Tag: Reda Manthovani

  • Prabowo Panggil Jaksa Agung, PPATK Hingga BPKP Ke Istana, Ada Apa?

    Prabowo Panggil Jaksa Agung, PPATK Hingga BPKP Ke Istana, Ada Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Prabowo Subianto memanggil beberapa pejabat Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ke Istana Negara, Senin (13/1/2025).

    Dari pantauan CNBC Indonesia, para pejabat mulai tiba di Istana sejak pukul, 14.15 WIB. Diantaranya seperti Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Asep Nana Mulyana, Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Narendra Jatna, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah, dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani.

    Hanya saja saat dikonfirmasi mengenai agenda pertemuan, para pejabat masih enggan membeberkan.

    “Belum,” kata Febrie Adriansyah, saat ditanya perihal rapat. Sementara pejabat Kejaksaan Agung lainnya juga enggan memberikan komentar.

    Diketahui dalam rapat itu juga dihadiri Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Plt Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh.

    (haa/haa)

  • Pengampunan Koruptor, Sahroni Sebut Disertasinya Bisa Jadi Referensi Presiden Prabowo

    Pengampunan Koruptor, Sahroni Sebut Disertasinya Bisa Jadi Referensi Presiden Prabowo

    Jakarta: Presiden Prabowo Subianto melempar wacana pengampunan terhadap koruptor. Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyarankan Kepala Negara membaca disertasi doktoralnya yang berjudul Pemberantasan Korupsi melalui Prinsip Ultimum Remedium: Suatu Strategi Pengembalian Keuangan Negara.

    Sahroni menjelaskan disertasi doktoralnya mengemukakan prinsip ultimum remedium. Di mana pidana merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian kasus korupsi. 

    “Yang paling utama ialah upaya pengembalian kerugian negaranya. Kita paksa koruptor bayar berkali-kali lipat,” kata Sahroni melalui keterangan tertulis, Senin, 23 Desember 2024.

    Bendahara Umum (Bendum) DPP Partai NasDem itu menilai hukum pidana tak menguntungkan bagi negara. Justru, hukuman pidana menjadi beban negara.

    “Karena jika sebatas hukuman pidana badan, kerugian negara tidak akan pernah bisa pulih. Justru malah semakin terbebani dengan biaya proses hukumnya,” ungkap dia.
     

    Sekretaris Fraksi NasDem di DPR itu menjelaskan langkah Presiden Prabowo ini memang membutuhkan kajian mendalam dari berbagai macam sudut keilmuan. Sehingga, disertasi ultimum remedium ini dapat dijadikan referensi karena telah diuji oleh beberapa pakar hukum ternama.

    “Makanya, kemarin disertasi ini telah diuji secara akademis oleh beberapa tokoh hukum, seperti Hakim Agung Prof Surya Jaya, Pak Bamsoet saat menjabat Ketua MPR, Prof Reda Manthovani yang merupakan Jamintel Kejagung, Rektor Univ Borobudur Prof Bambang Bernanthos, Prof Faisal Santiago, dan lain sebagainya,” tambah Sahroni.

    Sahroni memahami substansi wacana pengampunan koruptor yang disampaikan Prabowo. Dia berharap, pengembalian kerugian negara berkali lipat tersebut menimbulkan efek jera.

    “Nah harap saya, melalui prinsip ultimum remedium ini, para koruptor justru bakal lebih jera. Gimana enggak? Mereka bakal dipaksa bayar berkali-kali lipat dari kerugian yang ditimbulkannya,” ujar dia.

    Jakarta: Presiden Prabowo Subianto melempar wacana pengampunan terhadap koruptor. Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyarankan Kepala Negara membaca disertasi doktoralnya yang berjudul Pemberantasan Korupsi melalui Prinsip Ultimum Remedium: Suatu Strategi Pengembalian Keuangan Negara.
     
    Sahroni menjelaskan disertasi doktoralnya mengemukakan prinsip ultimum remedium. Di mana pidana merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian kasus korupsi. 
     
    “Yang paling utama ialah upaya pengembalian kerugian negaranya. Kita paksa koruptor bayar berkali-kali lipat,” kata Sahroni melalui keterangan tertulis, Senin, 23 Desember 2024.
    Bendahara Umum (Bendum) DPP Partai NasDem itu menilai hukum pidana tak menguntungkan bagi negara. Justru, hukuman pidana menjadi beban negara.
     
    “Karena jika sebatas hukuman pidana badan, kerugian negara tidak akan pernah bisa pulih. Justru malah semakin terbebani dengan biaya proses hukumnya,” ungkap dia.
     

    Sekretaris Fraksi NasDem di DPR itu menjelaskan langkah Presiden Prabowo ini memang membutuhkan kajian mendalam dari berbagai macam sudut keilmuan. Sehingga, disertasi ultimum remedium ini dapat dijadikan referensi karena telah diuji oleh beberapa pakar hukum ternama.
     
    “Makanya, kemarin disertasi ini telah diuji secara akademis oleh beberapa tokoh hukum, seperti Hakim Agung Prof Surya Jaya, Pak Bamsoet saat menjabat Ketua MPR, Prof Reda Manthovani yang merupakan Jamintel Kejagung, Rektor Univ Borobudur Prof Bambang Bernanthos, Prof Faisal Santiago, dan lain sebagainya,” tambah Sahroni.
     
    Sahroni memahami substansi wacana pengampunan koruptor yang disampaikan Prabowo. Dia berharap, pengembalian kerugian negara berkali lipat tersebut menimbulkan efek jera.
     
    “Nah harap saya, melalui prinsip ultimum remedium ini, para koruptor justru bakal lebih jera. Gimana enggak? Mereka bakal dipaksa bayar berkali-kali lipat dari kerugian yang ditimbulkannya,” ujar dia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ABK)

  • Prabowo Bakal Maafkan Koruptor, Sahroni DPR Sebut Perlu Kajian yang Dalam – Page 3

    Prabowo Bakal Maafkan Koruptor, Sahroni DPR Sebut Perlu Kajian yang Dalam – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri dengan catatan apabila mereka mengembalikan uang rakyat. Hal ini menuai polemik.

    Terkait wacana itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyebut bahwa disertasi doktoralnya terkait prinsip ultimum remedium dapat dijadikan acuan.

    “Terkait langkah ini, Pak Prabowo mungkin bisa menjadikan disertasi doktoral saya sebagai referensi. Saya mengemukakan prinsip ultimum remedium, di mana pidana merupakan langkah terakhir dalam penyelesaian kasus korupsi. Yang paling utama ialah upaya pengembalian kerugian negaranya,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Senin (23/12/2024).

    “Kita paksa koruptor bayar berkali-kali lipat. Karena jika sebatas hukuman pidana badan, kerugian negara tidak akan pernah bisa pulih. Justru malah semakin terbebani dengan biaya proses hukumnya,” sambungnya.

    Politikus NasDem ini menuturkan, angkah Presiden Prabowo ini memang membutuhkan kajian mendalam dari berbagai macam sudut keilmuan. Sehingga disertasi ultimum remedium ini dapat dijadikan referensi karena telah diuji oleh beberapa pakar hukum ternama.

    “Pengembalian kerugian negara memang tengah menjadi concern banyak pihak, baik di Komisi III atau pun institusi penegak hukum. Makanya, kemarin disertasi ini telah diuji secara akademis oleh beberapa tokoh hukum, seperti Hakim Agung Prof Surya Jaya, Pak Bamsoet saat menjabat Ketua MPR, Prof Reda Manthovani yang merupakan Jamintel Kejagung, Rektor Univ Borobudur Prof Bambang Bernanthos, Prof Faisal Santiago, dan sebagainya,” jelas Sahroni.

    Dia pun berharap disertasinya dapat menjadi salah satu kerangka acuan untuk mengimplementasikan langkah Presiden Prabowo.

    “Jadi sebagai Pimpinan Komisi III yang membidangi hukum, saya memahami betul substansi langkah Pak Prabowo. Nah harap saya, melalui prinsip ultimum remedium ini, para koruptor justru bakal lebih jera. Gimana enggak? Mereka bakal dipaksa bayar berkali-kali lipat dari kerugian yang ditimbulkannya,” tutupnya.