Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
extraordinary
atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
“Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
“Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
“Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
“Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
“Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
“Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
“Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
“Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
“Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
“KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Rohidin Mersyah
-

Eks Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Dihukum 10 Tahun Penjara di Kasus Gratifikasi dan Pemerasan
JAKARTA – Mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dihukum 10 tahun penjara dengan denda Rp700 juta subsider enam bulan penjara terkait kasus gratifikasi dan pemerasan.
“Menyatakan terdakwa Rohidin Mersyah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana sesuai dalam dakwaan dan menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 10 tahun penjara,” kata Ketua Majelis Hakim PN Tipikor Bengkulu Paisol saat membacakan vonis di Kota Bengkulu, Rabu, disitat Antara.
Rohidin Mersyah juga divonis pidana tambahan berupa uang pengganti kepada negara sebesar Rp39,6 miliar, 72,15 dolar Amerika dan 349 dolar Singapura dan jika tidak mampu membayar maka hartanya akan disita atau diganti dengan pidana hukuman penjara tiga tahun dan dicabut hak politiknya selama dua tahun setelah menjalani pidana pokok.
Barang bukti yang disita oleh JPU KPK untuk dilelang dalam upaya pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan dan dirampas untuk negara, serta vonis hukuman dikurangi masa penahanan yang telah dilakukan sejak November 2024.
Untuk terdakwa mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bengkulu Isnan Fajri divonis hukuman pidana penjara selama tujuh tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara.
Serta mantan ajudan gubernur Evriansyah alias Anca divonis hukuman pidana penjara selama lima tahun dengan denda Rp250 juta subsider tiga bulan penjara.
Untuk hal-hal yang meringankan hukuman keduanya yaitu belum pernah dihukum, sopan selama persidangan dan memiliki keluarga, sedangkan hal yang memberatkan tidak mendukung program pemerintah pusat dalam pemberantasan korupsi.
Vonis tersebut diberikan karena ketiga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf B dan E Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Usai mendengarkan vonis, terdakwa Rohidin Mersyah dan Isnan Fajri akan fikir fikir terlebih dahulu terkait keputusan kedepan yang akan diambil, sedangkan terdakwa Evriansyah alias Anca menerima vonis tersebut.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK RI menuntut mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dituntut hukuman pidana pokok selama delapan tahun penjara dan denda Rp700 juta subsider enam bulan penjara terkait kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan.
Rohidin juga dituntut pidana tambahan berupa uang pengganti kepada negara sebesar Rp39,6 miliar, 72,15 dolar Amerika dan 349 dolar Singapura dan jika tidak mampu membayar maka hartanya akan disita atau diganti dengan pidana hukuman penjara tiga tahun dan dicabut hak politiknya selama dua tahun setelah menjalani pidana pokok.
Untuk terdakwa mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bengkulu Isnan Fajri dituntut dengan hukuman pidana penjara selama enam tahun penjara dengan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara dan bebas dari pidana uang pengganti.
Sedangkan terdakwa mantan ajudan Gubernur Bengkulu Evriansyah alias Anca dituntut dengan hukuman pidana penjara selama lima tahun dengan denda Rp250 juta subsider tiga bulan penjara.
-

Massa geruduk Bawaslu tuntut keadilan dugaan kecurangan PSU Bengkulu Selatan
Foto: Istimewa
Massa geruduk Bawaslu tuntut keadilan dugaan kecurangan PSU Bengkulu Selatan
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Jumat, 25 April 2025 – 22:49 WIBElshinta.com – Ratusan massa pendukung Paslon 02 Suryatati-Ii Sumirat kembali mendatangi Bawaslu Bengkulu Selatan pada Jum’at (25/4).
Tidak hanya mengantarkan kelengkapan berkas laporan dugaan kecurangan pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Kabupaten Bengkulu Selatan yang baru saja digelar 19 April 2025 yang lalu. Massa juga menuntut keadilan atas peristiwa persekusi dan penangkapan ilegal terhadap calon wakil bupati.
“Kami menuntut keadilan atas peristiwa penangkapan yang direkayasa itu. Kami minta Bawaslu menindaklanjuti laporan kami,” kata Nedio Yulistio salah satu Tim Keluarga pasangan calon Nomer Urut 2 Suryatati-Ii Sumirat kepada media, Jumat (25/4), seperti dalam rilis yang diterima Redaksi Elshinta.com.
Nedio mengatakan, sejumlah persoalan pada proses PSU bukan hanya dilaporkan ke Bawaslu Bengkulu Selatan, namun juga akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pihaknya tidak terima atas peristiwa penangkapan calon wakil bupati dari 02 yakni Ii Sumirat yang terjadi pada malam 1 hari sebelum pelaksanaan pencoblosan.
“Jelas penangkapan terhadap calon wakil bupati dari 02 tidak sah. Kami menduga itu rekayasa yang di seting sedemikian rupa secara masif oleh pihak lawan agar tidak memilih Paslon 02. Ini adalah modus baru untuk menurunkan elektabilitas salah satu paslon,” ujarnya.
Penangkapan Ii Sumirat lalu diviralkan melalui medsos dan diisukan ke setiap TPS saat pencoblosan. Bahwasanya calon wakil 02 ditangkap polisi. Salah satunya lewat Facebook milik Wadimin Wadimin. “Inilah masyarakat Bengkulu Selatan batan ndak perhatian li La ketangkep La dijemput polisi mbibar malam ndak pencoblosan pagi li ni calon wakil bupati nomer urut 2,” tulis akun tersebut.
“Hal ini kemudian membuat masyarakat percaya calon wakil dari 02 betul-betul sudah ditangkap polisi. Warga pun akhirnya ragu dan berakhir tidak memilih paslon nomor urut 2,” ungkapnya.
Nedio mengatakan, dengan viralnya video tersebut mempengaruhi masyarakat agar tidak memilih Paslon 02. Bahkan diduga video tersebut dibuat dan di sebarkan serta diviralkan oleh HP yang sama.
“Peristiwa ini merupakan kecurangan modus baru yang cukup sistematis yang dilakukan pada PSU kepala daerah Bengkulu Selatan. Hal ini persis seperti penangkapan mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang ditangkap KPK saat kembali mencalonkan diri pada Pilkada 2024 lalu, oleh sebab itu kami melaporkan hal tersebut ke Bawaslu Bengkulu Selatan,” katanya.
“Dengan penyebaran isu tersebut sehingga masyarakat pun tidak memilih 02 dan bahkan enggan datang ke TPS untuk mencoblos. Hal ini sangat merugikan pihaknya dan merusak proses demokrasi,” pungkasnya.
Sumber : Radio Elshinta
-

Sidang Dakwaan, Eks Gubernur Bengkulu Langsung Ditegur Hakim Karena Ngobrol
Bengkulu –
Pengadilan Negeri Bengkulu menggelar sidang perdana kasus OTT KPK yang menjerat mantan Gubernur Bengkulu, eks sekda, dan ajudan gubernur. Para terdakwa sempat ditegur hakim.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan ini, ketiga terdakwa turut dihadirkan yakni mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Sekda non aktif Isnan Fajri, dan Ajudan Efriansyah. Persidangan ini dijaga ketat aparat kepolisian dan sidang dibatasi.
Dalam pembacaan dakwaan tersebut diketuai oleh hakim Faisol, kedua terdakwa mantan Gubernur Bengkulu. Rohidin Mersyah dan Sekda Non aktif, Isnan Fajri didakwa dengan dakwaan yang sama oleh jaksa penuntut dari KPK secara bersama-sama menggunakan jabatannya untuk meminta sejumlah uang guna mendanai kampanye terdakwa Rohidin Meryah, untuk kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur Bengkulu.
“Terdakwa mantan Gubernur Rohidin Mersyah menggunakan jabatannya untuk meminta sejumlah uang kepada pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan mengumpulkan sejumlah kepala dinas bersama terdakwa Isnan Fajri untuk mendanai pencalonan terdakwa,” kata Jaksa Penuntut Umum dalam pembacaan dakwaannya di majelis sidang, dilansir detikSumbagsel, Senin (21/4/2025).
Dalam pembacaan dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum juga menjelaskan peran masing-masing terdakwa dalam meminta sejumlah uang kepada pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu, termasuk peran sejumlah kepala dinas yang diminta menjadi koordinator di setiap kabupaten dan kota hingga jumlah uang yang disetorkan.
“Terdakwa Rohidin Mersyah dan Isnan Fajri juga mengumpulkan bila para pejabat eslon dua, terdakwa Isnan Fajri mengatakan bila tidak menuruti permintaan terdakwa Rohidin maka jabatannya sebagai kepala dinas akan dipakai lagi sebagai kepala dinas,” kata Jaksa Penuntut Umum dalam pembacaan dakwaannya.
“Saya minta para terdakwa untuk mendengarkan pembacaan dakwaan JPU, jangan asyik mengobrol ya,” kata Hakim Ketua, Faisol.
Baca selengkapnya di sini
(idh/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Berawal dari OTT, Kini Eks Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Segera Diadili
Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melimpahkan berkas dan barang bukti atas kasus dugaan korupsi mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (RM) ke tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), Jumat (21/3/2025).
Tidak hanya Rohidin, penyidik turut menyerahkan berkas dan barang bukti untuk dua tersangka lainnya yaitu mantn Sekretaris Daerah (Sekda) Bengkulu Isnan Fajri (IF) serta mantan Adc Gubernur Evriansyah (EV) alias Anca.
“Pada Jumat, 21 Maret 2025 telah dilakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti untuk 3 tersangka perkara Bengkulu (RM, EV, IF) dari Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardika Sugiarto kepada wartawan, dikutip Minggu (23/3/2025).
Berdasarkan catatan Bisnis, ketiga tersangka resmi ditahan oleh KPK pada 24 November 2024. Penahanan terhadap mereka dilakukan 1×24 jam setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar dan menjaring total delapan orang termasuk Rohidin.
KPK menduga Rohidin melalui dua tersangka lainnya mengumpulkan uang dari para pejabat di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk bekal maju sebagai calon gubernur petahanan pada Pilkada Serentak 2024.
Dalam kurun waktu September—Oktober 2024, Isnan selaku Sekda saat itu diduga mengumpulkan seluruh ketua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta kepala biro di lingkungan Pemprov Bengkulu untuk mendukung pencalonan kembali Rohidin.
‘Upeti’ itu lalu dikumpulkan dari berbagai kepala dinas hingga kepala biro di lingkungan Pemprov Bengkulu. Rohidin bahkan diduga di antaranya memerintahkan anak buahnya mencairkan honor Pegawai Tidak Tetap dan Guru Tidak Tetap se-provinsi Bengkulu sebelum 27 November 2024 (hari pemungutan suara), dengan honor Rp1 juta per orang.
Pada November 2024, KPK menggelar OTT. Tim KPK lalu mengamankan tujuh orang termasuk Rohidin. Sejumlah bukti yang turut diamankan yakni catatan penerimaan dan penyaluran uang tunai masing-masing sebesar Rp32,5 juta dan Rp120 juta; uang tunai Rp370 juta; serta catatan penerimaan dan penyaluran uang sekitar Rp6,5 miliar dalam mata uang dolar AS serta dolar Singapura.
-

KPK Endus Bingkisan Uang yang Diterima Mantan Gubernur Bengkulu
Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan penerimaan bingkisan uang oleh eks Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah (RM) dari para kepala sekolah. Dugaan ini didalami KPK melalui pemeriksaan saksi yakni staf biro umum pada Kantor Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Bengkulu, Iwan (I).
“Didalami terkait dengan perintah atasan saksi kepada saksi untuk menerima bingkisan berisi uang dari para kepala sekolah SMA/SMK negeri di Kota Bengkulu yang ditujukan untuk pembiayaan pemenangan tersangka RM,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika kepada wartawan, Selasa (18/3/2025).
Rohidin diketahui turut berpartisipasi dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Bengkulu 2024 sebagai calon petahana. Namun, dirinya mesti menjalani proses hukum di KPK atas kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemprov Bengkulu.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut yaitu Rohidin Mersyah (RM); Sekda Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri (IF); dan adc Gubernur Bengkulu, Evriansyah (EV) alias AC.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi di Pemprov Bengkulu berdasarkan hasil ekspose atau gelar perkara oleh KPK soal mantan gubernur Bengkulu.
Rohidin diduga memeras para kepala dinas serta pejabat pada lingkungan Pemprov Bengkulu demi modal kampanye Pilkada 2024. Saat OTT di Bengkulu, tim satgas KPK juga menyita uang tunai Rp 7 miliar berupa pecahan rupiah serta mata uang asing.
Diduga uang dimaksud untuk modal kampanye mantan Gubernur Bengkulu Rohidin yang ikut Pilkada Bengkulu 2024. -
/data/photo/2024/11/25/674400640af6c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Dalami Permintaan Bantuan Rohidin Mersyah ke Anggota DPRD Mukomuko
KPK Dalami Permintaan Bantuan Rohidin Mersyah ke Anggota DPRD Mukomuko
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan
Korupsi
(
KPK
) menduga eks Gubernur Bengkulu
Rohidin Mersyah
meminta bantuan kepada sejumlah anggota
DPRD Mukomuko
, Bengkulu.
Dugaan ini didalami penyidik KPK KPK ketika memeriksa Ketua DPRD Mukomuko, Zamhari, di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta, pada Senin (17/3/2025).
“Saksi didalami permintaan bantuan dari tersangka RM kepada para anggota DPRD dari partai tertentu,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Selasa (18/3/2025).
Meski demikian, Tessa belum merinci bantuan yang diminta oleh Rohidin Mersyah, termasuk dugaan bantuan pemenangan di Pilkada 2024.
Sebelumnya, KPK menetapkan Rohidin Mersyah sebagai tersangka kasus pemerasan dan gratifikasi lewat operasi tangkap tangan pada November 2024 lalu.
Selain Rohidin, KPK menetapkan 2 tersangka lainnya, yaitu Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri dan ajudan Rohidin, Evriansyah.
Dalam perkara ini, Rohidin diduga mengumpulkan uang dari sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk kepentingannya maju pada Pilkada 2024.
KPK mengungkapkan, Rohidin menyampaikan kebutuhan uang untuk pencalonan pada Pilkada 2024 itu kepada para anak buahnya.
Pada operasi tangkap tangan, KPK menyita uang tunai sebesar Rp 7 miliar yang berasal dari setoran anak buah hingga pemotongan anggaran.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2913249/original/058240300_1568693252-KPK_1.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pejabat PUPR dan 3 Anggota DPRD OKU yang Terjaring OTT KPK Dibawa ke Jakarta – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Delapan pejabat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK dibawa ke Palembang via jalur darat untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta guna diproses lebih lanjut.
“Ya, tadi malam sekitar pukul 22.30 WIB mereka langsung dibawa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Palembang untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut,” kata Kapolres OKU AKBP Imam Zamroni di Baturaja, Minggu (16/3/2025) dilansir Antara.
Diketahui, delapan orang yang terjaring OTT yakni, Nov (Kepala Dinas PUPR OKU) dan tiga orang anggota DPRD OKU yaitu FE (PDIP), FA (Hanura), dan UM (PPP) beserta tiga orang ASN di lingkungan dinas setempat serta satu orang kontraktor.
Setelah diperiksa secara maraton oleh penyidik KPK di Mapolres OKU, tujuh unit mobil yang telah disiapkan membawa ke Palembang untuk selanjutnya diterbangkan ke Jakarta.
“Rombongan KPK ini langsung ke Palembang dan selanjutnya akan diberangkatkan ke Jakarta,” ungkap Kapolres OKU.
Selain itu, penyidik juga mengamankan sejumlah uang sebagai barang bukti dalam OTT KPK.
KPK Akan Geledah Kantor Dinas PUPR
Rencananya, kata Kapolres, penyidik KPK akan kembali lagi ke Baturaja, Kabupaten OKU pada Senin, 17 Maret 2025, untuk melakukan penggeledahan di Kantor Dinas PUPR OKU.
Terkait kasus apa yang menjerat Nov Cs, Kapolres mengaku tidak tahu, karena pihaknya tidak ikut serta saat OTT KPK. “Kami hanya sebatas menyediakan tempat saja,” ujar Imam.
KPK menangkap Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Rohidin juga merupakan calon gubernur petahana Bengkulu
/data/photo/2025/11/05/690b076dee7f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

