Tag: Prof Tjandra Yoga Aditama

  • Ahli Kesehatan: Indonesia Perlu Belajar soal Harga Obat Murah dan Pengendalian TBC dari India – Halaman all

    Ahli Kesehatan: Indonesia Perlu Belajar soal Harga Obat Murah dan Pengendalian TBC dari India – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar kesehatan sekaligus ahli paru Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, hubungan persahabatan antara India dan Indonesia haruslah terus dibina.

    Ada banyak hal yang bisa dipelajari aspek kesehatan oleh Indonesia.

    Misalnya saja soal harga obat yang murah, pengendalian TBC yang amat masif, jaminan kesehatan untuk lebih dari 1 milyar penduduk India, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan India, serta pakar kesehatan dan kedokteran India yang sudah mendunia pula.

    “Kemampuan India memproduksi berbagai jenis obat, alat diagnosis dan vaksin yang diekspor ke berbagai negara dan merupakan salah satu sumber utama obat dan vaksin dunia.  Semoga ke lima hal ini dapat ditindak lanjuti dari kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo kali ini,” ujar Prof Tjandra di Jakarta, Senin (27/1/2025).

    Ia membeberkan, ketika bertugas menjadi Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara selama lima tahun, harga obat di India jauh lebih murah dari negara Indonesia.

    Misalnya saja harga 1 tablet  Atorvastatin 20 mg di apotik di Jakarta adalah Rp 6.160 dan harga di India hanya 4,9 Indian rupees, atau Rp 1.000.

    Lalu, 1 tablet Clopidogrel 75 mg di Jakarta adalah  Rp 7.835 dan di India hanya 7,7 Indian rupees, atau Rp 1.540.

    Obat Telmisartan 40 mg di Jakarta adalah Rp. 5.198, dan harga di India hanya 7,4  Indian rupees, atau Rp 1500.

    Kemudian obat Concord 2.5 mg harga di Jakarta adalah Rp 10.711 sementara harga di India hanya 7,8 Indian rupees, atau Rp 1.560.

    “Di semua kemasan obat di India selalu tercantum harganya. Jadi mau beli di kota mana pun di India maka harganya sama persis, dan tentu jadi dikontrol ketat oleh pemerintahnya. Ini suatu contoh yang baik kalau bisa diterapkan juga di negara Indonesia, dengan dua keuntungan. Keuntungan ke satu, masyarakat jadi tahu persis harganya karena tercetak di kemasan obat, dan keuntungan kedua harga akan sama di seluruh negara, di apotek manapun saat membelinya,” jelas Prof Tjandra.

    Juga, soal pengendalian Tuberkulosis atau TBC di India.

    India pada April 2024 lalu melaporkan, kasus TBC di negaranya menjadi kedua terbanyak di dunia.

    India berhasil menurunkan angka kematian akibat Tuberkulosis (TB) cukup tajam, dimana dari 28 / 100.000 penduduk di tahun 2015 menjadi 23 / 100.000 penduduk di tahun 2022.

    Data lain juga menunjukkan bahwa kematian akibat TB India turun dari 494.000 di tahun 2021 menjadi 331.000 di tahun 2022.

    Kini India telah berhasil mencapai target 2023 dimana mereka memulai pengobatan pada 95 persen pasien mereka, angka ini sangat tinggi.  

    Program penurunan kasus TB di India, sebagian besar ditangani oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Namun peran swasta juga ditingkatkan yakni 33 persen kasus ditangani klinik swasta di tahun 2023.

    Pemerintah India ujar Prof Tjandra, memiliki lima tantangan yang hampir mirip dengan pengendalian di Indonesia yaitu kurang gizi, HIV, Diabetes, alkohol dan kebiasaan merokok.

    “Akan baik kalau pengalaman dari India juga dipakai sebagai salah satu pertimbangan dan kajian dalam pemerintah mengambil kebijakan TB di negara kita, tentu sepanjang memungkinkan dijadikan benchmark pula,” harap direktur pascasarjana RS Yarsi ini.

     

  • Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM,JENEWA — Keputusan mengejutkan diungkapkan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS), Senin (20/1/2025). Ia memerintahkan negara yang sekarang dipimpinnya keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    WHO pun buka suara terkait pernyataan yang diungkapkan Trump usai resmi dilantik sebagai Presiden AS.

    Melalui keterangan tertulis, WHO merespon pernyataan Trump. 

    WHO menyesalkan pengumuman penarikan diri Amerika Serikat dari organisasi tersebut. Lembaga ini bahkan ungkap ‘kenangan manis’ bersama negara besar ini dalam upaya pemeberantasan penyakit dan membangun sistem kesehatan global.

    Berikut ulasan Tribunnews.com.

    Amerika dan Perannya Pada Sejarah Berdirinya WHO

    Masih dikutip dari keterangan tertulisnya, WHO mengenang sejarah berdirinya lembaga ini dan peran Amerika Serikat.

    Amerika termasuk jajaran negara anggota WHO yang berperan dalam terbentuknya organisasi ini pada tahun 1948.

    Terhitung sejak tahun itu, Amerika Serikat dan telah berpartisipasi dalam membentuk dan mengatur kerja WHO.

    Amerika bersama dengan 193 Negara Anggota lainnya memiliki peran penting. 

    Termasuk melalui partisipasi aktifnya dalam Majelis Kesehatan Dunia dan Dewan Eksekutif.

    Kenangan Manis WHO dan Amerika Serikat

    WHOt. (CBS News)

    WHO menjelaskan bagaimana kolaborasi Amerika di Lembaga ini begitu banyak meninggalkan ‘kenangan manis’.

    WHO bersama negara-negara anggota termasuk Amerika memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat dunia.

    Perlindungan ini juga dirasakan manfaatnya untuk warga Amerika.

    WHO menandai kolaborasi ini salah satunya ialah upaya merespons keadaan darurat kesehatan seperti wabah penyakit.

    Selama lebih dari tujuh dekade, WHO dan Amerika Serikat telah menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi warga Amerika dan semua orang dari ancaman kesehatan.

    Diantara kenangan manis iyu adalah pemberantasan wabah cacar dan polio.

    Monkeypox atau cacar monyet (freepik)

    “Bersama-sama, WHO dan AS mengakhiri penyakit cacar, dan bersama-sama kita membawa polio ke ambang pemberantasan. Institusi-institusi Amerika telah berkontribusi dan memperoleh manfaat dari keanggotaan WHO,” tulis WHO dilaman resminya, Selasa (22/1/2025).

    Data berbagai sumber, pada 2022 lalu, Amerika tercatat sebagai satu dari kawasan yang paling terdampak wabah cacar monyet.

    Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus kepada wartawan di Jenewa pada Rabu (27/7/2022) menyatakan hal ini.

    Pada tahun sama, di bulan Agustus mengutip Our World in Data, kasus positif cacar monyet di skala global Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus terkonfirmasi tertinggi dalam skala global.

    Dengan partisipasi Amerika Serikat dan Negara Anggota lainnya, WHO selama 7 tahun terakhir telah menerapkan rangkaian reformasi terbesar dalam sejarahnya, untuk mengubah akuntabilitas, efektivitas biaya, dan dampaknya di berbagai negara.

    Oleh sebab itu, WHO berharap Amerika Serikat tetap ada di organisasi ini. 

    “Kami berharap Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali dan kami berharap dapat terlibat dalam dialog konstruktif untuk mempertahankan kemitraan antara Amerika Serikat dan WHO, demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan jutaan orang di seluruh dunia,” lanjut keterangan tersebut.

    AS Keluar dari Keanggotaan WHO Adakah Dampaknya untuk Indonesia?

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin saat wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin(18/11/2024). (Tribunnews/Jeprima)

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penarikan diri Amerika Serikat dari keanggotaan WHO tidak memiliki dampak langsung terhadap Indonesia.

    Sekalipun soal pendanaan, Budi menyebut hal ini tidak signifikan berdampak kepada Indonesia.

    Indonesia hanya mendapat porsi sedikit pembiayaan tersebut.

    Diketahui, Amerika Serikat banyak menyumbang WHO untuk melakukan pencegahan penyakit menular dinegara-negara berkembang di Asia Tenggara .

    “Itu berdampak pada pendanaan WHO. Di RI nggak terlalu banyak dapat dari WHO,” kata dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (22/1/2025).

    Trump Kritik WHO, Merasa Ditipu Soal Covid-19 dan Memilih Keluar 

    Ramai sebelumnya, pernyataan mengejutkan dari Donald Trump. Ia Trump mengumumkan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Pernyataan resmi ini dilontarkan dari Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. 

    Mengutip dari BCC, kebijakan itu diumumkan pada Senin (20/1/2025) melalui penandatangan perintah eksekutif.

    Apa dampaknya pada kelangsungan sistem kesehatan dunia? Berikut ulasannya

    Banyak yang menduga jika efek pertama keluarnya Amerika Serikat (AS) sebagai anggota WHO ialah pada pendanaan dan anggaran WHO.

    Induk kesehatan dunia milik PBB itu berulang kali dikritik Trump atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.

    Beberapa jam setelah pelantikan, Trump berujar bahwa AS membayar jauh lebih banyak ke WHO daripada China.

    “(Badan) Kesehatan Dunia menipu kita,” lanjutnya, dikutip Kompas.com.

    Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    Trump beralasan jika AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Jadi Penyandang Dana Terbesar, Trump Pernah Berupaya Bawa AS Keluar dari WHO

    Tindakan ini merupakan kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Awalnya, ia berupaya membawa AS keluar dari WHO saat masa jabatan pertamanya.

    Trump sebagai presiden ke-45 AS menuduh WHO dipengaruhi China selama awal pandemi.

    Sehari setelah dilantik, Presiden AS Donald Trump mempertimbangkan rencana untuk memberlakukan tarif sebesar 10 persen pada impor barang-barang buatan Tiongkok, berlaku  mulai 1 Februari 2025. (CNBC International)

    Namun, upaya Trump dibatalkan oleh Joe Biden setelah politisi Demokrat itu menang pemilihan presiden atau pilpres AS 2020.

    AS Jadi Donatur Terbesar, Trump Perintahkan Stop Transfer Dana ke WHO

    Pada keputusannya kali ini, Trump meneken perintah eksekutif yang memerintahkan badan-badan terkait menghentikan sementara transfer dana, dukungan, atau sumber daya Pemerintah AS ke WHO.

    Amerika Serikat adalah donatur terbesar bagi organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tersebut. 

    Dukungan finansial AS sangat penting bagi operasional WHO.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. 

    Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

    Efek untuk Amerika Jika Keluar dari WHO

    Pakar kesehatan masyarakat mengkritik keputusan Trump untuk keluar dari WHO, dan memperingatkan bahwa mungkin ada konsekuensi bagi kesehatan masyarakat Amerika.

    Beberapa orang berpendapat bahwa langkah ini memutus kemajuan AS dalam memerangi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan Hiv & Aids.

    “Ini adalah keputusan presiden yang sangat dahsyat. Penarikan diri dari program ini merupakan luka yang sangat menyedihkan bagi kesehatan dunia, namun luka yang lebih dalam bagi Amerika Serikat,” kata pakar kesehatan masyarakat global dan profesor di Universitas Georgetown, Lawrence Gostin.

    Jika Amerika keluar dari WHO, akan memicu restrukturisasi besar-besaran lembaga itu dan dapat mengganggu rencana-rencana kesehatan global.

    Pengamat kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama. (istimewa)

    Kabinet Trump juga mengumumkan rencana meninjau dan membatalkan Strategi Keamanan Kesehatan Global AS 2024, yang dirancang Biden untuk mencegah, mendeteksi, serta menanggapi ancaman penyakit menular.

    AS keluar dari WHO saat kekhawatiran dunia meningkat mengenai pandemi flu burung (H5N1). Puluhan orang terinfeksi dan satu pasien meninggal di Amerika Serikat.

    Negara-negara anggota WHO sejak akhir 2021 merundingkan perjanjian pertama di dunia tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggapan pandemi.

    Dengan keluarnya AS, negosiasi akan dilanjutkan tanpa partisipasi Washington.

    Amerika Keluar dari WHO Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia?

    Keputusan Presiden Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat dari keanggotaaan WHO menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

     

    (Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Rina Ayu/Rizki Sandi Saputra/BBC/Kompas.com)

  • Donald Trump Ingin AS Keluar dari Keanggotaan, WHO Ingatkan ‘Kenangan Manis’ saat Atasi Cacar – Halaman all

    Amerika Serikat Keluar dari WHO, Donald Trump Hentikan Transfer Dana, Apa Efek pada Kesehatan Dunia? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JENEWA – Pernyataan mengejutkan keluar dari Donald Trump usai resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Senin (20/1/2025).

    Donald Trump mengumumkan AS keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

    Pernyataan resmi ini dilontarkan dari Gedung Putih pada Senin (20/1/2025) waktu setempat. 

    Mengutip dari BCC, kebijakan itu diumumkan pada Senin (20/1/2025) melalui penandatangan perintah eksekutif.

    Apa dampaknya pada kelangsungan sistem kesehatan dunia? Berikut ulasannya

    Banyak yang menduga jika efek pertama keluarnya Amerika Serikat (AS) sebagai anggota WHO ialah pada pendanaan dan anggaran WHO.

    Kritik Trump Pada WHO, Merasa Ditipu Soal Covid-19 dan Memilih Keluar 

    Induk kesehatan dunia milik PBB itu berulang kali dikritik Trump atas penanganannya terhadap pandemi Covid-19.

    Beberapa jam setelah pelantikan, Trump berujar bahwa AS membayar jauh lebih banyak ke WHO daripada China.

    Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan untuk menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari WHO. (Tangkap layar ABC News)

    “(Badan) Kesehatan Dunia menipu kita,” lanjutnya, dikutip Kompas.com.

    Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    Trump beralasan jika AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Bukan Kali Pertama, Trump Pernah Berupaya Bawa AS Keluar dari WHO

    Kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Tindakan ini merupakan kali kedua Trump memerintahkan AS keluar dari WHO.

    Awalnya, ia berupaya membawa AS keluar dari WHO saat masa jabatan pertamanya.

    Trump sebagai presiden ke-45 AS menuduh WHO dipengaruhi China selama awal pandemi.

    Namun, upaya Trump dibatalkan oleh Joe Biden setelah politisi Demokrat itu menang pemilihan presiden atau pilpres AS 2020.

    AS Jadi Donatur Terbesar, Trump Perintahkan Stop Transfer Dana ke WHO

    Kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, Swiss. WHO menyerukan tindakan segera dan terpadu untuk menindaklanjuti temuan kasus kematian anak-anak di sejumlah negara usai mengonsumsi obat batuk sirup. (Global Times/VCG)

    Pada keputusannya kali ini, Trump meneken perintah eksekutif yang memerintahkan badan-badan terkait menghentikan sementara transfer dana, dukungan, atau sumber daya Pemerintah AS ke WHO.

    Amerika Serikat adalah donatur terbesar bagi organisasi yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, tersebut. 

    Dukungan finansial AS sangat penting bagi operasional WHO.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. 

    Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

    Efek untuk Amerika Jika Keluar dari WHO

    Pakar kesehatan masyarakat mengkritik keputusan Trump untuk keluar dari WHO, dan memperingatkan bahwa mungkin ada konsekuensi bagi kesehatan masyarakat Amerika.

    Beberapa orang berpendapat bahwa langkah ini memutus kemajuan AS dalam memerangi penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan Hiv & Aids.

    “Ini adalah keputusan presiden yang sangat dahsyat. Penarikan diri dari program ini merupakan luka yang sangat menyedihkan bagi kesehatan dunia, namun luka yang lebih dalam bagi Amerika Serikat,” kata pakar kesehatan masyarakat global dan profesor di Universitas Georgetown, Lawrence Gostin.

    Jika Amerika keluar dari WHO, akan memicu restrukturisasi besar-besaran lembaga itu dan dapat mengganggu rencana-rencana kesehatan global.

    Kabinet Trump juga mengumumkan rencana meninjau dan membatalkan Strategi Keamanan Kesehatan Global AS 2024, yang dirancang Biden untuk mencegah, mendeteksi, serta menanggapi ancaman penyakit menular.

    AS keluar dari WHO saat kekhawatiran dunia meningkat mengenai pandemi flu burung (H5N1). Puluhan orang terinfeksi dan satu pasien meninggal di Amerika Serikat.

    Negara-negara anggota WHO sejak akhir 2021 merundingkan perjanjian pertama di dunia tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggapan pandemi.

    Dengan keluarnya AS, negosiasi akan dilanjutkan tanpa partisipasi Washington.

    Situasi Kesehatan Dunia Jika AS Keluar dari WHO

    Keputusan Presiden Trump yang mengeluarkan Amerika Serikat dari keanggotaaan WHO menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

    Respon WHO, Masih Berharap AS  Tak Keluar dari Keanggotaan

     (Times of Israel)

    Organisasi kesehatan dunia atau WHO buka suara terkait keluarnya Amerika Serikat dari keanggotaan WHO.

    Melalui keterangan tertulis, WHO menyesalkan pengumuman penarikan diri Amerika Serikat dari organisasi tersebut.

    WHO memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan dan keamanan masyarakat dunia, termasuk warga Amerika dalam merespons keadaan darurat kesehatan seperti wabah penyakit.

    Amerika Serikat merupakan anggota pendiri WHO pada tahun 1948 dan telah berpartisipasi dalam membentuk dan mengatur kerja WHO sejak saat itu, bersama dengan 193 Negara Anggota lainnya, termasuk melalui partisipasi aktifnya dalam Majelis Kesehatan Dunia dan Dewan Eksekutif. 

    Selama lebih dari tujuh dekade, WHO dan Amerika Serikat telah menyelamatkan banyak nyawa dan melindungi warga Amerika dan semua orang dari ancaman kesehatan. 

    “Bersama-sama, WHO dan AS mengakhiri penyakit cacar, dan bersama-sama kita membawa polio ke ambang pemberantasan. Institusi-institusi Amerika telah berkontribusi dan memperoleh manfaat dari keanggotaan WHO,” tulis WHO dilaman resminya, Selasa (22/1/2025).

    Dengan partisipasi Amerika Serikat dan Negara Anggota lainnya, WHO selama 7 tahun terakhir telah menerapkan rangkaian reformasi terbesar dalam sejarahnya, untuk mengubah akuntabilitas, efektivitas biaya, dan dampaknya di berbagai negara. 

    “Kami berharap Amerika Serikat akan mempertimbangkan kembali dan kami berharap dapat terlibat dalam dialog konstruktif untuk mempertahankan kemitraan antara Amerika Serikat dan WHO, demi kepentingan kesehatan dan kesejahteraan jutaan orang di seluruh dunia,” lanjut keterangan tersebut.

    Pengamat: Potensi Amerika Serikat jadi ‘Preman Dunia’ di Bawah Kendali Donald Trump 2.0

    Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri membeberkan soal kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dunia global usai Donald Trump kembali memimpin Amerika Serikat.

    Menurut Yose, pemerintahan administrasi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump jilid dua dimungkinkan akan lebih kontroversial dibandingkan periode pertama Trump memimpin.

    “Dan kemarin-kemarin juga dengan statement-statement yang diberikan itu kelihatan sekali bahwa presiden Trump dan administrasi nya itu akan menjadi kontroversial dibandingkan tahun tahun sebelumnya,” kata Yose saat media briefing dengan tema Pelantikan Trump Dinamika Baru persaingan AS-China dan Tantangan bagi Indonesia, di Auditorium CSIS, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Bahkan, pada hari ini atau belum tepat 24 jam Donald Trump dilantik, presiden yang berasal dari Republican Party tersebut sudah meneken beberapa kesepakatan.

    Satu di antaranya keputusan Amerika Serikat yang keluar dari Paris Agreement dan keluar sebagai anggota World Health Organization (WHO).

    “Sudah ada beberapa eksekutif order yang sudah ditandatangani yang kemudian memperlihatkan bahwa berbagai tindak kontroversial itu akan dijalankan oleh presiden Trump sendiri,” kata dia.

    “Jadi kelihatan nya ada keinginan dari administrasi baru ini untuk work the talk, apa yang mereka sudah kabarkan sudah beritakan sebelumnya,” sambung Yose.

    Atas hal itu, Yose menilai kondisi tersebut harus diantisipasi ke depan dan jangan sampai setiap bangsa khususnya Indonesia, merasa terkejut dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump yang baru ini.

    “Dan untuk itu kita di Indonesia juga perlu untuk mengantisipasi serta merespons dengan tepat berbagai kemungkinan-kemungkinan tadi,” beber dia.

    Tak cukup di situ, Yose juga melihat kalau kebijakan Trump yang dinilai bakal menuai kontroversial itu akan turut didukung oleh banyak pihak.

    “Catatan saya adalah bahwa ini kelihatan nya kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh adminstrasi baru ini mendapatkan dukungan yang cukup luas dari berbagai pihak di Amerika Serikat sendiri,” kata dia.

    “Baik itu dari, sisi pemerintahannya karena memang kita bisa lihat sendiri Republikan itu sendiri mendapatkan porsi dukungan yang cukup kuat di kongres serta juga di berbagai tempat-tempat yang lainnya,” sambung Yose.

    Bahkan lebih jauh, beberapa pegiat bisnis yang berbasis di Amerika Serikat juga sudah mulai mengarah untuk memberikan dukungan terhadap kebijakan Trump.

    Padahal menurut Yose, pada masa kepemimpinan Trump yang pertama, banyak pebisnis yang tidak sejalan dengan kebijakan Presiden berusia 78 tahun itu.

    “Dan itu mungkin catatan yang pertama, jadi ada kecenderungan dukungan yang cukup kuat juga dari dunia usaha terutama yang datangnya dari Amerika Serikat sendiri tentunya ini diberikan dengan berbagai konsesi-konsesi yang ada,” ucap Yose.

    Lebih lanjut, dia juga berpandangan kalau ke depan di sektor ekonomi, pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan lebih mementingkan negaranya itu sendiri.

    Terkait dengan itu tentunya menurut Yose, posisi geopolitik Amerika Serikat akan menjadi lebih penting.

    Bahkan bukan tidak mungkin, Amerika Serikat ke depan akan banyak menarik diri dari beragam kesepakatan-kesepakatan internasional.

    “Itu dalam rangka agar Amerika Serikat sendiri bisa menerapkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya lebih unilateral dan menekan mitra-mitra atau negara-negara yang lainnya,” ujar dia.

    Dalam momen ini, Yose berkelakar kalau bukan tidak mungkin, Amerika Serikat di bawah Donald Trump akan membuat kebijakan-kebijakan baru yang sifatnya lebih menekan kepada mitra negara.

    Lebih jauh, dirinya menyebut, jika sebelumnya Amerika Serikat kerap disebut Polisi Dunia, maka bukan tidak mungkin ke depan Amerika Serikat akan bersikap sebagai Preman Dunia.

    “Mungkin bisa dibilang secara bercanda ya, kalau dulu kita selalu komplain karena Amerika Serikat menempatkan diri sebagai polisi dunia, mengatur-atur dunia dan mencoba memberikan menetapkan rambu-rambu dunia, tapi ke depannya mungkin kita harus mengantisipasi ketika Amerika Serikat menjadi preman dunia,” kata dia.

    Preman di sini artinya menurut Yose, Amerika Serikat akan membuat kebijakan yang sifatnya unilateral dengan menekan berbagai negara mitra untuk mengikuti keinginan mereka.

    “Preman ini artinya memang maunya hanya menekan kepada berbagai negara-negara lain mitra-mitra lainnya untuk mengikuti keinginan atau interest mereka bahkan tidak mengindahkan rambu-rambu yang tadinya atau berbagai agreement-agreement yang tadinya dibuat oleh Amerika Serikat sendiri, ataupun juga bersama dengan negara-negara lainnya,” tukas dia.

    (Tribunnews.com/Anita K Wardhani/Rina Ayu/Rizki Sandi Saputra/BBC/Kompas.com)

  • Disinggung Trump, Negara Mana yang Paling Banyak Sumbang Dana ke WHO?

    Disinggung Trump, Negara Mana yang Paling Banyak Sumbang Dana ke WHO?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ikut menyinggung sumbangan dana yang selama ini dikeluarkan untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal ini menjadi salah satu alasan di balik keputusan kontroversial AS keluar dari keanggotaan WHO.

    Mengingat, AS menjadi penyumbang dana terbesar dalam pendanaan WHO. Diikuti organisasi Bill Gates & Melinda Foundation. Dalam pengumumannya, Trump bahkan menyoroti keterlibatan China dalam pendanaan WHO yang 90 persen lebih rendah dari AS.

    Berbicara di Gedung Putih, ia menuding WHO bias terhadap China. “WHO menipu kita,” ujar Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.

    Dikutip dari laman resmi WHO, berikut sumber pendanaan WHO dari sejumlah negara dan organisasi berdasarkan pemantauan di Selasa (21/1):

    Amerika Serikat: 14,53 persen (terbanyak untuk pengendalian atau eradikasi penyakit polio yakni 24,44 persen dari total pendanaan)Bill & Melinda Gates Foundation: 13,67 persen (untuk peningkatan akses terhadap layanan kesehatan berkualitas tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau disabilitas)Gavi Alliance: 10,49 persen (19,35 persen pendanaan untuk kedaruratan kesehatan akut yang perlu ditanggapi dengan cepat, memanfaatkan kapasitas nasional dan internasional yang relevan, 5,18 persen untuk peningkatan akses obat-obatan, vaksin, diagnostik, dan alat untuk perawatan kesehatan primer)European Commission: 7,82 persen (4,74 persen untuk pencegahan epidemi dan pandemi)World Bank: 4,02 persen (4,03 persen pendanaan untuk menanggapi keadaan darurat kesehatan, respons yang cepat)Jerman: 3,29 persen (pendanaan kesiapan negara untuk kondisi darurat)Kanada: 2,32 persen (1,63 persen sebagai strategi pencegahan untuk penyakit prioritas di wilayah rawan pandemi atau wabah)European Investment Bank 2,27 (beberapa pendanaan diberikan untuk penanganan lingkungan yang sehat untuk meningkatkan kesehatan masyarakat yang berkelanjutan)United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland: 2,27% (mendukung dan memberdayakan penanganan faktor risiko kesehatan)Miscellaneous: 2,02% (mengupayakan hal yang aman dan adil melalui penanganan faktor penentu kesehatan)Rotary International: 1,78% (program khusus penelitian, pengembangan, dan pelatihan penelitian dalam reproduksi manusia)India: 1,58% (penguatan kepemimpinan, tata kelola, dan advokasi untuk kesehatan, membantu negara-negara siap secara operasional untuk menilai dan mengelola risiko dan kerentanan wabah).

    China Peringkat Berapa?

    Jauh dari AS, China ‘hanya’ menyumbang 0,35 persen dari total pendanaan WHO di peringkat ke-41.

    Dampak dari keluarnya AS kepada aspek pendanaan juga disoroti Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama. Prof Tjandra menilai WHO perlu melalukan upaya rekayasa finansial. Semata-mata demi menjaga kesehatan global tetap terlaksana dengan baik.

    “Anggaran WHO akan terkena dampak cukup bermakna kalau kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan,” sorotnya.

    (naf/kna)

  • Amerika Serikat Keluar dari Keanggotaan WHO, Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia? – Halaman all

    Amerika Serikat Keluar dari Keanggotaan WHO, Bakal Berdampak pada Situasi Kesehatan Dunia? – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Presiden Donald Trump yang memutuskan Amerika Serikat keluar dari keanggotaaan WHO justru menimbulkan kekhawatiran pada situasi kesehatan global.

    Hal ini disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Selasa (21/1/2025).

    Ia menuturkan, Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang diakui dunia seperti Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lainnya.

    “Bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” ujar Prof Tjandra.

    Banyak pakar Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).

    Ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula.

    “Tentu patut ditelusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan dengan kebijakan Trump di hari pertama kerjanya ini,” kata dia.

    Lebih jauh, aspek pendanaan dan anggaran WHO terkena dampak cukup bermakna jika kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan.

    Amerika Serikat sudah lama dikenal sebagai donatur WHO.

    Imbasnya, apakah kondisi setelah ini tetap bisa terjaga kesehatan dunia.

    Situasi kesehatan dunia akan jadi perhatian penting karena besarnya jumlah penduduk Amerika Serikat, yang juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara di dunia.

    Kondisi ini membawa dampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Harus ditunggu bagaimana implementasi atau eksekusi keputusan itu, apakah akan ada waktu tertentu sampai ini benar-benar terlaksana. Pernah ada informasi bahwa prosesnya akan memakan waktu 1 tahun, tetapi mungkin saja situasinya berbeda kini,” kata direktur pascasarjana RS YARSI ini.

    Diketahui, Trump sering mengkritik cara badan internasional tersebut menangani Covid-19 dan memulai proses penarikan diri dari lembaga yang berbasis di Jenewa tersebut selama pandemi.

    Sayangnya saat masa Presiden Joe Biden, Biden membatalkan keputusan itu.

    “WHO sangat menginginkan USA kembali, jadi  dilihat saja apa yang terjadi,” kata Trump.

    AS menarik diri karena kesalahan organisasi tersebut dalam menangani pandemi Covid-19 yang muncul di Wuhan, Tiongkok, dan krisis kesehatan global lainnya, kegagalan organisasi tersebut untuk mengadopsi reformasi yang sangat diperlukan, dan ketidakmampuannya untuk menunjukkan kemandirian.

    Trump menuduh WHO bias terhadap Tiongkok dalam cara mereka mengeluarkan pedoman selama wabah ini terjadi.

    Di bawah pemerintahan Biden, AS terus menjadi penyandang dana terbesar bagi WHO dan pada tahun 2023 menyumbang hampir seperlima anggaran badan tersebut. Anggaran tahunan organisasi ini adalah $6,8 miliar (£5,5 miliar).

  • Trump Perintahkan AS Keluar dari Keanggotaan WHO, Bisa Seperti Ini Dampaknya

    Trump Perintahkan AS Keluar dari Keanggotaan WHO, Bisa Seperti Ini Dampaknya

    Jakarta

    Amerika Serikat menarik diri dari keanggotaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Presiden AS Donald Trump menyebut kecewa pada WHO, dan telah menyampaikan kritik beberapa kali, terlebih di masa pandemi COVID-19. Trump menuding WHO lambat menangani pandemi atau wabah SARS-CoV-2 yang pertama kali merebak di China. Hingga kini belum diketahui asal muasalnya.

    “Selain itu, WHO terus menuntut pembayaran yang sangat memberatkan Amerika Serikat, jauh dari proporsi pembayaran yang ditetapkan oleh negara-negara lain. China, dengan populasi 1,4 miliar, memiliki 300 persen populasi Amerika Serikat, tetapi memberikan kontribusi hampir 90 persen lebih sedikit kepada WHO,” beber Trump dalam pernyataan resmi Gedung Putih, dikutip Selasa (21/1/2025).

    Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menilai banyak dampak yang bisa terjadi di balik keputusan AS keluar dari keanggotaan WHO. Terlebih, tidak sedikit pakar AS terlibat dalam kerja sama langsung dengan WHO, termasuk pada sejumlah kajian internasional.

    Prof Tjandra khawatir hal ini otomatis berpengaruh pada sistem kesehatan internasional. “Amerika Serikat mempunyai berbagai pusat kajian kesehatan yang juga punya cakupan global, katakanlah misalnya Center of Diseases Control and Prevention (CDC), National Institute of Health (NIH) dan lain-lain,” bebernya dalam keterangan tertulis kepada detikcom, Selasa (21/1).

    “Perlu dikaji tentang bagaimana peran berbagai organisasi ini sesudah Amerika Serikat menarik diri dari WHO,” lanjutnya.

    Ia juga menyoroti aspek pendanaan yang otomatis terhenti dari AS. Mengingat, banyak bantuan ke wilayah atau negara berkembang dengan sejumlah wabah, dibantu melalui dana fund WHO dari banyak negara lain, termasuk AS.

    Dalam hal ini, Prof Tjandra menilai, WHO perlu melalukan upaya rekayasa finansial. Semata-mata demi menjaga kesehatan global tetap terlaksana dengan baik. “Anggaran WHO akan terkena dampak cukup bermakna kalau kontribusi dari Amerika Serikat dihentikan,” sorotnya.

    Meski begitu, menurutnya publik masih harus menunggu keputusan resmi dan eksekusi keputusan terkait. Mengacu beberapa informasi, Prof Tjandra menekankan prosesnya akan memakan waktu hingga satu tahun atau mungkin lebih cepat berdasarkan situasi.

    Situasi kesehatan dunia ke depan juga disebutnya akan menjadi perhatian penting, mengingat besarnya jumlah penduduk AS. Hal ini berdampak dalam pengawasan perjalanan kesehatan internasonal.

    “Selain organisasi resmi pemerintah maka juga cukup banyak pakar warga Amerika Serikat yang aktif dalam kesehatan global, termasuk bekerja di World Health Organization (WHO).”

    “Selain itu juga ada berbagai Universitas ternama di Amerika Serikat yang bergerak dalam kesehatan global pula. Tentu patut di telusuri bagaimana peran para pakar ini di kesehatan global kelak, sehubungan Executive Order Presiden Trump di hari pertama kerjanya ini,” pungkasnya.

    (naf/kna)

  • Mungkinkah Penyakit Mulut dan Kuku pada Sapi Bisa Menular pada Manusia? – Halaman all

    Mungkinkah Penyakit Mulut dan Kuku pada Sapi Bisa Menular pada Manusia? – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak sapi merebak di sejumlah provinsi di Indonesia.

    Penyakit dengan nama lain apthae epizootica (AE), aphthous fever, dan foot and mouth disease (FMD) ini disebabkan oleh virus RNA, genus Apthovirus yang termasuk dalam keluarga Picornaviridae.

    Virus ini memiliki beberapa serotipe, di Indonesia yang menyebar diyakini bertipe O.

    Virus ini menular sangat cepat pada hewan ternak, baik secara langsung, tidak langsung, maupun melalui udara.

    Namun apakah virus ini bisa menular kepada manusia?.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan, penyakitv tersebut jarang sekali menyerang manusia.

    Salah satu jurnal yang memuat adalah jurnal ilmiah BMJ tahun 2001 dengan judul “Foot and mouth disease: the human consequences”.

    Disebutkan bahwa kasus terakhir PMK pada manusia terjadi di Inggris pada tahun 1966.

    Contoh lain adalah artikel di jurnal  yang sama, BMJ tahun 2001 yang  berjudul “UK investigates possible human cases of foot and mouth disease”.

    “Artikel ini menyebutkan bahwa sekitar 30 sampai 40 orang pernah terkena PMK di dunia, jadi memang amat jarang sekali, walaupun ada,” kata dia kepada wartawan, Rabu (14/1/2025).

    Kemudian diperkuta juga dengan kepustakaan tahun 2012 dari European CDC yang menyebutkan risiko tertular PMK pada manusia yang mengunjungi daerah yang terdampak adalah amat rendah (extremely low), atau sangat kecil sekali risikonya.

    Adapun tipe virus PMK yang pernah ditemukan pada manusia adalah tipe O, diikuti C dan lalu tipe A.

     Mereka terkena PMK pasca kontak amat erat dengan hewan yang sakit.

     Masa inkubasi pada manusia adalah antara 2-6 hari. Gejala amat ringan  dan dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting).

    “PMK adalah masalah kesehatan hewan, dan tentu program pengendaliannya di negara kita dan juga di dunia dilakukan oleh otoritas kesehatan hewan,” ungkap Direktur Pascasarjana Universitas YARSI ini.

    Dari data Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (ISIKHNAS) 28 Desember 2024 – 9 Januari 2025 tercatat 14.630 kasus PMK di Indonesia yang tersebar di 11 provinsi, dengan jumlah kematian sapi mencapai 338 ekor.
     

  • Informasi HMPV kepada masyarakat perlu terus diperbarui

    Informasi HMPV kepada masyarakat perlu terus diperbarui

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama mengingatkan bahwa informasi berkala tentang virus penyakit termasuk “Human Metapneumovirus” (HMPV) perlu terus diperbarui guna meningkatkan kewaspadaan masyarakat.

    “Informasi yang terbuka ini tentu akan meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kesehatan dirinya, termasuk untuk antisipasi berbagai jenis infeksi saluran pernapasan,” kata dia di Jakarta, Kamis.

    Informasi data virus penyakit, kata dia, lebih baik dapat disajikan tidak hanya secara nasional tetapi juga pada tingkat provinsi.

    Ini sekaligus menjadi masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di era kepemimpinan gubernur dan wakil gubernur baru hasil Pilkada 2024 serta jajaran pemerintah khususnya Dinas Kesehatan DKI.

    Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dia mengingatkan pemerintah agar terus menjaga kegiatan pengamatan dan pengumpulan data secara sistematis dan terus- menerus untuk mendapatkan informasi terkait masalah kesehatan atau penyakit (surveilans) terhadap HMPV.

    HMPV merupakan salah satu dari banyak mikroorganisme atau agen penyebab penyakit Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), baik pada saluran napas atas maupun bawah yang ditemukan hampir sepanjang tahun.

    Pemerintah Provinsi DKI menyatakan kondisi saat ini relatif masih aman. Adapun kasus ISPA yang disebabkan oleh HMPV sudah ada sejak 2022 di Jakarta.

    Data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan jumlah penderita ISPA akibat HMPV sebanyak 19 kasus (2022), 78 kasus (sampai Oktober 2023) dan 100 kasus (2024).

    “Data ini akan kami terus lengkapi melalui koordinasi dengan berbagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Laboratorium yang ada di Jakarta,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Ani Ruspitawati.

    Ani menjelaskan, gejala umum penderita ISPA akibat berbagai virus atau mikroorganisme lain juga sama, antara lain batuk, demam, hidung tersumbat dan sesak napas.

    Walaupun mayoritas penderita ISPA akibat HMPV tidak mengalami sakit berat, tetapi pada kelompok rentan, yaitu pada kalangan anak, lansia dan orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, infeksi ini dapat menjadi lebih berat dan membutuhkan perawatan untuk penderitanya.

    Dia meminta masyarakat tetap tenang sembari menerapkan langkah preventif seperti menjalankan pola hidup sehat untuk mencegah sakit, menghindari penularan dengan etika batuk, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker ketika sakit.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

  • Mantan Direktur WHO Asia Tenggara: Ditemukan Sejak 2001, Virus HMPV Sudah Nyebar ke Berbagai Negara – Halaman all

    Mantan Direktur WHO Asia Tenggara: Ditemukan Sejak 2001, Virus HMPV Sudah Nyebar ke Berbagai Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan bahwa virus HMPV yang tengah naik di Tiongkok China pertama kali dilaporkan di jurnal ilmiah sejak tahun 2001.

    Hal inilah yang membuat virus tersebut diyakini bukan virus baru dan sudah menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia.

    “Karena sudah beredar hampir seperempat abad ada di dunia maka tentu mungkin saja virusnya sudah ada di berbagai negara di dunia ini, masuk juga di Indonesia. Bahkan sebelum 2000an sudah pernah ditemukan antibodi pada virus ini, sehingga mungkin saja sudah ada pada dekade sebelum 2000an,” ujar dia dalam keterangan pers yang diterima Rabu (8/1/2025).

    Merujuk data dari Australia virus HMPV bahkan di era sebelum Covid-19 pernah menjadi penyebab ketiga infeksi saluran napas, sesudah virus influenza dan RSV (respiratory syncitial virus) pada dewasa serta RSV dan  influenza pada anak-anak.

    Kemudian, di Inggris juga pernah dilaporkan bahwa hampir semua anak berusia lima tahun di negara itu sudah pernah setidaknya satu kali oleh terinfeksi virus HMPV.

    “Amerika Serikat dan Inggris juga mengalami peningkatan kasus HMPV sejak Oktober 2024 yang lalu, walau tentu kenaikannya tidaklah setinggi yang di China,” kata Prof Tjandra.

    Namun meski sudah ditemukan hampir 25 tahun lalu, vaksin HPMV belum banyak dikembangkan.

    Jika pun ada, virus HMPV dikaitkan dengan virus RSV.

    Imunisasi RSV ini memberi harapan akan vaksin untuk HMPV, dan bahkan perusahaan vaksin Moderna sudah mulai melakukan penelitian untuk vaksin mRNA HMPV.

    Dikesempatan yang berbeda, Menkes Budi menegaskan HMPV bukanlah virus yang mematikan.

    Virus ini memiliki karakteristik mirip dengan flu biasa, dengan gejala seperti batuk, demam, pilek, dan sesak napas. Sebagian besar orang yang terinfeksi akan pulih dengan sendirinya tanpa memerlukan perawatan khusus.

    Penularan virus HMPV serupa dengan virus flu lainnya, yaitu melalui percikan air liur atau droplet dari individu yang terinfeksi. Meskipun umumnya tidak berbahaya, kelompok rentan seperti anak-anak, orang lanjut usia, dan individu dengan kondisi kesehatan tertentu tetap perlu waspada.

    Masyarakat diimbau untuk menjaga pola hidup sehat, seperti cukup istirahat, mencuci tangan secara rutin, memakai masker saat merasa tidak enak badan, dan segera berkonsultasi dengan tenaga medis jika muncul gejala yang mencurigakan.

     

     

     

  • Virus HMPV di China Makin Meluas, Kemenkes: Belum Masuk Indonesia – Halaman all

    Virus HMPV di China Makin Meluas, Kemenkes: Belum Masuk Indonesia – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh meminta pemerintah mencegah masuknya virus Human Metapneumovirus (HMPV) ke Indonesia.

    Virus ini tengah mewabah secara cepat di China.

    Kata Nihayatul, pemerintah harus bisa mengantisipasi terjadinya penyebaran wabah tersebut di Indonesia. Salah satunya dengan memperketat pemantauan di pintu-pintu masuk negara.

    “Pemerintah perlu meningkatkan sistem pemantauan di pintu-pintu masuk negara, seperti bandara dan pelabuhan, untuk memeriksa gejala-gejala yang mirip dengan infeksi saluran pernapasan akut.”

    “Ini termasuk penggunaan tes diagnostik yang tepat untuk mendeteksi virus HMPV lebih awal,” ujar Nihayatul dalam keterangannya, Minggu (5/1/2025).

    Pemerintah kata dia juga perlu berkoordinasi dengan World Health Organization (WHO) dan negara lain untuk mendapatkan informasi mengenai penyebaran virus HMPV dan vaksinasi yang diperlukan.

    Menurut dia, upaya itu menjadi salah satu deteksi dini bagi pemerintah untuk bisa mengantisipasi terjadinya penyebaran virus secara masif.

    “Pemerintah perlu terus berkoordinasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan negara-negara yang terdampak untuk mendapatkan informasi terkini mengenai virus ini, termasuk pola penyebaran, tingkat virulensi, dan vaksinasi yang diperlukan,” jelas Nihayatul.

    Pemerintah juga perlu mengedukasi kepada masyarakat tanpa memberi rasa khawatir.

    “Edukasi Masyarakat tanpa memberikan rasa khawatir: Menyampaikan informasi yang jelas dan tepat kepada masyarakat mengenai cara-cara pencegahan infeksi, seperti mencuci tangan, menggunakan masker jika sakit, dan menjaga kebersihan lingkungan, tetap penting untuk mencegah penyebaran virus,” kata dia.

    Meski wabah HMPV ini belum menunjukkan ancaman sebesar Covid-19 namun kata dia, pemerintah perlu menerapkan langkah-langkah pencegahan yang proaktif dan berbasis data. 

    Kepastian rumah sakit dan tenaga kesehatan untuk siap menangani virus HMPV juga harus menjadi salah satu fokus.

    HMPV merupakan jenis virus yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan, dengan gejala yang mirip flu biasa seperti batuk, pilek, demam, dan sesak napas.  

    Dalam kasus berat, virus ini dapat menyebabkan komplikasi seperti bronkitis atau pneumonia.

    Virus ini biasanya tidak berbahaya bagi orang dewasa yang sehat, tetapi berisiko lebih tinggi bagi anak-anak, lansia, dan individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah.

    Virus Human Metapneumovirus (HMPV) merebak di China (Kolase Tribunnews/net)

    Termasuk mereka yang memiliki penyakit kronis seperti diabetes, gangguan pernapasan, atau penyakit jantung.

    Hingga saat ini, belum ada vaksin atau pengobatan khusus untuk HMPV.  

    Meski demikian, perawatan suportif seperti rehidrasi, pengendalian demam, dan istirahat cukup efektif dalam membantu meringankan gejala.

    Terkait hal tersebut Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, drg. Widyawati, MKM  menyebut jika saat ini belum ada laporan kasus virus HMPV di Indonesia.  

    “Saat ini belum ada laporan kasus HMPV di Indonesia,” ungkap Widyawati.

    Walau begitu, pihaknya mengimbau pada masyarakat tetap menjaga kesehatan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai langkah pencegahan.  

    “Hal ini penting untuk memperkuat daya tahan tubuh dan mencegah penularan berbagai virus yang berpotensi mengancam kesehatan,” jelas Widyawati.

    Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara sekaligus ahli paru Prof Tjandra Yoga Aditama menegaskan, wabah Human Metapneumovirus (HMPV) yang sedang merebak di China  tidak sama dengan Covid-19.

    “Banyak yang ‘mensejajarkan’ infeksi HMPV ini mirip dengan Covid-19. Itu pernyataan yang tidak tepat,” kata dia.

    Prof Tjandra menyebut, HMPV bukanlah virus atau varian baru. HMPV sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Sementara, Covid-19 adalah varian baru dari virus korona.

    “Jika gejalanya adalah serupa, seperti batuk, demam, mungkin sesak dan nyeri dada dan kalau memberat dapat masuk rumah sakit.”

    “Perlu diketahui bahwa semua infeksi paru dan saluran napas memang gejalanya seperti itu,” tutur Direktur Pascasarjana Universitas YARSI ini.

    Dia menuturkan, peningkatan kasus HMPV di China yang dikhawatirkan sama seperti Covid-19 juga tidak tepat. Hal ini karena dari waktu ke waktu, selalu saja ada peningkatan kasus infeksi saluran napas, apalagi di musim dingin di negara empat musim seperti China. 

    “Sehingga tidak tepatlah kalau kita terlalu cepat mengkorelasikan kenaikan kasus HMPV ini dengan Covid-19, walaupun tentu kita perlu tetap waspada,” jelas dia.

    HMPV pertama kali dilaporkan di jurnal ilmiah di Belanda pada Juni 2001 yang berjudul “A newly discovered human pneumovirus isolated from young children with respiratory tract disease”.

    Pasca temuan di berbagai negara seperti Norwegia, Rumania, Jepang dan juga tentu China, para peneliti bahkan memperkirakan HMPV sudah puluhan tahun bersirkulasi.

    Virus ini tidak hanya ada pada manusia melainkan juga pada hewan atau Animal Metapneumovirus. AMPV bahkan sudah lebih awal ditemukan, yaitu di tahun 1978 di Afrika Selatan, yang awalnya diberi nama “Turkey Rhinotracheitis Virus” (TRTV)  lalu menjadi AMPV Animal Metapneumovirus.

    Ini adalah penyakit pada unggas, yang punya 4 sub tipe, dari A sampai D. Para pakar berpendapat bahwa penyakit pada manusia akibat HMPV nampaknya akibat evolusi dari AMPV sub tipe C. (Tribun Network/ais/rin/riz/wly)