Hasto: Ada Ancaman agar Saya Mundur dan Tak Depak Jokowi dari PDIP
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDI-P
)
Hasto Kristiyanto
mengaku pernah diminta mundur dari jabatannya dan tidak mendepak Presiden ke-7 RI
Joko Widodo
dari PDI-P oleh seseorang.
Hal ini disampaikan Hasto saat memberikan keterangan sebagai terdakwa dalam sidang kasus
dugaan suap
pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku.
Pengakuan ini bermula ketika kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menanyakan perihal informasi yang sempat beredar terkait permintaan agar kliennya mundur sebagai Sekjen PDI-P.
“Saya ingat membaca satu pernyataan mengenai kejadian pada tanggal 13 Desember 2024. Sebelum saudara ditetapkan sebagai tersangka, ketika itu kalau saya tidak keliru beritanya adalah saudara didatangi oleh orang yang meminta kepada saudara untuk mundur dari kedudukan sebagai sekjen partai,” kata Maqdir dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Tidak hanya itu, Maqdir juga menanyakan soal ancaman terhadap Hasto jika ia menandatangani pemecatan Joko Widodo.
“Kemudian yang kedua, untuk meminta saudara agar supaya Presiden ketika itu Joko Widodo tidak dihentikan dari jabatannya sebagai anggota partai?” tanya Maqdir lagi.
“Betul, itu (ancaman). Bahkan ada (disampaikan) lewat beberapa orang informasi itu,” jawab Hasto.
Hasto kemudian menjelaskan bahwa permintaan tersebut juga diketahui oleh anggota DPR Fraksi PDIP Deddy Sitorus dan kuasa hukumnya, Ronny Talapessy.
“Izin Yang Mulia, terakhir saudara Ronny juga mendengar ketika kemudian untuk membuktikan itu saya menghubungi yang bersangkutan untuk menanyakan ancaman itu dan saudara Ronny ikut mendengarkan bahwa saya harus mundur sebagai sekjen,” ungkap Hasto.
“Ancamannya kalau saudara tidak mundur itu apakah memang akan dipidanakan atau mau seperti apa?” tanya Maqdir.
Menjawab pertanyaan Maqdir, Hasto menjelaskan bahwa jika tidak mengundurkan diri, ia akan dijadikan tersangka dan dipenjara.
“Ditersangkakan dan masuk penjara,” imbuhnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Ronny Talapessy
-
/data/photo/2025/06/13/684b9a2167f23.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto: Ada Ancaman agar Saya Mundur dan Tak Depak Jokowi dari PDIP Nasional 26 Juni 2025
-

Momen Berpelukan Hasto Kristiyanto dan Said Didu di PN Tipikor Usai Sidang Diskors
Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu terlihat mendatangi persidangan perkara suap dan perintangan penyidikan yang menjerat Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa, Kamis (26/6/2025).
Berdasarkan pantauan Bisnis di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Said terlihat menunggu di luar ruang sidang Hatta Ali sesaat sebelum Hasto memberikan keterangan kepada wartawan. Saat itu, sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa diskors selama satu jam oleh Majelis Hakim.
Saat Hasto masih menunggu kuasa hukumnya untuk mendampingi saat keterangan pers, elite PDIP itu melihat Said berdiri bersama dengan wartawan yang mengerubunginya.
Sontak, Hasto langsung tersenyum dan menghampiri Said yang berada di tengah gerombolan wartawan. Keduanya sempat bersalaman dan berpelukan.
Said, yang pernah memegang jabatan di Kementerian BUMN era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), menunggu Hasto saat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai persidangan yang dijalani olehnya. Dia turut mendengarkan pernyataan Hasto, sekaligus kuasa hukumnya yakni Ronny Talapessy dan Maqdir Ismail.
Saat dihampiri, Said mengaku hari ini turut datang menyimak dua persidangan yang berbeda. Selain persidangan Hasto, dia turut menyaksikan jalannya persidangan perkara korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag), yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
“Kan dua teman saya ini. Hasto sama Lembong. Memang, karena memang saya anggap untuk keadilan ya saya khusus datang,” ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).
Said lalu tidak menampik anggapan bahwa perkara yang menjerat Hasto dan Tom bermuatan politis. Dia menuding bahwa sebagian besar perkara hukum yang ada saat ini berkaitan dengan politik.
Dia mengaku sempat menghadiri sidang Tom yang juga bergulir di ruangan sebelah tempat persidangan Hasto.
“Ya saya yakin sebagian besar perkara sekarang kaitan politik sih. Susah dibantah,” tuturnya.
Said menilai, anggapan soal muatan politik pada penanganan perkara hukum saat ini tidak lepas dari bekas pengaruh Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Untuk diketahui, Said merupakan salah satu tokoh publik yang kerap mengkritik Jokowi.
“Penegakan hukum yang pertama dibersihkan dulu deh. Untuk menghindari agar orang-orang menjadi merasa aman kalau menjadi penjilat kekuasaan,” ucapnya.
Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan kasus suap penetapan anggota DPR 2019-2024 yang menjerat mantan caleg PDIP, Harun Masiku. Saat ini, Harun masih berstatus buron. Dia juga didakwa ikut memberikan suap untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR PAW 2019-2024.
Sementara itu, Tom didakwa menyebabkan kerugian keuangan negara dalam rangka impor gula. Audit BPKP menunjukkan terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp578 miliar.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5162786/original/007869100_1741934719-20250314-Sidang_Hasto-HER_9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Jelaskan Makna Jawaban ‘Ok Sip’ saat Chat dengan Saeful Bahri – Page 3
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menanggapi kata ‘ok sip’ yang diterjemahkan oleh ahli bahasa Frans Asisi Datang pada sidang sebelumnya, terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perkara perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto.
Menurut Chairul Huda, kata ‘ok sip’ tidak bisa dijadikan dasar dalam konteks terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap.
Awalnya, kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menyinggung hasil analisis ahli bahasa yang menyebutkan kata ‘oke sip’ dapat menjadi dasar untuk menjadikan seseorang sebagai terpidana.
“Dalam persidangan karena saksi ini sudah diperiksa menyatakan tidak ada perbuatan dari terdakwa, maka, dihadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan, telepon, dan ahli bahasa sampaikan harus ditanyakan kepada subjek yang berkomunikasi, yang memberi pesan dan menerima pesan,” tutur Ronny di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (20/6/2025).
“Pada saat persidangan kita munculkan bahwa saksi ini menyampaikan bapak itu bukan terdakwa, kemudian apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat seseorang itu akan menjadi terpidana?” sambungnya.
Chairul menjawab bahwa ahli bahasa hanya dapat menilai tentang teks dalam bentuk ujaran lisan. Sementara tidak bisa menyimpulkan terkait konteks di balik percakapan tersebut.
“Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks,” kata ahli hukum pidana itu.
“Dia cuma menyatakan ‘ok sip’ artinya apa, tetapi konteksnya ini disampaikan dalam keadaan gimana, oleh siapa, dalam situasi apa, itu yang menilai ahli hukum. Jadi kalau ahli bahasa hanya melihat dari segi teks atau ujaran,” lanjutnya.
Kasus Hasto Tidak Perlu Ahli Bahasa
Chairul menilai, dalam penanganan kasus dugaan perintangan penyidikan maupun korupsi, tidaklah perlu melibatkan ahli bahasa, melainkan ahli pidana, lantaran dapat memberikan pandangan terkait ada tidaknya pelanggaran pidana.
Pelibatan ahli bahasa disebutnya lebih cocok dalam penanganan kasus ujaran kebencian. Keahliannya pun tepat digunakan untuk membedah arti dari pernyataan, yang menjadi pokok permasalahan.
“Nah, makanya yang diperlukan ahli bahasa itu tindak pidana, yang perbuatan di situ diwujudkan dalam ujaran pasal-pasal ujaran kebencian, hate speech, baru perlu ahli bahasa. Kalau perintangan penyidikan enggak ada perlunya ahli bahasa,” Chairul menandaskan.
-
/data/photo/2025/06/12/684a52393785e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sidang Pemeriksaan Hasto Bakal Digelar pada Kamis Pagi Besok Nasional 25 Juni 2025
Sidang Pemeriksaan Hasto Bakal Digelar pada Kamis Pagi Besok
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sekretaris Jenderal PDI-P
Hasto Kristiyanto
bakal menjalani sidang pemeriksaan sebagai terdakwa kasus suap dan perintangan penyidikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis (26/6/2025) besok.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Takdir Suhan, mengatakan bahwa pemeriksaan Hasto akan dimulai pada Kamis pagi sekitar pukul 09.00 WIB.
“Pemeriksaan terdakwa Hasto sekitar pukul 09.00 WIB,” kata Takdir kepada
Kompas.com
, Rabu (25/6/2025).
Seperti diketahui, Hasto adalah terdakwa kasus dugaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan yang menyeret nama Harun Masiku.
Dihubungi terpisah, kuasa hukum Hasto,
Ronny Talapessy
, mengaku tidak ambil pusing dengan
sidang pemeriksaan Hasto
pada Kamis besok.
Sebab, menurut dia, sepanjang proses persidangan ini tidak ada satu pun saksi yang memberikan keterangan memberatkan Hasto.
“Pemeriksaan Mas Hasto besok kami serahkan penuh kepada Majelis Hakim mengingat dari sidang awal sampai sidang ke-17 tidak ada saksi yang memberatkan Mas Hasto,” kata Ronny.
Ronny mengeklaim, sejumlah saksi kunci yang dihadirkan JPU KPK justru memberikan keterangan yang memperkuat posisi Hasto tidak terlibat dalam perkara Harun Masiku.
Saksi yang dimaksud antara lain adalah eks kader PDI-P Saeful Bahri, eks pengacara PDI-P Donny Tri Istiqomah, eks staf PDI-P Kusnadi, eks Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina, serta ahli bahasa Frans Asisi.
Ia mencontohkan, dugaan adanya perintah Hasto untuk memberikan suap terbantahkan dari saksi kunci yang dihadirkan KPK.
Menurut Ronny, tuduhan bahwa Hasto memerintahkan Harun Masiku melalui Satpam di kantor PDI-P, Nur Hasan, untuk menenggelamkan ponsel juga tidak pernah bisa dibuktikan oleh jaksa Komisi Antirasuah.
“Mereka datang menjelaskan dalam persidangan bahwa uang suap KPU berasal dari Harun Masiku, dan maksud dari ‘bapak’ yang memerintahkan melakukan penenggelaman HP bukan Hasto Kristiyanto. Ini adalah keterangan saksi kunci Nur Hasan,” ucap dia.
Berdasarkan rangkaian fakta persidangan, Ronny berpandangan bahwa kliennya sudah selayaknya dibebaskan dari seluruh tuntutan.
“Oleh sebab itu, tanpa mendahului keputusan hakim, maka sudah selayaknya Mas Hasto diputus bebas dari semua tuntutan jaksa,” ujar Ronny.
Dalam perkara ini, Hasto didakwa turut memberi suap kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan terkait upaya Harun Masiku menjadi anggota DPR RI lewat skema PAW.
Hasto juga diduga turut menghalangi penyidikan yang dilakukan lembaga antirasuah dalam membongkar dugaan suap
kasus Harun Masiku
tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Perintangan Tak Masuk Akal, Jika Proses Hukum Sudah Inkrah
GELORA.CO – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Mahrus Ali menyebut tak masuk akal terjadinya perintangan pada suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau Inkrah.
Adapun hal itu disampaikan Ali saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di PN Tipikor Jakarta, Jumat (20/6/2025) malam.
Mulanya kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menanyakan mengenai perintangan di tahap penyidikan dengan mencontohkan beberapa kasus.
“Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor 3315 Pidsus 2018 Frederich Yinadi, terpidana terbukti menghalangi penyidikan terhadap tersangka korupsi Setyo Navanto, ini artinya dalam proses tingkat penyidikan,” kata Ronny di persidangan.
Menjawab hal itu, Ali menyebut dalam Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, mengatur upaya perintangan di tingkat penyidikan. Sehingga, tak masuk akal bila terjadi di tahap penyelidikan.
“Jadi itu yang saya katakan bahwa kalau ada orang dikenakan Pasal 21 (Undang-Undang Tipikor), sementara perkara pokoknya jalan bahkan sampai ada putusan yang incraht itu tidak make sense,” ujar Ali.
Menurutnya, bila terjadi perintangan pada penanganan perkara, maka, proses hukumnya tidak akan berjalan hingga diputus oleh majelis hakim.
“Berarti apa? berarti tidak ada penyidikan yang tercegah, tidak ada penyidikan yang tergagalkan,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga menyebut dalam Undang-Undang tersebut telah jabarkan batasan secara gamblang dan tegas. Sehingga tak bisa ditafsirkan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Tipikor jika terjadinya perintangan di tahap penyelidikan.
“Kemudian di dalam Undang-Undang dijelaskan secara jelas misalnya ini penyidikan ya itu tidak bisa ditafsirkan lain selain penyidikan bukan kemudian penyelidikan,” ungkapnya.
“Mencegahnya perbuatannya di penyelidikan, kenapa? untuk mencegah agar tidak terjadi penyidikan, enggak kaya gitu,” imbuhnya.
Terlebih, dalam proses penyelidikan belum masuk tahap Pro Justicia. Di mana, aparat penegak hukum masih mencari ada tidaknya dugaan pelanggaran pidana.
“Kenapa? karena di penyelidikan belum ada pro Justicia, alat bukti belum ada di situ,” tandasnya.
Seperti diketahui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (14/3/2025).
“Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaan yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
“Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ucap Jaksa.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
“Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa,” ujar Jaksa.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
“Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Di mana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
-

Eks Hakim MK Sebut SOP Lembaga Tak Lebih Tinggi Dari Undang-Undang
JAKARTA – Eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maruarar Siahaan menilai Standar Operasional Prosedur (SOP) suatu lembaga ditempatkan lebih tinggi dari undang-undang dari sisi konstirusi terkait pendampingan hukum dan penggeledahan.
Perihal disampaikannya dalam persidangan kasus dugaan suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan terdakwa Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Bermula saat kuas hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy mempertanyakan kedudukan SOP suatu lembaga lebih tinggi daripada undang-undang.
“Dalam proses pemeriksaan kemudian di dalam KUHAP bahwa seorang mempunyai hak untuk didampingi oleh seorang pengacara atau penggeledahan harus berdasarkan surat penetapan Pengadilan Negeri tetapi dalam suatu lembaga mereka memiliki suatu SOP yang menjadi acuan untuk mereka. Bagiamana pandangan ahli, apakah SOP ini bisa mengalahkan undang undang dari sisi konstitusi?” tanya Ronny dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 19 Juni.
“Ya saya kira dari hirarki peraturan tentu tidak bisa,” jawab Maruarar.
Bila masih ada keraguan, Maruara menyebut bisa dilakukan judicial review atau pengujian yudisial. Namun, lebih jauh mengenai penggeldahan prosesnya harus sesuai perundang-undangan. Sebab, akan berpengaruh pada keabsahan alat bukti dari hasil penggeledahan.
“Hal-hal yang didukung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan apalagi dalam pengalaman saya kan bekas ketua pengadilan juga pak, kita juga melihat ada penggeledahan dan penyitaan barang barang dari seorang katakanlah calon terdakwa tetapi tidak ada saksi yang melihat apa benar alat bukti diambil dari situ,” sebutnya.
Jika proses perolehan alat bukti dilakukan dengan cara yang tidak sah, maka, tak bisa digunakan dalam peradilan.
Namun, apabila tetap digunakan untuk mendukung dalil, hal itu dapat merusak validitas dan keadilan proses hukum yang sedang bejalan.
“Bahwa barang-barang yang dirampas tanpa dasar hukum yang sah atau proses yang sah tidak bisa digunakan dia adalah buah pohon beracun,” kata Maruarar.
Dalam kasus ini, Hasto bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa memberikan uang suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan (komisioner KPU) pada rentang waktu 2019-2020.
Suap ini agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Hasto pun dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP
-
/data/photo/2025/06/12/684a52393785e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Hakim MK Maruarar Siahaan Jadi Ahli di Sidang Hasto Kristiyanto
Eks Hakim MK Maruarar Siahaan Jadi Ahli di Sidang Hasto Kristiyanto
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Tim hukum Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
Hasto Kristiyanto
menghadirkan eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK)
Maruarar Siahaan
dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2035).
Maruarar Siahaan dihadirkan sebagai ahli untuk memberikan keterangan dalam perkara
dugaan suap
pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR RI dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku yang menjerat Hasto.
“Kita pagi ini menghadirkan satu ahli yaitu Dr. Maruarar Siahaan, Hakim Indonesia dan Hakim MK,” kata kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy kepada Kompas.com, Kamis.
Ronny menyampaikan, Maruarar bakal menjelaskan tafsir Undang-Undang dan putusan perkara nomor 18 dan nomor 28 yang sudah inkracht 5 tahun lalu.
Perkara nomor 18 yang dimaksud Ronny adalah perkara yang menjerat eks kader PDI-P, Saeful Bahri.
Sementara, perkara 28 adalah perkara eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan eks Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina.
“Di mana tidak ada bukti Hasto Kristiyanto terlibat kasus suap Wahyu Setiawan tetapi terjadi daur ulang,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional itu.
“Sehingga ada penyusupan atau penyelundupan hukum yang membuat Hasto Kristiyanto menjadi terdakwa tanpa bukti yang kuat melainkan asumsi belaka,” kata Ronny.
Dalam hal ini, Hasto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 dollar Singapura atau setara Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020.
Tindakan ini disebut dilakukan bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, kader PDI-P, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.
Uang ini diduga diberikan dengan tujuan supaya Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui PAW Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024, Riezky Aprilia, kepada Harun Masiku.
Selain itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun untuk merendam telepon genggam ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan.
Perintah kepada Harun dilakukan Hasto melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan.
Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebut memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.
Atas tindakannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.


