Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara menyampaikan keberhasilan implementasi kecerdasan buatan (AI) di Indonesia sangat bergantung pada ketersediaan data, algoritma, dan infrastruktur.
Proyeksi ekonomi berbasis kecerdasan buatan (AI) menempatkan teknologi ini sebagai pendorong utama akselerasi pertumbuhan Indonesia menuju status negara berpenghasilan tinggi.
Dalam skenario Indonesia Emas 2045, PDB nasional diperkirakan mencapai US$7,4 triliun atau sekitar Rp123,21 kuadriliun, dengan PDB per kapita US$23.199 atau sekitar Rp386,26 juta.
Adopsi AI disebut mampu mempercepat pencapaian status high-income menjadi 2038, lebih cepat dibanding skenario awal tahun 2046. Secara khusus, kontribusi ekonomi AI pada 2030 diperkirakan mencapai US$140 miliar atau sekitar Rp2.331 Triliun.
Meski demikian, Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara menilai berbagai proyeksi tersebut masih berada pada ranah teoritis.
“Kalau dari sisi potensi AI, semua yang ada sekarang teori, karena use case yang beneran yang AI itu udah jadi belum sampai segitu. Jadi itu semua hipotesis,” kata Rudiantara ditemui di sela acara Seminar Penguatan Perlindungan Konsumen melalui Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) yang digelar Indonesia Fintech Society (IFSoc) pada Senin (1/12/2025) di Jakarta.
Rudiantara menjelaskan implementasi AI sangat bergantung pada tiga unsur utama, yaitu ketersediaan data yang kontinu dan berkualitas, algoritma yang mumpuni, serta infrastruktur memadai seperti data center berkapasitas GPU.
Dia menilai operator seluler memiliki keunggulan karena menghimpun volume data terbesar.
Dia menggambarkan bagaimana data seluler mampu memetakan lokasi tinggal, perilaku, hingga daya beli pelanggan tanpa harus mengetahui informasi fisik secara langsung.
Menurut dia, pemanfaatan data yang terintegrasi juga semakin memperkuat kemampuan profiling perilaku pengguna. “Saya nggak perlu tau Anda namanya siapa atau apa. Tapi perilakunya,” katanya.
Meski potensinya besar, Rudiantara mengingatkan adanya risiko etika dan penyalahgunaan algoritma.
“Resiko itu adalah dia melanggar batas-batas norma etika. Kan itu algoritma, orang kan bisa bikin macam-macam yang akhirnya bisa melanggar norma atau etika,” ujarnya.
Karena itu, dia menilai kehadiran panduan etika AI dari Komdigi menjadi langkah penting. Di sisi lain, Rudiantara menekankan pendekatan pengembangan model AI harus realistis, terutama terkait biaya riset.
Menurut dia, pendekatan open source lebih memungkinkan bagi Indonesia dibanding pengembangan model berskala besar seperti ChatGPT.
“Open source itu selalu lebih berpotensi untuk meningkatkan skala ekonomi,” katanya.
Dia menambahkan kemampuan pendanaan Indonesia masih jauh dibandingkan perusahaan teknologi global yang menggelontorkan hingga US$100 juta untuk R&D, sebuah angka yang sulit ditandingi Indonesia.
Ke depan, dia berharap Indonesia dapat memfokuskan pengembangan model AI yang bersifat sektoral dan aplikatif.
“Untuk sektor-sektor tertentu. Pertanian, misalkan energi. Kalau yang model kayak ChatGPT, rasanya agak sulit,” ungkapnya.


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5377908/original/025908000_1760167021-WhatsApp_Image_2025-10-11_at_13.28.49_98093ec6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/28/68d877108217c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)




