Tag: Rossa Purbo Bekti

  • Ahli Bahasa: Hasto Setujui Suap Rp 850 Juta dari Harun Masiku

    Ahli Bahasa: Hasto Setujui Suap Rp 850 Juta dari Harun Masiku

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli bahasa dari Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang, mengungkapkan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyetujui adanya uang suap sebesar Rp 850 juta dalam pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku menjadi anggota DPR periode 2019–2024.

    Pernyataan itu disampaikan Frans saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap PAW dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025).

    Frans menjelaskan, kesimpulan itu didasarkan pada hasil analisis percakapan WhatsApp antara Hasto dengan mantan kader PDIP, Saeful Bahri. Dalam chat tersebut, Saeful melaporkan bahwa Harun telah “menggeser 850”, dan Hasto membalas dengan, “Ok sip”.

    Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanyakan makna dari angka “850” dalam konteks percakapan tersebut. Frans menegaskan bahwa angka itu merujuk pada uang, meskipun tidak menggunakan simbol “Rp” atau kata “juta”. Strategi bahasa seperti ini umum digunakan dalam komunikasi politik untuk menyamarkan maksud sebenarnya.

    “Itu ciri khas bahasa yang kami temukan dalam banyak data percakapan politik. Lawan bicara sudah saling memahami konteksnya,” kata Frans.

    Frans juga menilai kata “ok” dalam balasan Hasto menunjukkan persetujuan terhadap informasi yang disampaikan, sementara kata “sip” mempertegas bahwa Hasto sangat memahami dan menyetujui isi percakapan tersebut.

    “‘Ok’ itu menyatakan setuju atau paham. Kalau ditambah ‘sip’, itu berarti sangat setuju,” jelasnya.

    Dalam dakwaan KPK, uang Rp 850 juta itu merupakan bagian dari upaya menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar menyetujui PAW Riezky Aprilia (caleg terpilih Dapil Sumsel I) digantikan oleh Harun Masiku. Uang itu disebut telah dititipkan ke DPP PDIP melalui Kusnadi, ajudan Hasto.

    Dari jumlah tersebut, Rp 400 juta akan diberikan kepada Wahyu melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fredelina. Sisanya dibagi ke berbagai pihak, yakni Tio Rp 50 juta, Donny Tri Istiqomah Rp 175 juta, dan Rp 230 juta untuk operasional Saeful Bahri dan tim.

    Selain Frans Asisi Datang, jaksa juga menghadirkan tiga ahli lainnya, yakni Bob Hardian Syahbuddin (ahli TI dari UI), Hafni Ferdian (ahli forensik KPK), dan Muhammad Fatahillah Akbar (ahli pidana dari UGM). Hingga kini, sudah ada sekitar 15 saksi yang dihadirkan, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan Saeful Bahri sebagai saksi kunci.

    Dalam perkara ini, Hasto didakwa bersama Harun Masiku, Saeful Bahri, dan advokat Donny Tri Istiqomah, memberikan suap Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan pada 2019–2020 untuk memuluskan PAW tersebut.

    Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam ponsel ke dalam air pasca-operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu. Ajudan Hasto, Kusnadi, juga disebut diminta melakukan hal serupa terhadap ponsel miliknya.

    Atas perbuatannya, Hasto dijerat Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Ahli Bahasa: ‘Bapak’ dalam Chat Harun Masiku Adalah Hasto Kristiyanto

    Ahli Bahasa: ‘Bapak’ dalam Chat Harun Masiku Adalah Hasto Kristiyanto

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli bahasa dari Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang, meyakini sosok “Bapak” yang memberikan perintah kepada Harun Masiku melalui staf PDIP, Nurhasan, untuk merendam telepon genggam (HP) usai operasi tangkap tangan (OTT) eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan adalah Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

    Sebutan “Bapak” tersebut muncul dalam percakapan WhatsApp antara Harun Masiku dan Nurhasan yang ditampilkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025).

    Sidang ini merupakan kelanjutan dari kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR periode 2019–2024 serta perintangan penyidikan dalam kasus yang menjerat Harun Masiku, dengan terdakwa utama Hasto Kristiyanto.

    Jaksa menghadirkan bukti percakapan antara Harun dan Nurhasan, di mana Nurhasan meminta Harun untuk siaga di kantor DPP PDIP dan merendam HP atas perintah “Bapak” yang sama-sama dipahami oleh keduanya.

    “Ada penggunaan kata ‘Pak’ dan ‘Bapak’. ‘Pak’ digunakan oleh seseorang di satu tempat, sementara ‘Bapak’ digunakan oleh orang lain yang sedang di luar. Ini dua konteks berbeda,” kata Frans dalam kesaksiannya di persidangan.

    Frans menjelaskan, dalam percakapan tersebut, Nurhasan konsisten menyapa Harun dengan “Pak”, sementara Harun menyebut Nurhasan dengan “Bapak” ketika bertanya soal keberadaan pihak ketiga.

    “Harun bertanya, ‘Bapak di mana?’. Nurhasan menjawab, ‘Bapak lagi di luar’. Kalau yang dimaksud ‘Bapak’ adalah dirinya sendiri, seharusnya jawabannya personal, bukan seperti itu,” jelas Frans.

    Dalam analisis linguistiknya, Frans menyimpulkan sebutan “Bapak” tersebut mengacu pada Hasto Kristiyanto, berdasarkan keterangan penyidik KPK, konteks percakapan, serta data chat lain yang diperiksa selama dirinya dimintai keterangan sebagai ahli bahasa.

    “Dalam BAP saya menyatakan bahwa berdasarkan konteks dan informasi yang saya terima, ‘Bapak’ yang dimaksud adalah Hasto, Sekjen PDIP,” tegasnya.

    Frans merupakan salah satu dari empat ahli yang telah dihadirkan dalam sidang kasus ini. Tiga ahli lainnya adalah Bob Hardian Syahbuddin (ahli teknologi informasi UI), Hafni Ferdian (ahli forensik KPK), dan Muhammad Fatahillah Akbar (ahli hukum pidana UGM).

    Jaksa KPK juga telah menghadirkan sekitar 15 saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan eks kader PDIP yang menjadi saksi kunci, Saeful Bahri.

    Dalam perkara ini, Hasto bersama advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa menyuap Wahyu Setiawan sebesar Rp 600 juta untuk memuluskan PAW Riezky Aprilia dari dapil Sumatera Selatan I agar digantikan oleh Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019–2024.

    Selain itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan KPK dengan memerintahkan Nurhasan merendam HP milik Harun Masiku ke dalam air setelah OTT Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan HP lain sebagai langkah antisipasi terhadap penyitaan.

    Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 serta Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Jaksa KPK Hadirkan Ahli Bahasa UI dalam Sidang Hasto Hari Ini

    Jaksa KPK Hadirkan Ahli Bahasa UI dalam Sidang Hasto Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang dalam sidang lanjutan kasus suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku dengan terdakwa Hasto Kristiyanto pada hari ini, Kamis (12/6/2025). Sidang lanjutan kasus Hasto ini berlangsung di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.

    “Ahli yang akan kami hadirkan Doktor Frans Asisi Datang SS, M Hum, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,” ujar Jaksa KPK Dwi Novantoro kepada wartawan, Kamis (12/6/2025).

    Dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto ini, jaksa KPK sudah menghadirkan empat ahli termasuk ahli bahasa Frans Asisi Datang. Tiga ahli lain yang sudah hadir dalam sidang Hasto adalah ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin, ahli forensik dari Komisi KPK Hafni Ferdian, serta ahli pidana dari UGM Muhammad Fatahillah Akbar.

    Selain itu, jaksa KPK sudah menghadirkan kurang lebih 15 saksi dari berbagai profesi dan latar belakang. Termasuk, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan saksi kunci eks kader PDIP Saeful Bahri. 

    Dalam kasus ini, Hasto bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa memberikan uang suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan (komisioner KPU) pada rentang waktu 2019-2020. Suap ini agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW caleg Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan.  

    Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.  

    Hasto pun dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
     

  • Gugatan Ditolak PN Bogor, Agustiani Tio Siapkan Langkah Hukum Baru – Page 3

    Gugatan Ditolak PN Bogor, Agustiani Tio Siapkan Langkah Hukum Baru – Page 3

    “Penggugat atau Ibu Tio mengalami bentuk gratifikasi hukum dan juga intimidasi yang dilakukan oleh tergugat, Bapak Rossa Purbo Bekti. Pak Rossa menyuruh Ibu Tio untuk mengganti kuasa hukum karena pada saat itu, kuasa hukum yang mendampingi adalah dari kader PDI Perjuangan. Artinya saya dan rekan-rekan diminta untuk diganti karena memang saya kader dari Partai PD Perjuangan,” ujarnya.

    Menurutnya, Agustiani Tio juga menerima tindakan intimidasi ketika dimintai keterangan sebagai saksi di KPK oleh Rossa Purbo Bekti. “Pak Rossa melakukan perbuatan intimidasi dengan cara menggebrak meja pada saat pemeriksaan di ruang penyidikan,” lanjut Army.

    Menurutnya, Rossa ketika memeriksa Agustiani Tio mengintimidasi secara verbal, sehingga gugatan dilayangkan wanita berkacamata itu ke PN Bogor Kelas IA.

    “Penyataan Pak Rossa kepada Ibu Tio juga bilang bahwa ‘kita lihat saja nanti siapa yang lebih kuat, oke,’ dan yang terakhir adalah, Ibu Tio dipaksa oleh Pak Rossa untuk mengakui menerima kompensasi dengan menyampaikan pertanyaan, dapat berapa saudari dari Hasto Kristiyanto,” katanya.

    “Itu salah satu isi dari substansi gugatan kami. Jadi, sebenarnya ini menjadi sebuah rangkaian langkah-langkah upaya keadilan bagi Ibu Tio,” lanjut Army.

  • Gugatan Tak Diterima PN Bogor, Agustiani Tio Bakal Gugat Lagi Rossa KPK

    Gugatan Tak Diterima PN Bogor, Agustiani Tio Bakal Gugat Lagi Rossa KPK

    Gugatan Tak Diterima PN Bogor, Agustiani Tio Bakal Gugat Lagi Rossa KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kuasa hukum mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),
    Agustiani Tio
    Fridelina, bakal menggugat kembali penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
    Rossa Purbo Bekti
    , ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor.
    Gugatan baru dilayangkan lantaran kubu Tio kecewa dengan putusan PN Bogor dalam perkara perdata nomor 26/Pdt.G/2025/PN Bgr yang tidak dapat diterima alias Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) gugatan tersebut.
    “Prinsipnya, kami akan terus memperjuangkan keadilan bagi klien kami yang selama ini merasa hak-haknya di bidang perdata dilanggar,” kata kuasa hukum Tio, Army Mulyanto, kepada
    Kompas.com
    , Rabu (6/11/2025).
    “Kami juga akan mempelajari putusan ini secara menyeluruh dan melakukan gugatan baru terhadap tergugat yang sama,” kata Army.
    Adapun gugatan ini dilayangkan lantaran Tio diduga mengalami upaya percobaan gratifikasi hukum dan intimidasi oleh Rossa Purbo Bekti.
    Army menilai majelis hakim terlalu terburu-buru dalam memutus perkara tersebut hanya karena ketidakhadiran penggugat dalam proses mediasi.
    “Pada prinsipnya, kami sangat menyayangkan dan kecewa terhadap keputusan majelis hakim perkara Nomor 26. Pertimbangan yang diambil terkesan tergesa-gesa,” kata Army.
    “Klien kami, Bu Tio, sebenarnya tidak hadir dalam mediasi karena alasan yang sah, yaitu sedang sakit dan menjalani pengobatan,” ucapnya.
    Army menegaskan bahwa ketidakhadiran Agustiani dalam mediasi bukan karena mengabaikan proses hukum.
    Ia mengeklaim bahwa alasan ketidakhadiran tersebut telah disampaikan kepada hakim mediator.
    “Namun, alasan itu tidak dipertimbangkan secara layak. Lalu, majelis hakim langsung menyimpulkan dan memutus NO,” ucapnya.
    Army menjelaskan bahwa proses
    gugatan perdata
    ini bahkan belum memasuki tahap pokok perkara.
    Oleh karena itu, menurutnya, keputusan majelis hakim dinilai prematur dan berpotensi merugikan hak hukum kliennya.
    “Perlu ditegaskan, perkara ini belum sampai pada tahap jawab-menjawab. Jadi, belum masuk pada substansi. Sangat prematur jika disimpulkan bahwa klien kami tidak punya dasar menggugat Rossa Purbo Bekti,” ujarnya.
    Sebelumnya, Agustiani Tio menggugat Rossa lantaran diduga telah melakukan gratifikasi hukum dan intimidasi dalam proses penyidikan di KPK.
    “Penggugat, Ibu Tio, mengalami bentuk gratifikasi hukum dan juga intimidasi yang dilakukan oleh tergugat, Bapak Rossa Purbo Bekti,” kata kuasa hukum Agustiani, Army Mulyanto, kepada Kompas.com, Selasa (11/2/2025).
    “Pak Rossa menyuruh Ibu Tio untuk mengganti kuasa hukum karena pada saat itu, kuasa hukum yang mendampingi adalah dari kader PDI Perjuangan. Artinya, saya dan rekan-rekan diminta untuk diganti karena memang saya kader dari Partai PDI Perjuangan,” ucapnya.
    Menurut Army, Agustiani Tio juga menerima tindakan intimidasi ketika dimintai keterangan sebagai saksi di KPK oleh Rossa Purbo Bekti.
    Agustiani Tio menuntut ganti rugi Rp 2,5 miliar terhadap aksi intimidasi yang telah diterimanya tersebut. “Nilai ganti kerugian kepada Bapak Rossa Purbo Bekti senilai atau sebesar Rp 2,5 miliar terkait apa yang dialami oleh Ibu Tio,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Hasto, Ahli UGM: Penyidik Boleh Jadi Saksi tetapi Ada Batasan

    Sidang Hasto, Ahli UGM: Penyidik Boleh Jadi Saksi tetapi Ada Batasan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menyatakan seorang penyidik, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperbolehkan menjadi saksi dalam persidangan, asalkan hanya menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang secara langsung dialami, dilihat, atau didengar sendiri.

    Pernyataan ini disampaikan saat Akbar hadir sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR 2019–2024 serta dugaan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku, dengan terdakwa Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    Dalam persidangan, kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, menanyakan legalitas seorang penyidik menjadi saksi yang menyampaikan rangkaian keterangan hasil pemeriksaan saksi lain di persidangan. Ia memberikan ilustrasi terkait penyidik yang menjelaskan hasil pemeriksaan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

    “Di dalam persidangan dia menceritakan hasil pemeriksaan tersebut. Apakah secara hukum itu diperbolehkan?” tanya Ronny.

    Akbar menegaskan, penyidik hanya dapat memberikan kesaksian atas hal yang ia alami sendiri.

    “Kalau dia hanya menerangkan hal yang dialami sendiri—yang dilihat dan didengar langsung—itu diperbolehkan. Tapi kalau hanya menyampaikan ulang hasil pemeriksaan, cukup saksi yang bersangkutan yang memberikan keterangannya sendiri,” jawab Akbar.

    Namun Ronny belum puas dan kembali mendesak Akbar memberikan jawaban konkret terkait penyidik sebagai saksi fakta. Ia bertanya apakah penyidik bisa menjadi saksi yang menjelaskan isi BAP yang dibuatnya.

    “Tidak bisa,” tegas Akbar.

    Akbar menambahkan, nilai pembuktian kesaksian seorang penyidik yang hadir di pengadilan tetap bergantung pada pertimbangan majelis hakim.

    Dalam perkara Hasto Kristiyanto, jaksa KPK telah menghadirkan sekitar 15 saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri, yang disebut sebagai saksi kunci. Mereka memberikan keterangan terkait dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus PAW Harun Masiku.

    Selain itu, jaksa juga menghadirkan tiga ahli, yaitu Bob Hardian Syahbuddin (ahli teknologi informasi dari Universitas Indonesia), Hafni Ferdian (ahli forensik KPK), dan Muhammad Fatahillah Akbar (ahli hukum pidana UGM).

    Dalam dakwaan, Hasto bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku disebut memberikan suap sebesar SG$ 57.350 (sekitar Rp 600 juta) kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan antara 2019–2020. Uang itu diduga untuk memuluskan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam ponsel ke dalam air pasca operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel sebagai antisipasi penyitaan oleh penyidik KPK.

    Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Sidang Hasto, Ahli UGM: Suap Tak Perlu Timbulkan Akibat untuk Dipidana

    Sidang Hasto, Ahli UGM: Suap Tak Perlu Timbulkan Akibat untuk Dipidana

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menegaskan pembuktian dalam kasus suap tidak memerlukan akibat nyata dari perbuatan tersebut. Menurutnya, tindak pidana suap merupakan delik formal sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan kausal antara pemberi dan penerima suap.

    “Delik formil berarti tindak pidana telah dianggap selesai ketika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, seperti dalam hal suap,” ujar Akbar dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait PAW Anggota DPR 2019–2024 yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    Akbar menjelaskan dalam konteks suap, unsur niat jahat atau mens rea sudah cukup untuk memenuhi unsur tindak pidana, tanpa perlu menunggu akibat atau hasil dari perbuatan tersebut (actus reus).

    “Sebagai contoh Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor, menyatakan adanya maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, sudah cukup untuk dikenakan pidana,” tambahnya.

    Dalam perkara ini, jaksa telah menghadirkan sekitar 15 orang saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan eks kader PDIP Saeful Bahri yang menjadi saksi kunci. Keterangan para saksi ini berkaitan dengan dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam kasus PAW Harun Masiku.

    Selain itu, jaksa KPK juga sudah menghadirkan tiga ahli, yakni ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin, ahli forensik Hafni Ferdian, serta ahli pidana Muhammad Fatahillah Akbar.

    Hasto Kristiyanto didakwa bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar SG$ 57.350  atau sekitar Rp 600 juta kepada Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan, dalam rentang waktu 2019–2020. Tujuannya adalah agar KPU menyetujui permohonan PAW caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Selain itu, Hasto juga didakwa melakukan perintangan penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui Nur Hasan (penjaga Rumah Aspirasi), untuk merendam ponsel milik Harun ke dalam air seusai OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghindari penyitaan oleh penyidik.

    Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Kubu Hasto Kritik Keterangan Ahli dari JPU KPK

    Kubu Hasto Kritik Keterangan Ahli dari JPU KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Kubu terdakwa Sekretaris Jenderal )Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik keterangan ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muhammad Fatahillah Akbar. Terutama terkait pelaporan terhadap penyidik oleh pihak Hasto ke sejumlah lembaga, termasuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK dan Bareskrim Polri, serta pelaksanaan konferensi pers (konpres), yang dianggap sebagai perintangan penyidikan.

    Hal ini disampaikan oleh Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    “Saya ingin menyampaikan ada hal yang menurut saya sesuatu yang aneh dan ganjil dalam BAP dari saudara ahli yang bernama Muhammad Fatahillah Akbar,” ujar Ronny.

    Ronny menyinggung salah satu pertanyaan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyinggung soal pelaporan terhadap penyidik oleh pihak Hasto ke sejumlah lembaga, termasuk Dewas KPK dan Bareskrim Polri, serta pelaksanaan konferensi pers. 

    Menurut Ronny, jika penggunaan hak hukum tersebut dianggap sebagai bentuk perintangan penyidikan, maka itu merupakan bentuk penyimpangan yang membahayakan sistem peradilan.

    “Kalau kita dalam hal ini menggunakan hak hukum kita untuk melaporkan penyidik yang menurut kami bekerja tidak profesional, kepada Dewas KPK, Bareskrim, kemudian melakukan upaya hukum, melakukan konferensi pers, dianggap ini merintangi penyidikan, menurut saya ini sudah keterlaluan,” jelas Ronny.

    Ronny mengingatkan, laporan pihaknya telah diterima dan saat ini Dewas KPK masih memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh salah satu penyidik KPK Rossa Purbo Bekti.

    “Artinya apa teman-teman? Kalau hukum kita pergunakan seperti ini, kita jalankan seperti ini, kita tidak berhasil sebagai negara hukum,” tegas dia.

    Dalam kasus Hasto Kristiyanto ini, jaksa sudah menghadirkan kurang lebih 15 saksi dari berbagai profesi dan latar belakang. Termasuk, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan saksi kunci eks kader PDIP Saeful Bahri. Para saksi ini diminta keterangannya terkait peristiwa yang berkaitan dengan dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus PAW Harun Masiku yang menjerat Hasto Kristiyanto.

    Selain itu, jaksa KPK juga sudah menghadirkan tiga ahli, yakni ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin; ahli forensik dari Komisi KPK)l, Hafni Ferdian serta ahli pidana Muhammad Fatahillah Akbar.

  • Hasto Sebut Penyidik Rossa Bukan Saksi Fakta: Dia Berimajinasi

    Hasto Sebut Penyidik Rossa Bukan Saksi Fakta: Dia Berimajinasi

    Hasto Sebut Penyidik Rossa Bukan Saksi Fakta: Dia Berimajinasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P),
    Hasto Kristiyanto
    menilai, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ),
    Rossa Purbo Bekti
    , bukan
    saksi
    fakta.
    Hal ini disampaikan Hasto usai mendengar keterangan Rossa yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK sebagai saksi perkara dugaan perintangan penyidikan tersangka suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI yang menjerat dirinya sebagai terdakwa.
    “Hari ini saya menegaskan bahwa saudara Rossa ternyata bukan saksi fakta,” kata Hasto saat ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025).
    Hasto menilai, keterangan yang disampaikan Rossa di dalam persidangan bukan fakta atas peristiwa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
    Menurutnya,
    penyidik KPK
    dari Polri itu hanya memberikan asumsi atas peristiwa yang ditanganinya tersebut.
    “Dia mengkonstruksikan (peristiwa) berdasarkan imajinasi dan asumsi dari saudara Rossa,” kata Hasto.
    Dalam perkara ini, Hasto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 dollar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020.
    Tindakan ini disebut dilakukan bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, kader PDI-P, Saeful Bahri, dan
    Harun Masiku
    .
    Uang ini diduga diberikan dengan tujuan supaya Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui PAW Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
    Selain itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun untuk merendam telepon genggam ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan.
    Perintah kepada Harun dilakukan Hasto melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan.
    Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebut memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
    Atas tindakannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kesaksian Penyidik KPK Mau OTT Hasto, Malah Ditangkap di PTIK

    Kesaksian Penyidik KPK Mau OTT Hasto, Malah Ditangkap di PTIK

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti menceritakan kebuntuan saat melakukan OTT terhadap Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan.

    Hal itu disampaikan Rossa saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara suap dan perintangan terdakwa Hasto di PN Tipikor, Jakarta, Jumat (9/5/2025).

    Rossa menjelaskan OTT KPK itu bermula saat pihaknya mendapatkan informasi soal adanya tindak korupsi berupa suap dan gratifikasi terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan sekitar Januari 2020.

    Kala itu, Rossa dan tim menangani proses OTT untuk penangkapan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. Setelah ditangkap, penyidik KPK kemudian menelusuri aliran dana dalam perkara suap dan gratifikasi itu.

    Dari alat bukti yang ada, aliran suap dan gratifikasi itu bersumber dari Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku. Dengan demikian, penyidik langsung melakukan pengejaran terhadap keduanya.

    “Pada saat itu dengan alat bukti bahwa ada keterangan dan juga ada percakapan WhatsApp dan petunjuk barang bukti elektronik bahwa uang itu berasal dari terdakwa [Hasto],” ujar Rossa di persidangan.

    Selanjutnya, penyidik mendapatkan informasi kalau Hasto telah bergerak dari kantor DPP PDIP menuju arah Jakarta Selatan atau tepatnya di sekolah kepolisian atau PTIK.

    Sesampainya di PTIK, Rossa mengaku bahwa dirinya menemui sejumlah hambatan dalam pengejaran Hasto. Sebab, penyidik KPK sempat tertahan di halaman PTIK.

    “Kami tertahan di depan kompleks PTIK. Jadi dalam posisi saya pernah sekolah di situ selama dua tahun, jadi tidak mungkin juga saya mencari masalah di situ,” ujar Rossa.

    Selain itu, dia juga mengungkap bahwa dilokasi juga terdapat tim yang melakukan pengejaran terhadap Harun Masiku dan sama-sama tertahan di PTIK.

    Sembari menunggu, Harun dan Hasto keluar, penyidik KPK itu kemudian didatangi, diinterogasi oleh gerombolan orang dan langsung dibawa ke sebuah ruangan.

    “Kami didatangi oleh beberapa orang, diinterogasi, dan kami diamankan dalam posisi kami dibawa ke dalam suatu ruangan. Rombongan kami ada 5 orang, sehingga itu menyebabkan kami kehilangan jejak Harun Masiku dan terdakwa pada saat itu,” pungkas Rossa.