Tag: Riant Nugroho

  • Kuota Internet Hangus, Transparansi Operator dan Literasi Konsumen jadi Sorotan

    Kuota Internet Hangus, Transparansi Operator dan Literasi Konsumen jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti menyoroti urgensi peningkatan literasi pengguna atas paket internet. Di sisi lain, operator seluler juga harus memberikan informasi jelas dan transparan mengenai layanan yang diberikan.  

    Trubus menilai dua hal utama yang menjadi akar masalah kuota internet hangus adalah kurang informatifnya operator seluler dalam menyampaikan produk dan kurangnya kesadaran masyarakat atas paket yang dipakai. 

    Masyarakat, menurutnya, kurang detail dalam memahami paket yang dibeli sehingga muncul keluhan atas paket kuota internet yang hangus setelah periode tertentu. 

    “Kasus itu sebenarnya ada di pihak operator yang tidak patuh kepada aturan yang sudah dibuat Komdigi, kemudian yang kedua adalah minimnya literasi digital masyarakat sendiri,” kata Trubus saat dihubungi Bisnis pada Jumat (11/7/2025).

    Diketahui, pada Peraturan Menteri Kominfo no.5/202, Pasal 79 disebutkan bahwa penyelenggara Jasa Telekomunikasi wajib mensosialisasikan setiap skema tarif kepada Pelanggan secara benar, jelas, tidak menyesatkan, dan transparan. 

    Informasi yang disampaikan paling sedikit meliputi jenis Produk Layanan,. besaran tarif,. Area layanan, waktu pemberlakuan tarif; korespondensi untuk informasi.

    Sosialisasi dilakukan dengan menggunakan media cetak dan/atau elektronik dengan memperhatikan etika dalam beriklan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Kemudian Pasal 82, ISP wajib memberikan pilihan kepada Pelanggan melanjutkan atau menghentikan penggunaan layanan setelah pemakaian mencapai batasan penggunaan seperti periode dan/atau volume layanan ISP yang dipilih pelanggan. 

    Nelaya mengakses internet untuk membuka aplikasi

    Dalam hal pelanggan memilih penggunaan layanan secara berkelanjutan maka kewajiban sebagaimana dimaksud dapat tidak diberlakukan.

    Dengan kondisi tersebut, maka selama operator seluler telah memberikan informasi yang jelas mengenai skemat tarif secara jelas, termasuk volume kuota hingga periode penggunaan, maka operator telah melakukan regulasi yang berlaku. 

    Trubus menyampaikan bahwa kebijakan masa aktif kuota pada layanan telekomunikasi memiliki landasan hukum yang rasional dan tidak merugikan secara sepihak, dengan beberapa pertimbangan. 

    Pertama, masa aktif kuota diatur dalam syarat dan ketentuan layanan yang disepakati oleh pelanggan saat pembelian. 

    “Informasi ini disampaikan secara jelas, sehingga hangusnya kuota merupakan konsekuensi logis dari model bisnis berbasis waktu,” lanjutnya. 

    Dia menambahkan kebijakan masa aktif mendukung pengelolaan sumber daya jaringan secara optimal. Tanpa masa aktif, penumpukan kuota oleh pelanggan dapat membebani infrastruktur, meningkatkan biaya operasional, dan berpotensi

    Selain itu, lanjutnya, masa aktif memungkinkan operator menawarkan paket data dengan harga terjangkau serta promosi menarik, sehingga memperluas akses layanan telekomunikasi bagi berbagai kalangan masyarakat.

    Dia  juga menyayangkan kurang optimalnya peran Komdigi dalam mengedukasi masyarakat. Menurutnya, pemerintah seharusnya aktif menyosialisasikan aturan yang berlaku, khusus terkait perlindungan konsumen.

    Dia khawatir ketidaktahuan masyarakat dimanfaatkan oleh operator yang tidak bertanggung jawab.

    “Nah terus masyarakat itu tetap konteksnya dilindungi gitu, jadi bagaimana kemudian agar konsumen ini punya daya tawar. Sehingga dia ada perlindungan tersendiri dan tidak dieksploitasi oleh operator,” kata Trubus. 

    Tiang pemancar internet

    Sebelumnya, polemik kuota internet hangus ramai diperbincangkan publik setelah Indonesian Audit Watch (IAW) menyebut potensi kerugian negara hingga Rp63 triliun.

    Mereka bahkan melayangkan surat terbuka kepada Presiden RI, BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung untuk mengaudit model bisnis prabayar oleh operator telekomunikasi.

    Namun, sejumlah pihak menilai tudingan itu keliru. Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012–2015, Riant Nugroho, mengatakan sistem kuota berbatas waktu sudah sesuai hukum perdata dan prinsip jual beli yang berlaku di Indonesia.

    Menurut Riant, selama operator sudah memberikan informasi yang transparan, konsumen dianggap telah menyetujui syarat dan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, tidak tepat jika ada yang memperkarakan sistem tersebut secara hukum.

    Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) juga menyatakan masa aktif kuota adalah praktik yang lazim dalam industri, bahkan diterapkan oleh operator global. 

    Mereka pun terbuka untuk berdialog demi meningkatkan literasi digital masyarakat agar bisa lebih bijak dalam memilih paket layanan sesuai kebutuhan.

    “Kami percaya, kebijakan yang adil bagi pelanggan dan mendukung keberlanjutan industri harus berbasis pada pemahaman menyeluruh atas model bisnis telekomunikasi,” kata Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir.

    Pengguna Tahu dan Berharap

    Dari sisi pengguna, Putri, mahasiswa Semester 6 di salah satu perguruan tinggi, mengaku mengetahui mengenai batas pemaikaian. Wanita yang telah menggunakan kartu Tri selama bertahun-tahun itu tidak mempermasalahkan karena kuota internet selalu habis sebelumnya waktunya. 

    “Malah ketika saya membeli kuota langganan untuk satu bulan, habis dalam satu minggu,” kata Putri.

    Dia juga mengatakan paket kuota harian yang disediakan provider itu cukup bisa jadi solusi terjangkau bagi pelanggan yang butuh, terlebih dalam keadaan darurat. 

    Dia berharap jika memungkinkan kuota yang hangus karena melewati batas pemakaian dapat dikonversi lagi menjadi pulsa sehingga menambah manfaat bagi pengguna. 

    Sementara itu, Vivian, mahasiswa semester 4, berharap tidak ada kuota hangus dan operator seluler jika memungkinkan menerapkan praktik roll out sehingga kuota yang tidak habis dipakai, dapat digabung ke bulan selanjutnya. 

    “Tapi mungkin, memang di sisi lain, kita sebagai pelanggan kurang memahami soal masa aktif dan aturan dari paket data yang dibeli itu secara mendalam,” kata Vivian. (Muhamad Rafi Firmansyah Harun)

  • Pengamat Sebut Kuota Internet Berbasis Waktu seperti Kesepakatan Dagang

    Pengamat Sebut Kuota Internet Berbasis Waktu seperti Kesepakatan Dagang

    Bisnis.com, JAKARTA — Polemik mengenai kuota internet yang hangus dan dituding merugikan konsumen hingga keuangan negara dinilai keliru. Skema kuota internet berbasis waktu sama seperti kesepakatan dagang pada umumnya.

    Mekanisme kuota berbatas waktu dinilai sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan regulasi sektor telekomunikasi.

    Pengamat telekomunikasi yang juga mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012–2015, Riant Nugroho menilai tudingan terkait kuota hangus merugikan masyarakat dan negara menunjukkan adanya kesalahpahaman terhadap prinsip-prinsip dasar hukum perdata.

    “Jadi yang menuding operator telekomunikasi merugikan keuangan negara dan merugikan konsumen berarti mereka tidak mengerti hukum dagang atau perjanjian perdata,” kata Riant, dikutip Kamis (26/6/2025). 

    Riant menjelaskan dalam hukum dagang, kesepakatan antara penjual dan pembeli bersifat mengikat sebagaimana halnya dalam jual beli rumah. 

    Selama penjual telah menyampaikan kondisi produk dan pembeli setuju, maka transaksi tersebut tidak bisa dibatalkan secara sepihak, kecuali ada perjanjian baru antara kedua belah pihak. 

    Prinsip ini, kata dia, sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    Lebih lanjut, dia mengatakan pembelian pulsa maupun kuota internet adalah bagian dari mekanisme pasar, di mana konsumen telah setuju dengan syarat dan ketentuan yang diberikan oleh operator. 

    Hal ini pun telah memenuhi ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya kewajiban pelaku usaha untuk menyampaikan informasi secara transparan terkait harga, masa aktif, dan volume kuota.

    Apabila syarat dan ketentuan sudah disepakati kedua belah pihak, lanjut Riant, maka tidak bisa pihak luar memperkarakannya apalagi menuduh adanya pelanggaran pidana. 

    “Sebelumnya tidak pernah ada masyarakat yang mengeluhkan seperti ini yang menyebabkan kegaduhan,” tambahnya.

    Dia pun menilai perbandingan antara kuota internet dengan token listrik atau gas LPG yang tidak memiliki masa aktif, tidak relevan. 

    Dalam pembelian token listrik atau LPG, barang yang dijual adalah volume penggunaan, bukan layanan berbasis waktu seperti internet.

    Menurutnya operator seluler juga memberikan kebebasan kepada pelanggan untuk memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. 

    “Seharusnya ketika masyarakat hanya membutuhkan internet sedikit, mereka bisa membeli kuota yang kecil. Penjual juga tidak memaksakan konsumen membeli kuota yang besar. Mereka juga menyediakan kuota kecil, sehingga masyarakat kita perlu diedukasi untuk membeli kuota sesuai dengan kebutuhannya,” jelas Riant.

    Sebelumnya, dugaan kerugian negara akibat kuota internet hangus mencapai Rp63 triliun ramai diperbincangkan publik. 

    Indonesian Audit Watch (IAW) bahkan telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden RI, BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung, mendesak audit menyeluruh terhadap model bisnis tersebut dan menyelidiki potensi pelanggaran hukum.

    Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan bahwa praktik masa aktif adalah hal yang lazim dalam industri. 

    Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir menyebut kuota internet berbeda dengan komoditas seperti listrik atau tol karena berbasis pada lisensi spektrum dari pemerintah.

    “Hal ini berbeda dengan listrik atau kartu tol,” katanya. 

    Dia menyebut operator global seperti Kogan Mobile (Australia) dan CelcomDigi (Malaysia) juga menerapkan masa berlaku pada paket data mereka. 

    Operator juga telah memberikan informasi terbuka mengenai masa aktif, kuota, dan harga yang bisa diakses melalui situs resmi atau platform pembelian.

    “Pelanggan diberikan keleluasaan untuk memilih dan membeli paket data sesuai keinginannya dan kebutuhannya,” tegas Marwan.

  • Apakah Mekanisme Kuota Internet Hangus Melanggar Regulasi? Ini Kata Pengamat dan Asosiasi – Page 3

    Apakah Mekanisme Kuota Internet Hangus Melanggar Regulasi? Ini Kata Pengamat dan Asosiasi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Sisa kuota internet hangus saat masa aktif berakhir, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Pro kontra ini muncul usai Indonesia Audit Watch (IAW) menemukan kerugian konsumen mencapi Rp 63 triliun per tahun dari kuota internet hangus tersebut.

    Terkait polemik ini Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho menilai bahwa dalam mekanisme pasar, antara pembeli dan penjual sudah ada kesepakatan untuk membeli produk yang dijual.

    “Kewajiban operator telekomunikasi sudah melampirkan syarat dan ketentuan yang berlaku. Ini sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 yang memastikan penjualan pulsa dan semua layanan kuota internet dilengkapi dengan informasi yang transparan tentang harga, jumlah kuota, dan masa aktif layanan,” Riant memaparkan, dikutip Kamis (26/6/2025).

    Jika pembeli dan penjual (operator) sudah bersepakat membeli produk sesuai dengan persyaratan jual beli, menurut Riant, maka sudah terjadi kesepakatan bisnis antar pihak.

    “Ketika sudah ada kesepakatan bisnis, maka tidak bisa pihak lain mengatakan ada unsur pidana karena operator sudah melampirkan syarat dan ketentuan yang berlaku untuk pembelian pulsa dan kuota berbatas waktu. Ini sesuai dengan PM Kominfo No 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi,” ia menjelaskan.

    Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode 2012–2015 itu menilai, pihak yang menuding operator telekomunikasi merugikan keuangan negara dan merugikan konsumen, tidak mengerti hukum dagang atau perjanjian perdata.

    “Hukum dagang itu kesepakatan antara penjual dan pembeli. Jika pembeli sudah sepakat membeli dari penjual dengan syarat dan ketentuan yang tertuang dalam pembelian produk pulsa atau kuota internet, masyarakat dan badan perlindungan konsumen tidak boleh memperkarakan objek yang sudah disepakati dalam jual beli,” Riant memungkaskan.

     

  • Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Tarif Trump: Kontradiksi Kapitalisme Amerika

    Jakarta

    Dalam The End of History and the Last Man (1992), Francis Fukuyama, filsuf modern Amerika menyatakan bahwa evolusi manusia berakhir semenjak hadir demokrasi liberal Barat, secara khusus demokrasi Amerika. Salah satu “anaknya” adalah sistem politik Indonesia pasca reformasi.

    Namun, demokrasi liberal tidak berdiri sendiri, ada dua saudara kandung, kapitalisme dan globalisasi, di mana bertiga mereka menjadi penanda selesainya evolusi sosial, budaya, politik, dan ekonomi umat manusia.

    Pemerintah Amerika menjadi Ketua dari dunia, “kepala suku” dari seluruh pemerintahan sejagat. Disebut sebagai “suku” karena masalah-masalah akhirnya diselesaikan dengan cara “adat” daripada hukum, dan dengan “cara adat”, artinya sesuka Kepala Sukunya.

    Disebut sebagai “ketua”, karena di Indonesia masa lalu, KUD bukanlah kepanjangan Koperasi Unit Desa, melainkan Ketua Untung Dulu. Bahkan, untung kemudian, dan untung di akhir, serta untung selamanya. Tidak ada manusia dengan kepentingan daging yang dapat lepas dari hasrat yang tempted tersebut.

    Amerika adalah penghela The True Capitalism. Tidak salah dengan kapitalisme, hanya mereka yang tidak menguasainya saja yang menyalah-salahkannya. Makanya, China juga tidak menjelekkan kapitalisme, meski mereka adalah anak dari Sosialisme Marx. Kapitalisme dan liberalisme adalah pasangan sejoli. Kapitalisme berjalan dengan menyenangkan jika ada liberalisme. Liberalisme tidak ada gunanya jika tidak ada kapitalisme di sampingnya.

    Itulah kredo Amerika, yang dipasarkan ke seluruh dunia. Namun, kapitalisme dan liberalisme adalah mahluk yang “serakah”, dan serakah tidak haram dalam kapitalisme, greed is good. Panggung dari Kapitalisme (+ Liberalisme) adalah Globaliasasi. Lembaga buatan Bretton Wood pada Juli1944, Bank Dunia (International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan IMF (International Monetary Fund), sudah lengkap dengan kehadiran dilengkapi dengan WTO (Badan (Liberalisasi) Perdagangan Dunia) pada 1 Januari 1995, yang embrionya diawali dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibuat 1947.

    Kontradiksi

    Amerika bercita-cita luhur, menjadi kota yang berdiri di atas bukit, menyinari seluruh dunia. Amerika adalah penolong dunia. Amerika membentuk penyelesaian Perang Dunia I pada tahun 1918, setelah menjadi bagian dari Sekutu untuk mengalahkan Blok Sentral. Juga pada Perang Dunia. Tanpa bantuan Amerika, Jerman tidak pernah dapat dikalahkan.

    Demikian juga Jepang, di Asia dan Pasifik. Setelah PD II Amerika menjadi Dewa Penolong Eropa dengan bantuan massif Marshall Plan-nya, dengan mentransfer $13,3 miliar (setara dengan $173,8 miliar pada tahun 2024) dalam program pemulihan ekonomi ke ekonomi Eropa Barat.

    Tapi, bagi Amerika, there is no such of free lunch. Investasi America membanjiri Eropa dan kemudian ke seluruh dunia. Perusahaan minyaknya mengusasai ladang-ladang minyak raksasa di penjuru bumi. Produknya menjadi pilihan sebagai produk terbaik.

    Sejak tahun 1950an ekonominya menguasai dunia, meski berjuang untuk melawan Blok Timur hingga kejatuhan Uni Soviet pada 1991. Premis Fukuyama benar: the end of history. Blok Timur, termasuk Rusia, sisa terbesar Soviet, memilih menjadi kapitalis. China, dengan ideologi komunisnya, juga memilih jalan kapitalis.

    Seharusnya Amerika berbahagia selamanya, seperti dongeng HC Andersen. Namun ternyata, KUD tidak berlaku seluruhnya. Ketua Untung Dulu, berlaku hanya untung di depan, di Tengah dan belakang. Kapitalisme punya hukum sendiri yang mungkin tidak pernah dibayangkan Amerika. Pertama, persaingan. Malangya, pada globalisasi, seperti kata Gary Hamel dalam Reinventing the Basis of Competition (1996), bahwa globalisasi bukanlah persaingan antar negara, melainkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara tersebut.

    Liberalisme memungkinkan teknologi, pengetahuan, dan ketrampilan berpindah dari satu koloni ke koloni lain dengan sangat cepat. Pada tahun 1980an perusahaan-perusahaan di Jepang mulai mengambil alih dominasi Amerika bahkan di Amerika. Pada tahun 2000an perusahaan-perusahaan Korea menjadi pesaing kuat baru.

    Pada periode yang sama, China menjadi pemain dominan, bahkan di semua lini, termasuk berkenaan dengan pendapatan. Untuk memperoleh laba yang tinggi, sebagaimana kredo kapitalisme, maka perusahaan-perusahaan besar Amerika melakukan outsourcing produksinya ke China. Mulai dari Nike hingga Iphone.

    Tapi, China lebih cerdas dari kita, bahkan lebih cerdas dibanding Amerika. Mereka bukan saja “menggerojok” Amerika dengan produk elektronik, mesin, mobil, tekstil dan produk tekstil, bahkan hingga buah, sayur, bawang putih, hingga ikan dan udang. Masyarakat Amerika menikmati produk berukualitas dan murah.

    Di balik itu, kedayasaingan industri modern dan pertanian Amerika semakin terdesak oleh China. Amerika mungkin masih digdaya di pesawat tebang, peralatan militer, kedelai, jagung, dan gandum.

    Namun, sebagian besar lain mudah terdesak. Aturan main yang sebelumnya menguntungkan Amerika, kini, secara fair, menguntungkan semua pelaku dari setiap negara. Sebelumnya Amerika menjadi juara karena teknologi, pengetahuan, dan ketrampilannya jauh lebih maju, kini jarak tersebut makin dekat, bahkan ada yang sudah melewati.

    Strategi melakukan standarisasi lokasi eksport tidak menjadi solusi. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah memenuhi persyaratan Amerika. Mulai dari Shanghai, Ningbo-Zhoushan, Shenzhen, Qingdao, Guangzhou, hingga Hongkong. Apalagi standarisasi manajemen seperti ISO hingga Malcolm Baldrige. Semuanya dipenuhi. Termasuk standar etika dan anti-korupsi. Belum lagi negara-negara Eropa Barat yang dengan cepat mengejar ketertinggalannya, seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Balapan kapitalisme yang diperkenalkan Amerika sebagai standar balapan dunia sudah tidak lagi menguntungkan Amerika.

    Memang, mereka nasih punya Meta (grup facebook) dan Alphabet (grup google) serta Microsoft, hingga Amazon, ditambah kluster industri digital di California dan sekitarnya, termasuk Dell, Intel, AMD, NVIDIA, dan sejenisnya. Juga industri keuangan, konsultan, dan jasa lainny. Namun, bagi Amerika, tidak cukup kemenangan ditentukan oleh beberapa kluster saja. Amerika harus menang di semua kluster kapitalisme. Itulah kredo Amerika yang diyakini Trump.

    Tapi, menggunakan “cara kapitalisme” ternyata tidak cukup, karena sudah terjadi kontradiksi kapitalisme Amerika. Sistem yang mereka buat dan diekspor ke seluruh dunia, menjadi backfire bagi dirinya sendiri. Donald Trump berfikir keras untuk menguasai dunia selain dengan cara kapitalisme. Inilah yang dilakukan hari ini.

    Strategi Trump, Strategi Baru Amerika

    Hari ini Amerika, di bawah Trump, hendak membuat Amerika sehebat dulu. Kebijakan besarnya sangat jelas MAGA: Making America Great Again. Strategi pertama adalah strategi tarif. Trump menerapkan tarif berlapis.

    Pertama, tarif dasar 10%yang berlaku untuk semua impor dari semua negara. Kedua, tarif tambahan (timbal balik) untuk negara tertentu, yang dihitung berdasarkan setengah dari tarif yang negara tersebut kenakan pada AS.

    Ketiga, tarif eksisting (jika ada), misalnya China sudah memiliki tarif sebelumnya, yang tetap berlaku dan ditambahkan ke tarif baru. China akan dikenakan tarif berlapis sebesar tarif eksisting 20% dan 34%, sehingga total tarifnya mencapai 54%. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32% yang akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025. Vietnam dikenakan tarif sebesar 46%

    Kebijakan publik yang diajarkan hari ini adalah bagaimana mengatur domestik dan hubungan internasional. Satu hal yang jarang, atau bahkan tidak pernah diajarkan, adalah memahami pikiran negara lain. Nampaknya policy makers Indonesia tidak memikirkan itu. Model dan modal berfikir kita adalah hubungan baik dengan Amerika, dan kita menikmati berbagai fasilitas yang mereka berikan.

    Ketika “badai” datang, baru kita sepertinya “plonga-plongo”. Indonesia jelas bukan musuh Amerika, dan Amerika pun tidak pernah memusuhi Indonesia. Hanya, Amerika tidak bisa secara membuat kebijakan untuk dunia secara asmiterik, apalagi itu untuk memenuhi kepentingannya sendiri.

    Vietnam langsung menge-nol-kan bea masuk produk AS, dan meningkatkan impor dari AS, untuk menyeimbangkan defisit transaksi keduanya. Amerika akan melakukan hal yang sama, mengenolkan tarif buat Vietnam. Apalagi Vietnam adalah proksi industri Amerika terhadap China. Mereka telah menggantikan China sebagai produsen produk yang diperlukan AS dan melakukan eskport langsung ke AS.

    Bagaimana Indonesia? Indonesia punya ekspor tekstil dan produk tekstil, alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut. Pada Februari 2025, ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Serikat (AS) mencapai11,35%dari total ekspor nonmigas. Persentase yang signifikan. Jika total ekspor 20204 mencapai US$264,7 miliar, maka setidaknya total ekspor ke AS pada tahun 2025, dengan asumsi sama, US $ 30 miliar, bahkan lebih. Atau, setidaknya 19,42% dari Cadangan devisa RI yang US $154,5 miliar.

    Pertanyannya adalah bagaimana respons kebijakan kita. Dari ilmu kebijakan publik, disarankan tiga respon kebijakan. Pertama, dan yang paling penting, adalah memanfaatkan kebijakan Amerika. Meskipun Trump dapat mengklaim mereka juga comply kepada aturan WTO, sebenarnya mereka juga tidak comply.

    Namun, karena kekuatan dan kekuasaannya, maka kebijakan impos tarif tersebut tidak dapat dihalangi. Indonesia dapat menggunakan kebijakan Amerika untuk membuat kebijakan yang sama. Istilahnya, riding the wave. Terutama kepada negara-negara selain Amerika yang merugikan neraca perdagangan dan industri dalam negeri. Mungkin juga kita perlu merevisi UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, dan sejumlah kebijakan ekstra liberalisasi kita.

    Kedua, buka keran impor dari Amerika, khususnya untuk produk yang selama ini diembargo, termasuk alutsista atau persenjataan militer. Dengan demikian, meskipun mereka tetap mengembargo, kita telah memberikan kebijakan resiprokal, dan mereka tidak dapat menolak resirokalitas tersebut, karena tidak bersifat eksepsionalitas.

    Buka juga keran untuk impor produk yang diperlukan Indonesia ke depan, mulai dari super konduktor hingga pusat-pusat data, dengan tarif nol persen. Kementerian investasi perlu bekerjasama dengan BIN dan Lemhannas untuk memastikan produk masa depan tersebut segera bisa diakuisisi.

    Ketiga, mengembangkan kebijakan keseimbangan geopolitik, dari keterdekatan berlebihan dengan kekuatan-kekuatan anti AS, termasuk BRICS, menjadi keseimbangan. Amerika, dalam jangka waktu panjang akan tetap menjadi kekuatan inovasi dunia, pasar yang kuat, dan sumber pertahanan militer yang selalu adidaya. Kebijakan Trump pun, dalam waktu setahun ke depan, akan nampak manfaatnya bagi Amerika, yaitu kebangkitan produktivitas domestik mereka.

    Saat ini mungkin tidak mudah bagi Trump, namun jika ia mampu bertahan dan membuktikan MAGA-nya, ia akan diterima. Tidak berbeda dengan Roosevelt di tahun 1933, dengan kebijakan New Deal-nya, dengan motto “3 Rs”: Relief, Recovery, dan Reform, yang kontroversal. Keberhasilan menyelamatkan Amerika, membuatnya dipilih menjadi Presiden melampaui masa jabatan yang dibolehkan konstitusi (1933 – 1945).

    Pembelajaran

    Kebijakan Trump membuat setiap negara “jantungan”. Saya tidak begitu sepakat dengan para senior yang mengatakan “Ini sudah biasa, tidak usah terkejut, toh mereka yang rugi”. Mengirimkan delegasi ke AS, dipimpin oleh Prof. Bambang Brojonegoro, Mantan Menristek, Menkeu, dan Kepala Bappenas, adalah baik.

    Harapan kita adalah, mereka tidak melakukan pertemuan dengan gagasan yang standar, yang biasa. Karena, dalam kondisi luar biasa, cara-cara lama tidak banyak nilainya. Parajuru runding perlu dibekali dengan gagasan yang out of the box, yang membuat Indonesia mempunyai possi riding the wave. Tentu saja, gagasan tersebut harus merupakan gagasan dari Presiden sebagai CEO Republik Indonesia, atau setidaknya gagasan yang disetujui Presiden. Artinya, Tim Krisis yang dipimpin langsung oleh Presiden perlu mindset tersebut.

    Pembelajaran selanjutnya, bahwa kebijakan publik yang diajarkan di kelas-kelas, termasuk di negara maju, sudah tidak cukup lagi dalam merespon perubahan terkini. Kebijakan publik sebagai praktek dalam dunia dengan terra incognita-nya, adalah kebijakan publik yang beyond public policy.

    Kini waktunya bagi para akademisi dan praktisi untuk belajar kembali untuk membangun kekuatan baru. Kejadian impos kebijakan tarif yang ekstrem dari Pemerintahan Trump adalah pelajaran besar bagi kita para policy makers, seperti nasihat Marshall Goldsmith, bahwa What Got You Here Won’t Get You There (2014). Kemampuan-kemampuan yang membuat Indonesia sampai menjadi hari ini, tidak cukup untuk membawa Indonesia ke masa depan. Kita perlu learning government, kita perlu menjadi the learning nation.

    Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI)

    (hns/hns)

  • Kemenkomdigi: Evolusi Komunikasi Ubah Cara Manusia Pahami Opini Publik – Halaman all

    Kemenkomdigi: Evolusi Komunikasi Ubah Cara Manusia Pahami Opini Publik – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tenaga Ahli Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Dr. Riant Nugroho, M.Si., CBA, mengungkapkan terjadi perubahan komunikasi dari media analog ke digital. 

    Perubahan ini, kata Riant, mempengaruhi cara manusia dalam memahami informasi.

    “Evolusi komunikasi dari media analog ke digital, yang telah mengubah cara manusia memahami dan memengaruhi opini publik,” ujar Riant melalui keterangan tertulis, Sabtu (14/12/2024).

    Hal tersebut diungkapkan oleh Riant saat membawakan materi berjudul “Ilmu Komunikasi Hari Ini: Dari Kejelasan dan Kepastian Menuju Persimpangan dengan Ketidakpastian.” 

    Paparan ini disampaikan pada pembukaan Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara (Untar). 

    Rektor Untar  Prof. Dr. Amad Sudiro, S.H., M.H., M.Kn., M.M., menyatakan pendirian program studi ini merupakan langkah strategis untuk menjawab kebutuhan perkembangan ilmu komunikasi yang semakin pesat.

    “Pendirian Program Studi Magister Ilmu Komunikasi ini juga dapat memperkuat reputasi Untar sebagai salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia,” ujarnya.

    Pendirian program studi ini didasarkan pada Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 609/E/0/2024 tentang Izin Pembukaan Program Studi Ilmu Komunikasi Program Magister di Universitas Tarumanagara.

    Ketua Pengurus Yayasan Tarumanagara  Prof. Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H., menekankan pentingnya inovasi dalam ilmu komunikasi untuk menjawab kebutuhan generasi muda, khususnya Generasi Z, seperti dalam bidang komunikasi digital.

    “Kita harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Berdirinya Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fikom Untar ini merupakan salah satu pencapaian yang patut diapresiasi,” katanya.

    Ariawan juga menambahkan ilmu komunikasi tetap relevan di berbagai belahan dunia. 

    “Dalam pengamatan saya saat mengunjungi berbagai kampus ternama di luar negeri, ilmu komunikasi masih sangat diminati.  Penting untuk mengombinasikan ilmu komunikasi dengan disiplin ilmu lain agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang,” tambahnya.

    Dekan Fikom Untar Dr. Riris Loisa., M.Si menyatakan Prodi  Magister Ilmu Komunikasi Untar  diselenggarakan dengan mengedepankan nilai-nilai Humanis, Entreprenerial, Profesionalisme dan Integritas.  

    Dengan nilai-nilai ini, para lulusan akan mampu berinovasi menghadapi tantangan di dunia komunikasi yang semakin kompleks, dengan menguatnya komunikasi digital.