Tag: Rieke Diah Pitaloka

  • Menkop tegaskan pentingnya UU Sistem Perkoperasian Nasional

    Menkop tegaskan pentingnya UU Sistem Perkoperasian Nasional

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Koperasi Ferry Juliantono menegaskan pentingnya kehadiran Undang-Undang (UU) Sistem Perkoperasian Nasional sebagai landasan hukum baru bagi penguatan ekonomi berbasis gotong royong.

    Menurut Ferry, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yang selama ini diposisikan sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 sebaiknya tidak lagi berbentuk revisi, melainkan hadir sebagai undang-undang baru yang lebih komprehensif.

    “RUU Perkoperasian akan kami ajukan sebagai Undang-Undang baru terkait Sistem Perkoperasian Nasional,” kata Ferry dalam Symposium II Koperasi Indonesia di Jakarta, Rabu.

    Ferry mengatakan regulasi baru tersebut akan memayungi seluruh kluster koperasi lintas kementerian, daerah, dan gerakan koperasi.

    Penambahan bab khusus tentang Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih juga dinilai krusial, sejalan dengan target Presiden membentuk 80.000 koperasi desa/kelurahan.

    “Kemenkop akan melakukan percepatan inventarisasi masalah dengan menggandeng gerakan koperasi dan akademisi. Di awal Januari 2026 prosesnya akan kita sempurnakan,” ujar dia dalam siaran pers Kemenkop.

    Ia mengatakan payung hukum yang kuat diperlukan agar koperasi mampu bersaing dengan swasta maupun BUMN.

    Dengan Undang-Undang Sistem Perkoperasian Nasional, Ferry mengatakan optimistis koperasi kembali menjadi Soko Guru Perekonomian Nasional.

    Menurut Ferry, Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan keberpihakan terhadap koperasi sebagai lembaga ekonomi kerakyatan.

    “Presiden ingin koperasi kembali pada jalur yang benar, memainkan peran di sektor produksi, distribusi, hingga industri agar kesejahteraan tumbuh bersama, bukan kaya sendiri,” katanya.

    Kemajuan koperasi tidak hanya ditopang regulasi, tetapi juga berbasis data. Kemenkop kini tengah merampungkan data desa presisi bersama akademisi dan DPR untuk menyiapkan peta pembangunan Kopdes/Kel Merah Putih, katannya, menambahkan.

    Dengan dukungan infrastruktur digital, ia optimistis koperasi memasuki babak baru dan berpeluang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

    Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengatakan saat ini merupakan kesempatan paling strategis untuk mengesahkan RUU Sistem Perkoperasian Nasional.

    Ia menekankan pembahasan harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif karena perangkat hukum tersebut menyangkut arah ekonomi bangsa.

    “Yang terpenting jangan terlalu lama. Undang-undang ini sudah terlalu lama, saya mendorong persidangan terbuka bagi publik,” ujar Rieke.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rieke Diah Pitaloka Sentil Soal Data untuk Cegah Korupsi Dana Bencana

    Rieke Diah Pitaloka Sentil Soal Data untuk Cegah Korupsi Dana Bencana

    Jakarta, Beritasatu.com – Artis sekaligus anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka, meminta adanya pengawasan ketat terhadap penyaluran dana penanganan bencana agar tidak disalahgunakan. Ia menekankan pentingnya data dasar negara yang presisi sebagai acuan dalam pengeluaran anggaran bencana. 

    Rieke menjelaskan, data dasar negara harus menjadi acuan dalam setiap kebijakan pembangunan dan program pemerintah, baik pusat maupun daerah yang berbasis satu data Indonesia terintegrasi, termasuk data geospasial dan sosial ekonomi.

    “Tadi pimpinan KPK mengatakan korupsi itu tidak bisa diselesaikan sendiri. Korupsi itu adalah gerak langkah bergandengan tangan seluruh elemen negeri baru bisa diselesaikan. Untuk menangani persoalan bencana terutama di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kalau boleh saya berpesan, jangan sampai uang untuk menangani bencana itu ada yang makan termasuk bantuan-bantuannya, ada yang korupsi. Jangan sampai,” serunya. 

    Ia berharap KPK mendukung penuh  upaya legislasi di parlemen untuk memastikan Undang-Undang Satu Data Indonesia bisa segera terealisasi. Sehingga manipulasi data yang berpotensi menimbulkan korupsi dapat dihindari.

    “Karena sebesar apapun anggaran negara, kalau datanya salah ya sudah pasti akan terjadi korupsi. Bangsa ini tidak akan maju kalau tidak ada data yang akurat. Mumpung Pak Prabowo ini selalu bilang soal data, saya yakin Indonesia bisa mewujudkan itu semua dan kita juga harus bantu perjuangan KPK untuk terus membuat bangsa ini turun angka korupsinya,” tutup Rieke. 

  • Banjir Sumatera, Rieke Pitaloka Ingatkan Dana Siap Pakai Rp 4 Triliun

    Banjir Sumatera, Rieke Pitaloka Ingatkan Dana Siap Pakai Rp 4 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPR Rieke Diah Pitaloka meminta publik berhenti berkutat pada polemik status bencana lokal atau nasional. Menurutnya, penanganan bencana di tiga wilayah Sumatera harus melibatkan koordinasi pemerintah pusat dan daerah secara terpadu.

    “Stop polemik status bencana nasional atau tidak, tapi berikan dukungan kepada pemerintah. Penanganan pascabencana harus dilakukan secara nasional. Koordinasi antara pusat dan daerah melibatkan seluruh kementerian dan lembaga dalam satu gerak langkah di bawah kontrol presiden,” kata Rieke Diah Pitaloka dikutip dari Instagram miliknya, Sabtu (6/12/2025).

    Rieke Dia Pitaloka menegaskan, pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk penanganan bencana di seluruh Indonesia.

    “Berdasarkan info dari Badan Anggaran DPR RI, ada dana siap pakai on call 2025 senilai Rp 4 triliun. Kita harus mengawasi agar anggaran sampai dan tepat sasaran, tanpa penyalahgunaan oleh pejabat maupun aparat penegak hukum,” tegasnya.

    Ia menekankan, perlunya evaluasi izin pengelolaan tambang dan perkebunan agar bencana serupa tidak terulang di daerah lain.

    “Kita mendorong proses relokasi, penyaluran dan distribusi bagi korban bencana, serta dukung pemulihan fasilitas publik yang hancur agar bisa kembali digunakan masyarakat,” tambahnya.

    Berdasarkan data BNPB per 4 Desember 2025, bencana banjir dan tanah longsor akhir November lalu telah berdampak di 50 kota/kabupaten di Sumbar, Sumut, dan Aceh.

    Adapun jumlah korban, yaitu di Sumatera Utara sebanyak 299 korban meninggal, Aceh 277 korban meninggal, Sumatera Barat 200 orang meninggal.

    Selain itu, masih terdapat 564 orang hilang, 2.600 orang terluka, dan 3,3 juta jiwa terdampak. Kerusakan meliputi pemukiman, jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, kantor, sekolah, dan rumah ibadah.

  • TNI AU kuatkan sinergi dukung hilirasasi tebu untuk ketahanan energi

    TNI AU kuatkan sinergi dukung hilirasasi tebu untuk ketahanan energi

    Malang, Jawa Timur (ANTARA) – TNI AU berkomitmen memperkuat sinergisitas dengan berbagai pihak dalam rangka mendukung kesuksesan hilirisasi tebu untuk membentuk ketahanan energi.

    “Saya sampaikan kepada seluruh masyarakat bahwa TNI AU ke depan akan menjadikan tebu sebagai produk ketahanan energi, termasuk pangan. Hilirisasi tidak hanya gula tapi bioetanol dan briket, kami akan berdiskusi dengan pemerintah untuk menjawab ini,” kata Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AU, Marsekal Muda Palito Sitorus, seusai pelaksanaan Tanam Raya Tebu di Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdulrachman Saleh, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa.

    Ia menyatakan tebu telah dijadikan tanaman unggulan yang ditanam oleh TNI AU, seperti di Lanud Abdulrachman Saleh, Lanud Adisutjipto, Lanud Iswahjudi, Lanud Pangeran M Bun Yamin, dan Lanud Adi Soemarmo. Adapun luas lahan yang telah disiapkan untuk penanaman tebu sekitar 500.000 Hektare.

    Tak hanya melakukan penanaman, pihaknya juga berkomitmen untuk terus membantu membentuk pola mitigasi terhadap persoalan yang dihadapi oleh para petani tebu bersama seluruh pihak terkait, termasuk industri.

    Sebab, lanjutnya, hilirisasi industri untuk menciptakan ketahanan energi perlu melibatkan pelaku di lapangan, yakni para petani tebu itu sendiri.

    “TNI AU saat ini turun bersama stakeholder memberikan pendampingan,” ucap dia.

    Diharapkan serangkaian upaya ini mampu membentuk ketahanan energi dan pangan, sekaligus juga meningkatkan kesejahteraan petani tebu.

    Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka, mengapresiasi upaya kolaborasi yang dijalankan oTNI AU. Sebab, ini menjadi implementasi dari semangat yang selalu ditunjukkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

    “Meminjam istilah Bapak Presiden, syaratnya adalah himpun semua kekuatan rakyat, bangsa, dan negara,” kata dia.

    Dengan upaya ini, dia optimistis hilirisasi dalam membentuk ketahanan energi Nasional bisa tercapai sepenuhnya dan dampaknya adalah penguatan terhadap sektor perindustrian.

    “Kami pastikan 2026 menjadi tapak penting perjalanan Indonesia tentang bagaimana kita bergandengan tangan merintis penguatan industri Nasional, dari hulu, tengah dan hilir,” ucap dia.

    Pewarta: Ananto Pradana
    Editor: Ade P Marboen
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?

    Keterwakilan Perempuan di Komisi DPR, Sekadar Angka atau Kualitas?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar agar setiap pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Pemenuhan angka atau memang mampu menghadirkan anggota DPR berkualitas?
    Alat Kelengkapan Dewan atau AKD terdiri dari komisi-komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
    Putusan MK itu diketok di sidang akhir uji materi untuk perkara nomor 169/PUU-XXII/2024, pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, terdapat perbaikan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Pada perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada
    Kompas.com
    , Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka juga menyambut baik putusan MK terkait keterwakilan perempuan dalam AKD.
    “Saya mengapresiasi dan menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi terkait keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD),” ujar Rieke.
    Menurutnya, keputusan MK ini akan berdampak langsung pada penguatan partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang lebih siap dan berdaya saing.
    “Dan tentu saja ini berimplikasi pada bagaimana partai politik menyiapkan kader-kader perempuannya, semakin diperkuat begitu,” ujar dia.
    “Bukan hanya keterwakilan secara kuantitatif, tapi putusan MK ini juga penting dimaknai harus berimbas pada keterwakilan perempuan secara kualitatif,” tambah dia.
    Namun demikian, pemenuhan perempuan dalam AKD masih mengalami tantangan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Menurut Rieke hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Titi menambahkan, ada pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama.
    Sehingga anggota legislatif perempuan minim dukugan struktural dan politik dari partainya.
    “Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    “Minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” tegas Titi.
    Sebagai anggota DPR dari kaum perempuan, Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.

    Sementara itu, Titi Anggraini menilai putusan MK yang mewajibkan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD minimal 30 persen dan persebaran anggota legislatif perempuan di keanggotaan AKD secara proporsional adalah langkah konstitusional yang sangat progresif untuk memperbaiki ketimpangan tersebut.
    “Ini bukan hanya soal angka, tetapi soal transformasi budaya politik agar parlemen menjadi ruang yang lebih inklusif dan representatif,” jelas Titi.
    “Tantangannya ke depan adalah memastikan implementasinya berjalan konsisten di semua lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Baik untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, maupun MPR,” tegasnya.
    Berbicara soal kuantitas, Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul yang juga mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M Jamiluddin Ritonga mengatakan pembagian porsi anggota legislatif bisa sesuai dengan amanat MK. Namun tentu hal itu harus merujuk pada jumlah legislator perempuan.
    “Secara kuantitas bila jumlah legislator perempuan dapat dibagi habis minimal 30 persen untuk setiap AKD DPR RI. Namun bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka Keputusan MK tersebut dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan,” ungkapnya.
    “Sebab, jumlah legislator perempuan tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” ungkap dia.
    Hal yang sama juga berlaku dari sisi kualitas. Jamiluddin menegaskan, bila kualitas (kompetensi) legislator perempuan mencerminkan semua AKD DPR RI, maka akan mudah mendistribusikan minimal 30 persen legislator perempuan ke setiap AKD.
    “Sebaliknya, bila kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen kiranya hanya pemaksaan. Sebab, akan banyak legislator perempuan ditempatkan di AKD yang tak sesuai kompetensinya,” kata dia.
    “Kalau hal itu terjadi, akan membuat legislatir perempuan tidak produktif. Setidaknya akan sulit bagi legislator perempuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi secara maksimal,” tambahnya.
    Dia menegaskan bahwa Keputusan MK sangat baik untuk kesetaraan gender, namun tidak mudah untuk diimplementasikan.
    Karena itu, DPR harus mampu mensiasati Keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya.
    “Legislatif perempuan juga nyaman ditempatkan di AKD tertentu karena sesuai dengan kompetensinya,” ujar dia.
    Saat ini, tercatat ada 127 anggota perempuan dari total 580 anggota DPR RI, atau sekitar 21,97 persen. Rieke berharap, keberadaan perempuan tidak hanya sebatas angka, tetapi juga diikuti peningkatan kapasitas dan peran substantif di berbagai komisi.
    “Menurut saya ini penting tidak dimaknai sekadar jumlah. Partai harus memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya melalui pendidikan politik yang komprehensif,” tegas Rieke.
    Untuk memastikan keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif, Jamiluddin mengimbau agar partai mampu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg. Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD.
    “Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan. Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” ungkap Jamiluddin.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegasnya.
    Senada, Rieke juga menilai bahwa perempuan yang duduk di parlemen, baik di komisi ekonomi, sosial, maupun hukum, harus memahami konteks peran legislatif dalam sistem presidensial Indonesia.
    “Sehingga ketika seseorang ditempatkan, baik laki-laki maupun perempuan, dia sudah mengerti apa tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat. Tidak bisa ini hanya dimaknai persoalan jenis kelamin perempuan harus ada di setiap komisi,” tegasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Viral Guru di Pandeglang Salahgunakan Smart TV Bantuan Presiden untuk Karaoke

    Viral Guru di Pandeglang Salahgunakan Smart TV Bantuan Presiden untuk Karaoke

    PANDEGLANG – Sebuah video yang memperlihatkan oknum kepala sekolah (Kepsek) dan guru SD Negeri 2 Ciodeng, Pandeglang, tengah berkaraoke di jam belajar, viral di media sosial pada beberapa hari terakhir.

    Video yang tersebar luas di Instagram itu diduga direkam pada Rabu pekan lalu. Dalam rekaman, terlihat pria yang disebut sebagai kepala sekolah bersama seorang guru perempuan asyik bernyanyi sambil berpelukan, meski saat itu jam pelajaran masih berlangsung.

    Keduanya tampak mengenakan seragam dinas, berpegangan tangan, hingga sesekali guru perempuan memeluk oknum kepsek dari belakang. Perangkat karaoke yang dipakai disebut-sebut merupakan smart TV bantuan pemerintah pusat.

    Sekretaris Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Pandeglang, Nono Suparno membenarkan adanya kejadian tersebut.

    “Iya benar, tetapi sudah ditangani oleh bidang terkait di internal,” kata Nono saat dikonfirmasi wartawan, Minggu 28 September.

    Meski begitu, Nono mengaku belum mengetahui perkembangan lebih lanjut.

    “Saya belum tahu progresnya seperti apa. Coba tanya ke bidang BPK,” ujarnya.

    Hingga berita ini diturunkan, pihak kepala bidang Pembinaan Sekolah Dasar (BPK) Disdikpora Pandeglang maupun oknum guru yang diduga terlibat belum memberikan keterangan.

    Sebelumnya, selebritas sekaligus anggota DPR, Rieke Diah Pitaloka kecewa terhadap perilaku tidak bertanggung jawab sejumlah oknum guru. Pasalnya, smart TV sekolah yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam program digitalisasi pendidikan justru disalahgunakan untuk karaoke.

    Kekecewaan Rieke disampaikan melalui akun Instagram pribadinya, @riekediahp. Ia mengunggah ulang sebuah video viral yang memperlihatkan dua guru asyik berkaraoke menggunakan smart TV di sebuah ruang guru.

    “Baru-baru ini sebuah video viral beredar mengenai oknum guru yang memanfaatkan smart tv pemberian Presiden Prabowo. Bukan dijadikan untuk sarana belajar mengajar, smart TV tersebut justru digunakan oknum guru untuk berkaraoke,” tulis Rieke dalam unggahannya

  • Ekonom Nyatakan Larangan Rangkap Jabatan Dinilai Kunci Cegah Konflik Kepentingan di BUMN

    Ekonom Nyatakan Larangan Rangkap Jabatan Dinilai Kunci Cegah Konflik Kepentingan di BUMN

    JAKARTA – Larangan bagi wakil menteri (wamen) untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN penting untuk mencegah konflik kepentingan (conflict of interest). Hal ini dinyatakan langsung oleh Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto.

    Usai sebelumnya melarang menteri untuk merangkap jabatan, pemerintah dan DPR RI kini tengah membahas larangan serupa bagi wamen dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

    “Posisi wamen itu lebih ke arah fungsi regulator, jadi kalau kemudian menjabat komisaris BUMN, apalagi dalam bidang yang beririsan, tentu akan menimbulkan conflict of interest,” kata Toto Pranoto, dikutip dari ANTARA, Sabtu, 27 September.

    Selain potensi terjadinya konflik kepentingan, ia menuturkan keterlibatan wamen dalam jajaran komisaris BUMN dapat membuat penegakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) menjadi kurang ideal.

    “Rangkap jabatan itu cenderung mengurangi kualitas pengawasan dari dekom (dewan komisaris), karena terkadang ada conflict of interest. Di satu sisi harus tegas dalam implementasi regulasi, namun sebagai dekom BUMN ada kepentingan perusahaan yang juga perlu diprioritaskan,” ujarnya.

    Tidak hanya melarang menteri dan wakil menteri, Toto juga mendukung jika larangan rangkap jabatan tersebut juga diterapkan bagi pejabat eselon I maupun eselon II kementerian, mengingat hal tersebut dapat pula mengurangi dampak benturan kepentingan.

    “Jadi, dengan model ini, semoga kualitas pengawasan oleh dekom dengan figur yang lebih independen dan kredibel bisa (menjadi) lebih baik,” ucapnya.

    Rencana pelarangan wamen untuk merangkap jabatan dalam RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta, Kamis (25/9), Komisi VI DPR RI, yang memiliki ruang lingkup di bidang perdagangan, kawasan perdagangan dan pengawasan persaingan usaha, dan BUMN, menegaskan upaya untuk meningkatkan transparansi keuangan negara melalui revisi aturan BUMN.

    “Di era ini semangatnya kami lagi bersih-bersih, ingin sekali semuanya manfaat dari BUMN ini bisa dirasakan oleh rakyat,” kata Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Golkar Kawendra Lukistian.

    Senada, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka menuturkan bahwa perubahan UU BUMN tersebut memperlihatkan komitmen pemerintah agar semua pengelolaan negara diselenggarakan secara bersih, transparan, berintegritas, dan wajib tunduk pada pengawasan hukum publik.

    Fraksinya bahkan menyarankan agar larangan tersebut juga berlaku untuk semua pegawai kementerian, termasuk pejabat eselon I dan eselon II.

  • Panas! Banjir Interupsi Komisi VI Vs Pertamina: Ratusan Triliun Loh, Rakyat Bisa Marah!

    Panas! Banjir Interupsi Komisi VI Vs Pertamina: Ratusan Triliun Loh, Rakyat Bisa Marah!

    L

    OlehLiputanenamDiperbaharui 12 Sep 2025, 23:44 WIB

    Diterbitkan 12 Sep 2025, 15:59 WIB

    Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) banjir interupsi saat pejabat Pertamina berbicara. Salah satunya Rieke Diah Pitaloka yang menuntut penjelasan tentang subsidi yang tidak tepat sasaran. Selain itu, Herman Khaeron juga menginterupsi jika jawaban Wakil Direktur Utama Pertamina Oki Muraza sangat normatif. Hal ini disampaikannya dalam rapat dengar pendapat dengan Dirut Pertamina dan Subholding di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (11/9).

    Rieke Diah Pitalokasubsidi