Tag: Sanae Takaichi

  • Asia Timur Memanas, China Penuhi Laut dengan Kapal Perang

    Asia Timur Memanas, China Penuhi Laut dengan Kapal Perang

    GELORA.CO – China kembali memamerkan kekuatan maritimnya seiring hubungan dengan Jepang dan Taiwan yang memanas. Lebih dari seratus kapal perang dan kapal penjaga pantai dikerahkan di perairan Asia Timur dalam operasi terbesar yang tercatat hingga saat ini. 

    Hingga Kamis pagi, lebih dari 90 kapal China masih beroperasi di berbagai titik, setelah sebelumnya jumlahnya melampaui 100 kapal pada awal pekan. Skala ini melampaui pengerahan masif pada Desember tahun lalu yang sempat membuat Taiwan meningkatkan kewaspadaannya.

    Informasi tersebut disampaikan empat sumber keamanan regional dan diperkuat dokumen intelijen yang ditinjau Reuters. Langkah Beijing berlangsung di tengah padatnya agenda latihan militer musim ini. Meski demikian, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China belum mengumumkan latihan berskala besar dengan penamaan resmi sebagaimana biasanya.

    Peningkatan aktivitas ini muncul saat hubungan China dan Jepang berada dalam tensi tinggi. Pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi bulan lalu yang menegaskan bahwa serangan China terhadap Taiwan berpotensi memicu respons militer Tokyo. Pernyataan ini mengundang reaksi keras Beijing. 

    Kemarahan China juga dipicu pengumuman Presiden Taiwan Lai Ching-te terkait pengalokasian tambahan anggaran pertahanan sebesar 40 miliar dolar AS untuk memperkuat kemampuan menghadapi ancaman dari Beijing, yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya.

    Hubungan rumit China dan Taiwan

    Menurut empat pejabat keamanan kawasan, kapal-kapal China terpantau tersebar dari Laut Kuning bagian selatan, melewati Laut Cina Timur, hingga ke Laut Cina Selatan yang diperebutkan, bahkan menjangkau wilayah Pasifik. Laporan intelijen dari salah satu negara di kawasan—yang ditinjau Reuters dengan syarat kerahasiaan—mengonfirmasi pola pengerahan tersebut.

    Direktur Jenderal Biro Keamanan Nasional Taiwan, Tsai Ming-yen, pada Rabu menyebut China kini memasuki musim aktivitas militer paling intens. Ia menyebut terdapat empat gugus laut China yang beroperasi di Pasifik barat. 

    “Kita harus mengantisipasi berbagai skenario dan mengamati perubahan sekecil apapun,” ujarnya saat ditanya apakah Beijing berpotensi meluncurkan latihan khusus Taiwan sebelum tahun berganti.

    Hingga kini, Kementerian Pertahanan dan Luar Negeri China serta Kantor Urusan Taiwan belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

    Sementara itu, Kantor Kepresidenan Taiwan melalui juru bicara Karen Kuo menegaskan bahwa otoritas keamanan memiliki pemahaman real-time tentang situasi di Selat Taiwan dan kawasan sekitarnya. Taiwan, katanya, akan terus bekerja sama dengan mitra internasional demi menjaga stabilitas regional dan mencegah tindakan sepihak yang berpotensi mengganggu keamanan.

    Salah satu sumber keamanan regional menilai lonjakan pengerahan terjadi setelah Beijing memanggil duta besar Jepang pada 14 November untuk memprotes komentar PM Takaichi. 

    “Skala ini melampaui kebutuhan pertahanan nasional China dan menciptakan risiko bagi semua pihak,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa Beijing tengah menguji reaksi negara-negara regional melalui langkah yang “belum pernah terjadi sebelumnya”.

    Pasukan Bela Diri Jepang menolak mengomentari pergerakan spesifik militer China. Namun mereka mengakui bahwa Beijing berupaya meningkatkan kemampuan operasi jarak jauh di wilayah maritim maupun udara. 

    Sejumlah kapal China tercatat melakukan simulasi serangan terhadap kapal asing serta latihan penolakan akses—langkah yang dirancang untuk menghambat intervensi pihak luar jika konflik meletus.

    Meski demikian, dua sumber lain menyebut sejumlah negara kawasan memilih tetap waspada namun belum menilai pengerahan tersebut sebagai ancaman signifikan. “Terlihat seperti agenda besar,” kata salah satu sumber. “Namun sejauh ini tampaknya hanya latihan rutin.”

    Menariknya, laporan intelijen dan pejabat terkait menyebut bahwa jumlah kapal China di sekitar Taiwan tidak mengalami peningkatan berarti. Latihan terakhir yang secara eksplisit diarahkan ke Taiwan terjadi pada April dengan nama “Strait Thunder-2025”. Beijing juga tidak pernah mengonfirmasi latihan-latihan maritim skala besar pada Desember tahun lalu.

  • Perkara Pulau Sengketa Bikin Jepang dan China Bersitegang

    Perkara Pulau Sengketa Bikin Jepang dan China Bersitegang

    Jakarta

    Jepang dan China kembali bersitegang akibat pulau-pulau yang disengketakan. Kapal-kapal kedua negara terlibat perselisihan di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur.

    Dilansir AFP, Selasa (2/12/2025), cekcok terbaru itu terjadi saat hubungan kedua negara bersitegang sejak Perdana Menteri (PM) baru Jepang, Sanae Takaichi, bulan lalu mengisyaratkan bahwa negaranya dapat melakukan intervensi militer terhadap serangan China pada Taiwan.

    Dalam pernyataannya, Penjaga Pantai Jepang menyebut dua kapal patroli penjaga pantai China memasuki perairan teritorial Jepang, tepatnya di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur pada Selasa (2/12) dini hari.

    Disebutkan bahwa kapal-kapal itu meninggalkan wilayah perairan itu beberapa jam kemudian.

    Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang, juga dikenal sebagai Diaoyu di China. Pulau tersebut menjadi titik panas yang sering memicu konflik antara kedua negara dalam beberapa dekade terakhir.

    Setelah kapal-kapal patroli China itu berlayar menuju ke sebuah kapal penangkap ikan Jepang, sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang, salah satu kapal Penjaga Pantai Tokyo mengeluarkan tuntutan agar kapal-kapal asing itu meninggalkan perairan tersebut.

    “Aktivitas kapal-kapal penjaga pantai China yang bernavigasi di perairan teritorial Jepang di sekitar Kepulauan Senkaku, sembari menegaskan klaim mereka sendiri, pada dasarnya melanggar hukum internasional,” sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya.

    Pernyataan Jepang itu menyebutkan bahwa dua kapal China, dan beberapa kapal-kapal lainnya, masih berada di area perairan tersebut.

    Kata Penjaga Pantai China

    Juru bicara Otoritas Penjaga Pantai China, Liu Dejun, dalam pernyataan terpisah menuduh sebuah kapal penangkap ikan Jepang telah “memasuki perairan teritorial China secara ilegal”.

    “Kapal-kapal Penjaga Pantai China telah mengambil langkah-langkah pengendalian yang diperlukan dan memberikan peringatan untuk mengusirnya,” ujar Liu dalam pernyataan via WeChat.

    “Penjaga Pantai China akan terus melakukan aktivitas perlindungan hak dan penegakan hukum di perairan sekitar Kepulauan Diaoyu, dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial nasional dan hak maritim,” tegasnya.

    Insiden ini menyusul insiden serupa di sekitar kepulauan sengketa tersebut pada 16 November lalu, sekitar sepekan setelah komentar kontroversial Takaichi.

    Komentar Takaichi itu memicu kemarahan Beijing, yang menyerukan warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang dan berdampak pada sejumlah acara kebudayaan di China. Otoritas Beijing juga memberlakukan larangan impor makanan laut Tokyo.

    Tonton juga video “China Tebar Ancaman ke Jepang Buntut Pasang Rudal Dekat Taiwan”

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • BOJ Beri Sinyal Kenaikan Suku Bunga Acuan Jepang pada Desember 2025

    BOJ Beri Sinyal Kenaikan Suku Bunga Acuan Jepang pada Desember 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Gubernur Bank of Japan (BOJ) Kazuo Ueda baru-baru ini menyatakan keyakinannya terhadap prospek ekonomi Jepang dan mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan.

    Dilansir dari Reuters, Ueda mengindikasikan bahwa BOJ berada dalam jalur menuju suku bunga lebih tinggi dengan tetap berpegang teguh pada garis standarnya. Dia menegaskan kembali bahwa jika proyeksi BOJ mengenai aktivitas ekonomi dan inflasi terealisasi, bank sentral akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuan dari posisi saat ini di level 0,50%.

    Pernyataan tersebut sempat menimbulkan kebingungan di masyarakat, terutama mengenai apakah BOJ memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintah terkait kondisi ekonomi.

    Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Jepang Satsuki Katayama menegaskan bahwa pemerintah dan BOJ berada pada posisi yang sama. Ia memastikan bahwa kedua pihak memiliki pandangan serupa bahwa perekonomian Jepang tengah pulih secara moderat.

    “Kami yakin tidak ada perbedaan antara pandangan BOJ dan pemerintah bahwa perekonomian Jepang pulih secara moderat, jadi kami tidak melihat hal ini sebagai masalah,” ujarnya dalam konferensi pers rutin pada Selasa (2/12/2025).

    Perekonomian Jepang terkontraksi untuk pertama kalinya dalam enam kuartal, memperkuat alasan bagi Perdana Menteri Sanae Takaichi untuk meluncurkan paket stimulus fiskal besar guna menopang pertumbuhan.

    Laporan Kantor Kabinet Jepang yang dikutip dari Bloomberg pada Senin (17/11/2025) mencatat, produk domestik bruto (PDB) riil turun 1,8% secara tahunan pada kuartal III/2025. Capaian tersebut lebih baik dari konsensus ekonom yang memperkirakan kontraksi 2,4%.

    Pelemahan ekonomi tersebut sebelumnya telah banyak diproyeksikan, setelah pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II/2025 mencapai 2,3%, setelah revisi data, atau empat kali lipat dari potensi pertumbuhan negara itu. Penurunan tajam kali ini juga diperparah oleh anjloknya investasi perumahan yang terkontraksi 9,4% secara kuartalan.

    Ueda sebelumnya juga menyampaikan bahwa BOJ akan mempertimbangkan berbagai pro dan kontra sebelum memutuskan apakah suku bunga akan dinaikkan. Keputusan tersebut rencananya akan diumumkan pada pertemuan kebijakan berikutnya pada 19 Desember 2025.

    Berdasarkan sinyal yang muncul sejauh ini, para ekonom menilai bahwa peluang kenaikan suku bunga cukup besar pada Desember ini, atau paling lambat pada Januari 2026.

    Katayama menambahkan bahwa dia berharap BOJ terus bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan kebijakan moneter untuk mencapai target inflasi 2% yang didukung oleh kenaikan upah. 

    “Pada titik ini, mengingat ekspektasi tersebut, saya tidak perlu menambahkan apa pun lagi. Ke depannya, kita perlu memantau apakah kenaikan harga akan berlanjut, serta perkembangan kebijakan perdagangan AS. Selain itu, mengingat berbagai fluktuasi di pasar keuangan dan modal global, kita harus mencermati tren korporasi,” sambungnya. (Putri Astrian Surahman)

  • China-Jepang Cekcok Lagi Terkait Pulau Sengketa

    China-Jepang Cekcok Lagi Terkait Pulau Sengketa

    Tokyo

    Kapal-kapal patroli China dan Jepang kembali terlibat perselisihan di perairan sekitar pulau-pulau yang disengketakan. Beijing dan Tokyo saling menuduh adanya pelanggaran wilayah perairan dalam insiden terbaru pada Selasa (2/12) waktu setempat.

    Cekcok terbaru itu terjadi saat hubungan kedua negara bersitegang sejak Perdana Menteri (PM) baru Jepang, Sanae Takaichi, bulan lalu mengisyaratkan bahwa negaranya dapat melakukan intervensi militer terhadap serangan China pada Taiwan.

    Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Selasa (2/12/2025), menyebut dua kapal patroli penjaga pantai China memasuki perairan teritorial Jepang, tepatnya di sekitar Kepulauan Senkaku, di Laut China Timur pada Selasa (2/12) dini hari.

    Disebutkan bahwa kapal-kapal itu meninggalkan wilayah perairan itu beberapa jam kemudian.

    Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang, juga dikenal sebagai Diaoyu di China. Pulau tersebut menjadi titik panas yang sering memicu konflik antara kedua negara dalam beberapa dekade terakhir.

    Setelah kapal-kapal patroli China itu berlayar menuju ke sebuah kapal penangkap ikan Jepang, sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang, salah satu kapal Penjaga Pantai Tokyo mengeluarkan tuntutan agar kapal-kapal asing itu meninggalkan perairan tersebut.

    “Aktivitas kapal-kapal penjaga pantai China yang bernavigasi di perairan teritorial Jepang di sekitar Kepulauan Senkaku, sembari menegaskan klaim mereka sendiri, pada dasarnya melanggar hukum internasional,” sebut Otoritas Penjaga Pantai Jepang dalam pernyataannya.

    Ditambahkan dalam pernyataan itu bahwa dua kapal China, dan beberapa kapal-kapal lainnya, masih berada di area perairan tersebut.

    Juru bicara Otoritas Penjaga Pantai China, Liu Dejun, dalam pernyataan terpisah menuduh sebuah kapal penangkap ikan Jepang telah “memasuki perairan teritorial China secara ilegal”.

    “Kapal-kapal Penjaga Pantai China telah mengambil langkah-langkah pengendalian yang diperlukan dan memberikan peringatan untuk mengusirnya,” ujar Liu dalam pernyataan via WeChat.

    “Penjaga Pantai China akan terus melakukan aktivitas perlindungan hak dan penegakan hukum di perairan sekitar Kepulauan Diaoyu, dengan tegas menjaga kedaulatan teritorial nasional dan hak maritim,” tegasnya.

    Insiden ini menyusul insiden serupa di sekitar kepulauan sengketa tersebut pada 16 November lalu, sekitar sepekan setelah komentar kontroversial Takaichi.

    Komentar Takaichi itu memicu kemarahan Beijing, yang menyerukan warganya untuk menghindari perjalanan ke Jepang dan berdampak pada sejumlah acara kebudayaan di China. Otoritas Beijing juga memberlakukan larangan impor makanan laut Tokyo.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Peringatan China ke Jepang Jika Ikut Campur soal Taiwan

    Peringatan China ke Jepang Jika Ikut Campur soal Taiwan

    Beijing

    China memberi peringatan keras kepada Jepang soal Taiwan. China meminta Jepang tak ikut campur urusannya dengan Taiwan.

    Dilansir Reuters, Jumat (28/11/2025), Kementerian Pertahanan China memperingatkan Jepang akan membayar ‘harga yang menyakitkan’ jika bertindak melewati batas terkait masalah Taiwan. Peringatan itu disampaikan China merespons rencana Tokyo mengerahkan rudal di sebuah pulau yang berjarak sekitar 100 Km saja dari pantai Taiwan.

    Tensi antara kedua negara itu meningkat dalam krisis diplomatik terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dipicu Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi yang mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Pada Minggu (23/11), Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, mengatakan Tokyo berencana menempatkan unit rudal jarak menengah jenis darat-ke-udara ke sebuah pangkalan militer di Yonaguni. Lokasi itu merupakan pulau yang berjarak sekitar 110 Km dari pantai timur Taiwan.

    Kementerian Pertahanan China sendiri menyatakan cara ‘menyelesaikan masalah Taiwan’ adalah urusan Beijing dan tidak ada hubungannya dengan Jepang yang sempat menguasai Taipei dari tahun 1895 silam hingga akhir perang Dunia tahun 1945. China pun menyindir tindakan Jepang di masa lalu.

    “Jepang tidak hanya gagal untuk merenungkan secara mendalam kejahatan agresinya dan penjajahan beratnya di Taiwan, tetapi justru, menentang opini dunia, Jepang justru terlena dengan khayalan intervensi militer di Selat Taiwan,” ucap juru bicara Kementerian Pertahanan China, Jiang Bin, dalam jumpa pers.

    Dia mengatakan China punya kemampuan militer yang kuat. Dia menegaskan kekuatan militer China dapat diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang Negeri Tirai Bambu itu.

    “Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memiliki kemampuan yang kuat dan sarana yang bisa diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang,” sebutnya.

    Dia mengancam Jepang akan membayar harga yang menyakitkan jika melewati batas. Dia mengatakan Jepang hanya akan menimbulkan masalah bagi diri sendiri jika dianggap oleh China telah melewati batas dalam urusan Taiwan.

    “Jika pihak Jepang berani melewati batas, bahkan setengah langkah saja, dan menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri, mereka pasti akan membayar harga yang menyakitkan,” tegas Jiang dalam pernyataannya.

    Taiwan, yang memiliki pemerintahan demokratis sendiri, berulang kali menolak klaim teritorial China. Taipei menegaskan hanya rakyat mereka yang bisa memutuskan masa depan Taiwan.

    Presiden Taiwan Lai Ching-te mengumumkan rencana untuk menghabiskan anggaran pertahanan tambahan USD 40 miliar selama delapan tahun ke depan. Hal ini menuai kritikan Beijing, yang menyebutnya sebagai pemborosan yang hanya akan menjerumuskan Taiwan ke bencana.

    Saat ditanya soal kritikan itu, juru bicara Dewan Urusan Daratan Utama Taiwan, Liang Wen-chieh, mengatakan pada Kamis (27/11) bahwa anggaran pertahanan China jauh lebih besar daripada Taiwan.

    “Jika mereka dapat mengutamakan perdamaian lintas selat, dana ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat daratan utama,” sebutnya.

    “Kedua belah pihak di selat ini tidak seharusnya seperti ini, saling bermusuhan sengit; itu akan baik untuk semua orang,” ujar Liang.

    Jepang sendiri telah mendapat nasihat dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trump memberikan saran khusus kepada Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi untuk tidak memprovokasi China terkait Taiwan.

    “Trump melakukan panggilan telepon dengan Takaichi dan menyarankan dia untuk tidak memprovokasi Beijing terkait masalah kedaulatan pulau tersebut,” demikian seperti dilaporkan WSJ, yang mengutip para pejabat Jepang dan AS yang mendapatkan pengarahan soal percakapan telepon kedua pemimpin itu.

    “Saran dari Trump itu sangat halus, dan dia tidak menekan Takaichi untuk menarik kembali komentarnya,” sebut WSJ dalam laporannya seperti dilansir AFP. Juru bicara kantor PM Jepang menolak untuk mengomentari laporan WSJ tersebut.

    Lihat juga Video: China Tebar Ancaman ke Jepang Buntut Pasang Rudal Dekat Taiwan

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • Jepang Akan Bayar ‘Harga Menyakitkan’ Jika Lewati Batas Soal Taiwan

    Jepang Akan Bayar ‘Harga Menyakitkan’ Jika Lewati Batas Soal Taiwan

    Beijing

    Kementerian Pertahanan China memperingatkan bahwa Jepang akan membayar “harga yang menyakitkan” jika bertindak melewati batas terkait masalah Taiwan. Peringatan ini merespons rencana Tokyo mengerahkan rudal di sebuah pulau yang berjarak sekitar 100 kilometer saja dari pantai Taiwan.

    Peringatan tersebut, seperti dilansir Reuters, Jumat (28/11/2025), dilontarkan saat kedua negara terlibat krisis diplomatik terburuk dalam beberapa tahun terakhir, setelah Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Menteri Pertahanan Jepang, Shinjiro Koizumi, mengatakan pada Minggu (23/11) bahwa rencana Tokyo untuk menempatkan unit rudal jarak menengah jenis darat-ke-udara ke sebuah pangkalan militer di Yonaguni, sebuah pulau yang berjarak sekitar 110 kilometer dari pantai timur Taiwan, “terus bergerak maju”.

    Saat ditanya soal pengerahan tersebut, Kementerian Pertahanan China mengatakan bahwa cara “menyelesaikan masalah Taiwan” adalah urusan Beijing dan tidak ada hubungannya dengan Jepang, yang sempat menguasai Taipei dari tahun 1895 silam hingga akhir perang Dunia tahun 1945.

    “Jepang tidak hanya gagal untuk merenungkan secara mendalam kejahatan agresinya dan penjajahan beratnya di Taiwan, tetapi justru, menentang opini dunia, Jepang justru terlena dengan khayalan intervensi militer di Selat Taiwan,” ucap juru bicara Kementerian Pertahanan China, Jiang Bin, dalam jumpa pers.

    “Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memiliki kemampuan yang kuat dan sarana yang bisa diandalkan untuk mengalahkan musuh yang menyerang,” sebutnya.

    “Jika pihak Jepang berani melewati batas, bahkan setengah langkah saja, dan menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri, mereka pasti akan membayar harga yang menyakitkan,” tegas Jiang dalam pernyataannya.

    Kementerian Luar Negeri China sebelumnya telah mengkritik pengerahan rudal oleh Jepang tersebut.

    Taiwan yang memiliki pemerintahan demokratis sendiri, berulang kali menolak klaim teritorial China. Taipei menegaskan bahwa hanya rakyat mereka yang bisa memutuskan masa depan Taiwan.

    Presiden Lai Ching-te, pekan ini, mengumumkan rencana untuk menghabiskan anggaran pertahanan tambahan US$ 40 miliar selama delapan tahun ke depan. Hal ini menuai kritikan Beijing, yang menyebutnya sebagai pemborosan yang hanya akan menjerumuskan Taiwan ke bencana.

    Saat ditanya soal kritikan itu, juru bicara Dewan Urusan Daratan Utama Taiwan, Liang Wen-chieh, mengatakan pada Kamis (27/11) bahwa anggaran pertahanan China jauh lebih besar daripada Taiwan.

    “Jika mereka dapat mengutamakan perdamaian lintas selat, dana ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat daratan utama,” sebutnya.

    “Kedua belah pihak di selat ini tidak seharusnya seperti ini, saling bermusuhan sengit; itu akan baik untuk semua orang,” ujar Liang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Trump Beri Saran ke PM Jepang Agar Tak Provokasi China Soal Taiwan

    Trump Beri Saran ke PM Jepang Agar Tak Provokasi China Soal Taiwan

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberikan saran khusus kepada Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi saat keduanya berbicara via telepon baru-baru ini. Trump menyarankan Takaichi untuk tidak memprovokasi China terkait Taiwan.

    Saran Trump itu disampaikan ketika Tokyo terlibat sengketa diplomatik dengan Beijing beberapa pekan terakhir.

    Perselisihan dua negara dengan perekonomian terbesar di Asia itu dipicu oleh pernyataan Takaichi yang mengisyaratkan Jepang dapat melakukan intervensi militer jika serangan China terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Tokyo.

    Pada Senin (24/11) waktu setempat, Trump dan Presiden China Xi Jinping melakukan percakapan telepon, di mana Xi menekankan bahwa kembalinya Taiwan merupakan “bagian integral dari tatanan internasional pascaperang”.

    Sesaat setelah itu, Trump melakukan percakapan telepon terpisah dengan Takaichi. Laporan media terkemuka AS, Wall Street Journal (WSJ), seperti dilansir AFP, Kamis (27/11/2025), menyebut bahwa Trump memberikan saran agar sang PM Jepang tidak memprovokasi China soal Taiwan.

    “Trump melakukan panggilan telepon dengan Takaichi dan menyarankan dia untuk tidak memprovokasi Beijing terkait masalah kedaulatan pulau tersebut,” demikian seperti dilaporkan WSJ, yang mengutip para pejabat Jepang dan AS yang mendapatkan pengarahan soal percakapan telepon kedua pemimpin itu.

    “Saran dari Trump itu sangat halus, dan dia tidak menekan Takaichi untuk menarik kembali komentarnya,” sebut WSJ dalam laporannya.

    Juru bicara kantor PM Jepang menolak untuk mengomentari laporan WSJ tersebut.

    Dalam pernyataannya membahas percakapan telepon dengan Trump, Takaichi mengatakan dirinya dan sang Presiden AS membahas percakapan Trump dengan Xi, serta hubungan kedua negara yang bersekutu tersebut.

    “Presiden Trump mengatakan bahwa kami adalah teman yang sangat dekat, dan dia menawarkan bahwa saya bebas untuk menghubunginya kapan saja,” kata Takaichi.

    Namun, menurut laporan WSJ, sejumlah pejabat Jepang menyebut “pesan itu mengkhawatirkan”.

    “Presiden (Trump) tidak ingin ketegangan terkait Taiwan membahayakan detente yang dicapai bulan lalu dengan Xi, yang mencakup janji untuk membeli lebih banyak produk pertanian dari para petani Amerika yang terdampak parah oleh perang dagang,” sebut laporan WSJ tersebut.

    China yang murka atas komentar Takaichi, telah memanggil Duta Besar Jepang di Beijing dan menyarankan warganya untuk tidak bepergian ke Jepang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Ancaman China Bikin Taiwan Jor-joran di Anggaran Pertahanan

    Ancaman China Bikin Taiwan Jor-joran di Anggaran Pertahanan

    Taipei

    Pemerintah Taiwan mengajukan anggaran pertahanan tambahan sebesar NTD 1,25 triliun atau setara Rp 664 triliun. Anggaran besar itu ditujukan untuk mempertahankan diri di tengah menguatnya ancaman China.

    Dilansir Channel News Asia, Rabu (26/11/2025), pengajuan anggaran besar itu diumumkan langsung oleh Presiden Taiwan, Lai Ching-te, dalam konferensi pers di kantor kepresidenan Taiwan.

    China, yang menganggap Taiwan sebagai bagian wilayah kedaulatannya, telah meningkatkan tekanan militer dan politik selama 5 tahun terakhir. Klaim China itu ditolak mentah-mentah oleh Taipei.

    Peningkatan anggaran itu juga terjadi ketika Taiwan menghadapi desakan dari Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan anggaran pertahanannya sendiri. Pada Agustus lalu, Lai mengharapkan peningkatan anggaran pertahanan menjadi 5% dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2030.

    Saat mengumumkan paket anggaran pertahanan tambahan itu, Lai menyebut sejarah telah membuktikan upaya berkompromi dalam menghadapi agresi tidak akan menghasilkan apa-apa selain ‘perbudakan’.

    “Tidak ada ruang untuk kompromi terkait keamanan nasional. Kedaulatan nasional dan nilai-nilai inti kebebasan serta demokrasi merupakan fondasi bangsa kita,” ucap Lai.

    Lai pertama kali mengumumkan rencana belanja baru itu dalam tulisan opini pada surat kabar terkemuka AS, Washington Post, pada Selasa (25/11) waktu setempat. Dalam pernyataannya, dia menegaskan Taiwan menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan diri.

    “Ini merupakan perjuangan antara mempertahankan Taiwan yang demokratis dan menolak untuk tunduk menjadi ‘Taiwan-nya China’,” sebutnya, sembari menyebut persoalannya bukan sekadar perjuangan ideologis atau perselisihan tentang ‘penyatuan versus kemerdekaan’.

    Anggaran tambahan itu, sebut Lai dalam tulisan opininya, akan digunakan untuk ‘akuisisi senjata-senjata baru yang signifikan dari AS, tetapi juga akan sangat meningkatkan kemampuan asimetris Taiwan’.

    Dia mengatakan anggaran itu juga akan mempercepat pengembangan apa yang disebut ‘T-Dome’ yang merupakan sistem pertahanan udara berlapis. Dia menyebut ‘T-Dome’ akan ‘membawa kita lebih dekat ke visi Taiwan yang tak tergoyahkan, yang dilindungi oleh inovasi dan teknologi’.

    Pengumuman ini disampaikan di tengah ketegangan diplomatik antara Jepang dan China beberapa pekan terakhir menyusul pernyataan Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi yang mengisyaratkan Tokyo dapat melakukan intervensi militer jika serangan Beijing terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Jepang. Pengumuman ini juga menyusul persetujuan AS, pada awal bulan ini, untuk penjualan suku cadang dan komponen militer senilai USD 300 juta dalam penjualan militer pertama Washington kepada Taiwan sejak Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun ini.

    Sebar Panduan Krisis ke Warga

    Selain soal anggaran pertahanan, Taiwan juga telah merilis panduan krisis dalam menghadapi ancaman bencana alam dan invasi China. Dilansir AFP, panduan itu dibagikan kepada jutaan rumah di seluruh wilayahnya.

    Panduan tersebut menjelaskan cara-cara menghadapi situasi krisis jika terjadi serangan udara dan bencana alam yang menghancurkan. Pemerintah Taiwan mulai menyelipkan booklet berwarna oranye setebal 32 halaman itu ke bawah pintu rumah dan ke dalam kotak surat warganya pada awal bulan ini.

    Upaya itu ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang potensi bahaya yang mungkin terjadi. Para pengkritik menyebut buku panduan krisis itu sebagai pemborosan uang pajak.

    Panduan berjudul ‘Jika Terjadi Krisis’ itu menjadi bagian dari upaya Presiden Taiwan, Lai Ching-te, untuk mempersiapkan 23 juta jiwa penduduk Taiwan menghadapi bencana atau konflik yang mungkin terjadi. Panduan itu memberikan saran tentang segala hal, mulai dari cara menyiapkan ‘tas darurat’ hingga apa yang harus dilakukan ketika sirene serangan udara berbunyi. Panduan itu juga berisi cara memberikan pertolongan pertama.

    Panduan itu memberikan peringatan soal ‘pasukan asing yang bermusuhan’ yang dapat menggunakan disinformasi untuk melemahkan tekad mereka dalam mempertahankan Taiwan jika China menyerang.

    “Jika terjadi invasi militer ke Taiwan, klaim apa pun bahwa pemerintah telah menyerah atau bahwa negara telah dikalahkan adalah salah,” tegas panduan krisis itu.

    Lihat juga Video: China Desak PM Jepang Tarik Pernyataan Terkait Taiwan

    Halaman 2 dari 3

    (haf/haf)

  • Tangkal Ancaman China, Taiwan Siapkan Anggaran Pertahanan Rp 664 T

    Tangkal Ancaman China, Taiwan Siapkan Anggaran Pertahanan Rp 664 T

    Taipei

    Pemerintah Taiwan akan mengajukan anggaran pertahanan tambahan sebesar NT$ 1,25 triliun, atau setara Rp 664 triliun, sebagai bentuk penegasan tekad dalam mempertahankan diri menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari China.

    Hal tersebut, seperti dilansir Channel News Asia, Rabu (26/11/2025), diumumkan langsung oleh Presiden Lai Ching-te dalam konferensi pers di kantor kepresidenan Taiwan pada Rabu (26/11) waktu setempat.

    China, yang menganggap Taiwan sebagai bagian wilayah kedaulatannya, telah meningkatkan tekanan militer dan politik selama lima tahun terakhir untuk menegaskan klaimnya, yang ditolak mentah-mentah oleh Taipei.

    Ketika Taiwan menghadapi desakan dari Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan anggaran pertahanannya sendiri, Lai mengatakan pada Agustus lalu bahwa dirinya mengharapkan peningkatan anggaran pertahanan menjadi 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2030.

    Saat mengumumkan paket anggaran pertahanan tambahan itu, Lai menyebut sejarah telah membuktikan bahwa upaya berkompromi dalam menghadapi agresi tidak akan menghasilkan apa-apa selain “perbudakan”.

    “Tidak ada ruang untuk kompromi terkait keamanan nasional,” tegasnya.

    “Kedaulatan nasional dan nilai-nilai inti kebebasan serta demokrasi merupakan fondasi bangsa kita,” ucap Lai.

    Lai pertama kali mengumumkan rencana belanja baru itu dalam tulisan opini pada surat kabar terkemuka AS, Washington Post, pada Selasa (25/11) waktu setempat. Dalam pernyataannya, dia menegaskan bahwa Taiwan menunjukkan tekadnya untuk mempertahankan diri.

    “Ini merupakan perjuangan antara mempertahankan Taiwan yang demokratis dan menolak untuk tunduk menjadi ‘Taiwan-nya China’,” sebutnya, sembari menyebut persoalannya bukan sekadar perjuangan ideologis atau perselisihan tentang “penyatuan versus kemerdekaan”.

    Anggaran tambahan itu, sebut Lai dalam tulisan opininya, akan digunakan untuk “akuisisi senjata-senjata baru yang signifikan dari AS, tetapi juga akan sangat meningkatkan kemampuan asimetris Taiwan”.

    Dia mengatakan akan mempercepat pengembangan apa yang disebut “T-Dome” — sistem pertahanan udara berlapis — yang akan “membawa kita lebih dekat ke visi Taiwan yang tak tergoyahkan, yang dilindungi oleh inovasi dan teknologi”.

    Pengumuman ini disampaikan di tengah ketegangan diplomatik antara Jepang dan China beberapa pekan terakhir, menyusul pernyataan Perdana Menteri (PM) Sanae Takaichi yang mengisyaratkan Tokyo dapat melakukan intervensi militer jika serangan Beijing terhadap Taiwan mengancam kelangsungan hidup Jepang.

    Pengumuman ini juga menyusul persetujuan AS, pada awal bulan ini, untuk penjualan suku cadang dan komponen militer senilai US$ 300 juta dalam penjualan militer pertama Washington kepada Taiwan sejak Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun ini.

    Lihat juga Video: China Marah AS Masih ‘Main Api’ dengan Taiwan

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Ramai Debat Kebijakan Nuklir Jepang, Apa Kata Penyintas Bom Atom?

    Ramai Debat Kebijakan Nuklir Jepang, Apa Kata Penyintas Bom Atom?

    Jakarta

    Partai Liberal Demokrat (Liberal Democratic Party/LDP) yang berkuasa di Jepang akan membahas kebijakan keamanan nasional negara tersebut, ketika menghadapi tantangan keamanan yang semakin besar di Asia Timur Laut. Hal itu juga menyangkut soal pilihan Jepang harus menghapus tiga prinsip yang telah lama dianut, yaitu tidak memiliki, tidak memproduksi, atau tidak mengizinkan masuknya senjata nuklir ke wilayah Jepang.

    Gagasan bahwa Jepang, satu-satunya yang pernah menjadi target serangan bom atom dalam perang, mungkin akan mengubah pendiriannya dan mengembangkan kemampuan penangkal nuklir sendiri telah memicu penolakan keras di dalam negeri. Terutama pada peringatan 80 tahun pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dan berakhirnya Perang Dunia II.

    “Tiga prinsip non-nuklir merupakan kebijakan nasional dasar yang didasarkan pada konsensus nasional,” kata Akira Kawasaki, anggota komite eksekutif NGO Peace Boat yang berbasis di Jepang, sekaligus koordinator bersama Jaringan untuk Penghapusan Senjata Nuklir.

    Kawasaki mencatat bahwa Parlemen Jepang telah mengesahkan resolusi yang mendukung prinsip-prinsip tersebut, “padahal mantan perdana menteri telah berjanji untuk mematuhi prinsip-prinsip tersebut pada bulan Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan Hiroshima dan Nagasaki.”

    “Saya sendiri sangat terkejut mendengar laporan bahwa pemerintah mungkin akan meninjau kembali prinsip-prinsip non-nuklir dan kelompok-kelompok perdamaian serta mereka yang mewakili ‘hibakusha’ (korban bom atom) juga merasa terkejut,” katanya kepada DW.

    Tokyo soroti perubahan kebijakan nuklir

    Kontroversi muncul pada 11 November 2025 ketika Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menolak mengonfirmasi kepada komite parlemen bahwa pemerintahnya akan tetap berkomitmen pada tiga prinsip non-nuklir yang secara resmi diadopsi pada tahun 1971.

    Pada 20 November 2025, Kepala Kebijakan Partai LDP Takayuki Kobayashi semakin memicu kekhawatiran, dengan mengatakan bahwa tinjauan strategi keamanan Jepang mendatang akan mencakup di semua bidang.

    Pemerintah juga akan meninjau kembali belanja pertahanan dan akan menyusun proposal yang mencakup seluruh aspek keamanan nasional pada akhir April 2026.

    Penolakan terhadap rencana tersebut sangat tegas.

    Sebuah editorial yang diterbitkan oleh harian The Mainichi pada 19 November 2025 menyatakan, “mengulangi prinsip ini akan menandai langkah mundur dari jalur Jepang sebagai negara damai. Jika Takaichi memaksakan pandangan pribadinya dan bertindak gegabah, hal itu akan meninggalkan bekas luka yang abadi.”

    Editorial tersebut, bagaimanapun, mengakui kalau “tidak diragukan lagi bahwa lingkungan keamanan Jepang telah menjadi lebih serius,” dengan mengutip invasi Rusia ke Ukraina dan percepatan program senjata nuklir Korea Utara.

    “Namun, mengabaikan idealisme Jepang akan menghancurkan puluhan tahun upaya menuju penghapusan senjata nuklir. Hal itu juga akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara tetangga,” tambahnya.

    Penyintas pimpin penolakan atas nuklir

    Yoshihiko Noda, mantan perdana menteri dan kini ketua Partai Demokrat Konstitusional Jepang dari kelompok oposisi, menyuarakan pandangan serupa dengan mengatakan bahwa Jepang harus “memimpin” dalam mempromosikan penghapusan senjata nuklir. Dalam sebuah konferensi pers pada pertengahan November 2025, Yoshihiko Noda berjanji bahwa dia akan menentang perubahan terhadap prinsip-prinsip non-nuklir negara tersebut.

    Nihon Hidankyo, atau Organisasi Konfederasi Jepang Korban Bom A- dan H-, juga mengkritik, dengan mengeluarkan pernyataan pada 20 November 2025, menyatakan bahwa mereka “menolak keras” upaya untuk membatalkan prinsip-prinsip tersebut.

    Dia menambahkan bahwa para penyintas Hiroshima dan Nagasaki “tidak boleh membiarkan senjata nuklir dibawa ke Jepang atau membiarkan negara ini menjadi basis perang nuklir atau sasaran serangan nuklir.”

    Terumi Tanaka, seorang anggota kelompok tersebut yang berusia 92 tahun, mengatakan kepada Kyodo News Agency bahwa senjata nuklir adalah “alat setan.”

    Menurut Akira Kawasaki, jajak pendapat berulang selama dekade terakhir menunjukkan bahwa sekitar 70% warga Jepang mendukung pemeliharaan tiga prinsip non-nuklir, meskipun ketegangan geopolitik di kawasan tersebut telah meningkat.

    Ketegangan tersebut meningkat lebih tajam baru-baru ini setelah Takaichi menyatakan bahwa serangan Cina terhadap Taiwan akan menjadi ancaman eksistensial bagi Jepang dan akan memerlukan pengerahan Pasukan Pertahanan Jepang.

    Ketegangan politik Cina-Jepang meningkat

    Beijing dan Tokyo sejak saat itu saling melontarkan kritik. Cina mulai menyiarkan video propaganda anti-Jepang, meningkatkan sanksi ekonomi, dan menuduh Tokyo memicu ketegangan regional.

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump belum berkomentar secara publik tentang perselisihan antara Cina dan Jepang. Namun, dalam panggilan telepon dengan Presiden Cina Xi Jinping pada Senin (24/11), Xi mengatakan kepada Trump bahwa “kembalinya Taiwan ke Cina merupakan bagian penting dari visi Beijing terhadap tatanan dunia,” menurut laporan kantor berita resmi Cina, Xinhua.

    Pada Minggu (23/11), Menteri Pertahanan Jepang Shinjiro Koizumi mengunjungi Pulau Yonaguni di barat daya Kepulauan Okinawa dan hanya berjarak 110 kilometer dari Taiwan. Kunjungan itu bertujuan untuk memeriksa lokasi rencana penempatan baterai rudal Surface-to-air missiles (SAM) jarak menengah yang baru.

    Perdebatan nuklir Jepang picu kekhawatiran

    Cina menanggapi dengan menyatakan bahwa penempatan tersebut merupakan upaya untuk “menciptakan ketegangan regional dan memicu konfrontasi militer.”

    Tilman Ruff, seorang profesor di Universitas Melbourne dan co-presiden International Physicians for the Prevention of Nuclear War, mengatakan bahwa Jepang telah lama secara efektif turut serta dalam penerimaan senjata nuklir karena bergantung pada payung nuklir AS dan telah membiarkan AS memiliki senjata nuklir di Jepang, termasuk di atas kapal perang.

    Namun, memiliki kemampuan nuklir sendiri akan menjadi langkah besar melampaui itu.

    “Jika Jepang menempatkan senjata nuklirnya sendiri, itu akan menjadi perkembangan yang sangat signifikan,” jelasnya.

    “Hal itu akan mengganggu stabilitas seluruh Asia Timur Laut dan bisa memicu gelombang proliferasi yang akan membuat Korea Selatan jauh lebih mungkin untuk menempatkan senjata nuklir, semua hal tersebut akan memperburuk perlombaan senjata regional.”

    “Namun, saya rasa ada kekhawatiran yang cukup besar di kalangan masyarakat Jepang,” katanya.

    “Ada sensitivitas yang sangat kuat di Jepang yang didasarkan pada pemahaman dan penolakan terhadap apa yang sebenarnya dilakukan oleh senjata nuklir.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Muhammad Hanafi

    Editor: Melisa Ester Lolindu

    (ita/ita)