Tag: Profesor Dr. Djohermansyah Djohan

  • Capres Harus "Warlok", Calon Kepala Daerah Boleh "Naturalisasi"
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Oktober 2025

    Capres Harus "Warlok", Calon Kepala Daerah Boleh "Naturalisasi" Nasional 9 Oktober 2025

    Capres Harus “Warlok”, Calon Kepala Daerah Boleh “Naturalisasi”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Syarat pencalonan di pemilu, mengatur perbedaan yang jelas antara siapa yang boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon kepala daerah.
    Berdasarkan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satu syarat untuk maju sebagai calon presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atau dalam tanda kutip, harus warga lokal (warlok).
    Sementara itu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa tidak ada kewajiban bagi calon bupati, wali kota, maupun gubernur harus berasal dari daerah yang akan mereka pimpin. Dalam arti, warga dari provinsi A, bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah provinsi B atau dalam istilah populernya “naturalisasi”.
    Fenomena ini pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenangi putaran kedua Pilkada.
    Jokowi ketika itu menjadi satu-satunya calon Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari luar daerah. Presiden Ke-7 RI ini pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo.
    Peristiwa serupa juga terjadi saat Pilkada DKI 2024 di mana Ridwan Kamil yang berasal dari Jawa Barat, maju di Pilkada DKI bersama Suswono.
    Namun, pasangan Ridwan Kamil-Suswono gagal memenangi Pilkada Jakarta melawan Pramono Anung-Rano Karno.
    Berangkat dari fenomena ini,
    Kompas.com
    mewawancarai beberapa pakar seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pakar Otonomi Daerah, dan Perludem untuk mengupas alasan syarat calon presiden harus WNI sejak lahir serta calon kepala daerah yang tak harus berdomisili di daerah yang akan dipimpinnya.
    Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, Pasal 227 huruf a dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa syarat WNI sejak lahir ini harus dibuktikan dengan melampirkan akta kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat mendaftar sebagai calon presiden.
    “Dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada, KPU harus melaksanakan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 juncto Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 dan Pasal 1 ayat (7) UU No. 8 Tahun 2015 juncto Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024 di mana KPU harus melaksanakan UU Pemilu dan Pilkada serta prinsip berkepastian hukum,” kata Idham melalui pesan singkat, pada Senin (6/10/2025).
    Sementara itu, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati berpendapat, syarat calon presiden wajib WNI sejak lahir ini bertujuan untuk memastikan pemahaman dan kesetiaan calon terhadap Indonesia.
    “Terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus WNI sejak lahir itu bertujuan untuk memastikan kesetiaannya terhadap NKRI, terutama juga calon harus paham sejarah, geopolitik, budaya, hukum yang menjadi elemen penting dalam bernegara,” kata Neni saat dihubungi wartawan, Senin.
    Neni mengamini bahwa aturan perundang-undangan mengatur bahwa calon presiden itu harus melampirkan kartu tanda penduduk dan akta kelahiran. Namun, ia menilai aturan tersebut harus diberikan penjelasan apakah cukup dengan memiliki KTP dan akta kelahiran saja.
    “Penjelasan dalam regulasi menjadi sangat penting misal menyangkut pernikahan campuran di mana orangtuanya kewarganegaraan ganda tetapi dia dilahirkan di Indonesia,” ujarnya.
    Secara terpisah, Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, calon presiden memang harus “WNI tulen”.
    Adapun yang dimaksud dengan WNI tulen itu adalah sosok yang lahir di Indonesia sehingga memiliki rasa keterikatan yang sama dengan masyarakat.
    “Sehingga nasionalismenya, kebangsaannya, rasa
    sense of belongingness
    -nya kepada negeri ini kuat,” kata Djohermansyah.
    Ia mengatakan, syarat calon presiden ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Syarat serupa juga dimiliki sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat (AS).
    Djohermansyah mengatakan, Pemilu AS sempat berpolemik karena banyak yang mempertanyakan tempat lahir Barack Obama.
    “Nah itu kemudian dia (Barack Obama) tunjukkan akta kelahirannya, yang bantah. Jadi fenomenanya itu juga bukan uniqueness kita tapi itu juga dianut oleh negara-negara sebagai syarat calon pemimpin pemerintahannya,” ujarnya.
    Djohermansyah mengatakan, idealnya, kepala daerah berdomisili di daerah yang akan ia pimpin. Sebab, calon kepala daerah harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
    “Idealnya, pemimpin pemerintah itu harus berasal dari orang lokal. Local leaders is from the local people. Itulah teori,” kata Djohermansyah.
    Meski demikian, dia mengatakan, regulasi di Indonesia tidak mengunci aturan lokalitas dalam Pilkada di mana calon kepala daerah boleh dari daerah lain.
    Menurut dia, hal ini dilakukan karena ketersediaan sumber daya kepemimpinan di daerah.
    “Kita di daerah-daerah di Indonesia itu, sumber daya pemimpin itu, belum ketersediaannya bisa,” ujarnya.
    Meski demikian, Djohermansyah juga tak menampik bahwa regulasi itu membuat beberapa calon kepala daerah yang bukan dari daerah asalnya bisa diusung karena kekuatan politik nasional.
    Dia mencontohkan Pilkada Jakarta 2024 di mana Ridwan Kamil maju sebagai calon gubernur bersama Suswono.
    “Kayak yang praktik Ridwan Kamil (di Pilkada Jakarta) ini kan, itu kan sebetulnya dia calon
    dropping
    bukan
    genuine
    yang lokal leaders, yang orang merasa dari daerah itu,” tuturnya.
    Sementara itu, Neni Nur Hayati menilai syarat calon kepala daerah yang tidak berdomisili di daerahnya memang menjadi problematika tersendiri.
    Meski demikian, ia mengatakan, beberapa calon kepala daerah tidak berasal dari domisili itu tetapi sangat memahami kondisi daerah tersebut.
    “Kita fokus harus ke kemampuan, visi, misi dan rekam jejak, bukan pada tempat tinggal. Namun, kita juga sering menghadapi di mana tidak ada ikatan antara kandidat dan masyarakat,” kata Neni.
    Lebih lanjut, Neni menyarankan adanya regulasi untuk memperjelas syarat calon kepala daerah tersebut seperti minimal berdomisili satu tahun di daerah tersebut.
    “Saran saya memang perlu ada kejelasan regulasi di mana tidak menjadi kental politik kepentingan dan pragmatisme partai, jadi memang harus ada frasa memiliki wawasan kedaerahan,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK Nasional 2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Suami menjabat kepala daerah, istri duduk di bangku parlemen Senayan.
    Anak menjadi wakil wali kota, ipar memerintah di daerah tetangga.
    Penguasaan politik di daerah oleh satu garis keturunan atau keluarga tertentu semakin lazim ditemukan di khazanah politik Indonesia.
    Mirisnya, pemandangan ini bukan hanya terjadi dalam satu atau dua periode kepemimpinan.
    Namun, sudah muncul ketika rakyat diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya sendiri pasca Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
    Politik dinasti yang begitu kental di beberapa daerah membuat sejumlah pihak cemas dan gerah.
    Indonesia pernah memiliki aturan untuk melarang merebaknya politik dinasti.
    Namun, larangan ini tumbang sebelum bisa memberikan jalan bagi rakyat untuk berpolitik dengan lebih sehat.
    Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode 2010–2014, Djohermansyah Djohan, merupakan salah satu tokoh yang menggagas larangan politik dinasti.
    Prof Djo, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa aturan ini berangkat dari kecemasan akan situasi di Indonesia pada tahun 2011.
    Saat itu, Djo yang masih menjabat sebagai Dirjen Otda Kemendagri mendapatkan paparan data sebaran politik dinasti di Indonesia.
    “Ketika pada tahun 2011, kita ingin menyusun UU Pilkada, maka kita menemukan data lapangan, 61 orang kepala daerah dari 524 kepala daerah atau sama dengan 11 persen itu terindikasi menerapkan politik dinasti yang tidak sehat,” kata Djo, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/9/2025).
    Berdasarkan data yang dimilikinya, Djo menemukan banyak daerah yang pemimpinnya berputar di satu keluarga.
    Misalnya, setelah suami menjabat kepala daerah selama dua periode, istrinya naik untuk mengisi posisi kepala daerah.
    Hal ini menjadi bermasalah ketika kepala daerah yang naik tidak memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan yang cukup.
     
    Dalam contoh yang disebutkan Djo, istri mantan kepala daerah ini hanya lulusan SLTA dan tidak memiliki pengalaman berorganisasi atau berpolitik.
    “Suaminya dua periode, kemudian (digantikan), istrinya itu cuma Ketua Tim Penggerak PKK, pendidikannya juga terbatas, cuma SLTA. Nah, banyak kasus itu banyak Ketua PKK jadi wali kota,” imbuh Djo.
    Jika bukan sang istri, justru anak kepala daerah yang baru lulus kuliah yang diatur untuk maju pilkada dan menggantikan ayahnya.
    Anak-anak ‘
    fresh graduate
    ’ ini kebanyakan tidak memahami birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
    Akhirnya, ayahnya yang sudah menjabat dua periode ikut campur lagi dan menggerakkan roda kemudi di balik nama anaknya.
    Djo mengatakan, politik dinasti ini menjadi ladang subur untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    Sebab, ketika tidak ada pergantian kekuasaan, pihak-pihak penyokong dan yang dekat dengan pemerintah juga tidak berubah.
    “Semua pejabat itu yang diangkat bapaknya tetap bertahan, hubungan kontraktor bapaknya tetap bertahan. Jadi, anaknya itu hanya namanya saja sebagai kepala daerah, tapi yang menjalankan pemerintahan tetap bapaknya,” kata Djo.
    Atas temuan yang ada, Djo dan sejumlah tokoh berusaha untuk menyusun pembatasan politik dinasti saat merancang undang-undang Pilkada.
    RUU Pilkada ini melarang anggota keluarga aktif untuk estafet tongkat kepemimpinan.
    Mereka boleh kembali mencalonkan diri, tetapi perlu ada jeda satu periode setelah kerabatnya aktif di pemerintahan.
    “Larangan bahwa kalau mau maju pilkada, (kandidat) dari kerabat kepala daerah yang sedang menjabat itu harus dijeda dulu satu periode. Jadi, ketika bapaknya tidak lagi menjadi kepala daerah, boleh silakan maju,” kata Djo.
    Ia menegaskan, jika ada kerabat yang maju Pilkada ketika saudaranya masih memerintah, dapat dipastikan akan terjadi keberpihakan.
    “(Kalau) anaknya maju, bapaknya (yang masih menjabat) kan tolongin anaknya. Mana ada bapak yang enggak nolong anak sama istri di dunia, kecuali hari kiamat,” kata Djo.
    Larangan ini sempat masuk dalam tatanan hukum Indonesia lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
    Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
    Aturan yang sudah dirancang sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden, akhirnya diteken oleh Joko Widodo (Jokowi) di periode pertamanya menduduki kursi RI 1, tepatnya tanggal 18 Maret 2015.
     
    Di hari pengesahannya, pasal ini langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Adnan Purictha Ishan, anak kandung dari Ichsan Yasin Limpo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Gowa, Sulawesi Selatan.
    Ketika mengajukan gugatan ke MK, Adnan tengah menjabat sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan.
    Adnan berdalih, Pasal 7 huruf r ini melanggar hak asasi manusia (HAM).
    Pandangan ini pun diperkuat hakim MK yang mengabulkan permohonan Adnan.
    Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    Tak hanya itu, Arief juga menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
    “Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujar dia, dikutip dari laman resmi MK.
    Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar, berpendapat, pembatasan terhadap anggota keluarga untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri merupakan bentuk nyata untuk membatasi kelompok orang tertentu.
    MK menyadari, dengan dilegalkannya calon kepala daerah maju dalam Pilkada tanpa adanya larangan memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, berpotensi melahirkan dinasti politik.
    Namun, hal ini dinilai tidak dapat digunakan sebagai alasan karena UUD mengatur agar tidak terjadi diskriminasi dan menjadi inkonstitusional bila dipaksakan.
    Usai dikabulkannya gugatan Adnan, aturan larangan politik dinasti resmi tidak bisa digunakan.
    Adnan selaku penggugat berhasil memenangkan Pilkada 2016 dan menggantikan ayahnya untuk menjadi Bupati Gowa.
     
    Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, politik dinasti marak terjadi karena lahir dari fenomena yang ada.
    Ia menilai, orang yang mau maju dan eksis di dunia politik di Indonesia perlu dua modal, yaitu modal politik dan modal ekonomi.
    “Kalau kita bicara dinasti, dia itu punya dua modalitas itu, modalitas politik dan juga modalitas ekonomi,” ujar Armand, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Modal politik adalah relasi atau jaringan yang dimiliki seseorang agar bisa mulus masuk ke dunia politik.
    Sementara, modal ekonomi merujuk pada kemampuan untuk membayar biaya politik.
    “Yang maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah kalau dia enggak punya relasi politik, pasti dia juga punya modal ekonomi yang cukup,” kata Armand.
    Masih maraknya politik dinasti, menurut Armand, akan membatasi akses bagi orang di luar dinasti untuk masuk dan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
    Armand mengatakan, politik dinasti itu seperti membangun sebuah tembok dan hanya sebagian kalangan yang bisa masuk ke dalam.
    “Dinasti politik kan sebetulnya itu dia membangun tembok ya. Membangun tembok terhadap partisipasi non-dinasti terhadap proses perencanaan, proses penganggaran, bahkan dalam proses penyusunan kebijakan di daerah gitu,” ujar dia.
    Armand menegaskan, meski secara aturan politik dinasti sudah tidak dilarang, keberadaannya kontraproduktif dengan apa yang hendak dicapai Indonesia.
    Terutama, dalam upaya penguatan demokrasi lokal dan upaya peningkatan efektivitas serta efisiensi pelayanan publik.
    Keberadaan politik dinasti juga dinilai dapat menghilangkan fungsi pengawasan atau
    check and balance
    antar lembaga.
    “(Misalnya), salah satu pasangan di (lembaga) eksekutif, pasangannya yang lainnya di DPRD. Itu akan menghambat
    check and balance
    di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu,” kata dia.
    Armand menilai, akan lebih efektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat demi meminimalkan dampak politik dinasti.
    “Sekarang, dengan diberi peluangnya dinasti itu, sebetulnya yang jadi alat kontrol kita sekarang itu adalah literasi ke publik,” kata Armand.
    Semakin masyarakat lebih mengenal calon pemimpinnya, peluang untuk memperbaiki kualitas politik juga akan meningkat.
    Di sisi lain, Armand mendorong adanya reformasi di internal partai politik, yaitu melalui perbaikan sistem kaderisasi.
    “Bagaimanapun, kalau misalnya sistem kaderisasi atau rekrutmen di politik itu juga berbasis pada kepentingan keluarga tertentu, itu juga kan menyuburkan politik dinasti,” ujar dia.
    Armand menegaskan, jika orientasi partai masih sebatas mendorong sanak keluarga atau kerabatnya untuk terpilih, sebatas untuk melanjutkan kekuasaan, politik dinasti tak ayal akan terus ada.
    Namun, jika yang diprioritaskan adalah kualitas individu, mau berasal dari dinasti atau tidak, semisal ia terpilih, tentu tidak dipersoalkan.
    “Kemudian, yang ketiga (yang perlu diperbaiki) ya terkait dengan pembiayaan politik,” kata Armand.
     
    Ia menilai, salah satu alasan politik dinasti muncul karena mahalnya biaya politik di Indonesia.
    Jika politik dinasti ingin dikurangi, biaya politik ini juga harus turun.
    Mahalanya biaya politik di Indonesia juga menjadi sorotan dari Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
    Neni menilai, tingginya biaya politik membuat aksesibilitas politik menjadi sangat terbatas.
    “Politik mahal hanya dapat diakses oleh mereka yang sedang berkuasa. Ini sangat bertentangan dengan nilai demokrasi yang sejatinya mendorong aspek inklusivitas,” ujar Neni, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Selain memperkuat literasi publik hingga menurunkan biaya politik, Neni berharap aturan untuk membatasi politik dinasti bisa dibahas lagi oleh pemerintah.
    “Sebetulnya, saya punya harapan besar RUU Partai Politik masuk juga di prolegnas 2026 bersama dengan RUU Pemilu dan Pilkada,” kata dia.
    Ia menilai, politik dinasti bisa dikurangi jika ada syarat dan ketentuan pencalonan yang diperketat.
    Misalnya, seseorang baru bisa maju setelah tiga tahun menjalani kaderisasi dalam sebuah partai politik.
    Menurut dia, butuh pembekalan yang cukup agar kepala daerah memiliki kapasitas yang baik agar tidak dipertanyakan di muka publik.
    Lebih lanjut, pembatasan masa jabatan di lembaga legislatif juga perlu diatur.
    Terlebih, karena jabatan di lembaga eksekutif juga telah dibatasi hanya bisa dua periode.
    Pembatasan masa jabatan ini dinilai dapat mendorong regenerasi di tubuh partai.
    Sebab, selama ini, tokoh yang masuk ke DPR atau DPRD bisa menjabat hingga 20-30 tahun.
    “Selama ini, batasan periodisasi itu tidak ada sehingga partai menjadi institusi bisnis yang menumbuhsuburkan lahirnya politisi, tapi defisit negarawan,” tegas Neni.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendagri: Esensi otonomi daerah adalah kemandirian fiskal

    Kemendagri: Esensi otonomi daerah adalah kemandirian fiskal

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo mengatakan bahwa esensi dari otonomi daerah adalah tercapainya kemandirian fiskal secara merata.

    “Esensi dari pemberian otonomi daerah adalah untuk menciptakan kemandirian fiskal. Daerah harus mampu mengoptimalkan potensi lokal agar tidak membebani pemerintah pusat, tetapi justru menjadi motor pertumbuhan nasional,” kata Yusharto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Ia menyampaikan hal itu dalam rapat pembahasan strategi kebijakan bidang otonomi daerah untuk merumuskan langkah konkret mewujudkan otonomi daerah yang berdaya saing, adaptif, dan berorientasi pada kemandirian fiskal.

    Pada forum itu, Kepala BSKDN menyoroti terkait pentingnya kemandirian daerah melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) agar ketergantungan terhadap pemerintah pusat tidak semakin besar.

    Ditekankannya pula, desentralisasi harus dilakukan secara tertata guna mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas layanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik, serta pelestarian adat dan budaya lokal.

    Menurut dia, setidaknya ada tiga kunci utama suksesnya otonomi daerah, yaitu kepemimpinan kepala daerah, wakil kepala daerah, dan DPRD; kapasitas penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk perangkat daerah; serta kontrol dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.

    Namun, dalam konteks era digital, Kepala BSKDN juga menekankan urgensi penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) sebagai instrumen transformasi pelayanan publik yang cepat, responsif, dan efisien.

    “Inovasi daerah menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi di era modern,” tutur Yusharto.

    Sementara itu, Ketua Tim Ahli RUU Komite I DPD RI Djohermansyah Djohan, yang turut hadir dalam forum tersebut, mendorong agar pemahaman terhadap otonomi daerah tetap konsisten pada prinsip dasarnya: kemandirian dan percepatan pembangunan.

    Menurut dia, otonomi daerah merupakan sebuah keniscayaan sehingga hal yang harus dihindari ialah praktik menyimpang dari ruh desentralisasi. Otonomi juga menuntut pemerintah pusat sabar membimbing dan tidak terburu-buru menarik kewenangan otonomi.

    “Yang menghambat jalannya otonomi daerah, yaitu aspek leadership (kepemimpinan). Aktor di pusat tak ikhlas menjalankan desentralisasi, sementara aktor lokal tak amanah pula,” ucap Djohermansyah mengingatkan hal yang perlu dihindari.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kepala Daerah Keluar Negeri Tanpa Izin, Ini Sanksi bagi yang Melanggar

    Kepala Daerah Keluar Negeri Tanpa Izin, Ini Sanksi bagi yang Melanggar

    Jakarta, Beritasatu.com – Perjalanan ke luar negeri kepala daerah tanpa izin resmi merupakan pelanggaran serius terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia.

    Sebagai pejabat publik, kepala daerah memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah masing-masing. Oleh karena itu, mereka harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan, termasuk dalam hal perjalanan dinas maupun perjalanan pribadi ke luar negeri.

    Lantas, bagaimana hukum yang mengatur mengenai aturan perjalanan kepala daerah ke luar negeri ini? Berdasarkan undang-undang, berikut ulasan lengkapnya!

    Dasar Hukum dan Aturan Perjalanan Luar Negeri

    Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 76 ayat (1) huruf i, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari menteri dalam negeri.

    Jika mereka melanggar ketentuan ini, sanksi yang dapat diberikan mencakup peringatan tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (2) dalam undang-undang tersebut.

    Selain itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2019 mengatur tata cara perjalanan ke luar negeri bagi kepala daerah. Dalam aturan ini, disebutkan bahwa kepala daerah dapat melakukan perjalanan ke luar negeri dengan alasan tertentu, seperti:

    Ibadah, misalnya haji atau umrah, dengan batas waktu maksimal 50 hari.Pengobatan, jika memerlukan perawatan khusus di luar negeri, dengan durasi maksimal 30 hari.Kepentingan keluarga, seperti menghadiri pernikahan atau kedukaan keluarga, dengan batas waktu maksimal 5 hari.Perjalanan dinas, harus mendapat izin dari Kementerian Dalam Negeri dan bertujuan untuk kepentingan pemerintahan daerah.Tanpa izin resmi dari pemerintah pusat, perjalanan luar negeri kepala daerah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang berpotensi dikenai sanksi administratif.Kasus Bupati Indramayu

    Salah satu kasus yang baru-baru ini mendapat perhatian publik adalah perjalanan Bupati Indramayu Lucky Hakim, yang dilaporkan pergi ke Jepang tanpa izin resmi dari Menteri Dalam Negeri maupun Gubernur Jawa Barat.

    Lucky Hakim pergi ke Jepang saat masa libur Lebaran, namun tetap menimbulkan perdebatan mengenai kepatuhan kepala daerah terhadap aturan yang berlaku.

    Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyatakan bahwa Kemendagri akan memanggil Lucky Hakim untuk meminta klarifikasi terkait pelanggaran tersebut.

    Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadapnya mencakup teguran tertulis hingga pemberhentian sementara selama tiga bulan, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan.

    Namun, dalam beberapa kasus serupa, Kemendagri biasanya lebih memilih untuk memberikan pembinaan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi berat. Hal ini dilakukan untuk memastikan kepala daerah memahami aturan yang berlaku serta mencegah kesalahan serupa di masa mendatang.

    Sanksi bagi Kepala Daerah yang Melanggar

    Jika seorang kepala daerah terbukti melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin, beberapa sanksi yang dapat dikenakan adalah:

    Peringatan tertulis, yang berfungsi sebagai teguran agar pelanggaran tidak terulang kembali.Pemberhentian sementara selama tiga bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Pemberhentian tetap, jika pelanggaran dianggap fatal atau berulang kali dilakukan tanpa memperhatikan peringatan dari pemerintah pusat.Pemanggilan dan evaluasi kinerja, di mana Kemendagri atau pemerintah provinsi akan melakukan audit terhadap kepala daerah yang melanggar aturan.

    Sanksi ini bertujuan untuk menegakkan disiplin dan memastikan bahwa kepala daerah menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

    Pentingnya Kepatuhan terhadap Aturan

    Kepala daerah adalah figur publik yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Oleh karena itu, mereka harus menunjukkan keteladanan dalam menjalankan tugas dan mematuhi semua regulasi yang berlaku.

    Pelanggaran terhadap aturan perjalanan ke luar negeri tidak hanya berdampak pada status hukum mereka, tetapi juga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

    Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, menekankan bahwa kepala daerah harus memahami dan mematuhi aturan yang berlaku.

    Ia menyarankan agar Kemendagri meningkatkan pembekalan bagi kepala daerah, terutama yang baru menjabat, untuk memastikan mereka mengetahui hak dan kewajiban selama masa tugas.

    Kepatuhan terhadap aturan perjalanan kepala daerah ke luar negeri bukan hanya soal administratif, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral dan etika dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin daerah.

  • Djohermansyah Djohan: Dugaan Pelanggaran Demokrasi dalam Mutasi Jabatan Bisa Berujung Diskualifikasi – Halaman all

    Djohermansyah Djohan: Dugaan Pelanggaran Demokrasi dalam Mutasi Jabatan Bisa Berujung Diskualifikasi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat Pemerintahan, Profesor Djohermansyah Djohan menegaskan, mutasi jabatan yang dilakukan oleh petahana dalam Pilkada 2024 dapat berakibat pada diskualifikasi pencalonannya. 

    Ia menilai mutasi yang dilakukan untuk kepentingan politik petahana merusak asas keadilan dalam demokrasi dan berpotensi merusak integritas Pilkada.

    “Petahana yang melakukan mutasi jabatan menjelang Pilkada harusnya bisa dibatalkan pencalonannya dan dikenakan sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah. Ini adalah pelanggaran yang merusak demokrasi,” ujar Djohermansyah dalam keterangan tertulis, Minggu (2/2/2025).

    Ia menambahkan bahwa mutasi pejabat oleh kepala daerah petahana bisa diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terbukti melanggar hukum. 

    “Jika ada pihak yang merasa bahwa mutasi jabatan itu melanggar undang-undang, mereka bisa membawa kasus tersebut ke PTUN,” kata Djohermansyah.

    Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian saat Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI juga menegaskan bahwa Kemendagri siap menjadi saksi ahli di MK dan mendukung diskualifikasi petahana yang melanggar aturan rolling pejabat. 

    Tito menegaskan bahwa pelanggaran aturan mutasi pejabat harus mendapat sanksi tegas demi terciptanya demokrasi yang sehat.

    “Diskualifikasi itu harus ditempatkan dalam konteks penegakan hukum dan upaya membangun demokrasi yang sehat,” ujar Tito.

    Pelanggaran terkait mutasi jabatan oleh kepala daerah menjadi sorotan dalam sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi.

    MK, melalui beberapa pernyataan hakim dalam sidang yang disiarkan secara langsung, mengingatkan pentingnya menjaga integritas dalam pemilihan umum.

    Salah satu contohnya pelantikan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, pada 22 Maret 2024.

    Pelantikan tersebut dianggap melanggar ketentuan hukum terkait batas waktu penggantian pejabat menjelang Pilkada, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024. 

    Pemohon, melalui kuasa hukumnya Denny Indrayana, menegaskan bahwa tindakan pelantikan tersebut seharusnya berujung pada diskualifikasi pasangan calon yang diuntungkan, yakni Caroll Joram Azarias Senduk sebagai petahana.

    Namun, KPU dan Bawaslu dianggap membiarkan pelanggaran ini tanpa sanksi yang semestinya, sehingga dugaan kecurangan terus berlanjut selama proses Pilkada.

    “Sengketa Pilkada Kota Tomohon hanyalah salah satu dari puluhan kasus serupa yang tengah ditangani MK di berbagai provinsi, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua,” katanya. (Eko Sutriyanto)

  • BSKDN: Pilkada harus mampu lahirkan pemimpin berintegritas

    BSKDN: Pilkada harus mampu lahirkan pemimpin berintegritas

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo mengatakan bahwa pilkada harus mampu melahirkan pemimpin daerah yang kuat, bersih, dan berintegritas.

    Dia mengungkapkan pihaknya telah memetakan isu-isu strategis yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024, salah satunya terkait keberadaan calon tunggal di 37 daerah. Kondisi ini menunjukkan tantangan dalam menciptakan demokrasi yang kompetitif.

    “Terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Terbanyak ada di Provinsi Sumatera Utara dengan 6 daerah dengan calon tunggal,” kata Yusharto, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Selain adanya calon tunggal, isu utama yang dibahas dalam evaluasi adalah masih ditemukannya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama Pilkada 2024.

    Terkait hal itu, dirinya berharap ke depan penguatan pengawasan dan penegakan aturan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa.

    Selain itu, biaya politik tinggi juga menjadi perhatian utama dalam evaluasi tersebut.

    Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti kurangnya transparansi dalam pembiayaan kampanye.

    Politik biaya tinggi sering kali terjadi di ruang yang tak dapat diketahui, tanpa adanya laporan dana kampanye yang jelas. Hal ini menjadi tantangan besar untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan transparan.

    “Tapi problemnya politik biaya tinggi itu di ruang gelap, kalau kita baca ruang-ruang terangnya laporan dana kampanyenya tidak ada itu politik biaya tinggi. Tidak ada instrumen kuantitatif formal resmi yang bisa menunjukkan itu (politik biaya tinggi),” jelas Titi.

    Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menambahkan pilkada yang ideal harus berlandaskan pada filosofi Pancasila dan UUD 1945, menghormati kekhususan daerah, serta menjamin integritas elektoral.

    Menurutnya, pilkada juga harus dilakukan secara kompetitif, aman, dan nyaman. Sebab, pilkada yang efisien dan demokratis adalah kunci untuk melahirkan pemimpin daerah yang kuat dan bersih.

    “Pemilihan pemimpin harus dilakukan secara free dan fair, secara bebas, jujur, adil. Lalu juga harus aman dan nyaman. Tidak boleh kemudian pemilihan itu menimbulkan korban. Itu harus dihindari,” ujar Djohermansyah.

    Di lain pihak, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyoroti fenomena “pokoknya menang” yang menciptakan iklim politik yang tidak sehat.

    Ia juga menyinggung anomali seperti Pilkada melawan “kotak kosong” sebagai salah satu indikasi sistem yang tidak ideal.

    Dia menilai upaya perbaikan harus difokuskan pada memperkuat hukum, menegakkan etika, dan meningkatkan literasi politik masyarakat.

    “Ketika kita memaksakan satu sistem yang tidak aplikatif untuk kondisi kita dan tercerabut dari akar kita, maka dampaknya adalah hilangnya etika, bahkan hukum sering kali dilanggar,” pungkas Siti.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025