Tag: Rob Bauer

  • Siapkah NATO Hadapi Perang Drone Lawan Rusia?

    Siapkah NATO Hadapi Perang Drone Lawan Rusia?

    Jakarta

    Sudah lebih dari sepekan ini kemunculan drone Rusia jadi buah bibir di Eropa. Pada malam 9–10 September, gelombang drone tempur Rusia untuk pertama kali menembus wilayah udara Polandia. Sebanyak 19 wahana nirawak terdeteksi, beberapa di antaranya berhasil ditembak jatuh.

    Hanya beberapa hari berselang, drone Rusia kembali melintasi wilayah Rumania — anggota NATO lain. Pada Senin (15/9), otoritas Polandia menembak jatuh sebuah drone yang terbang di atas gedung pemerintah di ibu kota Warsawa, dan dilaporkan menahan dua tersangka: seorang warga Belarus dan seorang warga Ukraina.

    Tidak ada korban luka dalam insiden-insiden tersebut. Moskow sendiri menyangkal bahwa pelanggaran itu disengaja. Namun, NATO merespons dengan meluncurkan misi baru untuk mengamankan ruang udara di sisi timurnya.

    Operasi di perbatasan timur

    Operasi yang dinamakan Eastern Sentry ini digambarkan sebagai “aktivitas multidomain” yang mencakup penguatan pangkalan darat dan pertahanan udara, serta akan “berlangsung untuk waktu yang tidak ditentukan,” menurut pernyataan resmi NATO pada 12 September.

    Melalui operasi ini, NATO ingin menyampaikan pesan jelas kepada negara anggotanya di timur Eropa, sekaligus gertakan kepada Rusia. Inggris dan Denmark sudah menyatakan dukungan, Jerman menggandakan jumlah jet tempur untuk pertahanan udara di Polandia dari dua menjadi empat, sementara Prancis mengerahkan jet Rafale.

    Jet vs Drone: ‘Palu Godam untuk Paku Payung’

    Meski jet tempur dan rudal udara-ke-udara terbukti ampuh menjatuhkan drone, cara ini dinilai jauh dari efisien.

    “Drone yang kita lihat di Ukraina harganya hanya 10 ribu sampai 30 ribu Euro per unit. Tapi kalau kita menembakkan rudal seharga jutaan dolar sebagai respons, stok senjata kita akan cepat habis,” ujar Chris Kremidas-Courtney, pakar pertahanan dari lembaga European Policy Centre (EPC) di Brussel, Belgia, kepada DW. “Kita memakai palu godam untuk menghantam paku payung.”

    Menurutnya, negara-negara Eropa anggota NATO seharusnya berinvestasi pada teknologi pertahanan modern yang lebih hemat biaya, seperti sistem rudal anti-drone Nimbrix buatan Swedia. Jika tidak, Eropa akan terus terjebak dalam perang “asimetris biaya” yang merugikan.

    Membangun ‘Tembok Drone’ di Eropa?

    Bersama Polandia dan Finlandia , negara-negara Baltik — yang kerap menghadapi pelanggaran wilayah udara oleh Rusia — sudah lama mendesak peningkatan koordinasi pertahanan drone. Konsep ini sering disebut sebagai “tembok drone”, istilah yang kemudian dipakai Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pidato kenegaraan tahunan beberapa waktu lalu.

    Komisi Eropa bahkan mengumumkan proyek produksi drone bersama senilai 6 miliar Euro, dengan keahlian Ukraina akan menjadi kunci. “Kita perlu belajar dari Ukraina,” kata Ian Bond, wakil direktur Centre for European Reform (CER) di Brussel. “Mereka cukup berhasil menjatuhkan drone Rusia. Kalau mereka punya teknologinya, kita harus memilikinya juga.”

    NATO: ‘Kami akan respons’

    Salah satu tantangan NATO adalah memperluas penerapan teknologi pertahanan drone baru. Admiral Rob Bauer, mantan ketua Komite Militer NATO, mengatakan bahwa selain perangkat keras, Eropa perlu mengubah cara pandang terhadap Rusia.

    “Kita perlu memberi tahu publik, dan masyarakat harus menerima bahwa ada ancaman,” ujarnya kepada DW.

    Sementara itu, Kremlin terus mengulang narasi bahwa NATO sedang berperang dengan Rusia. NATO membantah, namun Bauer menyebut aliansi itu kini berada di “zona abu-abu antara damai dan perang” dan siaga penuh: “Ini pesan penting untuk Tuan Putin: NATO akan merespons, apa pun yang terjadi.”

    Dia menambahkan bahwa keberhasilan menembak jatuh drone di Polandia membuktikan keampuhan sistem pertahanan aliansi: “Saya kira kita telah lulus tes, tapi kita harus lebih baik menghadapi ancaman baru ini.”

    NATO siap perang drone?

    Namun, Ian Bond dari CER skeptis terhadap kemampuan pertahanan drone NATO saat ini. “Kesan yang muncul, NATO belum siap menghadapi drone. Mereka harus meningkatkan kemampuan secara signifikan,” katanya.

    Bond menilai NATO perlu lebih tegas dan menembak jatuh drone Rusia, bahkan jika terbang di atas Ukraina barat. Hingga kini, beberapa negara anggota masih menahan diri.

    Pada Juli lalu, Lituania melaporkan dua drone Rusia melintasi wilayahnya, namun tidak ditembak jatuh. Militer menyebut hanya akan bertindak dalam kondisi ekstrem. Setelah itu, Lituania meminta peningkatan pertahanan udara dari NATO. Terbaru, Rumania juga tidak menembak jatuh drone Rusia di wilayahnya, yang kemudian berbalik arah ke Ukraina. Menurut Kementerian Pertahanan Rumania, pilot AU yang melihat drone itu “menilai risiko tambahan” dan memutuskan tidak menembak.

    Bond memperingatkan, sikap pasif semacam ini bisa dianggap Rusia sebagai sinyal positif, sementara drone tersebut bisa saja melanjutkan serangan ke target di Ukraina.

    Perlindungan sipil jadi pertimbangan

    Selain menembak jatuh drone, para pakar juga menekankan pentingnya langkah perlindungan sipil, seperti aplikasi peringatan serangan udara dan peningkatan kapasitas tempat perlindungan.

    “Itu akan jadi langkah menakutkan, tapi tidak berlebihan,” kata Bond. Dia yakin Rusia akan terus menguji sekutu Ukraina kecuali mereka meningkatkan pertahanan dan dukungan secara signifikan.

    Kremidas-Courtney sependapat: “Kita harus berasumsi Rusia akan mencoba ini setiap beberapa minggu, sampai kita membuat mereka membayar harga yang membuat mereka berhenti.”

    NATO berharap Operasi Eastern Sentry bisa mewujudkan hal itu.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Lihat juga Video: PM Polandia Geram Banyak Drone Rusia Mondar-mandir di Negaranya

    (ita/ita)

  • 6 Tanda Mengkhawatirkan AS dan Inggris Antisipasi Perang Dunia III

    6 Tanda Mengkhawatirkan AS dan Inggris Antisipasi Perang Dunia III

    Jakarta

    Sejarah dunia dipenuhi konflik mengerikan, termasuk tentu saja Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bahkan saat ini, terkait berbagai perang besar yang berkecamuk, beberapa pakar mulai menyerukan kemungkinan munculnya Perang Dunia III. Berikut beberapa tandanya yang dikutip detikINET dari Mirror:

    Peringatan Menhan Inggris

    Menteri Pertahanan Inggris Grant Shapps belum lama ini memperingatkan bahwa kita sedang bergerak dari dunia pasca perang ke dunia sebelum perang. Menurutnya dalam 5 tahun ke depan, mungkin akan terjadi perang yang melibatkan China, Rusia, Korea Utara, dan Iran. Komentarnya diamini Menhan Jerman, Boris Pistorius.

    “Kita harus memperhitungkan bahwa Vladimir Putin mungkin akan menyerang negara NATO suatu hari nanti,” katanya. Serangan seperti itu memang tak mungkin terjadi saat ini, tapi ada risiko terjadi dalam lima hingga delapan tahun.

    “Konflik akan datang pada akhir dekade ini, apakah itu perang dingin atau panas, perang akan datang. Kita hanya perlu menyadari bahwa untuk menghalanginya, kita harus siap dan harus punya perlengkapan dan berdiri bersama teman dan sekutu,” ucap mantan Menhan Inggris, Ben Wallace.

    Kemungkinan wajib militer

    Jenderal Sir Patrick Sanders di Inggris memperingatkan warga sipil Inggris perlu bersiap melawan Rusia di masa depan. Dia mengatakan pada konferensi International Armoured Vehicles bahwa Angkatan Darat tidak cukup besar untuk berperang habis-habisan dengan Rusia, meski jumlah pasukan mencapai 120.000 orang.

    Menurutnya, Inggris perlu melatih serta memperlengkapi tentara sipil. Namun pada hari yang sama, juru bicara Perdana Menteri Inggris mencoba meredakan suasana. “Militer Inggris bangga sebagai pasukan sukarela. Seperti yang saya katakan, tidak ada rencana untuk wajib militer,” katanya.

    AS berencana kirim nuklir ke Inggris

    Dilaporkan, AS bermaksud menempatkan senjata nuklir di Inggris untuk pertama kalinya dalam 15 tahun karena meningkatnya kekhawatiran mengenai prospek Perang Dunia III dengan Rusia. Menurut dokumen Pentagon, RAF Lakenheath di Suffolk akan jadi rumah bagi hulu ledak tiga kali lebih kuat dari bom yang menghancurkan Hiroshima.

    Pangkalan RAF Lakenheath pernah menampung rudal-rudal nuklir AS, namun senjata tersebut diambil tahun 2008 ketika dianggap bahaya Rusia untuk memulai Perang Dingin baru telah berkurang. Tetapi kini, potensi konflik Rusia dengan NATO dinilai makin terbuka.

    Konflik di Timur Tengah

    Israel terus menyerang Gaza dan menimbulkan puluhan ribu korban tidak bersalah. Di saat yang sama, AS dan Inggris makin dalam terlibat dengan menyerang Houthi di Yaman, kelompok yang didukung Iran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah bisa semakin meluas.

    Kebiadaban Israel dengan terus menyerang Gaza juga telah meningkatkan ketegangan dengan negara tetangga Mesir. “Setiap langkah Israel ke arah ini akan menimbulkan ancaman serius terhadap hubungan Mesir-Israel,” kata Diaa Rashwan, kepala Layanan Informasi Negara Mesir.

    Konflik yang terus berlangsung di Gaza juga meningkatkan kekhawatiran bahwa Iran mungkin akan bertindak. Pekan lalu, serangan udara Israel menewaskan lima perwira Iran di ibu kota Suriah, Damaskus, dan pihak Iran mengatakan serangan tersebut “tidak akan dibiarkan begitu saja”.

    Peringatan bos NATO

    Seorang pemimpin NATO menyerukan kepada negara-negara Barat untuk bersiap menghadapi era perang karena mereka harus menyadari bahwa perdamaian bukanlah sebuah hal yang pasti. Laksamana Belanda Rob Bauer, ketua komite militer NATO, mengatakan di Brussels: “Kita harus menyadari bahwa perdamaian tidak selalu ada. Dan itulah sebabnya kami (pasukan NATO) sedang mempersiapkan konflik dengan Rusia.”

    Dia mengatakan aliansi NATO harus waspada terhadap perang dan mengantisipasi hal yang tidak terduga. “Agar menjadi efektif sepenuhnya, juga di masa depan, kita memerlukan transformasi perang NATO,” katanya.

    AS kerahkan banyak Kapal Induk ke Asia

    Amerika Serikat baru-baru ini mengerahkan 3 kapal induk canggihnya sekaligus ke kawasan Asia. Pakar mengatakan, hal ini dilakukan sebagai antisipasi memanasnya situasi dan agresifitas China serta Korea Utara.

    Tiga kapal induk tersebut adalah USS Carl Vinson, USS Theodore Roosevelt dan USS Ronald Reagan. USS Carl Vinson dan USS Theodore Rooselvelt terlibat latihan perang dengan militer Jepang di Laut Filipina di timur Taiwan. Semua kapal induk itu bertenaga nuklir dan dibekali beragam senjata canggih.

    Lusinan kapal perang AS dan Jepang ikut serta dalam latihan, ketika ketegangan antara China dan Jepang serta negara lainnya sedang tinggi. “Ini adalah demonstrasi komitmen AS ke wilayah ini meskipun sedang ada kejadian di Timur Tengah,” kata Collin Loh, pakar dari S. Rajaratnam School of International Studies in Singapore.

    (fyk/fay)