Ray Rangkuti: Prabowo akan Tinggalkan Gibran di Pilpres 2029
Tag: Ray Rangkuti
-

Pengamat Nilai Setahun Pemerintahan Prabowo Hanya Dapat Nilai 6
JAKARTA – Pengamat politik Ray Rangkuti menilai kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto selama satu tahun terakhir belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Ia memberi nilai 6 dari skala 10 untuk capaian pemerintahan, dengan alasan kegagalan di sejumlah sektor penting, seperti reformasi politik, perbaikan ekonomi, dan pembangunan hukum.
“Saya kira kalau dikasih nilai dalam satu tahun terakhir pemerintahan Pak Prabowo, saya kira nilainya 6,” kata Ray dalam diskusi di Jakarta, Minggu, 19 Oktober.
Menurutnya, nilai tersebut sudah disertai “safety margin”, sebab jika menilai secara objektif, kinerja pemerintahan sejauh ini belum mampu mencapai target reformasi yang diharapkan masyarakat.
“Karena menurut saya, meskipun saya kasih safety, tapi sebetulnya pembuatannya itu gagal gitu. Jadi gagal di bidang apa? Reformasi politik dan demokrasi. Gagal di mana? Di perbaikan ekonomi. Gagal di mana? Di pembangunan hukum,” tuturnya.
Ia menegaskan, dalam tiga sektor utama tersebut, pemerintahan Prabowo belum mampu menunjukkan arah perubahan yang nyata, yakni pembangunan reformasi politik dan demokrasi, perbaikan ekonomi, serta pembangunan hukum.
Meski begitu, ia mengakui masih ada hal yang bisa diapresiasi dari pemerintahan Prabowo. Salah satunya, menurut dia, adalah upaya pemberantasan korupsi yang belakangan justru banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tapi ada yang menonjol nih di era Pak Prabowo. Itu yang membuat dia menjadi senya. Apa itu? Pemberantasan korupsi. Lumayan. Bukan oleh KPK, (tapi) oleh Kejaksaan Agung. Nah, di situ saya memberi apresiasi kepada Pak Prabowo,” lanjutnya.
-
Ray Rangkuti: Reformasi Polri Harus Dimulai dari Copot Listyo Sigit
Ray Rangkuti: Reformasi Polri Harus Dimulai dari Copot Listyo Sigit
-

Lika-liku Djamari Chaniago: Pernah Pecat Prabowo, Kini jadi Menkopolkam
Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Politik Ray Rangkuti menyoroti pengangkatan Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam).
Pasalnya, kata dia, Djamari pernah menjabat sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998, yang memecat Prabowo Subianto dari militer.
Hal ini tidak lepas dari dugaan keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis saat era Soeharto itu. Ray mengatakan pengangkatan Djamari menumbuhkan tanda tanya terkait etika jabatan elit politik.
“Djamari dilantik oleh Prabowo sebagai pembantunya dalam kementerian. Etika jabatan ini, tentunya, dialamatkan ke Djamari. Sekalipun pertanyaan yang sama bisa dialamatkan ke Prabowo. Betapa peristiwa penculikan 1998 lalu dilihat sebagai peristiwa biasa, bukan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Ray dalam keterangan tertulis kepada Bisnis, Kamis (18/9/2025).
Dia mempertanyakan apakah Prabowo membuat pertimbangan atas pengangkatan Menko Polkam yang pernah memecat dirinya saat berkiprah di militer.
Ray juga menilai perombakan atau reshuffle yang dilakukan Prabowo lekat dengan kepentingan politik dan cenderung mengedepankan konsolidasi politik.
“Oleh karena itu, saya tidak melihat akan ada lonjakan akselerasi kinerja. Tidak perlu berharap banyak pada hal seperti ini,” jelasnya.
Hal yang sama disampaikan, pengamat politik, Maksimus Ramses Lalongkoe. Dia meragukan perombakan kabinet mampu meningkatkan kualitas kerja pemerintah untuk jangka panjang.
Pasalnya, dia menilai reshuffle yang dilakukan Prabowo kental dengan unsur kedekatan politik sehingga merasa pesimis terhadap kinerja pemerintah.
“Kalau mau jujur sebetulnya pos-pos kementerian dan wamen juga jabatan yang lainnya masih bernuansa politis. Penempatan orang-orang tersebut juga tidak lepas dari korelasi politik tidak ada yang benar-benar jalur profesional berdasarkan aspek kualifikasi khusus,” kata dia kepada Bisnis, Rabu (17/9/2025).
Dia menekankan Prabowo seharusnya memperkuat posisi menteri yang menangani permasalahan kemiskinan, pengangguran, hingga pendidikan. Menurutnya perombakan ini sulit untuk menggaet kepercayaan publik
-

Pengamat: Erick Thohir Harus Mundur dari PSSI Agar Tak Picu Konflik AntarCabor
Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima Indonesia), Ray Rangkuti mendesak Erick Thohir mundur sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) usai dilantik sebagai Menteri Olahraga dan Pemuda RI.
Dia menilai posisi ganda Erick berpotensi memantik kecemburuan antarcabang olah raga. Pasalnya, kata dia, Menpora memiliki akses penuh untuk mengatur berbagai cabang olahraga di Indonesia.
“Menpora sekaligus ketua PSSI merupakan tumpang tindih jabatan. Lebih dari itu, membuat pak Erick seperti tidak berdiri untuk semua cabor yang ada dan dengan sendirinya, berpotensi akan menimbulkan kecurigaan akan dapat berlaku adil untuk semua cabang olahraga,” kata Ray kepada Bisnis, Kamis (18/9/2025).
Untuk itu, Ray menyarankan Erick harus memilih salah satu jabatan. Mundur sebagai Menpora atau Ketua Umum PSSI guna membentuk pemerintah yang bersih dan berkeadilan.
Dia mencontohkan saat Zaenudin Amali yang mengundurkan diri dari jabatan Menpora karena menempati posisi wakil ketua PSSI. Menurutnya alasan Erick menunggu keputusan FIFA untuk mundur dari Ketum PSSI adalah argumen yang tidak berdasar.
“Alasan Erick terlebih dahulu menunggu statuta FIFA sama sekali tidak berdasar,” jelasnya.
Dia juga menyoroti pengangkatan Erick Thohir menjadi Menpora. Baginya, hal itu hanya sebatas strategi untuk menggaet suara Gen Z saat Pilpres 2029 dan merupakan formalitas belaka agar Erick Thohir memiliki title menteri.
“Tapi mengapa Erick Thohir berkenan mengambil jabatan itu? Satu, yang penting tetap menteri; dua bisa dioptimalkan untuk mempopulerkan diri ke kalangan gen Z dan anak muda lainnya, khususnya, menjelang Pilpres 2029 yang akan datang,” tutur Ray.
Lebih lanjut, dia mengatakan digesernya Erick Thohir ke posisi Menpora artinya memindahkan jabatan bergengsi dan strategis ke jabatan non strategis. Strategis dalam hal ini, katanya, tentu saja dalam hal pengaruh wewenang atas aset negara dan penentu kebijakan ekonomi.




