Tag: Saleh Husin

  • Kadin: Industri Bertahap Kurangi Impor Bahan Baku

    Kadin: Industri Bertahap Kurangi Impor Bahan Baku

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkap industri masih terus berupaya mendorong substitusi impor bahan baku dengan mencari alternatif dari dalam negeri. Kendati demikian, prosesnya membutuhkan waktu. 

    Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan baku/penolong pada Oktober 2025 tercatat sekitar US$15,19 miliar, naik 9,90% dibanding September 2025 sebesar US$13,82 miliar. Namun, secara tahunan, angka tersebut masih lebih rendah atau turun 5,18% dibandingkan Oktober 2024 yang mencapai US$16,02 miliar. 

    Secara kumulatif Januari–Oktober 2025, impor bahan baku/penolong mencapai US$139,59 miliar, sedikit turun 1,25% dibanding periode yang sama tahun 2024 yang sebesar US$141,58 miliar. 

    Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Saleh Husin mengatakan, penurunan yang terjadi secara tahunan dan kumulatif menunjukkan sebagian sektor mulai meningkatkan penggunaan bahan baku domestik, meski masih terbatas. 

    “Dengan demikian, sinyal substitusi impor mulai muncul, tetapi bentuknya masih selektif dan belum meluas,” kata Saleh kepada Bisnis, Kamis (4/12/2025). 

    Namun, Kadin melihat sinyal substitusi impor bahan baku sebagai peluang strategis meskipun penyerapannya masih dilakukan bertahap. Pasalnya, Indonesia belum dapat sepenuhnya lepas dari impor dalam waktu dekat karena kapasitas industri hulu, seperti petrokimia, bahan kimia dasar, dan komponen elektronik belum mencukupi. 

    “Meski begitu, ketergantungan dapat dikurangi secara nyata jika penguatan industri hulu, konsistensi kebijakan, serta efisiensi energi dan logistik terus dipacu,” jelasnya. 

    Dengan dorongan investasi dan hilirisasi yang sekarang berlangsung, menurut Saleh, Indonesia berpotensi menekan impor bahan baku secara bertahap dalam beberapa tahun mendatang, meskipun impor tetap diperlukan untuk barang modal dan teknologi.

    Dia juga menerangkan penurunan impor bahan baku secara kumulatif 1,25% di tengah Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada November 2025 yang tetap ekspansif pada level 53,5 menunjukkan bahwa industri tidak sedang melemah. 

    “Sebaliknya, pelaku usaha tampaknya melakukan efisiensi rantai pasok dan optimalisasi stok setelah periode harga yang bergejolak,” tuturnya. 

    Terlebih, ada kenaikan impor barang modal hingga 18% justru menandakan adanya investasi dan modernisasi mesin sehingga penurunan impor bahan baku lebih mencerminkan penataan ulang struktur input, bukan pelemahan produksi. 

    Data dari BPS menunjukkan impor bahan baku industri seperti petrokimia, nafta, kimia dasar, dan komponen elektronik menunjukkan dinamika yang beragam sepanjang Januari–Oktober 2025. 

    Pada komoditas petrokimia, impor oil-cake tercatat mencapai US$1,90 miliar, turun dari periode yang sama tahun 2024 sebesar US$2,16 miliar, atau melemah sekitar US$255,59 juta. 

    Sementara itu, impor nafta dan petroleum preparations juga meningkat cukup tajam, dari US$895 juta pada Januari–Oktober 2024 menjadi US$1,63 miliar periode yang sama tahun ini. 

    Di kelompok kimia dasar, tren yang muncul cenderung bervariasi. Impor potassium chloride (KCl) tercatat sebesar US$866 juta pada Januari-Oktober 2024 kemudian naik menjadi US$1,27 miliar pada Januari-Oktober 2025 atau tumbuh 47,12% ctc. 

    Bahan kimia untuk elektronik yang tercatat sebagai chemical elements doped justru melonjak tajam dari US$226 juta menjadi US$1,22 miliar, atau meningkat hampir US$1 miliar. 

  • Pemerintah Didesak Perkuat Pengawasan untuk Halau Thrifting Illegal

    Pemerintah Didesak Perkuat Pengawasan untuk Halau Thrifting Illegal

    JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak pemerintah memperketat pengawasan terhadap impor pakaian bekas atau thrifting ilegal yang semakin memukul industri tekstil dalam negeri.

    Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia Saleh Husin mengatakan praktik thrifting ilegal tidak hanya merugikan pelaku usaha lokal, tetapi juga mengancam keberlangsungan UMKM dan para pekerja yang menggantungkan hidup pada industri tersebut.

    “Pakaian bekas yang beredar secara ilegal tentu ini kan sangat memukul industri kita di dalam negeri, terutama para UMKM yang ada di berbagai daerah,” kata Saleh mengutip Antara.

    Menurutnya, perlu adanya peningkatan pengawasan, khususnya di pintu masuk barang impor, baik pelabuhan resmi maupun pelabuhan tikus.

    Penindakan dinilai harus memberikan efek jera agar pedagang lokal tidak kalah bersaing dan bangkrut oleh serbuan pakaian bekas ilegal.

    Menurutnya, persoalan ini bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja.

    Sebab, industri tekstil dan UMKM terkait, seperti sentra-sentra konveksi hingga perajin batik turut melibatkan jumlah pekerja yang besar.

    “Ini kan juga menyerap tenaga kerja. Di samping itu, juga bagaimana kita dapat meningkatkan produktivitas industri kita,” tuturnya.

    Sebelumnya, sejumlah pedagang baju bekas alias thrifting mendatangi gedung DPR RI untuk meminta usaha mereka dilegalkan.

    Dalam rapat bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (19/11), pedagang menyatakan usaha thrifting juga merupakan bagian dari UMKM, namun memiliki pasar yang berbeda, dan tidak tepat jika thrifting dikatakan berpotensi membunuh UMKM.

    Menanggapi desakan tersebut, Saleh mengatakan pemerintah memang perlu mempertimbangkan posisi para pelaku usaha.

    Namun, mantan Menteri Perindustrian itu menegaskan prioritas kebijakan harus tetap berpihak pada pelaku industri dan UMKM tekstil lokal

    Bahkan, Kadin sebelumnya pernah mengusulkan kepada pemerintah agar impor khusus produk tekstil (TPT) tidak diizinkan masuk langsung melalui pelabuhan di Pulau Jawa.

    Impor TPT , menurut usulan itu, sebaiknya hanya dapat masuk melalui pelabuhan di luar Jawa sebelum kemudian didistribusikan ke Pulau Jawa sebagai barang domestik.

    “Kami pernah mengusulkan agar kita terutama produk tekstil, TPT itu tidak boleh masuk langsung ke pelabuhan di Pulau Jawa. Sebaiknya masuk ke pelabuhan di luar Pulau Jawa. Misalnya, di Bitun, atau di mana, baru boleh masuk ke Pulau Jawa,” kata Saleh.

    Ia menyebut usulan itu telah beberapa kali disampaikan Kadin dan dibahas dalam rapat-rapat tingkat kabinet.

    Namun, iplementasinya hingga kini masih belum berjalan. “Beberapa kali kami dari Kadin Indonesia menyampaikan hal ini. Ya tentu ini juga beberapa kali saya tahu memang dibahas di tingkat kabinet, tetapi pelaksanaannya sampai sekarang belum,” tambahnya.

  • Pengusaha Minta Kelonggaran, Purbaya Kukuh Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat

    Pengusaha Minta Kelonggaran, Purbaya Kukuh Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kuota penjualan ke pasar domestik bagi industri di Kawasan Berikat dari 50% menjadi 25% mutlak dilakukan demi menjaga persaingan usaha yang sehat, meski pengusaha minta kelonggaran.

    Purbaya menjelaskan bahwa desain awal Kawasan Berikat sejatinya adalah berorientasi ekspor. Kelonggaran kuota pasar domestik hingga 50% yang sempat berlaku sebelumnya merupakan kebijakan pengecualian atau diskresi akibat ambruknya permintaan global saat pandemi Covid-19.

    “Ketika normal lagi malah harusnya nol [kuota domestik]. Kami baru turunkan ke 25% itu sudah cukup,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

    Bendahara negara itu menyoroti adanya ketimpangan apabila fasilitas ini tidak diketatkan. Industri di Kawasan Berikat memiliki keunggulan economies of scale (skala ekonomi) karena kemudahan impor bahan baku dalam volume besar.

    Menurutnya, jika produk dari kawasan berikat membanjiri pasar dalam negeri tanpa pembatasan ketat maka industri domestik non-fasilitas akan tergerus karena kalah bersaing dari sisi struktur biaya.

    “Biar bagaimanapun, Kawasan Berikat bisa impor banyak di sana, yang domestik pasti ada kerugian di situ. Jadi kami kembalikan ke desain semula saja,” tegasnya.

    Selain alasan persaingan usaha, Purbaya juga menyoroti maraknya kebocoran barang dari Kawasan Berikat ke pasar lokal secara ilegal.

    Untuk mengantisipasi hal tersebut, Kementerian Keuangan akan memperketat pengawasan arus barang keluar dengan memodernisasi sistem teknologi informasi, termasuk penggunaan kecerdasan imitasi alias artificial itelligence/AI dalam pengawasan impor.

    “Katanya banyak bocor barang-barang dari situ. Jadi kita perkuat pengawasan. Sekarang kita taruh sistem IT yang lebih canggih, kita pakai AI,” tutup Purbaya.

    Sebelumnya, wacana penurunan kuota pasar dalam negeri industri di Kawasan Berikat disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Djaka Budhi Utama.

    Purnawirawan perwira TNI ini mengungkapkan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2018 tengah melalui proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum. Dia meyakini aturan baru akan terbit sebelum pergantian bulan.

    “Jadi mudah-mudahan bulan akhir November ini itu bisa terealisasi,” ujar Djaka dalam rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, dikutip Selasa (25/11/2025).

    Wanti-wanti Pengusaha

    Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti dampak dari pemangkasan kuota porsi penjualan industri di kawasan berikat ke pasar dalam negeri dari sebelumnya 50% menjadi 25%. 

    Adapun, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat disebutkan bahwa kawasan tersebut menjadi fasilitas bagi industri pengolahan yang berbasis ekspor. Namun, beberapa tahun terakhir industri di kawasan tersebut diberikan kuota 50% produksi untuk dijual ke pasar domestik. 

    Wakil Ketua Umum Kadin Perindustrian Saleh Husin mengatakan, pihaknya memahami tujuan pemerintah terkait kebijakan pemangkasan kuota ini untuk menjaga level playing field antara industri di kawasan berikat dan industri non-KB. 

    “Namun, Kadin menilai bahwa pemangkasan kuota menjadi 25% perlu dilaksanakan secara bertahap dan mempertimbangkan kondisi setiap sektor industri,” kata Saleh kepada Bisnis, Selasa (25/11/2025). 

    Sebab, Saleh menyebut, tak semua perusahaan di kawasan berikat tersebut mendapatkan permintaan ekspor yang stabil atau cukup besar untuk menyerap seluruh produksi di pabrikannya.

    Dia mencontohkan beberapa sektor seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur masih menggunakan pasar domestik sebagai penyangga ketika permintaan ekspor melemah. 

    “Dalam situasi normal pun, kapasitas ekspor industri-industri ini tidak selalu dapat mencapai 100% output, terutama ketika terjadi perlambatan ekonomi global,” tuturnya. 

    Oleh karena itu, menurut dia, kemampuan untuk mengekspor seluruh produksi sangat bergantung pada dinamika pasar dunia dan tidak semua pelaku industri siap untuk sepenuhnya mengandalkan ekspor.

    Senada, Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) mewanti-wanti rencana pemerintah untuk memangkas kuota porsi penjualan industri di kawasan berikat ke pasar dalam negeri (local content quota) dari sebelumnya 50% menjadi 25%. 

    Secara regulasi, selama ini PMK No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat membuka ruang penjualan ke dalam negeri sampai 50% dari akumulasi ekspor dan penjualan ke KB/KEK lain di tahun sebelumnya.

    Ketua Umum Himki Abdul Sobur mengatakan kebijakan pemangkasan kuota domestik memang dapat mengembalikan marwah kawasan berikat sebagai fasilitas yang berorientasi ekspor. 

    Hanya saja, dia mengingatkan bahwa saat ini kondisi pasar ekspor mebel dan kerajinan sedang tidak normal dan belum menunjukkan lonjakan berarti di tengah perlambatan permintaan global. 

    Dalam catatannya, nilai ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia tahun 2023 sekitar US$2,46 miliar, dan tahun 2024 US$2,59 miliar. Bahkan jika dibandingkan 2021, kinerja ekspor furnitur turun sekitar 20%—30% tergantung subsektor.

    “Tidak semua perusahaan di kawasan berikat siap mengalihkan 75% produksinya ke ekspor dalam waktu singkat,” kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (26/11/2025). 

    Terlebih, industri furnitur memiliki ketergantungan pada pasar Amerika Serikat yang sangat tinggi atau 53% ekspor furnitur dan kerajinan Indonesia masih bergantung pada pasar AS, disusul Jepang dan beberapa negara Eropa. 

    Artinya, ketika pasar utama melemah atau terjadi gangguan tarif/non-tarif, pabrik sangat bergantung pada penjualan domestik untuk menjaga utilisasi dan menghindari PHK.

    Menurut Sobur, banyak anggota Himki di kawasan berikat yang struktur bisnisnya hybrid yaitu sebagian besar output untuk ekspor, tetapi tetap membutuhkan pasar domestik untuk proyek hotel, apartemen, retail modern, dan government procurement untuk menutup fluktuasi order luar negeri.

    “Kami mendukung penguatan orientasi ekspor Kawasan Berikat sebagai prinsip, tetapi meminta kebijakan yang sektoral dan bertahap, bukan pemotongan seragam dari 50% ke 25% dalam satu langkah untuk semua sektor,” jelasnya. 

  • Tembus Rp 30.042 Triliun, Devisa dari Ekspor Rokok Melonjak 94%

    Tembus Rp 30.042 Triliun, Devisa dari Ekspor Rokok Melonjak 94%

    Liputan6.com, Jakarta Industri Hasil Tembakau (IHT) Indonesia menunjukkan kinerja ekspor produk tembakau seperti rokok yang melonjak signifikan dari tahun ke tahun. Sumbangan besar itu menegasakan kontribusi besar terhadap devisa negara.

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang (Kadin Indonesia) Saleh Husin mengungkapkan, pendapatan devisa yang dihasilkan dari ekspor tembakau dan produknya secara keseluruhan terus meningkat hingga 94 persen. Pada 2020 sekitar USD 600 juta, dan terus bertambah sampai dengan 2024 sekitar USD 1,8 miliar atau setara Rp 30.042 triliun (kurs Rp 16.690 per dolar AS).

    “Produksi daripada rokok ini memang terus meningkat kira-kira sekitar 515 miliar batang, tapi dari jumlah tersebut, 55 persen itu untuk di dalam negeri, 45 persen itu untuk pasar ekspor,” jelasnya.

    Saleh menyampaikan, pendapatan negara dari sektor IHT kian melejit dengan ditambah Cukai Hasil Tembakau (JCHT). Pada 2013, CHT sudah menyumbang sekitar Rp 213 triliun dan tiap tahun terus meningkat hingga 2024 sekitar Rp 216 triliun.

    Meski berkontribusi besar, IHT dihadapkan pada tantangan besar berupa peredaran rokok ilegal. Ia menyoroti kondisi Indonesia yang termasuk memiliki underground economy secara signifikan. “Underground economy kita ini kan termasuk salah satu yang paling merah di dunia. Kira-kira sekitar 23,8 persen dari PDB kita,” ungkapnya.

    Saleh mengaitkan tingginya aktivitas ekonomi bawah tanah ini dengan peredaran rokok ilegal yang berakibat melenyapkan potensi penerimaan negara yang seharusnya besar. Ia mengutip penelitian Universitas Paramadina, yang menunjukan potensi cukai yang hilang akibat rokok ilegal mencapai 10 persen dari total penerimaan, atau sekitar Rp 23-25 triliun.

     

  • Purbaya Bakal Blacklist Importir Pakaian Bekas Ilegal, Kadin Bilang Begini

    Purbaya Bakal Blacklist Importir Pakaian Bekas Ilegal, Kadin Bilang Begini

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung penindakan impor ilegal pakaian bekas, termasuk langkah untuk melakukan blacklist terhadap importir nakal yang digaungkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan langkah tersebut merupakan bentuk perlindungan yang adil bagi industri nasional yang selama ini harus bersaing dengan produk pakaian bekas impor berharga murah dan tidak memenuhi standar. 

    “Selama bertahun-tahun, praktik impor ilegal tersebut telah menekan harga di pasar domestik, menggerus margin keuntungan produsen lokal, dan menimbulkan ketidakpastian usaha,” kata Saleh dalam keterangan tertulis kepada Bisnis, Senin (27/10/2024). 

    Untuk itu, penindakan yang tegas terhadap impor pakaian bekas ilegal akan membantu menciptakan iklim persaingan yang sehat bagi pelaku usaha yang taat aturan. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berpihak pada penguatan industri dalam negeri.

    Lebih lanjut, Saleh menilai kebijakan tersebut juga penting untuk memulihkan permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Dengan berkurangnya banjir barang bekas impor, pasar diharapkan kembali menyerap produk dari pabrikan lokal di berbagai segmen harga.

    “Hal ini berpotensi mendorong peningkatan kapasitas produksi, penyerapan tenaga kerja, dan investasi baru di sektor TPT. Kebijakan ini dinilai sejalan dengan upaya pemerintah memperkuat rantai pasok domestik dan memperluas penggunaan produk dalam negeri,” jelasnya.

    Meski demikian, Kadin juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap pelaku usaha kecil dan pedagang thrift yang selama ini bergantung pada penjualan pakaian bekas impor. 

    Menurut Saleh, perlu ada langkah pendamping yang realistis agar kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak sosial di lapangan.

    Pemerintah mesti menyiapkan program bantuan modal, pelatihan produksi dan pemasaran produk lokal, serta kemitraan dengan produsen tekstil dalam negeri untuk membantu pedagang kecil beradaptasi.

    “Banyak di antara mereka yang menggantungkan pendapatan pada bisnis thrifting karena modalnya relatif kecil dan permintaannya stabil di pasar menengah bawah,” tuturnya. 

    Tanpa langkah pendamping seperti itu, kebijakan pelarangan bisa menimbulkan resistensi sosial dan kehilangan sumber penghidupan bagi ribuan pedagang kecil.

    Saleh menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh berhenti pada aspek penindakan semata. Pemerintah perlu memastikan industri tekstil nasional memiliki daya saing yang kuat agar dapat bertahan di tengah tekanan global.

    Faktor-faktor seperti harga bahan baku, efisiensi logistik, biaya energi, dan ketersediaan tenaga kerja terampil masih menjadi tantangan yang perlu dibenahi untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini.

    “Kebijakan penindakan impor ilegal pakaian bekas merupakan langkah yang tepat namun belum cukup. Kami menilai keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada keseimbangan antara penegakan hukum yang konsisten dan pemberdayaan industri serta pedagang lokal,” imbuhnya. 

    Pihaknya optimistis apabila kebijakan ini dijalankan dengan pendekatan yang komprehensif, maka dampaknya tidak hanya melindungi industri TPT dari praktik curang, tetapi juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat daya saing dan kemandirian industri nasional secara berkelanjutan.

  • Ironi Negeri Kaya Gas, Industri Teriak Pasokan Gas Murah Seret

    Ironi Negeri Kaya Gas, Industri Teriak Pasokan Gas Murah Seret

    Bisnis.com, JAKARTA – Persoalan pasokan dan mahalnya harga gas masih menjadi persoalan yang membuat pelaku industri waswas. Keterbatasan pasokan gas murah dinilai dapat menekan produktivitas manufaktur dan memunculkan risiko deindustrialisasi.

    Pelaku usaha mengeluhkan bahwa alokasi kuota gas murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) saat ini untuk industri di bagian barat Jawa dibatasi di kisaran 60%-65% dan bagian timur sebesar 50%-55% dari total kuota yang diberikan. Selebihnya, pelaku usaha mesti membayar dengan harga gas hasil regasifikasi LNG senilai US$15,3 per million British thermal unit (MMBtu)

    Adapun, pemerintah telah memberikan alokasi kuota gas murah untuk tujuh sektor industri, seperti pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025.

    HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7 per MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5 per MMBtu.

    Terbatasnya pasokan gas murah tak lepas dari menyusutnya pasokan gas pipa di wilayah strategis seperti Sumatra bagian tengah, Sumatra bagian selatan, Lampung, dan Jawa bagian barat lantaran penurunan alamiah produksi blok migas dan belum ditemukannya sumber gas baru.

    Di sisi lain, infrastruktur gas pipa di wilayah defisit pasokan belum tersambung sepenuhnya dengan sumber-sumber yang masih memiliki pasokan berlebih. Alhasil, suplai gas pipa yang berkurang disiasati dengan pasokan gas alam cair alias LNG.

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Saleh Husin mengatakan, harga gas yang terlalu tinggi dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. Pasalnya, gas bumi merupakan komponen penting dalam proses produksi industri pengolahan, seperti pupuk, baja, semen, farmasi, keramik, tekstil, hingga makanan dan minuman. 

    “Kalau harga gas terlalu tinggi, bisa-bisa beberapa industri lari ke negara tetangga yang energinya lebih kompetitif,” kata Saleh dalam agenda Diskusi Kadin di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

    Menurut Saleh, apabila industri dikenai harga gas regasifikasi LNG mencapai US$16,77 per MMBtu, maka banyak pelaku industri berisiko menutup operasi atau memindahkan pabrik ke negara tetangga yang menawarkan harga energi lebih murah.

    Bahkan, kondisi ini juga dapat memicu lonjakan impor produk jadi, mengancam industri dalam negeri, serta menurunkan kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Di samping itu, Saleh menegaskan bahwa keberlanjutan pasokan energi, termasuk gas bumi, menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%.

    “Untuk tumbuh 8%, industri harus tumbuh lebih dulu. Tanpa industri yang kuat, ekonomi tidak akan mencapai target itu,” tuturnya.

    Pelaku usaha berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis, termasuk memperbolehkan industri untuk mengimpor gas dengan mekanisme terukur, agar industri nasional tetap tangguh, efisien, dan kompetitif di pasar global.

    Opsi Impor Gas

    Pelaku industri pun ramai-ramai mengusulkan impor gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) sebagai solusi sementara untuk memenuhi kebutuhan industri. Impor gas dilakukan dalam periode terbatas sambil menunggu pasokan dalam negeri untuk industri mencukupi.

    “Misalnya, di dalam negeri terbatas ya mungkin Pak Dirjen [Migas ESDM] ini dimungkinkan untuk para pelaku industri ini boleh mengimpor gas untuk kebutuhan industri, bukan kebutuhan importir umum,” kata Saleh.

    Agar kebijakan impor gas berjalan efektif dan tidak menimbulkan distorsi, Kadin meminta pemerintah menyiapkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin kepastian pasokan dan distribusi gas bagi industri.

    “Sektor industri membutuhkan kepastian kebijakan yang berkelanjutan. PP ini juga harus membuka ruang bagi industri untuk mengimpor gas secara mandiri dan membangun infrastruktur jaringan gas di kawasan industri,” ujarnya.

    Senada, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, pihaknya mendukung terbukanya keran impor gas untuk memastikan industri tetap berproduksi. 

    “Kami melihatnya impor LNG ini salah satu solusi untuk mengurangi kelangkaan gas. Kedua, juga ada pembanding bagaimana komposisi cost itu bisa dari banyak pihak, jangan single source jadi keragaman sumber itu sangat penting, multisourcing,” ujar Yustinus dalam kesempatan terpisah. 

    Lebih lanjut, Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Sri Bimo Pratomo mengatakan, opsi impor LNG juga dapat dilakukan dengan mengambil pasokan gas dari Amerika Serikat (AS). 

    Pasalnya, harga gas dari AS dinilai murah yakni sebesar US$3,43 per MMBtu. Dengan impor gas dari AS, dia juga menilai hal ini dapat melancarkan negosiasi penurunan tarif resiprokal AS terhadap produk Indonesia senilai 19%. 

    “Kalau kita bisa ya usulan kementerian kita usulkan kalau bisa kita impor dari Amerika tentu nanti akan dapet sebaliknya mungkin dari 19% ini bisa diturunkan lagi tarif resiprokal kita ke Amerika sehingga produk-produk kita ini akan bisa berdaya saing ke Amerika dan mungkin di dalam negeri juga bisa meningkat daya saingnya,” pungkasnya

    Sementara itu, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk pasokan gas guna memastikan kebutuhan industri terpenuhi sebelum diekspor. 

    “Kami berharap bahwa pemerintah juga memikirkan selain tadi disinggung berkaitan dengan izin impor, tapi kami juga menyoroti juga ekspor kita kenapa kita tidak memberlakukan seperti batu bara ada DMO, siapa tahu itu bisa diterapkan untuk energi gas,” kata Ketua Umum Asaki Edy Suyanto.

    Produksi Gas Domestik Diklaim Masih Mencukupi

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, pemerintah masih memprioritaskan produksi gas domestik untuk memenuhi kebutuhan nasional. Alhasil, usulan impor gas alam cair alias LNG untuk industri belum dapat direalisasikan. 

    Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengatakan, pihaknya memahami kondisi permintaan gas domestik yang terus meningkat. Namun, dia menilai ketersediaan gas dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan pasar. 

    “Namun, pada saat ini memang kebijakan pemerintah memandang ketahanan energi, itu sedapat mungkin kita menahan impor saat ini ya,” kata Laode.

    Laode memastikan pihaknya akan menampung dan menghormati masukan atau usulan yang dilayangkan dari pelaku industri. Namun, keputusan pemerintah saat ini masih bulat untuk tidak membuka keran impor LNG. 

    “Jadi kita menghormati ini masukan dari kawan-kawan industri. Tadi juga Pak Saleh [WKU Kadin Bidang Perindustrian] menyampaikan bahwa ada opsi untuk kita impor. Tapi masukan tadi kita tampung dulu,” tuturnya. 

  • Kadin Ungkap Risiko Deindustrialisasi Imbas Harga Gas Mahal

    Kadin Ungkap Risiko Deindustrialisasi Imbas Harga Gas Mahal

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti risiko deindustrialisasi atau penurunan aktivitas industri manufaktur imbas tingginya harga gas dalam negeri. Terlebih, produksi gas domestik dinilai terbatas untuk kebutuhan industri lokal. 

    Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Saleh Husin mengatakan, harga gas yang terlalu tinggi dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. 

    “Kalau harga gas terlalu tinggi, bisa-bisa beberapa industri lari ke negara tetangga yang energinya lebih kompetitif,” kata Saleh dalam agenda Diskusi Kadin di Jakarta, Selasa (7/10/2025). 

    Menurut Saleh, apabila industri dikenai harga gas regasifikasi LNG mencapai US$16,77 per MMBtu, maka banyak pelaku industri berisiko menutup operasi atau memindahkan pabrik ke negara tetangga yang menawarkan harga energi lebih murah.

    Bahkan, kondisi ini juga dapat memicu lonjakan impor produk jadi, mengancam industri dalam negeri, serta menurunkan kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Di samping itu, Saleh menegaskan bahwa keberlanjutan pasokan energi, termasuk gas bumi, menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%.

    “Untuk tumbuh 8%, industri harus tumbuh lebih dulu. Tanpa industri yang kuat, ekonomi tidak akan mencapai target itu,” tuturnya.  

    Pelaku usaha berharap pemerintah segera mengambil langkah strategis, termasuk membolehkan impor gas dengan mekanisme terukur, agar industri nasional tetap tangguh, efisien, dan kompetitif di pasar global.

    Dalam hal ini, Kadin juga mendorong pemerintah untuk membuka peluang bagi industri nasional untuk mengimpor gas bumi. Pasalnya, hal ini penting guna mengatasi minimnya pasokan gas domestik yang saat ini baru memenuhi sekitar 60% dari kebutuhan industri.

    Menurut Saleh, meskipun pemerintah telah menetapkan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$7 per MMBtu untuk tujuh sektor industri melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 255K Tahun 2024, kenyataannya pasokan yang diterima industri masih jauh dari kebutuhan.

    “Kawan-kawan industri hanya mendapatkan sekitar 60% suplai gas HGBT,” imbuhnya. 

    Padahal, gas bumi merupakan komponen penting dalam proses produksi industri pengolahan, seperti pupuk, baja, semen, farmasi, keramik, tekstil, hingga makanan dan minuman. Kekurangan pasokan ini berpotensi menekan daya saing dan kapasitas produksi industri dalam negeri.

    Kadin menilai impor gas bisa menjadi solusi sementara hingga proyek eksplorasi gas nasional pada 2026–2028 mulai berproduksi. Dengan membuka akses impor, harga gas bagi industri dapat lebih kompetitif, kapasitas produksi meningkat, dan daya saing ekspor produk manufaktur Indonesia terjaga.

    “Pemerintah dapat mempertimbangkan impor dalam periode terbatas, sambil menunggu hasil eksplorasi. Setelah suplai dalam negeri mencukupi, impor bisa dihentikan,” terangnya.

    Agar kebijakan impor gas berjalan efektif dan tidak menimbulkan distorsi, Kadin meminta pemerintah menyiapkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin kepastian pasokan dan distribusi gas bagi industri.

    “Sektor industri membutuhkan kepastian kebijakan yang berkelanjutan. PP ini juga harus membuka ruang bagi industri untuk mengimpor gas secara mandiri dan membangun infrastruktur jaringan gas di kawasan industri,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Kadin juga mengusulkan agar ada domestic market obligation (DMO) gas bumi lebih berpihak kepada industri manufaktur nasional, agar perluasan dan ketahanan industri dapat berjalan optimal. Sebab, saat ini utilisasi industri masih berada pada kisaran 60–65%.

  • Pengusaha Manufaktur Usul Impor LNG dari AS, Begini Respons ESDM

    Pengusaha Manufaktur Usul Impor LNG dari AS, Begini Respons ESDM

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, pemerintah masih memprioritaskan produksi gas domestik untuk memenuhi kebutuhan nasional. Alhasil, usulan impor gas alam cair alias liquefied natural gas (LNG) untuk industri belum dapat direalisasikan. 

    Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Laode Sulaeman mengatakan, pihaknya memahami kondisi permintaan gas domestik yang terus meningkat. Namun, dia menilai ketersediaan gas dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan pasar. 

    “Namun, pada saat ini memang kebijakan pemerintah memandang ketahanan energi, itu sedapat mungkin kita menahan impor saat ini ya,” kata Laode saat ditemui usai diskusi yang digelar di Menara Kadin, Selasa (7/10/2025).

    Hal ini diungkap Laode saat bertemu dengan sejumlah pelaku usaha industri pengguna gas bumi yang kompak mengusulkan impor LNG akibat keterbatasan pasokan yang terjadi saat ini.

    Laode memastikan pihaknya akan menampung dan menghormati masukan atau usulan yang dilayangkan dari pelaku industri. Namun, keputusan pemerintah saat ini masih bulat untuk tidak membuka keran impor LNG. 

    “Jadi kita menghormati ini masukan dari kawan-kawan industri. Tadi juga Pak Saleh [WKU Kadin Bidang Perindustrian] menyampaikan bahwa ada opsi untuk kita impor. Tapi masukan tadi kita tampung dulu,” tuturnya. 

    Untuk diketahui, sebelumnya pelaku industri ramai-ramai mengusulkan impor LNG untuk memenuhi kebutuhan industri. Pasalnya, saat ini industri pengguna gas terutama penerima harga gas bumi tertentu (HGBT) mengalami kelangkaan pasokan. 

    Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, hingga saat ini, pihaknya banyak menerima laporan bahwa volume gas murah atau HGBT untuk tujuh sektor dipatok hanya mendapatkan 60% dari total kuota yang diberikan pemerintah. 

    Adapun, pemerintah telah memberikan alokasi kuota gas murah untuk tujuh sektor industri, seperti pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025. 

    “Misalnya, di dalam negeri terbatas ya mungkin Pak Dirjen [Migas ESDM] ini dimungkinkan untuk para pelaku industri ini boleh mengimpor gas untuk kebutuhan industri, bukan kebutuhan importir umum,” kata Saleh dalam diskusi bertajuk ‘Keberlanjutan Gas Bumi untuk Industri Nasional: Sinergi Kebijakan, Pasokan, dan Daya Saing’, Selasa (7/10/2025).

    Senada, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, pihaknya mendukung terbukanya keran impor gas untuk memastikan industri tetap berproduksi. 

    “Kami melihatnya impor LNG ini salah satu solusi untuk mengurangi kelangkaan gas. Kedua, juga ada pembanding bagaimana komposisi cost itu bisa dari banyak pihak, jangan single source jadi keragaman sumber itu sangat penting, multisourcing,” ujar Yustinus dalam kesempatan terpisah. 

  • Impor Bahan Baku Turun, Sinyal Produksi Manufaktur Melambat

    Impor Bahan Baku Turun, Sinyal Produksi Manufaktur Melambat

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memandang adanya sinyal penurunan produksi industri pengolahan nasional seiring dengan melemahnya impor bahan baku dan barang penolong. 

    Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, penurunan impor bahan baku dan barang penolong memang dapat dibaca sebagai sinyal melemahnya sektor manufaktur dalam beberapa bulan mendatang.

    “Dengan kata lain, impor yang menurun dapat menjadi indikator bahwa perusahaan tengah bersiap menghadapi perlambatan produksi,” kata Saleh kepada Bisnis, Minggu (5/10/2025). 

    Dia menerangkan, pada umumnya, produsen mengurangi pembelian input lantaran terdapat penurunan permintaan output atau langkah hati-hati agar tidak terjadi kelebihan stok.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat penurunan impor bahan baku/penolong sebesar 9,06% (year-on-year/yoy) pada Agustus 2025 menjadi US$13,65 miliar atau turun dari periode yang sama tahun lalu US$15,01 miliar. 

    Nilai impor bahan baku penolong merupakan pendorong utama penurunan nilai impor secara keseluruhan pada Agustus 2025 dengan andil penurunan 6,52% terhadap nilai impor keseluruhan. 

    Tren penurunan impor ini juga terjadi secara tahunan pada Juli 2025 yang tercatat sebesar US$14,17 miliar atau turun 11,94% yoy dibandingkan Juli 2024 yang mencapai US$16 miliar. 

    “Namun, interpretasi ini tidak selalu linier. Dalam beberapa kasus, penurunan impor justru bisa menandakan adanya substitusi dengan bahan baku lokal atau sekadar penyesuaian inventori jangka pendek,” jelasnya. 

    Untuk itu, tren penurunan impor bahan baku dan penolong ini disebut perlu diamati dalam periode yang lebih panjang. Sebab, jika penurunan berlangsung konsisten dan terjadi di hampir semua kelompok bahan baku, maka dapat dipastikan bahwa pelemahan manufaktur akan berlanjut. 

    “Sebaliknya, jika penurunan hanya sementara, dampaknya pada produksi tidak akan terlalu signifikan,” pungkasnya. 

  • Kadin Curhat Industri Tercekik Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS

    Kadin Curhat Industri Tercekik Pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebutkan sejumlah industri pengolahan nonmigas yang berpotensi terdampak pelemahan rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah tercatat Rp16.738 terhadap dolar AS. 

    Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan pelemahan rupiah tentu membawa risiko yang cukup besar bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor. 

    “Sektor industri yang sangat bergantung pada bahan baku impor, seperti farmasi, elektronik, dan otomotif, akan paling terdampak,” kata Saleh kepada Bisnis, Jumat (26/9/2025). 

    Dia menyebut biaya impor bahan baku dan barang modal akan menjadi lebih mahal, sehingga menekan margin keuntungan pengusaha. 

    Tak hanya itu, volatilitas rupiah juga dapat menimbulkan ketidakpastian dan membuat pengusaha lebih sulit menyusun perencanaan bisnis jangka menengah. 

    “Namun, pelemahan rupiah juga dapat menjadi peluang bagi sektor berorientasi ekspor karena harga produk Indonesia menjadi relatif lebih kompetitif di pasar global,” tuturnya. 

    Dalam kondisi ini, pihaknya berharap agar pemerintah menjaga stabilitas nilai tukar dengan kebijakan moneter dan fiskal yang terkoordinasi. 

    Intervensi pasar valas perlu dilakukan secara terukur agar tidak menimbulkan distorsi, sementara kebijakan fiskal diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong sektor produktif. 

    “Dari sisi struktural, pengusaha mengusulkan pemerintah meningkatkan program substitusi impor, mendorong hilirisasi industri, serta memperluas pasar ekspor nontradisional agar ketergantungan terhadap impor bisa dikurangi,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, transparansi komunikasi kebijakan juga penting agar pelaku usaha dapat lebih cepat menyesuaikan strategi bisnis.

    Dunia usaha juga akan berupaya melakukan efisiensi dan diversifikasi sumber bahan baku agar tidak terlalu bergantung pada impor. Selain itu, strategi lindung nilai (hedging) juga dapat digunakan untuk melindungi dari risiko fluktuasi kurs. 

    “Pelaku usaha berupaya memperluas pasar ekspor guna memanfaatkan sisi positif dari pelemahan rupiah. Digitalisasi proses bisnis dan peningkatan produktivitas menjadi langkah penting agar perusahaan lebih adaptif menghadapi ketidakpastian nilai tukar,” tambahnya. 

    Senada, WKU Kadin Sarman Simanjorang menyebut risiko pelemahan rupiah terhadap bisnis dan ekonomi jika berkepanjangan akan sangat riskan,dan akan semakin melemahkan daya beli masyarakat.

    Dia mendesak pemerintah dan Bank Indonesia harus segera melakukan evaluasi faktor utama yang menyebabkan nilai rupiah yang sudah cukup jauh meninggalkan asumsi kurs rupiah pada APBN 2025 sebesar Rp16.000 per dolar AS. 

    “Jika pelemahan ini berkepanjangan akan mempengaruhi transaksi ekspor/impor terutama bahan baku industri yang masih tergantung barang import,” terangnya, dalam kesempatan terpisah. 

    Bagi pemerintah, menurut Sarman, pelemahan ini juga akan semakin membebani nilai utang luar negeri, sehingga memang strategi penguatan nilai tukar rupiah harus segera dilakukan.

    Apalagi, dolar AS saat ini merupakan mata uang resmi dalam transaksi bisnis dengan luar negeri, sehingga pelemahan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi kinerja berbagai sektor usaha.

    Untuk itu stabilisasi nilai tukar rupiah harus selalu terjaga mendekati angka asumsi kurs pada APBN 2025 karena itu menjadi acuan bagi pasar. Dunia usaha berharap agar Pemerintah dan BI mampu menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah.

    “Pengusaha akan wait and see artinya pengusaha akan melihat apakah pelemahan nilai tukar rupiah bersifat temporer dan segera menguat atau memang potensinya akan bertahan lama,” jelasnya. 

    Bagi pengusaha, dalam kondisi ini tidak ada jalan lain selain melakukan penyesuaian. Secara internal, pelaku usaha akan melakukan evaluasi dan mengambil langkah antisipasi jika pelemahan nilai tukar rupiah ini berkepanjangan.

    “Bagi industri yang bahan bakunya masih tergantung impor tidak tertutup kemungkinan melakukan penyesuaian harga atau mengurangi ukuran dari barang yang diproduksi,” imbuhnya. 

    Namun, hal tersebut dilakukan apabila pelemahan rupiah berkepanjangan. Oleh karena itu, Kadin berharap dengan berbagai instrumen yang ada Pemerintah dan BI dapat segera menguatkan nilai tukar rupiah.