sabtu, 15 November 2025, sebuah kendaraan udara tanpa awak, yang diyakini berasal dari China, dikonfirmasi terbang di antara Pulau Yonagunia dan Taiwan,” sebut Kementerian Pertahanan Jepang dalam pernyataan via X pada Senin (17/11) waktu setempat.

    “Sebagai respons, jet tempur dari Komando Pertahanan Udara Barat Daya pada Pasukan Bela Diri Udara Jepang telah dikerahkan,” imbuh pernyataan tersebut.

    Tonton juga video “Tegang! Jepang Imbau Warganya di China untuk Hati-hati”

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • 5 Dampak Dahsyat Kisruh China-Jepang: 500.000 Orang Lari-Saham Rontok

    5 Dampak Dahsyat Kisruh China-Jepang: 500.000 Orang Lari-Saham Rontok

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Hubungan antara China dan Jepang mencapai titik didih terpanas dalam beberapa tahun terakhir, dipicu oleh pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang mengisyaratkan potensi intervensi militer Jepang jika China menyerang Taiwan. Komentar Takaichi tersebut langsung memicu kemarahan Beijing, yang merespons dengan menggunakan tekanan ekonomi, sanksi budaya, dan retorika diplomatik yang sangat agresif.

    Eskalasi ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran serius di pasar global dan di antara para pemimpin bisnis kedua negara. Dampak negatifnya kini merembet ke berbagai sektor, mengancam pemulihan ekonomi di kawasan Asia Timur.

    Berikut adalah lima dampak utama yang muncul akibat meningkatnya ketegangan antara China dan Jepang:

    1. 500.000 Wisman China Batal ke Jepang

    Dampak paling nyata dari ketegangan politik ini adalah keruntuhan mendadak pada sektor pariwisata Jepang. China, yang merupakan sumber turis terbesar kedua bagi Jepang, merespons dengan sanksi tidak resmi yang menargetkan perjalanan dan visa.

    Pemerintah China mengeluarkan peringatan keras kepada warganya, yang memicu pembatalan massal. Diperkirakan sebanyak 500.000 penerbangan dari China menuju Jepang telah dibatalkan hanya dalam periode 15 hingga 17 November. Angka pembatalan ini merupakan yang terbesar sejak awal pandemi Covid-19, dan merupakan pukulan telak bagi industri perhotelan dan ritel Jepang.

    Selain pembatalan penerbangan, setidaknya tujuh maskapai China, termasuk tiga maskapai milik negara, kompak menawarkan pengembalian uang penuh dan pembatalan gratis bagi penumpang yang memiliki penerbangan ke Jepang. Lebih jauh lagi, agen-agen perjalanan di China dilaporkan menghentikan pemrosesan aplikasi visa individu untuk perjalanan ke Jepang, secara efektif membekukan arus wisatawan baru dan mengancam pemulihan sektor pariwisata Jepang yang sangat bergantung pada belanja wisatawan dari China.

    2. Kejatuhan Saham Ritel dan Pariwisata di Bursa Tokyo

    Konsekuensi dari krisis pariwisata ini langsung tercermin di pasar modal Jepang. Investor bereaksi negatif terhadap prospek kehilangan turis China, yang dikenal sebagai pembelanja terbesar (high-spending).

    Saham perusahaan-perusahaan yang terkait erat dengan sektor ritel, perjalanan, dan maskapai penerbangan di Jepang mencatat penurunan tajam di Bursa Saham Tokyo. Kejatuhan saham ini mencerminkan kecemasan pasar bahwa sanksi tidak resmi berupa boikot oleh wisatawan China akan memukul laporan pendapatan perusahaan-perusahaan Jepang secara signifikan.

    Kelompok bisnis terbesar Jepang, Keidanren, langsung menyampaikan kekhawatiran kepada pemerintah. Ketua Keidanren, Yoshinobu Tsutsui, menekankan bahwa stabilitas politik adalah fondasi yang mutlak diperlukan untuk pertukaran ekonomi. Kekhawatiran ini menggarisbawahi bagaimana isu geopolitik dapat dengan cepat merusak sentimen investor dan stabilitas keuangan sektor terkait.

    3. Retorika “Potong Leher”

    Konflik diplomatik ini ditandai dengan intensitas retorika yang tidak biasa. Pemicunya adalah komentar PM Takaichi, yang mengindikasikan bahwa keterlibatan Jepang dalam konflik Taiwan akan diperbolehkan jika hal itu dianggap sebagai “ancaman eksistensial.”

    Pernyataan Takaichi tersebut memicu kemarahan mendalam di Beijing, hingga salah satu diplomat senior China, Konsul Jenderal China di Osaka, dilaporkan mengunggah retorika yang sangat agresif di media sosial. Unggahan itu telah dihapus, tetapi diplomat tersebut sempat menyerukan dengan metafora kekerasan agar para pengkritik China “memotong leher mereka” jika tidak setuju dengan kebijakan Beijing.

    Retorika diplomatik yang menyudutkan Jepang dengan metafora “gorok leher” ini menunjukkan betapa parahnya situasi diplomatik saat ini, melampaui batas-batas perbedaan kebijakan biasa dan memasuki wilayah ancaman terselubung. Sebagai respons, Tokyo dan Beijing saling memanggil duta besar masing-masing untuk mengajukan protes keras. Jepang bahkan terpaksa mengirim seorang diplomat seniornya ke Beijing dalam upaya mendesak untuk meredakan ketegangan.

    4. Pembekuan Pertukaran Budaya dan Penundaan Film

    China menggunakan kekuatan lunaknya (soft power) sebagai senjata ekonomi, memperluas sanksi tak tertulis ke sektor budaya. Media pemerintah China memanfaatkan sentimen nasionalis untuk memboikot konten Jepang.

    Sejumlah distributor film di China telah menunda tanpa batas waktu penayangan film-film Jepang yang telah dijadwalkan rilis. Film Jepang yang sudah tayang pun dilaporkan mengalami penurunan tajam dalam penjualan box office karena adanya “ketidakpuasan yang kuat dari penonton China” terhadap sikap politik PM Takaichi.

    Selain film, laporan juga menunjukkan adanya pembatalan acara dan pertukaran budaya tingkat lokal antara China dan Jepang. Langkah ini mencerminkan penggunaan sentimen nasionalis di China untuk menghukum Jepang secara ekonomi dan budaya, menjadikan ketegangan ini meluas dari politik murni ke ranah konsumsi publik dan media.

    5. Risiko Jangka Panjang pada Hubungan Ekonomi dan Rantai Pasokan

    Meskipun dampak langsung terlihat di pariwisata, para pengamat memperingatkan risiko jangka panjang pada hubungan ekonomi dan perdagangan vital kedua negara. China dan Jepang memiliki hubungan ekonomi dan perdagangan yang sangat terintegrasi, memainkan peran signifikan dalam rantai pasokan Asia Timur.

    Takakage Fujita, Sekretaris Jenderal Asosiasi untuk Mewarisi dan Menyebarkan Pernyataan Murayama, sebuah kelompok masyarakat sipil Jepang yang berdedikasi pada pengakuan kesalahan perang Jepang, mengkritik keras tindakan PM Takaichi.Fujita menyebut pernyataan Takaichi baru-baru ini sebagai “tindakan sembrono yang merusak hubungan ekonomi penting Jepang-China.”

    Fujita menekankan bahwa pentingnya pertukaran ekonomi dan perdagangan Jepang-China sudah jelas, karena keduanya memainkan peran yang sangat signifikan dalam ekonomi Jepang. Ia menambahkan bahwa ke depannya, Asia Timur yang berpusat pada China, dipastikan akan menjadi inti ekonomi global.

    “Bagi Jepang, hubungan ekonomi dan perdagangan dengan China oleh karena itu akan menjadi semakin penting,” pungkasnya, menunjukkan kekhawatiran bahwa ketegangan politik saat ini dapat merusak prospek jangka panjang Jepang.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Kisruh Jepang-China Memanas, dari ‘Potong Leher’ Kini Warning Warga

    Kisruh Jepang-China Memanas, dari ‘Potong Leher’ Kini Warning Warga

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kisruh Jepang dan China makin memanas. Setelah China memberi peringatan ke warganya agar tidak ke Jepang, kini Tokyo memberi warning serupa ke penduduknya di Beijing.

    Pemerintah Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi meminta warga Jepang di China untuk berhati-hati terhadap lingkungan sekitar dan menghindari kerumunan besar. Perselisihan diplomatik tengah terjadi antar kedua negara.

    “Perhatikan lingkungan sekitar Anda dan sebisa mungkin hindari alun-alun tempat kerumunan besar berkumpul atau tempat-tempat yang kemungkinan besar digunakan oleh banyak orang Jepang,” kata Kedutaan besar Jepang di China dalam sebuah pernyataan di situs webnya tertanggal Senin, dikutip AFP, Selasa (18/11/2025).

    Kedutaan Besar Jepang juga mengimbau warga negara untuk menghormati adat istiadat setempat dan berhati-hati dalam berkata-kata. Warga diharapkan bersikap baik saat berinteraksi dengan penduduk setempat.

    “Jika Anda melihat seseorang atau sekelompok orang yang Anda curigai, menjauhlah dan segera tinggalkan tempat itu,” demikian bunyi peringatan tersebut lagi.

    Hal sama juga ditekankan juru bicara utama pemerintah Jepang, Minoru Kihara, dalam pernyataan terbaru Selasa. Saran tersebut, tegasnya, dikeluarkan berdasarkan penilaian komprehensif terhadap situasi politik, termasuk situasi keamanan di negara atau wilayah terkait serta kondisi sosial.

    Sebelumnya, pekan lalu, Takaichi mengatakan bahwa Jepang dapat melakukan intervensi militer dalam setiap serangan terhadap Taiwan. China sendiri mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan menegaskan bakal mempertahankan pulau demokratis itu, meski dengan kemampuan militer.

    “Jika keadaan darurat Taiwan melibatkan kapal perang dan penggunaan kekuatan, maka itu bisa menjadi situasi yang mengancam kelangsungan hidup (Jepang)”, ujar Takaichi, 64 tahun, kepada parlemen pada 7 November.

    Hal ini kemudian dibalas dengan sebuah unggahan ancaman di media sosial X oleh Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian. Ia mengancam akan “memotong leher kotor itu”, yang tampaknya merujuk pada Takaichi yang baru menjabat pada bulan Oktober.

    Tokyo mengatakan telah memanggil duta besar China terkait unggahan media sosial tersebut. Unggahan itu pun kini telah dihapus.

    Meski begitu, China tetap mendesak Takaichi untuk mencabut pernyataan soal Taiwan dan memanggil duta besar Jepang pada hari Jumat lalu. Di hari yang sama, China menyarankan warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang.

    Ini berdampak pada jatuhnya saham Tokyo. Nikkei anjlok 3% didukung saham ritel dan wisata.

    Dua negara dengan ekonomi terbesar di Asia ini saling terkait erat, dengan China sebagai sumber wisatawan terbesar Jepang. Di mana hampir 7,5 juta pengunjung dalam sembilan bulan pertama tahun 2025.

    Mengurut laporan kantor berita Jiji, pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri untuk Urusan Asia-Pasifik Jepang, Masaaki Kanai, tiba di China untuk meredakan pertikaian tersebut, dan berada di Kementerian Luar Negeri China pada hari Selasa. Ia diperkirakan akan mengadakan pembicaraan dengan mitranya Liu Jinsong.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Bersitegang, Jepang Ingatkan Warganya di China Berhati-hati!

    Bersitegang, Jepang Ingatkan Warganya di China Berhati-hati!

    Jakarta

    Pemerintah Jepang telah memperingatkan warganya di China untuk berhati-hati terhadap lingkungan sekitar dan menghindari kerumunan orang. Peringatan ini disampaikan di tengah perselisihan diplomatik atas komentar Perdana Menteri Sanae Takaichi tentang Taiwan.

    Perselisihan yang semakin memanas ini telah mendorong Beijing untuk menyerukan warga China agar tidak bepergian ke Jepang.

    “Perhatikan lingkungan sekitar Anda dan sebisa mungkin hindari alun-alun tempat berkumpulnya banyak orang atau tempat-tempat yang kemungkinan besar digunakan oleh banyak orang Jepang,” kata kedutaan besar Jepang di China dalam sebuah pernyataan di situs webnya, dilansir kantor berita AFP, Selasa (18/11/2025).

    Minoru Kihara, juru bicara pemerintah Jepang, mengatakan pada hari Selasa, bahwa peringatan tersebut dikeluarkan “berdasarkan penilaian komprehensif terhadap situasi politik, termasuk situasi keamanan di negara atau kawasan terkait, serta kondisi sosial.”

    Perselisihan diplomatik antara China dan Jepang dipicu oleh pernyataan Takaichi yang menyebutkan kemungkinan keterlibatan negaranya, jika perang China dan Taiwan pecah.

    Komentar Takaichi pada 7 November lalu tersebut secara luas ditafsirkan menyiratkan bahwa serangan China terhadap Taiwan, dapat memicu aksi militer oleh Tokyo. Diketahui bahwa Taiwan yang diklaim oleh China, hanya berjarak 100 kilometer (62 mil) dari pulau terdekat di Jepang.

    Pada hari Jumat (14/11), Beijing mengatakan telah memanggil duta besar Jepang untuk dimintai keterangan. Sementara Tokyo pun mengatakan telah memanggil duta besar China setelah sebuah unggahan daring yang “tidak pantas” dan kini telah dihapus.

    Buntut pernyataan Takaichi tersebut, pemerintah China menyerukan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang.

    “Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar serta Konsulat China di Jepang dengan sungguh-sungguh mengingatkan warga negara China untuk menghindari perjalanan ke Jepang dalam waktu dekat,” kata Kedutaan Besar China di Jepang dalam unggahan di WeChat.

    Diketahui bahwa China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, dan telah mengancam akan menggunakan kekuatan untuk membawa pulau demokrasi itu di bawah kendalinya.

    Tonton juga video “China Desak PM Jepang Tarik Pernyataan Terkait Taiwan”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Drone China Melintas Dekat Wilayahnya, Jepang Kerahkan Jet Tempur

    Drone China Melintas Dekat Wilayahnya, Jepang Kerahkan Jet Tempur

    Tokyo

    Jepang mengatakan militernya mengerahkan jet tempur setelah mendeteksi sebuah drone China mengudara di dekat pulau paling selatan di wilayahnya. Insiden ini terjadi saat hubungan kedua negara sedang dilanda ketegangan buntut komentar Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi soal Taiwan.

    Kementerian Pertahanan Jepang, seperti dilansir AFP, Senin (17/11/2025), melaporkan insiden tersebut terjadi pada Sabtu (15/11) waktu setempat. Drone yang diyakini berasal dari China itu terdeteksi mengudara di wilayah udara antara Pulau Yonaguni, yang merupakan pulau paling selatan di Jepang, dan wilayah Taiwan.

    “Pada Sabtu, 15 November 2025, sebuah kendaraan udara tanpa awak, yang diyakini berasal dari China, dikonfirmasi terbang di antara Pulau Yonagunia dan Taiwan,” sebut Kementerian Pertahanan Jepang dalam pernyataan via X pada Senin (17/11) waktu setempat.

    “Sebagai respons, jet tempur dari Komando Pertahanan Udara Barat Daya pada Pasukan Bela Diri Udara Jepang telah dikerahkan,” imbuh pernyataan tersebut.

    Terdeteksinya drone China di dekat wilayah Jepang ini terjadi saat kedua negara berselisih menyusul komentar PM Takaichi yang disampaikan kepada anggota parlemen Jepang pada 7 November lalu.

    PM Takaichi menyebut serangan China terhadap Taiwan, yang mengancam kelangsungan hidup Jepang dapat memicu respons militer. Pernyataan itu disampaikan hanya sepekan setelah PM Takaichi bertemu Presiden China Xi Jinping, dengan kedua pemimpin sepakat mengupayakan hubungan yang stabil.

    Pernyataan PM Takaichi itu menunjukkan pergeseran dari sikap pemerintah Jepang sebelumnya, yang menghindari untuk membahas isu Taiwan secara terbuka agar tidak memprovokasi China, yang bersikeras mengklaim pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.

    Pernyataan Takaichi itu memancing reaksi keras dari Beijing, dengan Konsul Jenderal China di Osaka, Xue Jian, melontarkan komentar kasar yang kini telah dihapus di media sosial X yang berbunyi: “Leher kotor yang menancapkan dirinya harus dipotong”.

    Hal itu mendorong otoritas Tokyo memanggil Duta Besar China untuk menyampaikan protes atas komentar yang dinilai “sangat tidak pantas”. Beberapa anggota parlemen Jepang menyerukan pengusiran Xue dari negara tersebut.

    Sementara otoritas China memanggil Duta Besar Jepang, pertama kali dalam dua tahun terakhir, untuk menyampaikan “protes keras” atas pernyataan PM Takaichi.

    Situasi semakin memanas pada Jumat (14/11), ketika Beijing memperingatkan bahwa Tokyo akan menghadapi kekalahan militer yang “menghancurkan” jika melakukan intervensi di Taiwan. Pemerintah China juga menyatakan “kekhawatiran serius” terhadap arah keamanan Jepang, termasuk ambiguitas mengenai tiga prinsip non-nuklirnya — tidak mengembangkan, tidak memiliki, dan tidak menyimpan senjata nuklir.

    Dalam reaksinya, seperti dilansir First Post, China juga mengimbau warganya agar tidak bepergian ke Jepang.

    Tonton juga Video: Cina Pamerkan Drone Seukuran Nyamuk untuk Operasi Militer

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Pernyataan PM Jepang tentang Taiwan tuai peringatan keras China

    Pernyataan PM Jepang tentang Taiwan tuai peringatan keras China

    ANTARA – Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi tentang Taiwan pada 7 November lalu telah menuai kritik dan peringatan keras dari China. Duta Besar China untuk Jepang, Wu Jianghao, Jumat(14/11), mendesak Jepang menghentikan provokasi serta tindakan yang melampaui batas, serta mengancam Jepang untuk menanggung semua konsekuensinya. (REUTERS/Ludmila Yusufin Diah Nastiti/Denno Ramdha Asmara/Gracia Simanjuntak)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Keamanan Memburuk, Wisatawan Tiongkok Diminta Hindari Jepang

    Keamanan Memburuk, Wisatawan Tiongkok Diminta Hindari Jepang

    Hubungan Tiongkok dan Jepang kian memanas, menyusul pernyataan PM Jepang Sanae Takaichi terkait Taiwan yang dianggap tidak pantas. Tiongkok pun mengeluarkan peringatan perjalanan ke Jepang di tengah meningkatnya kekhawatiran akan keamanan.

    Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tiongkok telah mengeluarkan peringatan serius yang mengimbau wisatawan Tiongkok untuk menghindari perjalanan ke Jepang dalam waktu dekat.

  • Jepang Harus Memberikan Penjelasan Terkait Tiga Masalah Fundamental kepada Asia dan Masyarakat Internasional

    Jepang Harus Memberikan Penjelasan Terkait Tiga Masalah Fundamental kepada Asia dan Masyarakat Internasional

    Baru-baru ini, Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, secara terbuka di parlemen mengaitkan masalah penanganan Taiwan oleh Tiongkok dengan apa yang disebut sebagai “krisis eksistensi Jepang.” Pernyataan ini tidak hanya secara serius melanggar prinsip-prinsip dasar hubungan internasional, tetapi juga merupakan pelanggaran kasar terhadap semangat prinsip empat dokumen politik Jepang-Tiongkok. Pernyataan semacam ini dengan sengaja mendistorsi fakta dan memperburuk urusan domestik Tiongkok menjadi ancaman terhadap keamanan nasional Jepang. Tingkat absurditasnya sangat mengejutkan, dan sifat jahatnya tidak bisa dianggap enteng. Di baliknya terdapat niat buruk yang patut diwaspadai oleh negara-negara di kawasan serta masyarakat internasional. Ini adalah tantangan terbuka terhadap keadilan internasional serta provokasi tak berdasar terhadap tatanan internasional pasca Perang Dunia II. Tak diragukan lagi, hal ini menambah hambatan besar dalam hubungan Tiongkok-Jepang yang sudah kompleks dan sensitif, menjadi penyebab langsung meningkatnya ketegangan antara kedua negara belakangan ini.

    Namun, perkembangan beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa beberapa pihak berusaha mengalihkan perhatian masyarakat internasional dengan cara membingungkan dan mengecilkan pentingnya serta bahaya dari pernyataan Takaichi, dan malah tanpa dasar menuding Tiongkok sebagai pihak yang menyebabkan perburukan hubungan Jepang-Tiongkok. Salah satu taktik yang paling mencolok adalah dengan memperbesar pernyataan di media sosial oleh pejabat diplomatik Tiongkok di Jepang dan reaksi opini publik domestik Tiongkok yang sah. Suara-suara ini dengan sengaja menghindari bahaya ekstrem yang terkandung dalam pernyataan Takaichi serta potensi dampaknya terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan, dan sebaliknya berfokus pada tuduhan yang tak berdasar bahwa Tiongkok melakukan “reaksi berlebihan.” Bahkan Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi, mengajukan permintaan yang sama sekali tidak masuk akal, dengan menyatakan bahwa Tiongkok harus “memprioritaskan kepentingan hubungan Jepang-Tiongkok.” Ini jelas merupakan tindakan terbalik yang mengaburkan kenyataan, dan semakin mengonfirmasi bahwa sebagian kekuatan politik di Jepang tidak hanya gagal melakukan refleksi sejarah, tetapi juga memiliki kecenderungan yang cukup meluas. Lebih mengejutkan lagi, beberapa media Barat juga ikut serta, memainkan peran dalam memperburuk keadaan dengan menggembar-gemborkan “teori tanggung jawab Tiongkok,” berusaha menimpakan penyebab eskalasi perselisihan ini kepada Tiongkok.

    Pernyataan-pernyataan yang penuh maksud tersembunyi ini pada dasarnya mencoba mereduksi sebuah masalah prinsipil yang sangat serius, yang berkaitan dengan kepentingan inti Tiongkok, arah perkembangan masa depan Jepang, dan integritas tatanan internasional pasca perang, menjadi perdebatan permukaan seputar “apakah diplomasi itu tepat.” Apa yang dipicu oleh pernyataan berbahaya Takaichi ini bukan sekadar gesekan diplomatik biasa atau “perang kata-kata” yang sepele, tetapi tiga masalah fundamental yang sangat menentukan masa depan kawasan, yaitu: pertama, apakah Jepang akan terus mempertahankan jalur perdamaian dan pembangunan yang telah diikuti sejak perang dunia kedua, ataukah sengaja berniat kembali ke jalur ekspansi militer? Kedua, apakah Jepang benar-benar berkomitmen untuk menjaga kerangka kerja sama damai dan persahabatan yang telah dibangun dengan susah payah antara Jepang dan Tiongkok, ataukah berusaha mendorong hubungan kedua negara ke jurang konfrontasi dan konflik? Ketiga, apakah Jepang ingin menjadi kekuatan konstruktif yang mendukung perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Timur, ataukah akan berperan sebagai pihak yang membahayakan kawasan dengan memicu risiko perang? Tiga masalah mendasar ini jelas perlu dijelaskan dan diterangkan dengan tegas oleh pihak Tokyo kepada Tiongkok dan masyarakat internasional.

    Mengenang sejarah, Jepang telah berulang kali menggunakan alasan “keberlangsungan negara” untuk melancarkan perang agresi terhadap negara lain. Misalnya, saat merencanakan Insiden 18 September, kekuatan militer Jepang secara besar-besaran mengangkat propaganda bahwa “Manchuria dan Mongolia adalah garis hidup Jepang.” Ketika Jepang memulai Perang Pasifik dan menyerang Pearl Harbor, mereka dengan pura-pura mengklaim bahwa “membangun Greater East Asia Co-Prosperity Sphere adalah kunci untuk kelangsungan hidup Jepang.” Slogan-slogan yang memikat ini pada waktu itu digunakan secara sistematis oleh militer, pemerintah, dan alat propaganda Jepang untuk menciptakan ilusi bahwa “Jepang tidak dapat bertahan hidup tanpa ekspansi ke luar,” guna menutupi sifat imperialisme mereka yang agresif. Kini, pernyataan Perdana Menteri Takaichi yang mengaitkan masalah Taiwan, yang sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri Tiongkok, dengan “krisis eksistensi” Jepang, pada dasarnya adalah pengulangan taktik lama yang menyalahgunakan alasan “keberlangsungan negara” untuk menipu. Hal ini jelas mencerminkan adanya kekuatan politik di dalam negeri Jepang yang berusaha menggunakan isu Taiwan sebagai celah untuk menghindari pembatasan konstitusi damai Jepang, dan dengan berbahaya berusaha kembali ke jalan ekspansi militer.

    Argumen yang sering ditekankan oleh beberapa kekuatan dalam negeri Jepang mengenai “krisis eksistensi” ini sebenarnya sangat mirip dengan alasan yang digunakan oleh militerisme Jepang saat melancarkan perang agresi. Namun, zaman telah berubah secara fundamental. Jika Jepang berusaha mengulang taktik lama ini, mereka pasti akan menghadapi penolakan yang meluas dan perlawanan keras dari seluruh kawasan Asia, dan akan terisolasi sepenuhnya.