Tag: Raden Pardede

  • Naiknya Harga Mobil Vs Pendapatan Orang RI Tak Sebanding, Kayak Buaya Mangap!

    Naiknya Harga Mobil Vs Pendapatan Orang RI Tak Sebanding, Kayak Buaya Mangap!

    Jakarta

    Penjualan mobil baru di Indonesia tidak tembus satu juta unit. Selain faktor masyarakat kelas menengah yang turun kasta, dan lebih memilih mobil bekas. Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengungkapkan kenaikan harga mobil tidak sama dengan besaran pendapatan masyarakat. Kondisi antara harga dan pendapatan masyarakat Indonesia seperti buaya mangap.

    “Harga mobil kita itu naiknya rata-rata 7,5 persen per tahun. Sementara income masyarakat kelas menengah tadi, naiknya di batasan inflasi 3 persen. Jadi (kondisinya) makin lama, kayak mulut buaya (jarak harga mobil dan pendapatan), nganga terus. Nggak mampu beli mobil,” kata Kukuh Kumara di Gedung Kemenperin, Jakarta, belum lama ini.

    Diketahui dalam Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir, proporsinya menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam. Padahal, proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045.

    Kelas menengah yang turun kasta ini juga bikin penurunan daya beli, khususnya di sektor otomotif.

    “Daya beli yang utama kalau kita lihat lebih lanjut, kemampuan dari kelas menengah kita. Kalau teman-teman melihat apa yang dilaporkan BPS dari 2019-2024. Di mana jumlah kelas menengah kita berkurang,” kata Ekonom Senior, Raden Pardede dalam kesempatan yang sama.

    Lebih lanjut Kukuh mengatakan kelas menengah bukannya tidak membeli mobil. Dia mengungkapkan data penjualan mobil bekas justru lebih tinggi dari total pasar otomotif kendaraan baru.

    “Kelas menengah beli mobil. Belakangan mereka belinya adalah beli mobil bekas. Jadi mobil bekas sekarang itu laku. Karena lebih transparan, cacatnya di mana, bekas baret di mana, kena banjir atau tidak. Ada semua,” ungkap Kukuh.

    “Ternyata itu ada jawaban lain. Kita belum punya data exact-nya. Pasar mobil bekasnya diperkirakan 1,8 juta unit setahun,” kata Kukuh.

    “Sementara mobil barunya hanya 1 juta. Total 1,8 juta. Alangkah eloknya kita bisa manfaatkan untuk kendaraan-kendaraan baru,” jelasnya lagi.

    Harga mobil baru di Indonesia juga dibentuk dari berbagai instrumen pajak. Bisa nyaris 50 persen merupakan tarif pengenaan pajak yang dibebankan ke konsumen.

    Tahun ini industri otomotif juga menghadapi tantangan dengan hadirnya opsen pajak. Meski beberapa daerah sedang melakukan relaksasi berupa pemotongan diskon pajak.

    Lantas apa jadinya jika opsen pajak diberlakukan sepenuhnya? berdasarkan hitung-hitungan Pengamat Otomotif dari LPEM UI, Riyanto, kenaikan harga mobil bisa sampai 6,2 persen. Dengan asumsi opsen diberlakukan ke semua wilayah, serta pungutan pajak kendaraan bermotor 1,2 persen dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) 12 persen.

    “Kalau sebelum ada opsen itu kira-kira pajak mobil itu dijumlah sekitar 40 persen. Jadi kalau harga off the road-nya Rp 100 juta, on the road-nya jadi Rp 140 juta,” kata Riyanto.

    “Begitu ada opsen, opsen itu kan 66 persen dari PKB, 66 persen dari BBNKB, kira-kira bisa bertambah sekitar 9 persen. Jadi 49 persen adalah pajak. Jadi kalau ini berlaku seluruhnya, harga mobil akan naik sekitar 6,2 persen,” kata Riyanto.

    “Kalau harganya Rp 200 juta, naik jadi 212-213 juta. Jadi cukup besar,” jelas dia.

    (riar/dry)

  • Penjualan Lesu-Kelas Menengah Turun, Pabrikan Diminta Jangan Ambil Untung Kebanyakan

    Penjualan Lesu-Kelas Menengah Turun, Pabrikan Diminta Jangan Ambil Untung Kebanyakan

    Jakarta

    Ekonom Senior Raden Pardede mengungkapkan penyebab otomotif stagnan dalam 10 tahun terakhir, bahkan terus turun tidak bisa tembus satu juta unit. Salah satu penyebabnya adalah jumlah kelas menengah yang turun.

    Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir, proporsinya menjadi hanya 47,85 juta. Kini, proporsinya hanya 17,13% dari total populasi, turun dari 21,45% pada lima tahun silam. Padahal, proporsi kelas menengah diharapkan mencapai sekitar 70% dari total populasi pada 2045.

    “Daya beli yang utama kalau kita lihat lebih lanjut, kemampuan dari kelas menengah kita. Kalau teman-teman melihat apa yang dilaporkan BPS dari 2019-2024. Di mana jumlah kelas menengah kita berkurang,” kata Raden dalam Forum Wartawan Industri (Forwin) “Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah” di Jakarta, Selasa (14/1/2024).

    Menyusutnya penjualan mobil itu juga disebabkan kelas menengah turun. Pemberian insentif untuk mendongkrak daya beli sifatnya hanya sementara.

    “Kata kunci adalah kelas menengah,” kata Raden.

    “Masa depan industri otomotif Indonesia secara keseluruhan potensinya sangat luar biasa kalau kita bisa mencapai visi 2045 dengan kelas menengah yang sama. That’s the key poin,” tambahnya lagi.

    PPN menjadi 12% dinilai akan semakin menghantam kelas menengah di Indonesia. Kenaikan PPN meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.

    Belum lagi pungutan opsen pajak yang berlaku 2025. Meskipun saat ini beberapa daerah melakukan relaksasi berupa potongan diskon pajak kendaraan bermotor (PKB).

    “Insentif boleh-boleh saja, semua insentif itu bersifat sementara. Sebetulnya yang utama daya beli.” kata Raden.

    Raden juga berpesan agar pabrikan tidak mengambil keuntungan yang banyak saat terjadinya pelemahan daya beli.

    “Di samping itu, jangan pula pengusaha dalam situasi sekarang ini mengambil margin terlalu banyak. Keseimbangan itu yang harus diperhatikan,” kata dia.

    Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengungkapkan penyebab harga mobil di Indonesia yang semakin tidak terjangkau juga dikarenakan kenaikan pendapatan masyarakat tidak diimbangi dengan pendapatan masyarakat.

    “Harga mobil kita itu naiknya rata-rata 7,5 persen per tahun. Sementara income masyarakat kelas menengah tadi, naiknya di batasan inflasi 3 persen. Jadi (kondisinya) makin lama, kayak mulut buaya, nganga terus. Nggak mampu beli mobil,” jelas Kukuh.

    Berdasarkan dinamika yang bakal terjadi saat ini, Gaikindo memproyeksikan target penjualan mobil di Indonesia belum tembus satu juta unit.

    “Kita belum duduk bareng (penetapan target 2025), belum menghitung secara rinci, kalau tahun kemarin saja, tidak ada opsen kita satu juta saja tidak dapat. Tahun ini kita harapkan dengan model baru, dan sebagainya, dan perkembangannya ada opsen yang ditunda, kita kalau mau optimis di 900-an (ribuan),” kata Kukuh.

    (riar/dry)

  • Kelas Menengah Turun Kasta & Pajak Naik, Industri Otomotif Perlu Tambahan Insentif

    Kelas Menengah Turun Kasta & Pajak Naik, Industri Otomotif Perlu Tambahan Insentif

    Jakarta

    Tantangan industri otomotif bertambah tahun ini. Proyeksi pasar otomotif 2025 bahkan tidak bisa tembus pada angka satu juta unit.

    Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Setia Diarta menjelaskan beberapa faktor anjloknya penjualan otomotif tahun 2024.

    “(Tahun) 2024 dibandingkan 2023 ada penurunan lebih kurang 15-16 persen, alasan paling banyak adanya pelemahan daya beli masyarakat, kenaikan suku bunga di kendaraan kredit kendaraan bermotor,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Setia Diarta di Gedung Kemenperin, Selasa (14/1/2025).

    Kenaikan beberapa instrumen pajak menjadi salah satu faktor. Tahun 2025, deretan mobil yang dipasarkan di Indonesia tetap kena pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, termasuk segmen low cost green car (LCGC).

    Belum lagi adanya penerapan opsen pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan — meskipun ada beberapa provinsi sedang memberikan relaksasi antara lain Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Kepri, Sumatra Utara (Sumut), Sumatra Selatan (Sumsel), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel). Namun sifat relaksasi hanya sementara dan bukan permanen.

    Andai opsen pajak tetap berjalan serta tanpa tambahan insentif, penjualan mobil 2025 dikhawatirkan jebol di bawah 800 ribu unit. Bahkan trennya dikhawatirkan menjadi turun seperti zaman pandemi Covid-19.

    “Kita belum duduk bareng (penetapan target 2025), belum menghitung secara rinci, kalau tahun kemarin saja, tidak ada opsen kita satu juta saja tidak dapat. Tahun ini kita harapkan dengan model baru, dan sebagainya, dan perkembangannya ada opsen yang ditunda, kita kalau mau optimis di 900-an (Iribuan),” kata Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara.

    “Tapi kalau opsen dijalankan, kita bisa turun jauh ke bawah. Turunnya bisa balik ke zaman pandemi, bisa 650-700 (ribuan unit). Ya, berat-lah,” tambahnya lagi.

    Salah satu faktor melemahnya penjualan mobil dikarenakan turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Segmen tersebut selama ini mereka menjadi pembeli kendaraan bermotor sekaligus mesin ekonomi Indonesia.

    Pada 2024, jumlah kelas menengah mencapai 47,85 juta, turun dari 2019 sebanyak 57 juta. Ini menjadi penyebab stagnasi pasar mobil di level 1 juta unit selama 2014-2023 dan kontraksi pasar pada 2024.

    “Keluarga inilah yang mampu mencicil mobil maupun mencicil rumah. Kelas menengah ini adalah yang menjadi engine motor daripada perekonomian,” kata Pengamat Ekonomi, Raden Pardede.

    “Itulah yang turun. Itulah yang berpengaruh ke penjualan mobil dan penjualan rumah,” tambahnya lagi.

    Salah satu insentif yang berhasil dijalankan Pemerintah adalah mengucurkan tambahan insentif berupa diskon pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil 4×2 rakitan lokal.

    Pengamat otomotif dari LPEM UI, Riyanto menyatakan, kehadiran insentif yang sementara untuk industri otomotif dibutuhkan. Di sisi lain, penguatan daya beli dan akselerasi pertumbuhan ekonomi merupakan solusi jangka panjang.

    Berdasarkan hitungan LPEM Universitas Indonesia, dengan asumsi opsen pajak diberlakukan di semua wilayah, tarif PKB maksimum 1,2%, dan BBNKB 12%, total pajak mobil naik menjadi 48,9% dari harga dibandingkan sebelumnya sebesar 40,25%. Akibatnya, harga mobil baru naik 6,2% di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat.

    Dia menyebutkan, dengan elastisitas -1,5, penjualan mobil tahun ini diprediksi turun 9,3% menjadi sekitar 780 ribu unit tahun 2025.

    Salah satu opsi insentif yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah diskon PPnBM untuk mobil berpenggerak 4×2 dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 80%, seperti yang dilakukan pada 2021.

    Berdasarkan hitung-hitungan Riyanto, dengan diskon PPnBM 5% alias tarif PPnBM 10%, harga mobil bisa diturunkan 3,6%, yang bisa memicu tambahan permintaan 53.476 unit. Selanjutnya, dengan diskon PPnBM 7,5% atau tarif 7,5%, harga mobil bisa turunkan 5,3%, dengan tambahan permintaan 80.214 unit. Kemudian, jika diskon PPnBM 10%, harga mobil turun 7,1% yang akan memicu tambahan permintaan 106.592 unit.

    Terakhir, dengan PPnBM 0%, harga mobil turun 10,7% yang akan memicu tambahan permintaan 160 ribu unit.

    “Intinya kalau dari sisi konsumen pasti melihat harga, karena bandingan dia adalah dengan pendapatannya atau kemampuan belinya. Dari setiap insentif membuat harganya turun pasti meningkatkan pasar kita,” kata Riyanto.

    (riar/din)

  • Kelas Menengah Turun Kasta, Industri Otomotif Hadapi Masa Sulit

    Kelas Menengah Turun Kasta, Industri Otomotif Hadapi Masa Sulit

    Jakarta

    Industri otomotif menghadapi tantangan sulit seiring melemahnya daya beli kelas menengah. Ekonom mencatat adanya tren penurunan dan perkembangan yang stagnan, menjadikan prospek sektor ini perlu mendapat perhatian lebih.

    Pengamat ekonomi, Raden Pardede, menilai berbagai insentif yang diberikan pemerintah untuk industri otomotif hanya bersifat sementara. Insentif itu tidak bisa sepenuhnya mendongkrak kinerja industri untuk terus positif.

    “Semua yang bersifat insentif itu bersifat sementara. Sebetulnya, yang utama adalah daya beli. Daya belinya itu yang utama, kalau kita lanjut, adalah kemampuan daya beli dari kelas menengah kita,” papar Raden dalam acara Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah, di Kantor Kementerian Perindustrian, Selasa (14/1/2025).

    Lebih lanjut, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2019 hingga 2024 tercatat jumlah kelas menengah di Tanah Air berkurang secara signifikan. Kelas menengah yang dimaksud adalah masyarakat dengan pengeluaran Rp 2-9,9 juta.

    “Jumlahnya mereka itu menurun hampir 9,4 juta orang. Dia belanjanya per orang per bulan untuk kelas menengah adalah antara Rp 2 juta sampai dengan Rp 9,9 juta. Jadi, kelas menengah inilah yang sebetulnya menjadi mesin atau motor daripada perekonomian. Karena kemampuan mereka belanja sangat besar sekali,” tambah Raden yang juga Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

    Oleh sebab itu Raden menilai, industri otomotif masih akan kesulitan bangkit jika kondisi masyarakat kelas menengah belum membaik. Menurutnya kondisi serupa juga terjadi pada sektor properti.

    “Itulah yang berpengaruh pada penjualan mobil dan juga penjualan rumah. Ini sangat-sangat menentukan bagaimana penurunan kelas menengah dari 57,33 orang menjadi 47,85 juta orang,” tambah Raden.

    (fdl/fdl)

  • Pengusaha Otomotif Diingatkan Tak Kebanyakan Ambil Untung

    Pengusaha Otomotif Diingatkan Tak Kebanyakan Ambil Untung

    Jakarta, FORTUNE – Ekonom Senior Raden Pardede mengingatkan para pelaku usaha pada sektor otomotif untuk menjaga keseimbangan dalam strategi bisnisnya, khususnya di tengah menurunnya daya beli masyarakat.

    Pasalnya, penjualan mobil pada 2024 anjlok hanya 865.000 unit, jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada 1 juta unit. Para pabrikan yang tergabung dalam Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga harus rela untuk mengurangi margin keuntungan.

    “Kalau boleh saran, jangan pula pengusaha di situasi saat ini mengambil margin terlalu banyak juga, dua-duanya jadi keseimbangan, ini perlu dijaga,” kata dia dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) bertajuk Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah, Selasa (14/1).

    Untuk membantu industri otomotif tetap bertahan, pemerintah telah memberikan berbagai insentif guna mendorong penjualan. Namun, pendekatan ini dinilai hanya memberikan dampak sementara.

    “Insentif ini memiliki efek jangka pendek, hanya berdampak sampai masa pemberlakuannya selesai. Hal yang lebih penting adalah bagaimana mengatasi penurunan daya beli masyarakat,” ujar Raden.

    Menjaga keseimbangan demi keberlanjutan

    Selain insentif, kata Raden, ada beberapa poin krusial disampaikan mengenai keberlanjutan industri otomotif nasional.

    Peralihan dari kendaraan berbahan bakar internal combustion engine (ICE) ke kendaraan listrik (EV) menjadi fokus utama pemerintah. Namun, skenario ini memerlukan tahapan yang realistis agar tidak menimbulkan tekanan berlebihan terhadap industri maupun konsumen.

    “Kita harus merancang skenario yang mempertimbangkan keterjangkauan (affordability) dan regulasi. Jika peralihan ini dipaksakan tanpa memperhatikan daya beli, industri bisa layu sebelum berkembang,” ujarnya.

    Menurutnya, negara-negara lain memiliki peta jalan (roadmap) masing-masing untuk mengembangkan industri otomotif. Indonesia harus menentukan arah yang sesuai dengan kondisi domestik, tanpa mengikuti roadmap negara lain secara langsung.

    “Affordability itu harus dipikirkan. Kalau kita memaksa langsung ke green car tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat, justru industri ini bisa mati sebelum berkembang,” katanya.

    Ke depan, keberlanjutan industri otomotif sangat bergantung pada peningkatan kelas menengah di Indonesia. Dengan daya beli yang meningkat, industri otomotif akan memiliki basis konsumen yang lebih kuat. Namun, semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku usaha, perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung.

    Langkah-langkah strategis yang mempertimbangkan keterjangkauan, regulasi, dan kesinambungan ekonomi menjadi kunci agar industri otomotif Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang secara berkelanjutan.

    Kenaikan harga mobil

    Sementara itu, Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut kenaikan harga mobil memang lebih besar bila dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Alhasil, masyarakat makin sulit untuk membeli mobil baru.

    “Harga mobil naik 7,5 persen, sementara kenaikan income masyarakat di batas inflasi sekitar 3 persen, jadi makin lama makin sulit beli mobil baru,” kata Kukuh.

    Di sisi lain, kelas menengah belakangan membeli mobil bekas karena lebih transparan, misalnya disampaikan kondisi mobil seperti mobil bekas baret, bekas banjir.

    “Diperkirakan pasar mobil bekas 1,8 juta unit setahun, sementara mobil baru 1 juta unit, jadi 2,8 juta alangkah eloknya dimanfaatkan kendaraan baru jadi industri komponen bisa jalan,” ujar Kukuh.

  • Tok! Pemerintah Rombak Aturan Main DHE, Berlaku Januari 2025

    Tok! Pemerintah Rombak Aturan Main DHE, Berlaku Januari 2025

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah menyelesaikan rapat koordinasi evaluasi peraturan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA). Hasilnya, revisi aturan itu akan terbit pada Januari 2025.

    Rapat itu dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Reza, hingga Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu.

    Airlangga mengatakan, aturan DHE SDA itu akan diubah secara menyeluruh, mulai dari level Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Sebagaimana diketahui PP DHE SDA kini diatur dalam PP Nomor 36 Tahun 2023.

    “Jadi untuk kapannya (pengumuman perubahan) lagi kita siapin PP, PMK, dan juga kita siapin PBI nya, dan juga dari OJK. Time framenya mungkin sekitar sebulan dari sekarang,” kata Airlangga saat ditemui usai rapat koordinasi tersebut di kantornya, Jakarta, Jumat (20/12/2024).

    Meski belum mau mendetailkan apa saja yang diubah dalam aturan PP DHE SDA, ia menekankan, dari hasil rapat evaluasi ini implementasi PP DHE yang wajib ditempatkan sebesar 30% dari total ekspor telah berjalan dengan baik dengan tingkat kepatuhan eksportir hampir 90%.

    Selain itu, ia memperkirakan, potensi retensi dari hasil penempatan dolar hasil ekspor yang diwajibkan selama tiga bulan di sistem keuangan dalam negeri akan mencapai US$ 14 miliar.

    “Kita perkirakan bisa sampai akhir tahun ini US$ 14 billion, tentu kita akan intensifkan lagi retensi yang 3 bulan, dan kita juga melihat kan kita punya trade baik, antara ekspor dan impor kan positif di November, tinggi,” ucap Airlangga.

    Sebagaimana diketahui, kajian perubahan ketentuan PP DHE SDA ini sudah lama santer berhembus sejak pertengahan tahun lalu. Staf Khusus Menko Perekonomian Raden Pardede mengatakan, selain rancangan ketentuan durasi penempatan yang lebih lama di dalam negeri, nilai hasil ekspor yang harus disimpan di sistem keuangan domestik juga tengah dikaji.

    Ia mengatakan, opsi yang dipertimbangkan ialah apakah menurunkan kewajiban penempatan dananya menjadi 25% dari yang selama ini sebesar 30% atau bahkan menaikkannya ke level 50% sampai dengan 75%.

    “Apakah 50% atau 75%, apakah 25%, itu masih akan dikaji,” kata Raden seusai menghadiri acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, pada awal Desember lalu.

    Raden menekankan, perubahan ketentuan ini dilakukan dalam rangka pemerintah semakin menciptakan transparansi pencatatan nilai hasil ekspor yang selama ini terjadi di Indonesia. Selain itu, juga untuk makin mempertambah cadangan devisa pemerintah untuk stabilitas kurs.

    “Kalau dia lebih banyak lagi yang bisa masuk maka cadangan devisa kita akan lebih baik, ya. Jadi kita jadi punya instrumen untuk bisa tetap membuat, menjaga rupiah stabil,” tegasnya.

    Sebagai informasi, dalam aturan yang berlaku saat ini, para eksportir dengan nilai ekspor pada Pemberitahuan Pabean Ekspor 250 ribu dolar AS atau lebih, wajib menempatkan DHE-nya minimal 30% ke rekening khusus (reksus) dalam negeri yang difasilitasi oleh Bank Indonesia (BI) minimal 3 bulan.

    (arj/mij)

  • Upaya Genjot Investasi Terhambat Tingginya ICOR

    Upaya Genjot Investasi Terhambat Tingginya ICOR

    Jakarta, Beritasatu.com- Langkah pemerintah menggenjot investasi masih terhambat tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR).  Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, ICOR harus diturunkan agar kinerja investasi bisa optimal.

    ICOR merupakan rasio besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output. Semakin besar ICOR menunjukkan inefisiensi yang tinggi.

    Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Budi Mulya mengatakan, performa investasi Indonesia dengan pertumbuhan masih sekitar 1,1% cukup jauh dibandingkan negara-negara, seperti Turki dan Rusia yang mencatatkan pertumbuhan investasi lebih signifikan.

    “Tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan kita ke depan bahwa ICOR kita cukup tinggi di atas 6% pada 2023. Sementara pada sisi lain, gross domestic saving sekitar 36-38%. Artinya, untuk tumbuh 8%, kita membutuhkan tambahan kapital sangat luar biasa besar,” terang Budi dalam seminar Kafegama di Menara BTN, Jakarta pada Sabtu (14/12/2024).

    Menurut dia, efisiensi ekonomi perlu mendapat perhatian khusus. Saat ini, ICOR Indonesia masih tinggi sehingga menjadi kendala bagi investor untuk memulai investasi di Indonesia. Padahal, pemerintah membutuhkan investasi besar untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak biasa-biasa saja.

    “Ini menandakan masih ada inefisiensi dalam penggunaan modal. Artinya, alokasi investasi kita belum optimal dan perlu ditingkatkan kualitasnya,” kata Budi.

    Sebelumnya, tim ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede mengatakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi, harus dilakukan dengan mengurangi ICOR. Menurut  dia, masih banyak komponen dalam ICOR , termasuk infrastruktur yang  belum dimanfaatkan secara efisien.

    “Kita perlu menurunkan ICOR, dalam rencana Bapak Presiden (Prabowo Subianto), yaitu dari sekitar 6,96% atau sebetulnya kalau dirata-ratakan sekitar 6,4% pada 2025, menjadi di kisaran 4,5%,” tutur dia.

    Bila pemerintah bisa menurunkan ICOR, maka laju investasi bisa didorong lebih tinggi. Perlu efisiensi agar penurunan ICOR bisa memiliki peran lebih tinggi dalam meningkatkan  kualitas investasi.

  • Kenaikan UMP 6,5 Persen Cukup Bagus dan Moderat Bagi Pengusaha dan Buruh

    Kenaikan UMP 6,5 Persen Cukup Bagus dan Moderat Bagi Pengusaha dan Buruh

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi IX DPR Neng Eem Marhamah Zulfa menilai, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5 persen merupakan keputusan yang cukup bagus dan moderat, baik bagi pengusaha dan buruh.

    “Kami mengapresiasi atas kebijakan populis ini yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto,” ujar Neng Eem Marhamah Zulfa dalam Investor Daily Talk IDTV, Kamis (5/12/2024).

    Neng menyebut, pengumuman kenaikan UMP ini tentunya bakal menjadi angin segar bagi seluruh pekerja buruh di Indonesia, sebagai langkah meningkatkan taraf kehidupan mereka.

    Pasalnya, tak sedikit di antara buruh yang ada di Nusantara ini terbebani dengan cicilan, sehingga, setidaknya kenaikan UMP 6,5 persen tersebut bisa memberi kebahagiaan.

    “Ini ada dampak positif untuk masyarakat karena buruh juga termasuk mayoritas kelompok yang kritis. Mereka solid, masif dalam hal memperjuangkan nasib mereka dan ini adalah salah satu perjuangan yang selama ini mereka perjuangkan dan berhasil,” jelas dia.

    Namun, lanjut Neng, kenaikan ini belum sesuai dengan tuntutan mereka, yaitu kenaikan di level 8 persen. Namun demikian, UMP yang dikerek 6,5 persen sudah cukup bagus dan moderat, baik bagi kalangan pekerja maupun pelaku usaha di Tanah Air.

    Sebelumnya, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan upah minimum sebesar 6,5 persen pada 2025. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli, diharapkan dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Dengan kenaikan daya beli masyarakat, ekonomi tentu akan menjadi lebih hidup. Permintaan terhadap barang akan meningkat, yang pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujar tim ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, di Jakarta, Selasa (3/12/2024), dalam menanggapi kenaikan UMP 6,5 persen.

  • Kenaikan Upah Minimum 2025 Berdampak Positif terhadap Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Kenaikan Upah Minimum 2025 Berdampak Positif terhadap Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan upah minimum sebesar 6,5% pada 2025, langkah yang diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli, diharapkan dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Dengan kenaikan daya beli masyarakat, ekonomi tentu akan menjadi lebih hidup. Permintaan terhadap barang akan meningkat, yang pada gilirannya akan mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujar tim ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, di Jakarta, Selasa (3/12/2024).

    Kenaikan upah minimum sebesar 6,5% pada 2025 diharapkan bisa mengakumulasi kenaikan upah minimum di tahun-tahun sebelumnya yang relatif rendah. Menurut Raden, peningkatan daya beli masyarakat akan memicu peningkatan penjualan barang-barang yang diproduksi oleh dunia usaha. Pemerintah juga berupaya memberikan kemudahan bagi dunia usaha untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti kemudahan perizinan dan proses administratif lainnya.

    “Solusi yang menguntungkan kedua belah pihak selalu bisa dicari. Oleh karena itu, beban dunia usaha perlu dikurangi. Salah satunya dengan mempercepat proses perizinan, seperti urusan pajak, atau proses mendirikan bangunan yang biasanya memakan waktu 10 hari atau lebih, kini bisa selesai dalam 2-3 hari. Hal ini tentunya dapat mengurangi biaya,” jelas Raden.

    Presiden Prabowo Subianto sebelumnya juga menyatakan bahwa kenaikan upah minimum ini sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yang merekomendasikan kenaikan sebesar 6%. Keputusan ini diambil setelah rapat terbatas yang membahas penetapan upah minimum sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama mereka yang bekerja kurang dari 12 bulan.

    Presiden menegaskan bahwa keputusan akhir diambil setelah diskusi mendalam, termasuk dengan para pimpinan buruh. Penetapan upah minimum ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing usaha.

    Selain itu, untuk upah minimum sektoral, penetapan akan disesuaikan dengan Dewan Pengupahan di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan upah minimum akan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

    “Seperti yang kita ketahui, upah minimum adalah jaring pengaman sosial yang sangat penting bagi pekerja yang bekerja kurang dari 12 bulan, dengan memperhatikan kebutuhan hidup layak. Penetapan upah minimum (2025) bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap memperhatikan daya saing usaha,” ungkap Prabowo.

  • Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bukan Hal Mustahil

    Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Bukan Hal Mustahil

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota tim ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede meyakini target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto bukan hal yang mustahil untuk dicapai.

    Untuk mencapai target ambisius tersebut, menurutnya dibutuhkan kerja keras. Terlebih, sejarah mencatat bahwa Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

    “Target harus dibuat ambisius agar kita bisa bekerja keras. Indonesia pernah mencapai pertumbuhan seperti itu. Rata-rata 7,3% pada periode 1986-1987. Bahkan pernah mencapai 8,2%-8,3% pada tahun tersebut, ” kata Raden Pardede dalam acara “Sarasehan 100 Ekonom Indonesia”di auditorium Menara Bank Mega, Selasa (3/12/2024).

    Raden menambahkan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu, mesin pertumbuhan ekonomi perlu dioptimalkan, khususnya melalui peningkatan investasi yang mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

    “Investasi harus terus digenjot ke level yang lebih tinggi dibandingkan saat ini. Berbagai sumber pembiayaan perlu dimanfaatkan untuk menjalankan program pembangunan,” jelasnya.

    Raden juga menyoroti pentingnya menurunkan incremental capital output ratio (ICOR). ICOR merupakan  rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit output. Menurutnya, masih banyak komponen dalam ICOR  termasuk infrastruktur yang  belum dimanfaatkan secara efisien.

    “Kita perlu menurunkan ICOR dalam rencana Bapak Presiden, yaitu dari sekitar 6,96% atau sebetulnya kalau dirata-ratakan sekitar 6,4% pada 2025 menjadi di kisaran 4,5%,” tutur dia.

    Dengan menurunkan ICOR, lanjutnya, investasi dapat dipacu lebih tinggi, sehingga diperlukan efisiensi yang lebih baik agar kualitas investasi dapat meningkat.

    “Efisiensi sangat krusial, terutama pada sektor-sektor yang lebih produktif dan memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,” kata Raden Pardede.