Tag: Quraish Shihab

  • Fleksibilitas Tadarus Al-Qur’an di Bulan Ramadan

    Fleksibilitas Tadarus Al-Qur’an di Bulan Ramadan

    Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan pahala, sehingga penting untuk mempersiapkan diri secara fisik, mental, dan spiritual. Persiapan bisa dimulai dengan melatih diri melalui puasa sunnah di bulan Syakban, memperbanyak doa dan zikir, serta memperkuat iman melalui tadarus dan kajian agama. 

    Selain itu, menyelesaikan utang puasa dari tahun sebelumnya dan menjaga diri dari perbuatan maksiat juga sangat dianjurkan. Memahami ilmu agama dan mempersiapkan fisik dengan menjaga kesehatan serta konsumsi makanan bergizi akan membantu menjalani puasa dengan optimal. Persiapan mental juga penting untuk menghadapi tantangan puasa dan meningkatkan ketahanan diri. 

    Menyiapkan peralatan ibadah, seperti sajadah dan Al-Qur’an, serta memastikan makanan sahur dan berbuka yang bergizi menjadi bagian dari persiapan yang baik. Terakhir, menyucikan niat untuk berpuasa karena Allah Swt merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan pahala dan keberkahan. 

    Sebagaimana firman-Nya:

    يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. [Al Baqarah:183]

    Pada bulan Ramadan, banyak kegiatan amaliyah yang dilakukan untuk mengisi waktu, dan yang paling utama adalah meningkatkan keimanan serta ketakwaan, yang dipupuk pada bulan penuh berkah ini untuk satu tahun ke depan. Salah satu kegiatan tersebut adalah membaca Al-Qur’an atau bertadarus, yang biasanya dilaksanakan setelah salat tarawih dan witir. 

    Beragam pendapat muncul di setiap musala dan masjid terkait jumlah rakaat tarawih, ada yang melaksanakan 20 rakaat dan 3 witir, ada juga yang mencapai 36 rakaat, dan sebagian memilih 8 rakaat dengan 3 witir untuk efisiensi waktu. Meskipun terdapat perbedaan, kedua bentuk pelaksanaan tersebut tetap memiliki ganjaran pahala di hadapan ridha Allah Swt.

    Sejumlah santri membaca Al Quran saat tadarus massal awal Ramadan 1445 H di Pondok Pesantren Modern Daarut Tarqiyah Primago, Depok Jawa Barat, Kamis, 14 Maret 2024. – (B Universe Photo/Joanito de Saojoao)

    Mengapa tadarus Al-Qur’an? Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur dalam bahasa Arab. Al-Qur’an dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah al-Nas.

    Membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang mendatangkan pahala, baik dilakukan saat salat maupun di luar waktu salat. Al-Qur’an juga menjadi petunjuk hidup bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan mereka. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

    شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

    Artinya; “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”. [Al-Baqarah: 185]

    Quraish Shihab dalam karyanya, Tafsir al-Misbah, menjelaskan bahwa selama bulan Ramadan, yang merupakan waktu awal turunnya Al-Qur’an, beberapa ayat diturunkan sebagai petunjuk awal bagi umat manusia. Petunjuk tersebut mencakup tuntutan yang berkaitan dengan akidah dan rincian hukum-hukum syariat. Kegiatan tadarus tidak hanya dilakukan hanya pada satu waktu saja, juga bisa dilaksanakan pada setelah 5 waktu salat fardu. Berbagai macam cara kaum muslim untuk tetap antusias dalam mengikuti kegiatan tadarus yang diadakan di tiap-tiap masjid dan musala.

    Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, kita kini dapat mengakses berbagai hal hanya dengan genggaman tangan. Tentu, dampak dari hal ini bisa bersifat positif maupun negatif, tergantung pada cara kita menggunakannya. Dalam beberapa kesempatan, sebagian umat Muslim, baik yang berada di masjid maupun jamaah tetap, mungkin mengalami kendala untuk hadir dan melaksanakan salat Isya’ serta tarawih berjemaah. 

    Kendala ini bisa berupa halangan tertentu yang membuat mereka tidak dapat hadir di masjid. Namun, berkat adanya kemajuan teknologi, kini ada kemudahan dalam melaksanakan kegiatan tadarus. Dengan adanya fleksibilitas dalam tadarus, jemaah yang berhalangan tetap dapat mengikuti pengajian dan mendapatkan manfaat meski tidak dapat hadir secara langsung.

    Pemanfaatan teknologi untuk kegiatan tadarus sangat berdampak positif, melihat bahwasannya masyarakat saat ini tidak lepas dari gawai nya. Maka dari itu, momen tersebut harus digunakan sebaik-baiknya, terlebih pada saat di bulan Ramadhan. Bagaimana pelaksanaanya? Tidak perlu rumit. 

    Sejumlah santri membaca Al Quran saat tadarus massal awal Ramadan 1445 H di Pondok Pesantren Modern Daarut Tarqiyah Primago, Depok Jawa Barat, Kamis, 14 Maret 2024. – (B Universe Photo/Joanito de Saojoao)

    Hal ini bisa dilakukan melalui aplikasi WhatsApp. Kemudian bisa dibuatkan grup untuk tadarus pada masjid yang ditempatinya. Penentuan bacaan, dan pergantian penyimak bisa dikomunikasikan lewat grup tadarus tersebut. Sehingga memudahkan jamaah untuk tetap selalu bersama dengan para jamaah lain yang sedang bertadarus di masjid. 

    Sebagaimana hadis yang dimuat pada permulaan arbain an-Nawawi, riwayat Imam Bukhari dan Muslim, mengenai hadis niat, 

    Diriwayatkan oleh Umar bin Khatab, Rasulullah bersabda:

    إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

    Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan itu diiringi dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap insan akan memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dibenarkan hijrahnya itu oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya untuk dunia yang hendak diperoleh atau wanita yang hendak dipersunting, maka ia akan mendapatkan apa yang diingini itu saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).

    Maka dari itu, fleksibilitas tadarus ramadhan yang dilakukan dengan mengupayakan perkembangan teknologi, tetap akan bernilai baik dan bermanfaat bagi pelaksananya jika niat para pegiat tadarus mengharapkan ridha dan keberkahan dari apa yang dibaca pada Al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshawaab

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Tadabur Makna Wahyu Pertama dalam Al-Qur’an

    Tadabur Makna Wahyu Pertama dalam Al-Qur’an

    Jakarta, Beritasatu.com – Membaca Al-Qur’an bukan hanya sebuah ibadah, tetapi merupakan sumber pengetahuan bagi setiap muslim. Perintah membaca memiliki akar yang kokoh dalam sejarah perkembangan Islam. Dimulai dengan peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira. Ayat pertama yang diturunkan, Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq (bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan), menjadi fondasi bagi pentingnya membaca dan mencari ilmu dalam Islam. Perintah ini bukan hanya sekedar membaca kata-kata, tetapi mencakup pemahaman mendalam dan pengamalan ajaran yang terkandung didalamnya.

    Perintah membaca Al-Qur’an tidak hanya bertujuan untuk menghafal atau mengucapkan kata-kata-Nya, tetapi untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Tadabur atau mendalami, merupakan proses yang penting dalam membaca Al-Qur’an. Istilah ini berasal dari akar kata yang berarti berfikir tentang akhir atau kesudahan sesuatu, sehingga tadabur mencakup sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an , baik redaksi maupun kandungannya. Dengan melakukan tadabur, kita dapat menarik maksud dan pesan yang lebih dalam dari Al-Qur’an, yang pada gilirannya akan membantu kita dalam menjalani kehidupan yang lebih baik dan sesuai dengan ajaran islam.

    Istilah dalam Membaca Al-Qur’an.

    Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya bahwa al-Qur’an setidaknya menyebutkan tiga istilah yang digunakan dalam menggambarkan aktivitas membaca, yaitu iqra’-qiraah, utlu-tilawah, dan rattil-tartil. Masing-masing kata ini memiliki makna dan penggunaan yang berbeda, meskipun saling terkait. Kata iqra’-qiraah memiliki makna dasar menghimpun, menelaah, dan meneliti. Sementara itu, tilawah yang berasal dari akar kata utlu memiliki makna mengikuti yang merujuk pada penyampaian informasi sesuai urutan kejadian. Dalam konteks ini, tilawah menggambarkan proses membaca yang teratur, seperti yang dijelaskan dalam QS Al-Maidah [5]:27.

    Di sisi lain, istilah tartil yang berasal dari suku kata rattala yang berarti mengatur dengan baik dan indah. Tartil al-Qur’an mengacu pada cara membaca yang indah dan benar dengan kecepatan yang sedang, serta menerapkan kaidah tajwid untuk menampilkan bunyi huruf dengan tepat. Sementara iqra-qiraah dapat digunakan untuk membaca satu huruf atau lebih, tilawah menuntut bacaan yang terdiri dari beberapa huruf dan kata serta diikuti dengan pemahaman makna dan pengamalannya. 

    Dalam QS Ali Imran [3]: 164, Allah Swt menegaskan bahwa Rasul-Nya tidak hanya bertugas membacakan ayat-ayat-Nya, tetapi juga menjelaskan maknanya, sehingga umat dapat memahami dan mengamalkan ajaran-Nya. Hal ini menunjukan bahwa pemahaman dan penerimaan terhadap wahyu adalah syarat penting sebelum datangnya siksa dari Allah, sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Qasash [28]: 59 dan QS al-Isra’ [17]: 15.

    Tujuan dan Niat dalam Membaca al-Qur’an.

    Al-Qur’an menuntut kita untuk membacanya, dan dari perintah ini, kita dapat menarik banyak makna yang mendalam. Menurut Quraish Shihab, Salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, Muammad Quthub (1919-2014M), dalam bukunya yang berjudul Dirasah Qur’aniyah, menekankan bahwa seorang Muslim tidak bisa terpisah dari hubungan dengan Al-Qur’an dan aktivitas membacanya. Membaca Al-Qur’an bukan hanya sekedar kegiatan, tetapi merupakan ibadah yang dihadiahkan oleh Allah dengan pahala bagi setiap huruf yang dibaca.

    Namun, Quthub mengajukan pertanyaan penting: Bagaimana seharusnya kita membaca Al-Qur’an? Apakah kita membaca untuk mengingat kematian, hari kebangkitan, dan pahala yang akan kita terima? Atau mungkin kita membaca Al-Qur’an untuk menikmati keindahan bahasa dan susunan kata-katanya? Ada juga kemungkinan kita membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan berbagai topik dan kajian ilmiah, termasuk teori-teori bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan psikologi. Atau, kita bisa membaca untuk mengambil pesan-pesan moral yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sampaikan kepada orang lain.

    Semua tujuan tersebut sah-sah saja dan tidak dilarang. Allah menjanjikan pahala bagi siapa saja yang membaca Al-Qur’an dengan tulus dan mengharapkan keridaan-Nya. Namun, penting untuk dicatat bahwa pahala yang diterima bisa berbeda-beda tergantung pada niat dan hasil dari bacaan yang dilakukan.

  • Urgensi Hifz Al-Daulah dalam Menjaga Stabilitas Sosial

    Urgensi Hifz Al-Daulah dalam Menjaga Stabilitas Sosial

    Baru-baru ini media diramaikan oleh pemberitaan aksi demo yang dilakukan  oleh sejumlah mahasiswa. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia menggelar aksi demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” di depan Istana Merdeka pada 17 Februari 2025, Jakarta Pusat. Aksi ini merupakan respons terhadap kebijakan  pemerintah yang dianggap merugikan sektor pendidikan dan kesejahteraan  masyarakat. 

    Aksi ini mencerminkan kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, khususnya dalam bidang  pendidikan dan penegakan hukum. Selain itu, demonstrasi ini juga menjadi simbol  perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat dan  lingkungan. Para mahasiswa berharap pemerintah segera menindaklanjuti tuntutan  tersebut demi terciptanya Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. 

    Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menjalankan kehidupannya  secara terisolasi, karena keberadaannya selalu bergantung pada interaksi dengan  individu lain dalam komunitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia  membutuhkan dukungan sosial, baik dalam bentuk hubungan keluarga, pertemanan,  maupun organisasi yang lebih luas seperti masyarakat dan negara. 

    Tanpa keberadaan  komunitas yang stabil dan harmonis, individu akan mengalami kesulitan dalam  memenuhi kebutuhan dasar, baik secara emosional, ekonomi, maupun intelektual.  Oleh karena itu, menjaga stabilitas sosial menjadi suatu keharusan agar  keseimbangan dalam masyarakat tetap terjaga, sehingga setiap individu dapat  berfungsi secara optimal dalam perannya masing-masing. 

    Stabilitas sosial tidak hanya  berdampak pada kehidupan individu, tetapi juga menentukan keberlangsungan  sebuah bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul dari dalam  maupun luar komunitasnya. 

    Untuk memastikan tatanan sosial tetap kuat dan harmonis, berbagai ancaman  yang berpotensi menyebabkan perpecahan harus diantisipasi sejak dini. Konflik  internal dalam masyarakat, seperti kesenjangan sosial, diskriminasi, dan penyebaran  informasi yang menyesatkan, dapat menjadi pemicu disintegrasi yang merusak  persatuan. 

    Begitu pula dengan ancaman eksternal, seperti intervensi asing atau  ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai kebersamaan, yang dapat  menggoyahkan fondasi sosial yang telah dibangun. 

    Oleh karena itu, diperlukan  langkah-langkah strategis yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam  menjaga persatuan dan mencegah potensi konflik. Pendidikan yang menanamkan  nilai toleransi, keadilan sosial, dan solidaritas menjadi salah satu cara efektif dalam 

    membangun ketahanan sosial. Selain itu, peran aktif pemerintah dan lembaga  masyarakat dalam menciptakan kebijakan yang adil serta menegakkan hukum secara  transparan juga menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas sosial. Dengan  demikian, masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera dapat terwujud,  memungkinkan setiap individu untuk berkembang dan berkontribusi secara positif  dalam kehidupan bersama. 

    Dalam Islam, prinsip-prinsip mendasar yang menjadi tujuan utama hukum  syariat, yang dikenal sebagai maqashid al-syari’ah al-dharuriyah. Maqashid al syari’ah merupakan perspektif yang dinamis dan adaptif dalam menghadapi  tantangan zaman. Pemahaman terhadap nalar ushulli yang dikembangkan oleh para ushuliyun dalam menetapkan hierarki nilai hukum menjadi jembatan penting dalam menghasilkan produk hukum yang relevan dengan perubahan sosial. 

    Prinsip ini tidak hanya harus dipahami secara konseptual, tetapi juga harus  diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, upaya dalam mewujudkan maqashid al-syari’ah harus memperhatikan aspek-aspek yang berperan dalam  menjaga keseimbangan sosial dan ketahanan masyarakat, (al-Najar, 2008: 157). 

    Masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari berbagai elemen yang saling  berkaitan. Abdul Majid al-Najar mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah  sistem yang kompleks, di mana kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh  interaksi antara berbagai institusi di dalamnya. 

    Demi memastikan maqashid al syari’ah al-dharuriyah dapat tercapai, terdapat dua hal mendasar yang harus dijaga,  yaitu: (1) mempertahankan eksistensi berbagai institusi sosial, dan, (2) menjamin kesinambungan hubungan yang harmonis di antara institusi-institusi tersebut.  Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan istilah hifzh al-daulah, (al-Najar, 2008:  158). 

    Selain mendukung pembentukan keluarga sebagai unit sosial terkecil, Islam  juga menekankan pentingnya pendirian negara yang berfungsi sebagai wadah dalam menjaga keberlangsungan kehidupan sosial. Dalam Al-Qur’an, ayat yang kerap dijadikan rujukan dalam konteks pemerintahan adalah Q.S. al-Nisa: 59. 

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًاࣖ

    “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri  (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah  (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik  (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”

    Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, kata “uli” adalah  bentuk jamak dari “waliy”, yang bermakna pemimpin, pengelola, atau penguasa.  Sedangkan “al-amr” merujuk pada urusan atau wewenang dalam pemerintahan.  

    Dengan demikian, “uli al-amr” merujuk kepada individu-individu yang memiliki  otoritas dalam mengatur urusan masyarakat, mencakup berbagai elemen yang  memiliki tanggung jawab sosial, baik dalam ranah pemerintahan maupun bidang lain yang berkontribusi terhadap tatanan sosial, seperti aparat keamanan dan kaum cendekiawan, (Shihab, 2000: 460-461). 

    Secara konseptual, definisi negara memiliki berbagai perspektif. Aristoteles  menggambarkan negara sebagai lembaga yang bertujuan untuk mencapai kebaikan  tertinggi bagi umat manusia. Sementara itu, pemikir Islam, al-Mawardi,  mendefinisikan negara sebagai institusi politik yang berperan sebagai penerus fungsi  kenabian dalam mengatur urusan agama dan kehidupan duniawi, (al-Khattani dan  Nurdin, 2000: 15). 

    Jika ditelaah lebih lanjut, pandangan al-Mawardi sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab dalam tafsirnya, yang menegaskan bahwa negara memiliki peran penting dalam mengakomodasi aspek keagamaan dan sosial masyarakat. Namun, bentuk sistem pemerintahan yang diterapkan bersifat fleksibel, selama dapat  menjalankan fungsinya dengan optimal. 

    Sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam memastikan tercapainya maqashid al-syari’ah, negara tidak dapat bergerak sendiri. Diperlukan kolaborasi dan  sinergi antara negara dengan berbagai institusi sosial yang ada. Masyarakat juga  harus memiliki komitmen dalam menaati aturan yang ditetapkan oleh pemerintah  guna menciptakan kehidupan yang aman dan harmonis. Ketaatan terhadap hukum menjadi kunci dalam menjaga ketertiban dan menghindari konflik sosial. 

    Konsep ini selaras dengan pemikiran Socrates dan Plato yang menyatakan bahwa hukum dan negara berfungsi untuk menciptakan keadilan, ketertiban, serta keamanan dalam kehidupan masyarakat, (Schmid, 1965: 9-15). 

    Fenomena maraknya konservatisme agama belakangan ini turut menjadi tantangan dalam menjaga stabilitas politik negara. Gus Dur pernah menyoroti bahwa salah satu agenda kaum konservatif adalah mengupayakan formalisasi Islam dalam  sistem pemerintahan melalui konsep khilafah. Padahal, jika ditinjau lebih dalam, Pancasila sejatinya telah mencerminkan nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan substansial, (Wahid, 2011: xvii). 

    Oleh karena itu, upaya penguatan konsep hifzh al daulah harus terus dioptimalkan. Maqashid al-syari’ah tidak akan terwujud dengan baik jika kondisi negara berada dalam situasi konflik dan ketidakstabilan. 

    *Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Refleksi Kesalehan Sosial di Bulan Ramadan: Manifestasi Spiritual dalam Kehidupan Bermasyarakat

    Refleksi Kesalehan Sosial di Bulan Ramadan: Manifestasi Spiritual dalam Kehidupan Bermasyarakat

    Ramadan merupakan bulan yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Selain sebagai bulan diwajibkannya puasa, Ramadan juga menjadi arena pembentukan karakter sosial umat Islam. Kesalehan yang dibangun selama Ramadan tidak hanya berhenti pada aspek ritual-spiritual, tetapi harus termanifestasi dalam perilaku sosial yang konstruktif.

    Transformasi spiritual yang terjadi selama Ramadan seharusnya memberikan dampak nyata pada perubahan sosial masyarakat. Kesadaran kolektif yang terbangun melalui ibadah puasa dapat menjadi katalis perubahan sosial yang signifikan. Kebersamaan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan, seperti tercermin dalam ibadah salat tarawih berjemaah, menciptakan solidaritas sosial yang kuat.

    Puasa Ramadan pada hakikatnya memiliki dimensi sosial yang kuat. Melalui puasa, seorang Muslim dilatih untuk merasakan penderitaan orang yang kekurangan, sehingga tumbuh rasa empati dan kepedulian sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga merupakan proses pendidikan jiwa untuk lebih peka terhadap penderitaan sesama.

    Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:”Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ath Thobroniy dalam Al Kabir).

    Kesalehan Sosial dalam Tradisi RamadanPenyandang tuna netra di Rehabilitasi Sosial Bina Netra (RSBN) Jalan Beringin, Janti, Kota Malang, Jawa Timur, menghabiskan waktu ramadan dengan membaca Al Qur’an Braille, Sabtu 1 Maret 2025. – (Beritasatu.com/Didik Fibrianto)

    Kesalehan sosial dalam Ramadan termanifestasi dalam berbagai bentuk aktivitas kolektif. Tradisi berbuka puasa bersama (iftar jama’i), misalnya, tidak hanya menjadi momentum berbagi makanan, tetapi juga mempererat ikatan sosial antaranggota masyarakat. Masjid-masjid dan musala menjadi pusat aktivitas sosial yang menghidupkan semangat kebersamaan.

    Momentum spiritual Ramadan dapat dimanfaatkan untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas sosial. Berbagai program sosial yang dilaksanakan selama Ramadan berpotensi menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan. Tradisi-tradisi sosial yang berkembang selama Ramadan dapat menjadi modal sosial yang berharga bagi pembangunan masyarakat yang lebih baik.

    Menjaga Relevansi Nilai Ramadan di Era ModernRibuan warga di Kota Gorontalo menggelar tradisi koko’o atau ketuk sahur untuk membangunkan warga saat Ramadan, Sabtu (1/3/2025) dini hari. – (Beritasatu.com/Melki Gani)

    Inovasi dalam manifestasi kesalihan sosial perlu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan teknologi digital untuk memfasilitasi program-program sosial dapat memperluas jangkauan dan dampak program tersebut. Digitalisasi program sosial melalui media sosial juga memungkinkan partisipasi generasi muda yang lebih besar.

    Meski demikian, upaya penguatan kohesi sosial ini menghadapi berbagai tantangan di era kontemporer. Individualisme dan materialisme yang menjadi ciri masyarakat modern berpotensi mengikis dimensi sosial dari ibadah Ramadan. Dibutuhkan upaya serius untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai sosial Ramadan dalam konteks kekinian.

    Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:”Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR At Tirmidzi).

    Pada akhirnya, Ramadan diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat bagi pembentukan kesalehan sosial dalam masyarakat Islam. Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai sosial ini agar tetap relevan dengan perkembangan zaman, sembari terus berinovasi dalam manifestasi kesalihan sosial yang sesuai dengan konteks kontemporer.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Sahur hingga Ngabuburit dalam Perspektif Islam

    Sahur hingga Ngabuburit dalam Perspektif Islam

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan bagi umat Islam. Pada bulan ini, ibadah  puasa diwajibkan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah Swt serta sarana meningkatkan ketakwaan (QS Al-Baqarah:183). “Wahai orang-orang yang beriman,  diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu  agar kamu bertakwa.” 

    Salah satu aspek penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang memiliki keutamaan khusus, seperti sahur dan  ngabuburit. Kedua waktu ini tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga mengandung  hikmah dan keberkahan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis. 

    Sahur dan ngabuburit tidak hanya memiliki dimensi ibadah dalam Islam, juga telah  berkembang menjadi tradisi budaya populer di berbagai negara muslim, terutama di Indonesia. Sahur yang awalnya merupakan anjuran agama untuk mempersiapkan fisik dan spiritual  sebelum berpuasa, kini menjadi bagian dari kebiasaan sosial yang penuh dengan keberagaman, mulai dari sahur on the road, acara sahur bersama, hingga berbagai program televisi yang  menemani umat muslim menjelang subuh.

    Dalam praktiknya, puasa umat Islam memiliki  karakteristik yang membedakannya dari puasa umat-umat sebelumnya, termasuk ahli kitab  (Yahudi dan Nasrani). Salah satu aspek yang menjadi pembeda adalah anjuran untuk makan  sahur sebelum terbit fajar. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

    عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

    Dari Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Perbedaan  antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR Muslim nomor 1.096) 

    Hadis ini menegaskan bahwa sahur bukan sekadar kebiasaan sebelum berpuasa, tetapi juga  merupakan sunah yang menjadi ciri khas ibadah puasa dalam Islam. Dengan adanya anjuran sahur, umat Islam tidak hanya mengikuti sunah Nabi SAW. juga membedakan diri dalam cara beribadah dibandingkan dengan umat sebelumnya.

    Hal ini menunjukkan Islam adalah  agama yang memiliki aturan dan tata cara ibadah yang khas serta penuh keberkahan bagi  pemeluknya. Sahur tidak hanya memberikan kekuatan fisik untuk menjalani puasa, juga  memiliki keberkahan.

    عن أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً رواه البخاري (1923)، ومسلم (1095)

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah SAW bersabda,”Makan  sahurlah kalian, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” (HR Bukhari nomor 1923 dan  Muslim nomor 1095). Hadis ini merupakan salah satu bentuk anjuran Rasulullah SAW kepada umatnya agar selalu melaksanakan sahur sebelum berpuasa. Rasulullah SAW tidak hanya memberikan perintah  untuk sahur, juga menekankan dalam sahur terdapat keberkahan. 

    Selain itu, waktu sahur termasuk dalam sepertiga malam terakhir yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa  dan memohon ampunan kepada Allah Swt.

    وَبِالۡاَسۡحَارِ هُمۡ يَسۡتَغۡفِرُوۡنَ‏ ١٨

    wa bil-as-ḫâri hum yastaghfirûn

    Artinya: “dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat: 18) 

    Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan sifat orang-orang bertakwa yang senantiasa memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur (sepertiga malam  terakhir sebelum subuh). Orang-orang saleh yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang  menghidupkan malam dengan ibadah, seperti salat tahajud, berzikir, dan membaca Al-Qur’an,  serta pada akhir malam mereka beristigfar (memohon ampunan kepada Allah Swt).

    Ibnu Katsir menafsirkan bahwa istigfar mereka bukan hanya karena dosa-dosa besar, juga sebagai  bentuk ketundukan dan rendah hati kepada Allah. Mereka juga mengakui kelemahan diri, meskipun telah  banyak beribadah. Ibnu Katsir juga menyebutkan istigfar pada waktu sahur adalah kebiasaan para Nabi dan orang-orang saleh terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat lain  dalam Al-Qur’an. 

    Selain itu, Allah menyebutkan istigfar pada waktu sahur sebagai ciri khas  penghuni surga dalam beberapa ayat lain, seperti dalam QS Ali ‘Imran: 17. “Dan orang-orang  yang memohon ampunan di waktu sahur.” 

    Dalam Tafsir al-Misbah (Quraish Shihab) disebutkan ayat ini menekankan bahwa istigfar bukan sekadar ucapan lisan, tetapi merupakan bentuk kesadaran spiritual akan  keterbatasan manusia dan kebutuhan akan rahmat Allah. Waktu ashar (menjelang subuh) disebut secara khusus karena merupakan waktu yang penuh keberkahan. Saat itu suasana  tenang dan mustajab untuk memohon ampunan. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan bahwa orang-orang saleh tidak hanya beribadah pada malam hari, juga menutupnya dengan  istigfar sebagai bentuk ketawadukan dan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. 

    Demikian pula dengan ngabuburit. Meskipun Islam tidak secara khusus menyebut istilah ngabuburit, tetapi prinsip memanfaatkan waktu dengan hal-hal baik telah banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadis. Semula, ngabuburit hanya merujuk pada waktu menunggu berbuka. Kini, ngabuburit telah menjadi fenomena budaya yang diisi dengan berbagai aktivitas, seperti berburu takjil,  berkumpul dengan keluarga dan teman, hingga menghadiri kajian keagamaan. 

    وَٱلْعَصْرِ ١

    wal-‘ashr

    Demi masa.

    إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ لَفِى خُسْرٍ ٢

    innal-insâna lafî khusr

    Sungguh, manusia berada dalam kerugian,

    إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ ٣

    illalladzîna âmanû wa ‘amilush-shâliḫâti wa tawâshau bil-ḫaqqi wa tawâshau bish-shabr

    kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

    Ayat ini menunjukkan bahwa waktu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan dengan hal yang  bermanfaat, seperti kajian keagamaan, berbagi makanan untuk berbuka, atau kegiatan sosial  yang positif selama ngabuburit. Dalam hadis, Rasulullah SAW juga menyebutkan keutamaan  menunggu waktu berbuka dengan ibadah. 

    لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ 

    “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka dan  kebahagiaan saat bertemu dengan Tuhannya.” (HR Bukhari nomor 1904, Muslim nomor 1151) 

    Berburu takjil dan berbagi makanan saat ngabuburit telah menjadi bagian dari budaya Ramadan yang tidak hanya bernilai sosial, juga memiliki makna ibadah dalam Islam. Tradisi ini mencerminkan semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama, terutama  bagi mereka yang membutuhkan. Islam sangat menganjurkan berbagi makanan, sebagaimana firman Allah Swt QS Al-Insan Ayat 8-9:

    وَيُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسۡكِيۡنًا وَّيَتِيۡمًا وَّاَسِيۡرًا‏ ٨

    wa yuth‘imûnath-tha‘âma ‘alâ ḫubbihî miskînaw wa yatîmaw wa asîrâ

    Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.

    اِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِـوَجۡهِ اللّٰهِ لَا نُرِيۡدُ مِنۡكُمۡ جَزَآءً وَّلَا شُكُوۡرًا‏ ٩

    innamâ nuth‘imukum liwaj-hillâhi lâ nurîdu mingkum jazâ’aw wa lâ syukûrâ
    (Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.

    Berbagi takjil sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa siapa yang  memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala  seperti orang yang berpuasa tersebut. 

     مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

    “Barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia  mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang  yang berpuasa sedikit pun.” (HR Tirmidzi nomor 807, Ibnu Majah nomor 1746) 

    Ramadan merupakan bulan penuh keberkahan yang memberikan berbagai peluang bagi umat Islam untuk meningkatkan ketakwaan dan memperbanyak amal ibadah. Dua waktu istimewa dalam bulan ini, yaitu sahur dan ngabuburit, tidak hanya memiliki dimensi ibadah, juga  telah berkembang menjadi bagian dari budaya populer di masyarakat.

    Meskipun telah  bertransformasi menjadi bagian dari budaya populer, sahur dan ngabuburit tetap memiliki  makna spiritual yang dapat dimaksimalkan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara aspek budaya dan nilai-nilai ibadah agar dua waktu istimewa ini tetap  menjadi sarana meningkatkan ketakwaan selama Ramadan.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Membincang Kemuliaan Ibadah Sholat pada peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta

    Membincang Kemuliaan Ibadah Sholat pada peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta

    Senin, 27 Januari 2025 16:41 WIB

    Menteri Agama Nasaruddin Umar (kedua kiri) bersama cendekiawan muslim Quraish Shihab (kedua kanan) dan Husen bin Ja’far Alhadar (kanan) menyampaikan dakwah saat peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (27/1/2025). Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW 1446 H tersebut mengusung tema Membumikan Bahasa Langit: Membincang Kemuliaan Ibadah Sholat. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/YU

    Suasana peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (27/1/2025). Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW 1446 H tersebut mengusung tema Membumikan Bahasa Langit: Membincang Kemuliaan Ibadah Sholat. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/YU

  • Kemenag Terbitkan Edaran Tema Khotbah Inklusi dan Lingkungan

    Kemenag Terbitkan Edaran Tema Khotbah Inklusi dan Lingkungan

    Jakarta, FORTUNE – Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI telah menerbitkan edaran mengenai Tema Khotbah Jumat pada 31 Januari dan 7 Februari 2025. Edaran ini terbit dalam rangka Hari Internasional Persaudaraan Manusia yang diperingati setiap 4 Februari.

    Edaran ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag provinsi/Ketua Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten atau kota/Ketua BKM kabupaten atau kota, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan/Ketua BKM kecamatan, para Ketua BKM kelurahan atau desa, serta Ketua Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) seluruh Indonesia.

    Hari Internasional Persaudaraan Manusia (International Day of Human) ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 4 Februari 2019. Penetapan ini sehubungan ditandatanganinya Piagam Persaudaraan Manusia oleh Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al Tayeb dan Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

    “Sebagai dukungan atas peringatan tersebut, sebagaimana tahun lalu, kami terbitkan edaran yang mengimbau para khatib Jumat untuk menyampaikan pesan-pesan persaudaraan manusia (ukhuwah insaniyah) pada dua pelaksanaan salat Jumat pada 31 Januari 2025 dan 7 Februari 2025,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Islam Kemenag RI Abu Rokhmad dalam keterangannya, dikutip Kamis (30/1).

    Secara khusus, lanjut dia, terdapat dua pesan pokok yang ingin ditonjolkan pada peringatan Hari Internasional Persaudaraan Manusia 2025.

    Pertama, gerak bersama memberdayakan penyandang disabilitas untuk masa depan yang inklusif. Kedua, ujar Abu Rokhmad, merawat lingkungan.

    “Dua pesan utama ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo dan Wapres (Wakil Presiden) Gibran. Tema inklusi dan lingkungan juga sejalan dengan semangat Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani Menag (Menteri Agama) Nasaruddin Umar dan Paus Fransiskus pada September 2024,” jelas dia.

    Sebagai alternatif, Kemenag RI pun menyertakan beberapa naskah khotbah Jumat yang bisa diunduh melalui laman resmi Simbi Kemenag.

    Selain edaran khotbah, Kemenag RI bekerja sama dengan Majelis Hukama Muslimin (MHM) juga menyelenggarakan lomba menulis khotbah Jumat dengan tema yang sama, inklusi dan lingkungan. MHM merupakan lembaga internasional yang didirikan oleh Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb.

    Tokoh Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Menag RI pada 1998 silam, M. Quraish Shihab tercatat sebagai pendiri dan sekaligus anggota. “Ada lebih 30 juta hadiah yang disiapkan untuk lomba menulis naskah khotbah ini,” ujar Abu Rokhmad.

  • 100 Hari Prabowo-Gibran, Alissa Wahid hingga Quraish Shihab Tagih Tingkatkan Kualitas Demokrasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Januari 2025

    100 Hari Prabowo-Gibran, Alissa Wahid hingga Quraish Shihab Tagih Tingkatkan Kualitas Demokrasi Nasional 28 Januari 2025

    100 Hari Prabowo-Gibran, Alissa Wahid hingga Quraish Shihab Tagih Tingkatkan Kualitas Demokrasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sederet tokoh yang tergabung di dalam
    Gerakan Nurani Bangsa
    meminta pemerintah untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
    Permintaan ini disampaikan dalam pesan kebangsaan yang disampaikan merespons
    100 hari pemerintahan
    yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
    Perwakilan gerakan ini, Alissa Wahid mengatakan, demokrasi merupakan manifestasi ‘dari, oleh, dan untuk rakyat’ yang menjadi mendasar dalam menjaga dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk.
    “Demokrasi merupakan wujud kedaulatan rakyat di mana peningkatan kualitas penerapannya menjadi keniscayaan,” kata Alissa membacakan pesan kebangsaan di Aula Griya Gus Dur, Jakarta Selatan, Selasa (28/1/2025).
    Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid mengatakan, Gerakan Hati Nurani meminta Penyelenggara Negara untuk mengawal peningkatan kualitas demokrasi dalam setiap langkahnya.
    Para tokoh bangsa, kata Alissa, mengajak semua elemen baik penyelenggara negara, pemerintah, masyarakat dan pelaku bisnis untuk menjaga dan merawat nilai-nilai kebangsaan.
    Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesejahteraan Keluarga itu bilang, demokrasi penting untuk keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia, sebagaimana amanat konstitusi.
    “Seluruh agenda berbangsa dan bernegara perlu disandarkan pada kemaslahatan rakyat dan masa depan negara bangsa secara berkelanjutan, tidak terjebak pada kepentingan segelintir orang dan kepentingan jangka pendek,” kata Alissa.
    Mereka yang tergabung dalam gerakan ini adalah Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Omi Komariah Nurkholish Madjid, K.H Quraish Shihab, K.H Mustofa Bisri, Mgr Ignatius Kardinal Suharyo.
    Kemudian, Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, Pdt Jacky Manuputty, Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, Slamet Rahardjo, dr Umar Wahid, Erry Riyana Hardjapamekas dan Karlina Rohima Supelli,
    Lalu, Pdt Gomar Gultom, Frans Magniz Suseno SJ, A Setyo Wibowo SJ, Laode Muhammad Syarif, Ery Seda, Lukman Hakim Saifuddin, Alissa Q Wahid.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ribuan Jemaah Banjiri Masjid Istiqlal Peringati Isra Mikraj 2025 Malam Ini

    Ribuan Jemaah Banjiri Masjid Istiqlal Peringati Isra Mikraj 2025 Malam Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Ribuan jemaah membanjiri Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, dalam rangka memperingati Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW 1446 Hijriah, Senin (27/1/2025) malam. Kegiatan ini berlangsung khidmat.

    Pantauan Beritasatu.com, jemaah yang hadir rata-rata mengenakan pakaian serbaputih. Mereka mengisi empat dari lima lantai yang tersedia di Masjid Istiqlal.

    Tablig akbar peringatan Isra Mikraj itu dijadwalkan mulai pukul 19.30 WIB. Para habaib dan ulama ternama Indonesia hadir dalam kegiatan tersebut, termasuk Menteri Agama (Menag), Nasaruddin Umar.

    Salah satu tokoh yang dijadwalkan datang di antaranya ada Kiai Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. Selain itu ada juga dari kalangan habaib seperti di antaranya Habib Nabiel Almusawa, Alhabib Abdullah bin Jafar Assegaf dan lainnya.

    Adapun acara peringatan Isra Mikraj dimulai dengan penampilan hadrah yang dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an sebagai pembuka. Setelah jeda salat Isya, jemaah yang hadir bersama-sama membaca surat Yasin lalu berselawat.

    Sebelumnya, peringatan Isra Mikraj juga sudah digelar siang tadi pukul 13.00 WIB di Masjid Istiqlal. Menag Nasaruddin Umar ikut hadir.

    Tidak hanya itu tokoh-tokoh muslim lainnya juga ikut datang. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Habib Husein bin Ja’far Alhadar serta Quraish Shihab.

    Peringatan Isra Mikraj menjadi momen sakral bagi umat muslim. Sebab, Isra Mikraj merupakan perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam menerima perintah salat lima waktu.

  • Peringati Isra Miraj, Menag-Quraish Shihab Bicara Keberagaman

    Peringati Isra Miraj, Menag-Quraish Shihab Bicara Keberagaman

    Jakarta

    Menteri Agama RI Nasaruddin Umar hingga Quraish Shihab menghadiri peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta, hari ini. Dalam kesempatannya itu, Menteri Agama Nassrudin mengatakan, peristiwa Isra Miraj mengajarkan pentingnya hubungan sosial dan spiritual dalam kehidupan.

    Keberagamaan seseorang tidak hanya diukur melalui ritual ibadah. Tetapi kata Nassrudin, hubungan baik dengan sesama manusia merupakan bagian penting dalam menjalankan nilai-nilai keislaman.

    “Subhanalladhi asra bi’abdihi laylan menggambarkan perjalanan sosial yang menjadi fondasi hubungan antarindividu. Namun, Mikraj ke langit menunjukkan kedekatan spiritual seorang hamba dengan Tuhannya,” kata Nassrudin di Masjid Istiqlal Jakarta, Senin (27/1/2025).

    Menurutnya, Isra mengajarkan umat Islam untuk mempererat hubungan sosial melalui kepedulian dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Sementara, Miraj memberikan makna mendalam tentang pentingnya membangun hubungan spiritual yang penuh keikhlasan kepada Allah.

    “Keberagamaan itu bukan hanya ibadah, melainkan seberapa besar aktualisasi kita dalam masyarakat. Kualitas ibadah seseorang terlihat dari kontribusinya dalam membangun hubungan sosial yang harmonis,” ujarnya.

    Sementara itu, Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa salah satu peristiwa dari peringatan Isra Mi’raj ini adalah bagaimana akrabnya Nabi Muhammad dengan para Nabi-Nabi sebelumnya dan bagaimana akrabnya Nabi Musa dengan Nabi Muhammad.

    (bel/maa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu