Capres Harus “Warlok”, Calon Kepala Daerah Boleh “Naturalisasi”
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Syarat pencalonan di pemilu, mengatur perbedaan yang jelas antara siapa yang boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon kepala daerah.
Berdasarkan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satu syarat untuk maju sebagai calon presiden adalah seorang warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atau dalam tanda kutip, harus warga lokal (warlok).
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa tidak ada kewajiban bagi calon bupati, wali kota, maupun gubernur harus berasal dari daerah yang akan mereka pimpin. Dalam arti, warga dari provinsi A, bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah provinsi B atau dalam istilah populernya “naturalisasi”.
Fenomena ini pernah terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenangi putaran kedua Pilkada.
Jokowi ketika itu menjadi satu-satunya calon Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari luar daerah. Presiden Ke-7 RI ini pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Peristiwa serupa juga terjadi saat Pilkada DKI 2024 di mana Ridwan Kamil yang berasal dari Jawa Barat, maju di Pilkada DKI bersama Suswono.
Namun, pasangan Ridwan Kamil-Suswono gagal memenangi Pilkada Jakarta melawan Pramono Anung-Rano Karno.
Berangkat dari fenomena ini,
Kompas.com
mewawancarai beberapa pakar seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pakar Otonomi Daerah, dan Perludem untuk mengupas alasan syarat calon presiden harus WNI sejak lahir serta calon kepala daerah yang tak harus berdomisili di daerah yang akan dipimpinnya.
Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, Pasal 227 huruf a dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa syarat WNI sejak lahir ini harus dibuktikan dengan melampirkan akta kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saat mendaftar sebagai calon presiden.
“Dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada, KPU harus melaksanakan ketentuan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 juncto Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d UU No. 7 Tahun 2017 dan Pasal 1 ayat (7) UU No. 8 Tahun 2015 juncto Pasal 2 ayat (2) huruf d Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024 di mana KPU harus melaksanakan UU Pemilu dan Pilkada serta prinsip berkepastian hukum,” kata Idham melalui pesan singkat, pada Senin (6/10/2025).
Sementara itu, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati berpendapat, syarat calon presiden wajib WNI sejak lahir ini bertujuan untuk memastikan pemahaman dan kesetiaan calon terhadap Indonesia.
“Terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus WNI sejak lahir itu bertujuan untuk memastikan kesetiaannya terhadap NKRI, terutama juga calon harus paham sejarah, geopolitik, budaya, hukum yang menjadi elemen penting dalam bernegara,” kata Neni saat dihubungi wartawan, Senin.
Neni mengamini bahwa aturan perundang-undangan mengatur bahwa calon presiden itu harus melampirkan kartu tanda penduduk dan akta kelahiran. Namun, ia menilai aturan tersebut harus diberikan penjelasan apakah cukup dengan memiliki KTP dan akta kelahiran saja.
“Penjelasan dalam regulasi menjadi sangat penting misal menyangkut pernikahan campuran di mana orangtuanya kewarganegaraan ganda tetapi dia dilahirkan di Indonesia,” ujarnya.
Secara terpisah, Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mengatakan, calon presiden memang harus “WNI tulen”.
Adapun yang dimaksud dengan WNI tulen itu adalah sosok yang lahir di Indonesia sehingga memiliki rasa keterikatan yang sama dengan masyarakat.
“Sehingga nasionalismenya, kebangsaannya, rasa
sense of belongingness
-nya kepada negeri ini kuat,” kata Djohermansyah.
Ia mengatakan, syarat calon presiden ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Syarat serupa juga dimiliki sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat (AS).
Djohermansyah mengatakan, Pemilu AS sempat berpolemik karena banyak yang mempertanyakan tempat lahir Barack Obama.
“Nah itu kemudian dia (Barack Obama) tunjukkan akta kelahirannya, yang bantah. Jadi fenomenanya itu juga bukan uniqueness kita tapi itu juga dianut oleh negara-negara sebagai syarat calon pemimpin pemerintahannya,” ujarnya.
Djohermansyah mengatakan, idealnya, kepala daerah berdomisili di daerah yang akan ia pimpin. Sebab, calon kepala daerah harus mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
“Idealnya, pemimpin pemerintah itu harus berasal dari orang lokal. Local leaders is from the local people. Itulah teori,” kata Djohermansyah.
Meski demikian, dia mengatakan, regulasi di Indonesia tidak mengunci aturan lokalitas dalam Pilkada di mana calon kepala daerah boleh dari daerah lain.
Menurut dia, hal ini dilakukan karena ketersediaan sumber daya kepemimpinan di daerah.
“Kita di daerah-daerah di Indonesia itu, sumber daya pemimpin itu, belum ketersediaannya bisa,” ujarnya.
Meski demikian, Djohermansyah juga tak menampik bahwa regulasi itu membuat beberapa calon kepala daerah yang bukan dari daerah asalnya bisa diusung karena kekuatan politik nasional.
Dia mencontohkan Pilkada Jakarta 2024 di mana Ridwan Kamil maju sebagai calon gubernur bersama Suswono.
“Kayak yang praktik Ridwan Kamil (di Pilkada Jakarta) ini kan, itu kan sebetulnya dia calon
dropping
bukan
genuine
yang lokal leaders, yang orang merasa dari daerah itu,” tuturnya.
Sementara itu, Neni Nur Hayati menilai syarat calon kepala daerah yang tidak berdomisili di daerahnya memang menjadi problematika tersendiri.
Meski demikian, ia mengatakan, beberapa calon kepala daerah tidak berasal dari domisili itu tetapi sangat memahami kondisi daerah tersebut.
“Kita fokus harus ke kemampuan, visi, misi dan rekam jejak, bukan pada tempat tinggal. Namun, kita juga sering menghadapi di mana tidak ada ikatan antara kandidat dan masyarakat,” kata Neni.
Lebih lanjut, Neni menyarankan adanya regulasi untuk memperjelas syarat calon kepala daerah tersebut seperti minimal berdomisili satu tahun di daerah tersebut.
“Saran saya memang perlu ada kejelasan regulasi di mana tidak menjadi kental politik kepentingan dan pragmatisme partai, jadi memang harus ada frasa memiliki wawasan kedaerahan,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Profesor Dr. Djohermansyah Djohan
-

Kemendagri: Esensi otonomi daerah adalah kemandirian fiskal
Jakarta (ANTARA) – Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo mengatakan bahwa esensi dari otonomi daerah adalah tercapainya kemandirian fiskal secara merata.
“Esensi dari pemberian otonomi daerah adalah untuk menciptakan kemandirian fiskal. Daerah harus mampu mengoptimalkan potensi lokal agar tidak membebani pemerintah pusat, tetapi justru menjadi motor pertumbuhan nasional,” kata Yusharto dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Ia menyampaikan hal itu dalam rapat pembahasan strategi kebijakan bidang otonomi daerah untuk merumuskan langkah konkret mewujudkan otonomi daerah yang berdaya saing, adaptif, dan berorientasi pada kemandirian fiskal.
Pada forum itu, Kepala BSKDN menyoroti terkait pentingnya kemandirian daerah melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) agar ketergantungan terhadap pemerintah pusat tidak semakin besar.
Ditekankannya pula, desentralisasi harus dilakukan secara tertata guna mencapai efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas layanan publik, tata kelola pemerintahan yang baik, serta pelestarian adat dan budaya lokal.
Menurut dia, setidaknya ada tiga kunci utama suksesnya otonomi daerah, yaitu kepemimpinan kepala daerah, wakil kepala daerah, dan DPRD; kapasitas penyelenggara pemerintahan daerah, termasuk perangkat daerah; serta kontrol dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.
Namun, dalam konteks era digital, Kepala BSKDN juga menekankan urgensi penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) sebagai instrumen transformasi pelayanan publik yang cepat, responsif, dan efisien.
“Inovasi daerah menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi di era modern,” tutur Yusharto.
Sementara itu, Ketua Tim Ahli RUU Komite I DPD RI Djohermansyah Djohan, yang turut hadir dalam forum tersebut, mendorong agar pemahaman terhadap otonomi daerah tetap konsisten pada prinsip dasarnya: kemandirian dan percepatan pembangunan.
Menurut dia, otonomi daerah merupakan sebuah keniscayaan sehingga hal yang harus dihindari ialah praktik menyimpang dari ruh desentralisasi. Otonomi juga menuntut pemerintah pusat sabar membimbing dan tidak terburu-buru menarik kewenangan otonomi.
“Yang menghambat jalannya otonomi daerah, yaitu aspek leadership (kepemimpinan). Aktor di pusat tak ikhlas menjalankan desentralisasi, sementara aktor lokal tak amanah pula,” ucap Djohermansyah mengingatkan hal yang perlu dihindari.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Djohermansyah Djohan: Dugaan Pelanggaran Demokrasi dalam Mutasi Jabatan Bisa Berujung Diskualifikasi – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat Pemerintahan, Profesor Djohermansyah Djohan menegaskan, mutasi jabatan yang dilakukan oleh petahana dalam Pilkada 2024 dapat berakibat pada diskualifikasi pencalonannya.
Ia menilai mutasi yang dilakukan untuk kepentingan politik petahana merusak asas keadilan dalam demokrasi dan berpotensi merusak integritas Pilkada.
“Petahana yang melakukan mutasi jabatan menjelang Pilkada harusnya bisa dibatalkan pencalonannya dan dikenakan sanksi pemberhentian sebagai kepala daerah. Ini adalah pelanggaran yang merusak demokrasi,” ujar Djohermansyah dalam keterangan tertulis, Minggu (2/2/2025).
Ia menambahkan bahwa mutasi pejabat oleh kepala daerah petahana bisa diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terbukti melanggar hukum.
“Jika ada pihak yang merasa bahwa mutasi jabatan itu melanggar undang-undang, mereka bisa membawa kasus tersebut ke PTUN,” kata Djohermansyah.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian saat Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI juga menegaskan bahwa Kemendagri siap menjadi saksi ahli di MK dan mendukung diskualifikasi petahana yang melanggar aturan rolling pejabat.
Tito menegaskan bahwa pelanggaran aturan mutasi pejabat harus mendapat sanksi tegas demi terciptanya demokrasi yang sehat.
“Diskualifikasi itu harus ditempatkan dalam konteks penegakan hukum dan upaya membangun demokrasi yang sehat,” ujar Tito.
Pelanggaran terkait mutasi jabatan oleh kepala daerah menjadi sorotan dalam sidang sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
MK, melalui beberapa pernyataan hakim dalam sidang yang disiarkan secara langsung, mengingatkan pentingnya menjaga integritas dalam pemilihan umum.
Salah satu contohnya pelantikan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, pada 22 Maret 2024.
Pelantikan tersebut dianggap melanggar ketentuan hukum terkait batas waktu penggantian pejabat menjelang Pilkada, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024.
Pemohon, melalui kuasa hukumnya Denny Indrayana, menegaskan bahwa tindakan pelantikan tersebut seharusnya berujung pada diskualifikasi pasangan calon yang diuntungkan, yakni Caroll Joram Azarias Senduk sebagai petahana.
Namun, KPU dan Bawaslu dianggap membiarkan pelanggaran ini tanpa sanksi yang semestinya, sehingga dugaan kecurangan terus berlanjut selama proses Pilkada.
“Sengketa Pilkada Kota Tomohon hanyalah salah satu dari puluhan kasus serupa yang tengah ditangani MK di berbagai provinsi, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua,” katanya. (Eko Sutriyanto)
-

BSKDN: Pilkada harus mampu lahirkan pemimpin berintegritas
Jakarta (ANTARA) – Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo mengatakan bahwa pilkada harus mampu melahirkan pemimpin daerah yang kuat, bersih, dan berintegritas.
Dia mengungkapkan pihaknya telah memetakan isu-isu strategis yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2024, salah satunya terkait keberadaan calon tunggal di 37 daerah. Kondisi ini menunjukkan tantangan dalam menciptakan demokrasi yang kompetitif.
“Terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Terbanyak ada di Provinsi Sumatera Utara dengan 6 daerah dengan calon tunggal,” kata Yusharto, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Selain adanya calon tunggal, isu utama yang dibahas dalam evaluasi adalah masih ditemukannya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama Pilkada 2024.
Terkait hal itu, dirinya berharap ke depan penguatan pengawasan dan penegakan aturan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa.
Selain itu, biaya politik tinggi juga menjadi perhatian utama dalam evaluasi tersebut.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti kurangnya transparansi dalam pembiayaan kampanye.
Politik biaya tinggi sering kali terjadi di ruang yang tak dapat diketahui, tanpa adanya laporan dana kampanye yang jelas. Hal ini menjadi tantangan besar untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan transparan.
“Tapi problemnya politik biaya tinggi itu di ruang gelap, kalau kita baca ruang-ruang terangnya laporan dana kampanyenya tidak ada itu politik biaya tinggi. Tidak ada instrumen kuantitatif formal resmi yang bisa menunjukkan itu (politik biaya tinggi),” jelas Titi.
Sementara itu, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menambahkan pilkada yang ideal harus berlandaskan pada filosofi Pancasila dan UUD 1945, menghormati kekhususan daerah, serta menjamin integritas elektoral.
Menurutnya, pilkada juga harus dilakukan secara kompetitif, aman, dan nyaman. Sebab, pilkada yang efisien dan demokratis adalah kunci untuk melahirkan pemimpin daerah yang kuat dan bersih.
“Pemilihan pemimpin harus dilakukan secara free dan fair, secara bebas, jujur, adil. Lalu juga harus aman dan nyaman. Tidak boleh kemudian pemilihan itu menimbulkan korban. Itu harus dihindari,” ujar Djohermansyah.
Di lain pihak, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyoroti fenomena “pokoknya menang” yang menciptakan iklim politik yang tidak sehat.
Ia juga menyinggung anomali seperti Pilkada melawan “kotak kosong” sebagai salah satu indikasi sistem yang tidak ideal.
Dia menilai upaya perbaikan harus difokuskan pada memperkuat hukum, menegakkan etika, dan meningkatkan literasi politik masyarakat.
“Ketika kita memaksakan satu sistem yang tidak aplikatif untuk kondisi kita dan tercerabut dari akar kita, maka dampaknya adalah hilangnya etika, bahkan hukum sering kali dilanggar,” pungkas Siti.
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
/data/photo/2024/01/10/659e82d05a7d3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2023/09/25/6511215cc8dd7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
