Tag: Sanae Takaichi

  • Kepala Negara Tiongkok dan Amerika Serikat Mencapai Konsensus Penting Terkait Isu Taiwan

    Kepala Negara Tiongkok dan Amerika Serikat Mencapai Konsensus Penting Terkait Isu Taiwan

    Pada 24 November, Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dengan menegaskan kembali konsensus yang telah dicapai dalam pertemuan di Busan dan meninjau kondisi terkini hubungan Tiongkok–Amerika Serikat, kedua belah pihak bertukar pandangan mengenai isu Taiwan. Presiden Xi menegaskan bahwa kembalinya Taiwan ke dalam pangkuan Tiongkok merupakan bagian dari tatanan internasional pascaperang. Presiden Trump menyatakan bahwa Tiongkok memainkan peran penting dalam proses kemenangan Perang Dunia II, dan bahwa pihak Amerika memahami arti strategis isu Taiwan bagi Tiongkok. Saat ini, tatanan pascaperang menghadapi tantangan dari sejumlah negara, dan perdamaian kawasan dihadapkan pada faktor-faktor ketidakstabilan baru. Percakapan telepon kali ini menunjukkan bahwa, di bawah kepemimpinan kedua kepala negara, komunikasi dan konsensus Tiongkok dan Amerika Serikat mengenai isu-isu prinsipil memiliki makna penting.

    Belakangan ini, pemerintahan yang dipimpin Sanae Takaichi di Jepang telah mengambil serangkaian langkah terkait isu Taiwan. Pihak Tokyo berupaya menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan Taiwan untuk menekan Tiongkok, serta mendorong opini internasional agar melepaskan persoalan Taiwan dari kerangka tatanan internasional pascaperang dan mengkategorikannya semata-mata sebagai isu keamanan kawasan. Di balik langkah ini terdapat tujuan yang lebih mendasar, yakni memanfaatkan isu Taiwan untuk menembus berbagai pembatasan struktural yang dimiliki Jepang sebagai “negara kalah perang” di bidang kebijakan militer dan keamanan, sekaligus menciptakan kondisi bagi amandemen Konstitusi Damai. Pernyataan-pernyataan Sanae Takaichi tidak hanya menyentuh kepentingan inti Tiongkok, tetapi juga mempengaruhi landasan tatanan internasional yang terbentuk pasca-Perang Dunia II, sehingga menambah ketidakpastian bagi stabilitas regional.

    Kembalinya Taiwan kepada Tiongkok merupakan salah satu hasil penting kemenangan Perang Dunia II sekaligus bagian tak terpisahkan dari tatanan internasional pascaperang. Deklarasi Kairo secara tegas menetapkan bahwa Jepang harus mengembalikan wilayah-wilayah Tiongkok yang direbutnya, termasuk Taiwan dan Kepulauan Penghu. Pada tahun 1945, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris mengeluarkan Deklarasi Potsdam yang kemudian diikuti oleh Uni Soviet, yang sekali lagi menegaskan bahwa “ketentuan-ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan”. Pada bulan September di tahun yang sama, Jepang menandatangani Instrumen Penyerahan Jepang dan berkomitmen untuk melaksanakan secara setia seluruh ketentuan yang tercantum dalam Deklarasi Potsdam. Langkah-langkah Sanae Takaichi terkait isu Taiwan bertentangan dengan tatanan internasional pascaperang yang didasarkan pada Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam, serta tidak sejalan dengan prinsip Satu Tiongkok yang secara luas diakui komunitas internasional. Apabila Jepang dibiarkan merusak kerangka yang ada pada titik kunci tatanan pascaperang, yakni isu Taiwan, hal ini pada praktiknya berarti mengabaikan pengorbanan yang telah dilakukan negara-negara sekutu anti-fasis, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat, dalam Perang Dunia II—sesuatu yang tidak dapat diterima oleh berbagai pihak di komunitas internasional yang menjunjung tinggi perdamaian.

    Perlu dicermati bahwa sebagian kekuatan politik di Jepang tengah mendorong suatu narasi baru. Mereka berupaya menafsirkan kembali sejarah dengan menjadikan “sistem San Francisco” sebagai dasar, serta atas nama “keamanan kawasan” berusaha melemahkan prinsip Satu Tiongkok. Langkah tersebut bukan saja menafikan fakta sejarah dan bertentangan dengan hukum internasional, tetapi juga menggoyahkan fondasi institusional dari situasi damai yang telah terpelihara selama 80 tahun pascaperang. Jika Jepang terus bertahan pada paham revisionisme sejarah dan mendorong kebijakan ekspansi militer serta persiapan perang, negara itu berisiko kembali menjadi faktor yang mengganggu stabilitas kawasan Asia-Pasifik. Sebagian kalangan di Jepang beranggapan bahwa dengan mendapatkan dukungan Amerika Serikat, mereka dapat bertindak sesuka hati dalam isu-isu yang menyangkut Tiongkok dan bahwa upaya “menggunakan Taiwan untuk menahan Tiongkok” akan memperoleh pengakuan penuh dari Washington. Penilaian seperti ini jelas tidak sejalan dengan realitas. Tindakan kalangan kanan Jepang tersebut bukan hanya bertentangan dengan tekad rakyat Tiongkok untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayahnya, tetapi juga melawan tatanan pascaperang yang dibangun dan dipelihara bersama oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II, termasuk Amerika Serikat.

    Dalam konteks ini, efek stabilisasi yang dihasilkan oleh percakapan antara pemimpin Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi semakin menonjol. Saat ini, konstelasi global tengah mengalami perubahan mendalam. Upaya menjaga dan memperkuat hasil kemenangan Perang Dunia II serta tatanan internasional yang berpusat pada Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki arti strategis dan praktis yang sangat penting. Tatanan tersebut telah membentuk kerangka dasar bagi perdamaian global pascaperang dan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan kemakmuran negara-negara di dunia, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat. Di bawah tatanan ini, komunitas internasional mampu bekerja sama menghadapi berbagai tantangan global dan mencapai kemajuan di berbagai bidang. Karena itu, seluruh anggota komunitas internasional yang memikul tanggung jawab, khususnya negara-negara besar, seharusnya bersama-sama berkomitmen memelihara tatanan pascaperang ini dan tetap waspada terhadap setiap upaya yang mencoba menafikan sejarah atau mengubah pengaturan pascaperang.

    Tahun 2025 menandai 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok terhadap Agresi Jepang sekaligus kemenangan Perang Dunia melawan Fasisme, dan pada saat yang sama merupakan peringatan 80 tahun pemulihan Taiwan. Pada titik sejarah ini, berbagai langkah Jepang terkait isu Taiwan mendapat sorotan luas dari komunitas internasional dan menjadi peringatan dini bagi semua pihak. Perdamaian di kawasan Asia-Pasifik tidak diraih dengan mudah; tidak ada satu pun negara yang seharusnya mengorbankan stabilitas kawasan demi kepentingan politiknya sendiri. Komunitas internasional perlu memperkuat kerja sama, secara konsisten mematuhi tujuan dan prinsip Piagam PBB, serta dengan tegas menentang setiap pernyataan dan tindakan yang merusak tatanan internasional pascaperang.

    Jepang perlu memahami dengan jelas bahwa upaya menantang tatanan internasional pascaperang tidak akan menghasilkan tujuan yang diharapkan, dan keterlibatan yang tidak tepat dalam isu Taiwan juga tidak akan membawa apa yang disebut sebagai “terobosan strategis”. Komunitas internasional mendesak Jepang untuk menghadapi dan secara mendalam merefleksikan kembali sejarah agresinya, serta dengan sikap bertanggung jawab dan tindakan nyata membangun kembali kepercayaan negara-negara tetangga di Asia dan komunitas internasional, sekaligus sepenuhnya meninggalkan setiap niat yang bertentangan dengan arus utama sejarah.

  • Jepang-Korsel Waspadai Diplomasi Transaksional Trump

    Jepang-Korsel Waspadai Diplomasi Transaksional Trump

    Jakarta

    Jepang dan Korea Selatan (Korsel) mencermati langkah terbaru pemerintahan Donald Trump terkait Ukraina dan Cina. Keduanya melihat sinyal bahwa Amerika Serikat (AS) semakin menerapkan diplomasi yang bersifat transaksional secara keseluruhan, sesuatu yang pada akhirnya dikhawatirkan dapat menggoyahkan struktur aliansi lama di Asia Timur Laut.

    Proposal “28 poin rencana perdamaian” yang diajukan pemerintahan Trump untuk Ukraina awalnya dianggap sebagai penyesuaian dari tuntutan yang diusulkan oleh Rusia. Meski versi yang lebih lunak kemudian dirilis dan pembicaraan terus berjalan, AS berkali-kali memberi isyarat bahwa mereka siap mengambil jarak dari Ukraina.

    Terkait Cina, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan bahwa Trump berencana bertemu dengan Presiden Xi Jinping sebanyak empat kali pada 2026, termasuk kunjungan kenegaraan ke Beijing pada April dan kunjungan balasan ke AS pada akhir tahun. Menurut Bessent, pertemuan ini ditujukan untuk membawa “stabilitas besar” dalam hubungan bilateral, saat Trump berusaha memperbaiki hubungan dengan Xi Jinping pascapeluncuran perang dagang yang sengit.

    Secara resmi, Jepang dan Korea Selatan belum memberi komentar. Namun, banyak pengamat di Seoul dan Tokyo menafsirkan kebijakan luar negeri Washington sebagai dukungan Trump terhadap seorang diktator yang berusaha menaklukkan negara tetangga yang lebih kecil di Eropa. Persepsi ini menambah kekhawatiran bahwa hal serupa dapat terjadi di kawasan Pasifik, dengan Taiwan sebagai titik rawan yang paling jelas.

    Mempertanyakan reliabilitas AS

    “Pengkhianatan Trump terhadap Ukraina menjadi bayang-bayang besar bagi Asia dan para sekutu Paman Sam di kawasan tersebut, yang kini mulai mempertanyakan seberapa dapat diandalkannya aliansi mereka dengan AS,” kata Jeff Kingston, Direktur Studi Asia di Temple University Tokyo.

    “Jepang dan Korea Selatan melihat Trump mendekati para pemimpin otoriter di Rusia, Cina, dan Korea Utara, sementara mereka justru diabaikan dalam isu perdagangan. Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika muncul krisis terkait Taiwan,” ujarnya kepada DW.

    Kingston menambahkan bahwa Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi kemungkinan merasa “kecewa” karena Trump tidak langsung menyatakan dukungan ketika dia terlibat ketegangan dengan Cina.

    Cina bereaksi keras, menuntut Jepang tidak ikut campur dalam “urusan dalam negeri” Beijing dan kemudian mengambil sejumlah langkah, termasuk meminta warganya tidak bepergian ke Jepang, menunda perilisan film Jepang, serta membatalkan berbagai acara dan pertukaran budaya.

    Takaichi menolak untuk menarik kembali pernyataannya, tapi dia tampaknya tidak mendapatkan jaminan kuat setelah Presiden AS diberitakan mengatakan kepadanya melalui sambungan telepon pada 24 November bahwa Takaichi sebaiknya tidak “memprovokasi” Cina.

    Hal yang dikhawatirkan Jepang dan Korea Selatan dari Trump dan Cina

    “Setelah keberhasilan kunjungan Trump ke Tokyo dan komitmen Takaichi untuk berinvestasi di AS, saya pikir dia berharap mendapat sesuatu yang lebih,” kata Jeff Kingston. “Dia pasti ingin Trump menegaskan kembali bahwa Jepang adalah ‘pondasi perdamaian’ di kawasan ini dan menyoroti kekuatan aliansi tersebut.”

    “Memberitahunya untuk tidak ‘memprovokasi’ Cina bukanlah pernyataan tegas yang dia harapkan,” tambahnya.

    “Kekhawatiran di Jepang saat ini adalah prospek Amerika Serikat dan Cina dalam membentuk ‘G-2’ yang akan mengabaikan Jepang dan menunjukkan penurunan pengaruh Tokyo,” katanya. “Dan Korea Selatan akan memiliki kekhawatiran yang sama.”

    Pada saat yang sama, Jepang telah memenuhi keinginan Trump untuk menginvestasikan 550 miliar dolar AS (Rp8,8 kuadriliun) di industri Amerika. Korea Selatan kemudian setuju memberikan investasi tunai 350 miliar dolar AS (Rp5,6 kuadriliun), serta tambahan 150 miliar dolar AS (Rp2,4 kuadriliun) untuk kerja sama pembangunan kapal.

    “Tentu itu tidak adil dan tentu saja banyak yang tidak senang, tetapi kami juga sadar bahwa Korea Selatan sangat bergantung pada AS,” kata Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Kongju National University.

    Presiden Korea Selatan saat ini, Lee Jae-myung, berasal dari partai kiri yang secara ideologis bukan pasangan alamiah bagi pemerintahan AS, kata Lim. Namun, dia juga seorang “pragmatis” dalam urusan aliansi negara.

    Kekhawatiran pengurangan pasukan AS di Korea Selatan

    Korea Selatan semakin waspada terhadap meningkatnya agresi Cina di kawasan tersebut, termasuk masuknya kapal-kapal Beijing ke perairan sengketa di Laut Kuning. Polanya mengingatkan akan perebutan atol dan wilayah perairan di Laut Cina Selatan oleh Beijing satu dekade lalu.

    Lim mengatakan Korea Selatan tidak tahu sejauh mana AS memperhatikan sengketa ini atau apakah pemerintahan AS saat ini akan memberikan bantuan jika pelanggaran wilayah Cina semakin intensif dan meluas.

    “Kami juga khawatir terhadap kemungkinan skenario penarikan, yakni pengurangan pasukan AS di Korea Selatan sebagai bagian dari pendekatan transaksional Trump dalam hubungan internasional,” ujarnya.

    Dalam masa jabatannya yang kedua, Trump belum mengancam akan menarik pasukan AS jika Korsel tidak membayar lebih untuk biaya pangkalan. Namun, tekanan terkait biaya kehadiran militer ini pernah menjadi alat tawar yang digunakan Trump pada masa jabatan pertamanya dan dapat kembali muncul sewaktu-waktu.

    Jepang memiliki kekhawatiran serupa. Takaichi mungkin berhasil meredakan sebagian tekanan itu dengan mengumumkan bahwa anggaran tahun 2026 akan menaikkan belanja pertahanan menjadi 2 persen dari PDB Jepang. Angka itu mungkin masih belum memenuhi tuntutan Trump, tapi Jepang akan berargumen bahwa peningkatan tersebut merupakan langkah ke arah yang benar.

    Meski begitu, belum jelas apakah langkah tersebut cukup.

    Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Trump ditanya apakah Cina merupakan “teman” bagi AS, merujuk pada ketegangan terbaru antara Cina dan Jepang.

    “Banyak sekutu kami juga bukan teman kami,” kata Trump. “Cina telah memanfaatkan kami dengan sangat besar…para sekutu kami bahkan lebih banyak memanfaatkan kami dalam perdagangan dibandingkan Cina.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalan bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Ausirio Sangga Ndolu

    Editor: Muhammad Hanafi

    (ita/ita)

  • Asia Timur Memanas, China Penuhi Laut dengan Kapal Perang

    Asia Timur Memanas, China Penuhi Laut dengan Kapal Perang

    GELORA.CO – China kembali memamerkan kekuatan maritimnya seiring hubungan dengan Jepang dan Taiwan yang memanas. Lebih dari seratus kapal perang dan kapal penjaga pantai dikerahkan di perairan Asia Timur dalam operasi terbesar yang tercatat hingga saat ini. 

    Hingga Kamis pagi, lebih dari 90 kapal China masih beroperasi di berbagai titik, setelah sebelumnya jumlahnya melampaui 100 kapal pada awal pekan. Skala ini melampaui pengerahan masif pada Desember tahun lalu yang sempat membuat Taiwan meningkatkan kewaspadaannya.

    Informasi tersebut disampaikan empat sumber keamanan regional dan diperkuat dokumen intelijen yang ditinjau Reuters. Langkah Beijing berlangsung di tengah padatnya agenda latihan militer musim ini. Meski demikian, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China belum mengumumkan latihan berskala besar dengan penamaan resmi sebagaimana biasanya.

    Peningkatan aktivitas ini muncul saat hubungan China dan Jepang berada dalam tensi tinggi. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi bulan lalu yang menegaskan bahwa serangan China terhadap Taiwan berpotensi memicu respons militer Tokyo. Pernyataan ini mengundang reaksi keras Beijing. 

    Kemarahan China juga dipicu pengumuman Presiden Taiwan Lai Ching-te terkait pengalokasian tambahan anggaran pertahanan sebesar 40 miliar dolar AS untuk memperkuat kemampuan menghadapi ancaman dari Beijing, yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya.

    Hubungan rumit China dan Taiwan

    Menurut empat pejabat keamanan kawasan, kapal-kapal China terpantau tersebar dari Laut Kuning bagian selatan, melewati Laut Cina Timur, hingga ke Laut Cina Selatan yang diperebutkan, bahkan menjangkau wilayah Pasifik. Laporan intelijen dari salah satu negara di kawasan—yang ditinjau Reuters dengan syarat kerahasiaan—mengonfirmasi pola pengerahan tersebut.

    Direktur Jenderal Biro Keamanan Nasional Taiwan, Tsai Ming-yen, pada Rabu menyebut China kini memasuki musim aktivitas militer paling intens. Ia menyebut terdapat empat gugus laut China yang beroperasi di Pasifik barat. 

    “Kita harus mengantisipasi berbagai skenario dan mengamati perubahan sekecil apapun,” ujarnya saat ditanya apakah Beijing berpotensi meluncurkan latihan khusus Taiwan sebelum tahun berganti.

    Hingga kini, Kementerian Pertahanan dan Luar Negeri China serta Kantor Urusan Taiwan belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

    Sementara itu, Kantor Kepresidenan Taiwan melalui juru bicara Karen Kuo menegaskan bahwa otoritas keamanan memiliki pemahaman real-time tentang situasi di Selat Taiwan dan kawasan sekitarnya. Taiwan, katanya, akan terus bekerja sama dengan mitra internasional demi menjaga stabilitas regional dan mencegah tindakan sepihak yang berpotensi mengganggu keamanan.

    Salah satu sumber keamanan regional menilai lonjakan pengerahan terjadi setelah Beijing memanggil duta besar Jepang pada 14 November untuk memprotes komentar PM Takaichi. 

    “Skala ini melampaui kebutuhan pertahanan nasional China dan menciptakan risiko bagi semua pihak,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa Beijing tengah menguji reaksi negara-negara regional melalui langkah yang “belum pernah terjadi sebelumnya”.

    Pasukan Bela Diri Jepang menolak mengomentari pergerakan spesifik militer China. Namun mereka mengakui bahwa Beijing berupaya meningkatkan kemampuan operasi jarak jauh di wilayah maritim maupun udara. 

    Sejumlah kapal China tercatat melakukan simulasi serangan terhadap kapal asing serta latihan penolakan akses—langkah yang dirancang untuk menghambat intervensi pihak luar jika konflik meletus.

    Meski demikian, dua sumber lain menyebut sejumlah negara kawasan memilih tetap waspada namun belum menilai pengerahan tersebut sebagai ancaman signifikan. “Terlihat seperti agenda besar,” kata salah satu sumber. “Namun sejauh ini tampaknya hanya latihan rutin.”

    Menariknya, laporan intelijen dan pejabat terkait menyebut bahwa jumlah kapal China di sekitar Taiwan tidak mengalami peningkatan berarti. Latihan terakhir yang secara eksplisit diarahkan ke Taiwan terjadi pada April dengan nama “Strait Thunder-2025”. Beijing juga tidak pernah mengonfirmasi latihan-latihan maritim skala besar pada Desember tahun lalu.

  • Perkara Pulau Sengketa Bikin Jepang dan China Bersitegang

    Perkara Pulau Sengketa Bikin Jepang dan China Bersitegang

    Jakarta

    Jepang dan China kembali bersitegang akibat pulau-pulau yang disengketakan. Kapal-kapal kedua negara terlibat perselisihan di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur.

    Dilansir AFP, Selasa (2/12/2025), cekcok terbaru itu terjadi saat hubungan kedua negara bersitegang sejak Perdana Menteri (PM) baru Jepang, Sanae Takaichi, bulan lalu mengisyaratkan bahwa negaranya dapat melakukan intervensi militer terhadap serangan China pada Taiwan.

    Dalam pernyataannya, Penjaga Pantai Jepang menyebut dua kapal patroli penjaga pantai China memasuki perairan teritorial Jepang, tepatnya di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur pada Selasa (2/12) dini hari.

    Disebutkan bahwa kapal-kapal itu meninggalkan wilayah perairan itu beberapa jam kemudian.

    Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang, juga dikenal sebagai Diaoyu di China. Pulau tersebut menjadi titik panas yang sering memicu konflik antara kedua negara dalam beberapa dekade terakhir.

    Setelah kapal-kapal patroli China itu berlayar menuju ke sebuah kapal penangkap ikan Jepang, sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang, salah satu kapal Penjaga Pantai Tokyo mengeluarkan tuntutan agar kapal-kapal asing itu meninggalkan perairan tersebut.

    “Aktivitas kapal-kapal penjaga pantai China yang bernavigasi di perairan teritorial Jepang di sekitar Kepulauan Senkaku, sembari menegaskan klaim mereka sendiri, pada dasarnya melanggar hukum internasional,” sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya.

    Pernyataan Jepang itu menyebutkan bahwa dua kapal China, dan beberapa kapal-kapal lainnya, masih berada di area perairan tersebut.

    Kata Penjaga Pantai China

    Juru bicara Otoritas Penjaga Pantai China, Liu Dejun, dalam pernyataan terpisah menuduh sebuah kapal penangkap ikan Jepang telah “memasuki perairan teritorial China secara ilegal”.

    “Kapal-kapal Penjaga Pantai China telah mengambil langkah-langkah pengendalian yang diperlukan dan memberikan peringatan untuk mengusirnya,” ujar Liu dalam pernyataan via WeChat.

    “Penjaga Pantai China akan terus melakukan aktivitas perlindungan hak dan penegakan hukum di perairan sekitar Kepulauan Diaoyu, dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial nasional dan hak maritim,” tegasnya.

    Insiden ini menyusul insiden serupa di sekitar kepulauan sengketa tersebut pada 16 November lalu, sekitar sepekan setelah komentar kontroversial Takaichi.

    Komentar Takaichi itu memicu kemarahan Beijing, yang menyerukan warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang dan berdampak pada sejumlah acara kebudayaan di China. Otoritas Beijing juga memberlakukan larangan impor makanan laut Tokyo.

    Tonton juga video “China Tebar Ancaman ke Jepang Buntut Pasang Rudal Dekat Taiwan”

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • BOJ Beri Sinyal Kenaikan Suku Bunga Acuan Jepang pada Desember 2025

    BOJ Beri Sinyal Kenaikan Suku Bunga Acuan Jepang pada Desember 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank of Japan (BOJ) Kazuo Ueda baru-baru ini menyatakan keyakinannya terhadap prospek ekonomi Jepang dan mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan.

    Dilansir dari Reuters, Ueda mengindikasikan bahwa BOJ berada dalam jalur menuju suku bunga lebih tinggi dengan tetap berpegang teguh pada garis standarnya. Dia menegaskan kembali bahwa jika proyeksi BOJ mengenai aktivitas ekonomi dan inflasi terealisasi, bank sentral akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan dari posisi saat ini di level 0,50%.

    Pernyataan tersebut sempat menimbulkan kebingungan di masyarakat, terutama mengenai apakah BOJ memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah terkait kondisi ekonomi.

    Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Jepang Satsuki Katayama menegaskan bahwa pemerintah dan BOJ berada pada posisi yang sama. Ia memastikan bahwa kedua pihak memiliki pandangan serupa bahwa perekonomian Jepang tengah pulih secara moderat.

    “Kami yakin tidak ada perbedaan antara pandangan BOJ dan pemerintah bahwa perekonomian Jepang pulih secara moderat, jadi kami tidak melihat hal ini sebagai masalah,” ujarnya dalam konferensi pers rutin pada Selasa (2/12/2025).

    Perekonomian Jepang terkontraksi untuk pertama kalinya dalam enam kuartal, memperkuat alasan bagi Perdana Menteri Sanae Takaichi untuk meluncurkan paket stimulus fiskal besar guna menopang pertumbuhan.

    Laporan Kantor Kabinet Jepang yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (17/11/2025) mencatat, produk domestik bruto (PDB) riil turun 1,8% secara tahunan pada kuartal III/2025. Capaian tersebut lebih baik dari konsensus ekonom yang memperkirakan kontraksi 2,4%.

    Pelemahan ekonomi tersebut sebelumnya telah banyak diproyeksikan, setelah pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II/2025 mencapai 2,3%, setelah revisi data, atau empat kali lipat dari potensi pertumbuhan negara itu. Penurunan tajam kali ini juga diperparah oleh anjloknya investasi perumahan yang terkontraksi 9,4% secara kuartalan.

    Ueda sebelumnya juga menyampaikan bahwa BOJ akan mempertimbangkan berbagai pro dan kontra sebelum memutuskan apakah suku bunga akan dinaikkan. Keputusan tersebut rencananya akan diumumkan pada pertemuan kebijakan berikutnya pada 19 Desember 2025.

    Berdasarkan sinyal yang muncul sejauh ini, para ekonom menilai bahwa peluang kenaikan suku bunga cukup besar pada Desember ini, atau paling lambat pada Januari 2026.

    Katayama menambahkan bahwa dia berharap BOJ terus bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi 2% yang didukung oleh kenaikan upah. 

    “Pada titik ini, mengingat ekspektasi tersebut, saya tidak perlu menambahkan apa pun lagi. Ke depannya, kita perlu memantau apakah kenaikan harga akan berlanjut, serta perkembangan kebijakan perdagangan AS. Selain itu, mengingat berbagai fluktuasi di pasar keuangan dan modal global, kita harus mencermati tren korporasi,” sambungnya. (Putri Astrian Surahman)

  • China-Jepang Cekcok Lagi Terkait Pulau Sengketa

    China-Jepang Cekcok Lagi Terkait Pulau Sengketa

    Tokyo

    Kapal-kapal patroli China dan Jepang kembali terlibat perselisihan di perairan sekitar pulau-pulau yang disengketakan. Beijing dan Tokyo saling menuduh adanya pelanggaran wilayah perairan dalam insiden terbaru pada Selasa (2/12) waktu setempat.

    Cekcok terbaru itu terjadi saat hubungan kedua negara bersitegang sejak Perdana Menteri (PM) baru Jepang, Sanae Takaichi, bulan lalu mengisyaratkan bahwa negaranya dapat melakukan intervensi militer terhadap serangan China pada Taiwan.

    Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (2/12/2025), menyebut dua kapal patroli penjaga pantai China memasuki perairan teritorial Jepang, tepatnya di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur pada Selasa (2/12) dini hari.

    Disebutkan bahwa kapal-kapal itu meninggalkan wilayah perairan itu beberapa jam kemudian.

    Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang, juga dikenal sebagai Diaoyu di China. Pulau tersebut menjadi titik panas yang sering memicu konflik antara kedua negara dalam beberapa dekade terakhir.

    Setelah kapal-kapal patroli China itu berlayar menuju ke sebuah kapal penangkap ikan Jepang, sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang, salah satu kapal Penjaga Pantai Tokyo mengeluarkan tuntutan agar kapal-kapal asing itu meninggalkan perairan tersebut.

    “Aktivitas kapal-kapal penjaga pantai China yang bernavigasi di perairan teritorial Jepang di sekitar Kepulauan Senkaku, sembari menegaskan klaim mereka sendiri, pada dasarnya melanggar hukum internasional,” sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya.

    Ditambahkan dalam pernyataan itu bahwa dua kapal China, dan beberapa kapal-kapal lainnya, masih berada di area perairan tersebut.

    Juru bicara Otoritas Penjaga Pantai China, Liu Dejun, dalam pernyataan terpisah menuduh sebuah kapal penangkap ikan Jepang telah “memasuki perairan teritorial China secara ilegal”.

    “Kapal-kapal Penjaga Pantai China telah mengambil langkah-langkah pengendalian yang diperlukan dan memberikan peringatan untuk mengusirnya,” ujar Liu dalam pernyataan via WeChat.

    “Penjaga Pantai China akan terus melakukan aktivitas perlindungan hak dan penegakan hukum di perairan sekitar Kepulauan Diaoyu, dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial nasional dan hak maritim,” tegasnya.

    Insiden ini menyusul insiden serupa di sekitar kepulauan sengketa tersebut pada 16 November lalu, sekitar sepekan setelah komentar kontroversial Takaichi.

    Komentar Takaichi itu memicu kemarahan Beijing, yang menyerukan warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang dan berdampak pada sejumlah acara kebudayaan di China. Otoritas Beijing juga memberlakukan larangan impor makanan laut Tokyo.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Peringatan China ke Jepang Jika Ikut Campur soal Taiwan

    Peringatan China ke Jepang Jika Ikut Campur soal Taiwan

    Beijing

    China memberi peringatan keras kepada Jepang soal Taiwan. China meminta Jepang tak ikut campur urusannya dengan Taiwan.

    Dilansir Reuters, Jumat (28/11/2025), Kementerian Pertahanan China memperingatkan Jepang akan membayar ‘harga yang menyakitkan’ jika bertindak melewati batas terkait masalah Taiwan. Peringatan itu disampaikan China merespons rencana Tokyo mengerahkan rudal di sebuah pulau yang berjarak sekitar 100 Km saja dari pantai Taiwan.

    Tensi antara kedua negara itu meningkat dalam krisis diplomatik terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dipicu Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi yang mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Pada Minggu (23/11), Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, mengatakan Tokyo berencana menempatkan unit rudal jarak menengah jenis darat-ke-udara ke sebuah pangkalan militer di Yonaguni. Lokasi itu merupakan pulau yang berjarak sekitar 110 Km dari pantai timur Taiwan.

    Kementerian Pertahanan China sendiri menyatakan cara ‘menyelesaikan masalah Taiwan’ adalah urusan Beijing dan tidak ada hubungannya dengan Jepang yang sempat menguasai Taipei dari tahun 1895 silam hingga akhir perang Dunia tahun 1945. China pun menyindir tindakan Jepang di masa lalu.

    “Jepang tidak hanya gagal untuk merenungkan secara mendalam kejahatan agresinya dan penjajahan beratnya di Taiwan, tetapi justru, menentang opini dunia, Jepang justru terlena dengan khayalan intervensi militer di Selat Taiwan,” ucap juru bicara Kementerian Pertahanan China, Jiang Bin, dalam jumpa pers.

    Dia mengatakan China punya kemampuan militer yang kuat. Dia menegaskan kekuatan militer China dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang Negeri Tirai Bambu itu.

    “Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memiliki kemampuan yang kuat dan sarana yang bisa diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang,” sebutnya.

    Dia mengancam Jepang akan membayar harga yang menyakitkan jika melewati batas. Dia mengatakan Jepang hanya akan menimbulkan masalah bagi diri sendiri jika dianggap oleh China telah melewati batas dalam urusan Taiwan.

    “Jika pihak Jepang berani melewati batas, bahkan setengah langkah saja, dan menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri, mereka pasti akan membayar harga yang menyakitkan,” tegas Jiang dalam pernyataannya.

    Taiwan, yang memiliki pemerintahan demokratis sendiri, berulang kali menolak klaim teritorial China. Taipei menegaskan hanya rakyat mereka yang bisa memutuskan masa depan Taiwan.

    Presiden Taiwan Lai Ching-te mengumumkan rencana untuk menghabiskan anggaran pertahanan tambahan USD 40 miliar selama delapan tahun ke depan. Hal ini menuai kritikan Beijing, yang menyebutnya sebagai pemborosan yang hanya akan menjerumuskan Taiwan ke bencana.

    Saat ditanya soal kritikan itu, juru bicara Dewan Urusan Daratan Utama Taiwan, Liang Wen-chieh, mengatakan pada Kamis (27/11) bahwa anggaran pertahanan China jauh lebih besar daripada Taiwan.

    “Jika mereka dapat mengutamakan perdamaian lintas selat, dana ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat daratan utama,” sebutnya.

    “Kedua belah pihak di selat ini tidak seharusnya seperti ini, saling bermusuhan sengit; itu akan baik untuk semua orang,” ujar Liang.

    Jepang sendiri telah mendapat nasihat dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump memberikan saran khusus kepada Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi untuk tidak memprovokasi China terkait Taiwan.

    “Trump melakukan panggilan telepon dengan Takaichi dan menyarankan dia untuk tidak memprovokasi Beijing terkait masalah kedaulatan pulau tersebut,” demikian seperti dilaporkan WSJ, yang mengutip para pejabat Jepang dan AS yang mendapatkan pengarahan soal percakapan telepon kedua pemimpin itu.

    “Saran dari Trump itu sangat halus, dan dia tidak menekan Takaichi untuk menarik kembali komentarnya,” sebut WSJ dalam laporannya seperti dilansir AFP. Juru bicara kantor PM Jepang menolak untuk mengomentari laporan WSJ tersebut.

    Lihat juga Video: China Tebar Ancaman ke Jepang Buntut Pasang Rudal Dekat Taiwan

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • Jepang Akan Bayar ‘Harga Menyakitkan’ Jika Lewati Batas Soal Taiwan

    Jepang Akan Bayar ‘Harga Menyakitkan’ Jika Lewati Batas Soal Taiwan

    Beijing

    Kementerian Pertahanan China memperingatkan bahwa Jepang akan membayar “harga yang menyakitkan” jika bertindak melewati batas terkait masalah Taiwan. Peringatan ini merespons rencana Tokyo mengerahkan rudal di sebuah pulau yang berjarak sekitar 100 kilometer saja dari pantai Taiwan.

    Peringatan tersebut, seperti dilansir Reuters, Jumat (28/11/2025), dilontarkan saat kedua negara terlibat krisis diplomatik terburuk dalam beberapa tahun terakhir, setelah Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, mengatakan pada Minggu (23/11) bahwa rencana Tokyo untuk menempatkan unit rudal jarak menengah jenis darat-ke-udara ke sebuah pangkalan militer di Yonaguni, sebuah pulau yang berjarak sekitar 110 kilometer dari pantai timur Taiwan, “terus bergerak maju”.

    Saat ditanya soal pengerahan tersebut, Kementerian Pertahanan China mengatakan bahwa cara “menyelesaikan masalah Taiwan” adalah urusan Beijing dan tidak ada hubungannya dengan Jepang, yang sempat menguasai Taipei dari tahun 1895 silam hingga akhir perang Dunia tahun 1945.

    “Jepang tidak hanya gagal untuk merenungkan secara mendalam kejahatan agresinya dan penjajahan beratnya di Taiwan, tetapi justru, menentang opini dunia, Jepang justru terlena dengan khayalan intervensi militer di Selat Taiwan,” ucap juru bicara Kementerian Pertahanan China, Jiang Bin, dalam jumpa pers.

    “Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memiliki kemampuan yang kuat dan sarana yang bisa diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang,” sebutnya.

    “Jika pihak Jepang berani melewati batas, bahkan setengah langkah saja, dan menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri, mereka pasti akan membayar harga yang menyakitkan,” tegas Jiang dalam pernyataannya.

    Kementerian Luar Negeri China sebelumnya telah mengkritik pengerahan rudal oleh Jepang tersebut.

    Taiwan yang memiliki pemerintahan demokratis sendiri, berulang kali menolak klaim teritorial China. Taipei menegaskan bahwa hanya rakyat mereka yang bisa memutuskan masa depan Taiwan.

    Presiden Lai Ching-te, pekan ini, mengumumkan rencana untuk menghabiskan anggaran pertahanan tambahan US$ 40 miliar selama delapan tahun ke depan. Hal ini menuai kritikan Beijing, yang menyebutnya sebagai pemborosan yang hanya akan menjerumuskan Taiwan ke bencana.

    Saat ditanya soal kritikan itu, juru bicara Dewan Urusan Daratan Utama Taiwan, Liang Wen-chieh, mengatakan pada Kamis (27/11) bahwa anggaran pertahanan China jauh lebih besar daripada Taiwan.

    “Jika mereka dapat mengutamakan perdamaian lintas selat, dana ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat daratan utama,” sebutnya.

    “Kedua belah pihak di selat ini tidak seharusnya seperti ini, saling bermusuhan sengit; itu akan baik untuk semua orang,” ujar Liang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Beri Saran ke PM Jepang Agar Tak Provokasi China Soal Taiwan

    Trump Beri Saran ke PM Jepang Agar Tak Provokasi China Soal Taiwan

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan saran khusus kepada Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi saat keduanya berbicara via telepon baru-baru ini. Trump menyarankan Takaichi untuk tidak memprovokasi China terkait Taiwan.

    Saran Trump itu disampaikan ketika Tokyo terlibat sengketa diplomatik dengan Beijing beberapa pekan terakhir.

    Perselisihan dua negara dengan perekonomian terbesar di Asia itu dipicu oleh pernyataan Takaichi yang mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Pada Senin (24/11) waktu setempat, Trump dan Presiden China Xi Jinping melakukan percakapan telepon, di mana Xi menekankan bahwa kembalinya Taiwan merupakan “bagian integral dari tatanan internasional pascaperang”.

    Sesaat setelah itu, Trump melakukan percakapan telepon terpisah dengan Takaichi. Laporan media terkemuka AS, Wall Street Journal (WSJ), seperti dilansir AFP, Kamis (27/11/2025), menyebut bahwa Trump memberikan saran agar sang PM Jepang tidak memprovokasi China soal Taiwan.

    “Trump melakukan panggilan telepon dengan Takaichi dan menyarankan dia untuk tidak memprovokasi Beijing terkait masalah kedaulatan pulau tersebut,” demikian seperti dilaporkan WSJ, yang mengutip para pejabat Jepang dan AS yang mendapatkan pengarahan soal percakapan telepon kedua pemimpin itu.

    “Saran dari Trump itu sangat halus, dan dia tidak menekan Takaichi untuk menarik kembali komentarnya,” sebut WSJ dalam laporannya.

    Juru bicara kantor PM Jepang menolak untuk mengomentari laporan WSJ tersebut.

    Dalam pernyataannya membahas percakapan telepon dengan Trump, Takaichi mengatakan dirinya dan sang Presiden AS membahas percakapan Trump dengan Xi, serta hubungan kedua negara yang bersekutu tersebut.

    “Presiden Trump mengatakan bahwa kami adalah teman yang sangat dekat, dan dia menawarkan bahwa saya bebas untuk menghubunginya kapan saja,” kata Takaichi.

    Namun, menurut laporan WSJ, sejumlah pejabat Jepang menyebut “pesan itu mengkhawatirkan”.

    “Presiden (Trump) tidak ingin ketegangan terkait Taiwan membahayakan detente yang dicapai bulan lalu dengan Xi, yang mencakup janji untuk membeli lebih banyak produk pertanian dari para petani Amerika yang terdampak parah oleh perang dagang,” sebut laporan WSJ tersebut.

    China yang murka atas komentar Takaichi, telah memanggil Duta Besar Jepang di Beijing dan menyarankan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Ancaman China Bikin Taiwan Jor-joran di Anggaran Pertahanan

    Ancaman China Bikin Taiwan Jor-joran di Anggaran Pertahanan

    Taipei

    Pemerintah Taiwan mengajukan anggaran pertahanan tambahan sebesar NTD 1,25 triliun atau setara Rp 664 triliun. Anggaran besar itu ditujukan untuk mempertahankan diri di tengah menguatnya ancaman China.

    Dilansir Channel News Asia, Rabu (26/11/2025), pengajuan anggaran besar itu diumumkan langsung oleh Presiden Taiwan, Lai Ching-te, dalam konferensi pers di kantor kepresidenan Taiwan.

    China, yang menganggap Taiwan sebagai bagian wilayah kedaulatannya, telah meningkatkan tekanan militer dan politik selama 5 tahun terakhir. Klaim China itu ditolak mentah-mentah oleh Taipei.

    Peningkatan anggaran itu juga terjadi ketika Taiwan menghadapi desakan dari Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan anggaran pertahanannya sendiri. Pada Agustus lalu, Lai mengharapkan peningkatan anggaran pertahanan menjadi 5% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2030.

    Saat mengumumkan paket anggaran pertahanan tambahan itu, Lai menyebut sejarah telah membuktikan upaya berkompromi dalam menghadapi agresi tidak akan menghasilkan apa-apa selain ‘perbudakan’.

    “Tidak ada ruang untuk kompromi terkait keamanan nasional. Kedaulatan nasional dan nilai-nilai inti kebebasan serta demokrasi merupakan fondasi bangsa kita,” ucap Lai.

    Lai pertama kali mengumumkan rencana belanja baru itu dalam tulisan opini pada surat kabar terkemuka AS, Washington Post, pada Selasa (25/11) waktu setempat. Dalam pernyataannya, dia menegaskan Taiwan menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan diri.

    “Ini merupakan perjuangan antara mempertahankan Taiwan yang demokratis dan menolak untuk tunduk menjadi ‘Taiwan-nya China’,” sebutnya, sembari menyebut persoalannya bukan sekadar perjuangan ideologis atau perselisihan tentang ‘penyatuan versus kemerdekaan’.

    Anggaran tambahan itu, sebut Lai dalam tulisan opininya, akan digunakan untuk ‘akuisisi senjata-senjata baru yang signifikan dari AS, tetapi juga akan sangat meningkatkan kemampuan asimetris Taiwan’.

    Dia mengatakan anggaran itu juga akan mempercepat pengembangan apa yang disebut ‘T-Dome’ yang merupakan sistem pertahanan udara berlapis. Dia menyebut ‘T-Dome’ akan ‘membawa kita lebih dekat ke visi Taiwan yang tak tergoyahkan, yang dilindungi oleh inovasi dan teknologi’.

    Pengumuman ini disampaikan di tengah ketegangan diplomatik antara Jepang dan China beberapa pekan terakhir menyusul pernyataan Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi yang mengisyaratkan Tokyo dapat melakukan intervensi militer jika serangan Beijing terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Jepang. Pengumuman ini juga menyusul persetujuan AS, pada awal bulan ini, untuk penjualan suku cadang dan komponen militer senilai USD 300 juta dalam penjualan militer pertama Washington kepada Taiwan sejak Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun ini.

    Sebar Panduan Krisis ke Warga

    Selain soal anggaran pertahanan, Taiwan juga telah merilis panduan krisis dalam menghadapi ancaman bencana alam dan invasi China. Dilansir AFP, panduan itu dibagikan kepada jutaan rumah di seluruh wilayahnya.

    Panduan tersebut menjelaskan cara-cara menghadapi situasi krisis jika terjadi serangan udara dan bencana alam yang menghancurkan. Pemerintah Taiwan mulai menyelipkan booklet berwarna oranye setebal 32 halaman itu ke bawah pintu rumah dan ke dalam kotak surat warganya pada awal bulan ini.

    Upaya itu ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi bahaya yang mungkin terjadi. Para pengkritik menyebut buku panduan krisis itu sebagai pemborosan uang pajak.

    Panduan berjudul ‘Jika Terjadi Krisis’ itu menjadi bagian dari upaya Presiden Taiwan, Lai Ching-te, untuk mempersiapkan 23 juta jiwa penduduk Taiwan menghadapi bencana atau konflik yang mungkin terjadi. Panduan itu memberikan saran tentang segala hal, mulai dari cara menyiapkan ‘tas darurat’ hingga apa yang harus dilakukan ketika sirene serangan udara berbunyi. Panduan itu juga berisi cara memberikan pertolongan pertama.

    Panduan itu memberikan peringatan soal ‘pasukan asing yang bermusuhan’ yang dapat menggunakan disinformasi untuk melemahkan tekad mereka dalam mempertahankan Taiwan jika China menyerang.

    “Jika terjadi invasi militer ke Taiwan, klaim apa pun bahwa pemerintah telah menyerah atau bahwa negara telah dikalahkan adalah salah,” tegas panduan krisis itu.

    Lihat juga Video: China Desak PM Jepang Tarik Pernyataan Terkait Taiwan

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)