Tag: Prof Tjandra Yoga Aditama

  • Eks Pejabat WHO Beberkan Dampak Paparan Radioaktif Cesium-137 pada Tubuh

    Eks Pejabat WHO Beberkan Dampak Paparan Radioaktif Cesium-137 pada Tubuh

    Jakarta

    US Food and Drug Administration (FDA) atau badan pengawas makanan Amerika Serikat memblokir impor semua rempah-rempah dari PT NJS di Indonesia. Ini dilakukan setelah inspektur federal mendeteksi Cesium-137 dalam kiriman cengkeh yang dikirim ke California.

    Temuan ini menyusul peringatan impor yang diberlakukan pada Agustus terhadap perusahaan PT Bahari Makmuri Sejati (BMS foods), yang mengirimkan jutaan kilogram udang ke AS setiap tahun. Tetapi, masih belum jelas apakah ada sumber kontaminasi yang sama pada udang dan rempah-rempah tersebut.

    Dampak Paparan Radioaktif Cesium-137

    Dari kasus tersebut, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, sangat menyoroti dampak dari paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137).

    “Menurut FDA, Cs-137 yang mereka deteksi dalam impor udang beku dari Indonesia ini kadarnya sekitar 68 Bq/kg, jadi masih dibawah ambang mereka yang disebut ‘FDA’s Derived Intervention Level’ untuk Cs-137 yaitu 1200 Bq/kg,” tutur Prof Tjandra dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis(2/10/2025).

    “Pada dosis Cs-137 yang relatif rendah sekitar 68 Bq/kg maka menurut FDA tidak akan memberikan efek akut,” sambungnya.

    Meski begitu, FDA tetap menganjurkan untuk menghindari makanan yang terpapar Cs-137 dengan dosis rendah yang mungkin saja memiliki dampak bagi kesehatan, terutama jika dikonsumsi dalam waktu yang lama.

    Dampak buruk dari paparan jangka panjang dan berulang dari Cs-137 mungkin akan meningkatkan risiko terjadinya kanker melalui mekanisme kerusakan DNA dalam sel hidup tubuh manusia.

    “Dalam hal ini, perlu disampaikan bahwa memang masih diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui kejelasan dampak yang mungkin terjadi,” terang Prof Tjandra.

    ‘Prof Tjandra mengungkapkan paparan radioaktif Cs-137 dalam dosis tinggi tentu amat jarang terjadi. Hanya mungkin terjadi jika ada kecelakaan bom nuklir atau bom atom.

    “Keadaan yang amat jarang terjadi ini memang akan dapat menyebabkan sindrom radiasi akut atau acute radiation syndrome, dalam bentuk keluhan mual, muntah, diare, perdarahan, bahkan sampai koma, dan mungkin kematian kalau memang paparannya amat tinggi,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)

    Cemaran Radioaktif

    12 Konten

    Jejak cemaran radioaktif Cessium 137 (Cs-137) ditemukan di wilayah Cikande, Serang. Risiko paparan serta dampaknya bagi kesehatan, jadi sorotan.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Penyebab Keracunan MBG Dibeberkan Profesor Eks Direktur WHO

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menyoroti potensi masalah dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dapat berujung pada kasus keracunan massal.

    Ia menekankan bahwa insiden keracunan pangan sejatinya bisa terjadi di negara mana pun, bukan hanya terkait dengan program MBG di Indonesia.

    Menurut Tjandra, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengidentifikasi sedikitnya ada lima faktor yang dapat diuji di laboratorium untuk memastikan penyebab keracunan makanan.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini, ujar Tjandra dari keterangan tertulis, dikutip Senin (29/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Hasil Lab Keluar, Eks Direktur WHO Ungkap Penyebab Keracunan di MBG

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan direktur penyakit menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama buka suara ihwal sejumlah masalah yang berpotensi meyebabkan makanan bergizi gratis (MBG) menjadi pemicu keracunan massal.

    Meski begitu, Tjandra menegaskan, keracunan makanan tentu terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak hanya dihubungkan dengan program Makan Bergizi Gratis.

    “Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” kata Tjandra dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).

    Pria yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.

    Pertama, ialah ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur.

    Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.

    Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO. Lima masalah ini kata dia sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan.

    “Dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.

    Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga dapat ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.

    Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.

    “Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.

    Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan ia sebut prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).

    Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makan. Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.

    “Berbagai potensi yang di sebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita, walau tentu sama sekali tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu. Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.

    Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.

    Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.

    Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.

    “Berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi,” kata Ryan kepada detikJabar.

    “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.

    Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.

    Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.

    “Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi hasilnya berbeda-beda, secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.

    Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh.

    “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.

    (pgr/pgr)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Viral Cacing Keluar dari Mulut-Hidung Balita Bengkulu, Wamenkes Ingatkan soal Ini

    Viral Cacing Keluar dari Mulut-Hidung Balita Bengkulu, Wamenkes Ingatkan soal Ini

    Jakarta

    Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengimbau masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor kebersihan (higiene) dan gizi pasca munculnya kasus kecacingan di Bengkulu. Kasus cacingan ini menimpa dua bocah di Seluma, Bengkulu, Khaira Nur Sabrina 1,8 tahun dan Aprillia 4 tahun.

    “Faktor higiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah penting, begitu juga dengan gizi,” ujar Dante saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).

    Ia menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat agar kasus cacingan bisa dicegah, terutama memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang baik.

    “Kasus itu perlu kita perhatikan gizinya, karena cacingan tidak spesifik terjadi. Kalau edukasi masyarakat berjalan dengan baik, semoga kasus seperti ini tidak terulang lagi,” jelasnya.

    Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus Adjunct Professor Griffith University, Prof Tjandra Yoga Aditama, menilai ada tiga poin penting dari kasus ini.

    Pertama, masih ditemukannya kasus kecacingan pada anak Indonesia, menjadi gambaran terjadi juga di berbagai daerah lain. Kecacingan termasuk kategori penyakit tropis terabaikan, sehingga kerap luput dari perhatian.

    Kedua, kasus ini dinilai berkaitan erat dengan masalah kekurangan gizi pada anak, yang menandakan persoalan gizi masih ada di sekitar lingkup masyarakat.

    Ketiga, aspek pelayanan rumah sakit dalam menangani kasus kecacingan, termasuk kemampuan melakukan operasi atau pembedahan cacing di perut, juga perlu diperkuat.

    Menurut Tjandra, hal ini menjadi pengingat bahwa selain menjaga kebersihan dan memperhatikan gizi, penguatan pelayanan kesehatan rumah sakit juga penting untuk mencegah dampak serius dari penyakit kecacingan.

    (naf/naf)

  • Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Respons Wamenkes soal Kasus Balita Cacingan Muncul Lagi di Bengkulu

    Jakarta

    Kasus kecacingan kembali dilaporkan di Bengkulu. Terjadi pada balita 1 tahun 8 bulan di Seluma, Bengkulu. Cacing keluar dari mulut dan hidung anak tersebut, bahkan sudah teridentifikasi ‘bersarang’ di paru balita yang bernama Khaira.

    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menekankan laporan kasus kecacingan yang bermunculan belakangan dikaitkan dengan faktor kebersihan di lingkup masyarakat, utamanya di daerah.

    Pihaknya menyebut akan meningkatkan edukasi di sejumlah wilayah dengan insiden kasus tinggi cacingan.

    “Yang penting adalah higienitas karena itu menyangkut dengan faktor hygiene yang harus kita sosialisasikan kepada masyarakat jadi masalah hygiene akan menjadi masalah penting,” beber dia saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).

    Menurut Dante, maraknya kasus kecacingan juga menandakan masih adanya persoalan gizi di masyarakat. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan promotif dan langkah preventif untuk mencegah kasus cacingan terus meluas.

    “Dan masalah gizi juga akan menjadi masalah penting karena kejadian terakhir itu meninggal kan tidak spesifik karena kecacingan saja, tapi ada masalah gizi,” pungkasnya.

    Hal ini sejalan dengan apa yang disoroti Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama. Prof Tjandra merinci sedikitnya tiga masalah yang terjadi di balik kecacingan pada anak Indonesia.

    “Kecacingan ini adalah tergolong penyakit tropik terabaikan, jadi kita yang abai. Kedua bahwa kasusnya juga berhubungan dengan kekurangan gizi pada anak Indonesia, artinya masalah gizi memang ada di tengah anak-anak sekitar kita,” beber dia, dalam kesempatan terpisah.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Dokter Ingatkan soal Tren Beli Obat Cacing Usai Kasus Balita Sukabumi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Balita Muntah Cacing Terjadi Lagi di RI, Eks Pejabat WHO Soroti Hal Ini

    Balita Muntah Cacing Terjadi Lagi di RI, Eks Pejabat WHO Soroti Hal Ini

    Jakarta

    Viral balita 1 tahun 8 bulan di Seluma, Bengkulu, dilaporkan cacingan. Cacing tersebut bahkan sudah keluar dari bagian mulut dan hidungnya, saat dirawat di rumah sakit.

    Balita bernama Khaira ini teridentifikasi mengeluarkan cacing gelang dan kini harus menjalani perawatan intensif. Larva cacing juga ditemukan berada di bagian paru Khaira. Kasus Khaira mengingatkan sejumlah orang pada insiden kematian balita di Sukabumi yang meninggal pasca ditemukan sekitar 1 kilogram cacing pada tubuhnya.

    Menurut Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama, kasus kecacingan semacam ini seharusnya sudah bisa diberantas di usia kemerdekaan Indonesia ke-80.

    Munculnya laporan kecacingan juga disebutnya tak hanya menggambarkan persoalan satu maupun dua kasus, tetapi menunjukkan potensi banyaknya kejadian serupa di sejumlah wilayah.

    “Perlu penanganan yang menyeluruh dari hulu sampai hilir, yang didasari dengan analisa mendalam tentang kenapa kasus kecacingan kok masih bermunculan di 80 tahun kemerdekaan bangsa kita ini,” tutur Prof Tjandra dalam keterangan tertulis, Rabu (17/9/2025).

    Prof Tjandra merinci sedikitnya tiga masalah yang terjadi di balik kecacingan pada anak Indonesia.

    “Kecacingan ini adalah tergolong penyakit tropik terabaikan, jadi kita yang abai. Kedua bahwa kasusnya juga berhubungan dengan kekurangan gizi pada anak Indonesia, artinya masalah gizi memang ada di tengah anak-anak sekitar kita,” beber dia.

    Selanjutnya, persoalan pelayanan rumah sakit dalam melakukan operasi atau pembedahan untuk cacing di perut. Artinya, menurut dia, diperlukan penguatan kemampuan pelayanan kesehatan rumah sakit untuk masalah kesehatan seperti kecacingan.

    “Berita media menyebutkan bahwa kasus pada anak di Bengkulu ini adalah karena cacing gelang, atau nama latinnya Ascaris lumbricoides. Disampaikan lima hal tentang cacing ini, sebagaimana tercantum dalam laman CDC Amerika Serikat.”

    Cacing gelang berukuran cukup besar. Pada cacing betina dewasa antara 20 hingga 35 cm, sementara cacing jantan dewasa antara 15 hingga 30 cm. Hal ini dinilai menyedihkan lantaran cacing dengan ukuran tersebut berada pada usia anak yang masih balita Indonesia.

    Sementara seekor cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200 ribu telur per hari, yang dikeluarkan bersama feses.

    “Tentu kasihan sekali kalau anak-anak harus ada ratusan ribu telur cacing dalam tubuhnya.”

    “Kemudian menjadi larva dan lalu dalam tubuh si anak maka larva itu melalui sirkulasi sistemik dapat masuk ke paru-paru. Larva matang lebih lanjut di paru-paru sampai 10 hingga 14 hari,” sorotnya menyoal komplikasi yang bisa terjadi.

    (naf/kna)

  • DKI harus tetap lakukan surveilans Mpox walau status darurat dicabut

    DKI harus tetap lakukan surveilans Mpox walau status darurat dicabut

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap harus tetap melakukan pemantauan penyebaran (surveilans) penyakit cacar monyet (Mpox) walau status darurat global telah dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

    Hal itu disampaikan oleh Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020, Prof Tjandra Yoga Aditama saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

    “Jakarta perlu terus melakukan surveilans dan pengendalian Mpox. Kita ingat data sampai Agustus 2024, di Indonesia tercatat selama periode 2022-2024, ada 88 kasus terkonfirmasi Mpox,” katanya.

    Dari jumlah kasus tersebut, terbanyak ada di DKI Jakarta dengan 59 kasus dan Jawa Barat 13 kasus serta Banten 9 kasus.

    Adapun keputusan WHO mencabut status darurat global Mpox pada Jumat (5/9) didasarkan pada penurunan kasus dan angka kematian yang berkelanjutan di Republik Demokratik Kongo dan negara lain yang terdampak seperti Burundi, Sierra Leone dan Uganda.

    Prof Tjandra Yoga Aditama. (ANTARA/HO-Tjandra Yoga Aditama)

    Tjandra mengatakan, alasan pencabutan status darurat juga karena ilmu pengetahuan sudah semakin memahami perjalanan penyakit dan penanganan penyakit Mpox. Negara-negara terjangkit juga telah melakukan program pengendalian penyakit dengan baik.

    Namun, kata dia, Mpox masih perlu diwaspadai dan program pengendalian tetap harus dijalankan.

    Kendati di level dunia, Mpox sudah tak lagi berstatus kedaruratan kesehatan masyarakat (PHEIC), tetapi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (Africa CDC) menyatakan, Mpox masih tetap merupakan “Continent Emergency” atau keadaan darurat masyarakat bagi keamanan kontinental.

    “Indonesia harus tetap perlu mewaspadai Mpox, sama seperti berbagai penyakit menular yang berpotensi menjadi wabah di negara kita,” demikian Tjandra yang pernah menjabat sebagai Dirjen Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI itu.

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Sri Muryono
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pakar Pulmonologi Bicara Efek Gas Air Mata, Dampaknya Bisa Jangka Panjang

    Pakar Pulmonologi Bicara Efek Gas Air Mata, Dampaknya Bisa Jangka Panjang

    Jakarta

    Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti dampak efek gas air mata pada kesehatan, khususnya saluran pernapasan. Ia menjelaskan bahan kimia yang digunakan pada gas air mata dapat berupa chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidene malononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzyl cyanide (CA), dan dibenzoxazepine (CR).

    Prof Tjandra menyebut kandungan kimia itu secara umum dapat berdampak ke mata, kulit, dan organ paru-paru serta saluran pernapasan.

    “Gejala akutnya (yang langsung muncul) di paru dan saluran napas dapat berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi, dan sesak napas. Pada keadaan tertentu dapat terjadi gawat napas ‘respiratory distress’,” kata Prof Tjandra dalam sebuah keterangan.

    Selain itu, paparan gas air mata dapat menimbulkan rasa terbakar di mata, mulut, dan hidung. Gangguan lain yang muncul juga dapat berupa pandangan kabur dan kesulitan menelan, hingga luka bakar kimiawi serta reaksi alergi.

    Prof Tjandra mengingatkan paparan gas air mata bisa sangat berbahaya untuk orang yang memiliki riwayat masalah paru, seperti asma dan penyakit paru obstruktif (PPOK). Mereka dapat mengalami serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung pada gagal napas atau respiratory failure.

    “Walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup,” jelasnya lagi.

    Dampak gas air mata berkaitan erat dengan seberapa banyak dosis yang terpapar pada tubuh. Semakin besar paparannya, maka semakin berbahaya efek yang ditimbulkan.

    Efek gas air mata juga tergantung dari tingkat kepekaan seseorang terhadap zat dalam gas air mata tersebut.

    “Dampak juga bergantung dari apakah paparan ada di ruang tertutup atau ruang terbuka, demikian juga bagaimana aliran udara yang membawa gas beterbangan, apakah ada kebetulan ada angin kencang ketika ada gas air mata dan lain-lain,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/kna)

    Ragam Cara Tangkal Gas Air Mata

    12 Konten

    Gas air mata menyebabkan iritasi di permukaan tubuh, termasuk mata. Bukan hanya demonstran dan aparat yang merasakannya, warga sekitar yang turut menghirupnya turut mengalami mata perih dan berair. Bagaimana meredakannya?

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Pakar Pulmonologi Bicara Efek Gas Air Mata, Dampaknya Bisa Jangka Panjang

    Pakar Ingatkan Efek Gas Air Mata ke Paru-paru Bisa Seserius Ini

    Jakarta

    Demo kembali digelar di Jakarta hari ini, Jumat (29/8/2025), sebagai respons atas insiden tewasnya pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada Kamis (28/8/2025) malam. Peristiwa ini memicu gelombang protes di berbagai titik ibu kota.

    Sisa gas air mata semalam juga masih terasa di sekitar lokasi. Gas air mata semula ditembakkan untuk memukul mundur massa. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti risikonya saat tidak sengaja terhirup ke paru-paru.

    Pasalnya, ada berapa bahan kimia yang digunakan pada gas air mata, termasuk chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR). Secara umum berdampak besar pada kulit, mata, dan paru serta saluran napas.

    Masyarakat diimbau waspada bila mengeluhkan sejumlah gejala termasuk dada berat, batuk, hingga tenggorokan seperti tercekik. Keluhan ini juga bisa diliputi dengan bising, mengi, juga sesak napas.

    Sebagai catatan, di kondisi tertentu paparan gas air mata bahkan bisa menyebabkan gawat napas atau respiratory distress.

    “Masih tentang dampak di paru, mereka yang sudah punya penyakit asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) maka kalau terkena gas air mata maka dapat terjadi serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas,” wanti-wanti Prof Tjandra yang juga sempat menjabat sebagai Direktur Jenderal WHO Asia Tenggara.

    Tidak hanya itu, selain dampak di saluran napas, gejala lain yang mungkin timbul adalah rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Pandangan juga bisa mendadak kabur dan kesulitan menelan. Belum lagi, potensi luka bakar kimiawi dan reaksi alergi.

    “Walaupun dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, ternyata pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan. Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup,” sebutnya saat dihubungi detikcom Jumat (29/8/2025).

    Perlu diingat, tidak ada cara mengurangi efek gas air mata yang lebih efektif selain dengan menghindari paparannya. Jika berada di dalam ruangan, sebisa mungkin segera keluar untuk mendapatkan udara.

    Apabila berada di luar ruangan, segera menjauh dari titik pelepasan gas air mata. Carilah lokasi juga yang lebih tinggi karena uap atau asap gas air mata dapat menyebar.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Pilu Balita di Sukabumi Meninggal, Ini Bahaya Cacingan yang Kerap Dianggap Sepele

    Pilu Balita di Sukabumi Meninggal, Ini Bahaya Cacingan yang Kerap Dianggap Sepele

    Jakarta

    Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat meninggal dunia pasca dokter menemukan lebih dari 1 kilogram cacing di tubuhnya. Dilaporkan keluar dari hidung hingga anus.

    Meski pemicu kematiannya diyakini tidak hanya disebabkan infeksi cacing, kasus semacam ini bila tidak ditangani akan memicu gejala berat. Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam menjelaskan bagaimana cacing terus berkembang biak dan hidup di tubuh.

    “Pada kasus ini cacing gelang, ascaris, kalau tidak diobati memang itu akan bertelur dan memperbanyak diri di dalam tubuh, dalam usus seseorang,” sorotnya, saat dihubungi detikcom Rabu (20/8/2025).

    “Makanya sering kan ditemukan BAB-nya ada cacing, ini sebenarnya harus dilihat history-nya, sudah pernah demikian atau pernah muntah cacing. Itu harus segera diberikan obat,” kata dia.

    Sebagai catatan, penyebaran cacing saat berkembang biak memang bisa ‘bermigrasi’ ke organ lain, alias tidak hanya di usus.

    Larva cacing disebutnya memungkinkan mengalir ke paru-paru yang menyebabkan masalah di bagian tersebut. Dalam beberapa kasus, cacing juga ditemukan mampu naik ke saluran empedu.

    Bila hanya di usus halus, pasien umumnya kerap merasakan tidak nyaman di bagian perut, disertai kembung dan begah. Ciri-ciri yang bisa dikenali pada anak sebenarnya cukup mudah, yakni mendadak rewel.

    “Kalau anaknya rewel kita harus periksa jangan-jangan cacingan,” kata dia.

    Pemberian obat cacing bisa menekan kemungkinan berkembang biak bahkan mati di dalam tubuh.

    Komplikasi akibat kecacingan relatif beragam.

    “Dia bisa menyumbat atau makin banyak, bisa saja penyumbatan di usus saluran empedu atau larva-nya bisa masuk ke paru-paru, apalagi basic-nya ada TBC paru kondisinya agak lebih berat, kalau tidak ditangani dengan baik, tentu bisa memicu kematian,” sambung dia.

    Hal senada juga diutarakan Prof Tjandra Yoga Aditama. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu menyebut dampak kecacingan bahkan bisa terasa hingga ke paru.

    Dalam kondisi tersebut, pasien mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, hingga suara mengi. Bahkan, pada kasus lebih berat, kemungkinan besar mereka mengalami nyeri dada, batuk darah, hingga risiko lebih serius yakni batuk keluar cacing.

    “Walaupun jarang, maka memang dapat timbul penyakit yang lebih berat, antara lain dalam bentuk pneumonia, cairan di paru (efusi pleura), paru yang kolaps (pneumotoraks). Lebih jarang lagi dapat terjadi keadaan yang disebut sindrom “Loeffler”, hipertensi paru dan bahkan gagal napas dalam bentuk ARDS dan lain-lain,” wanti-wantinya saat dihubungi terpisah.

    Pemeriksaan untuk mengidentifikasi kondisi tersebut biasanya melalui tes dahak, bronkoskopi dengan tehnik bronchoalveolar Lavage (BAL) dan pemeriksaan radiologi dalam bentuk ronsen toraks dan atau pemerikaan CT scan.

    “Pengobatannya adalah dengan obat antihelmintik, seperti albendazole, mebendazole, dan atau ivermectin, tentu selain pengobatan simtomatik dan suportif lainnya,” kata dia.

    Dalam kesempatan berbeda, pendiri dan Ketua Health Collaborative Center Dr dr Ray Wagiu, MKK, FRSPH menggambarkan kejadian balita di Sukabumi meninggal pasca kecacingan adalah pengingat belum terpenuhinya kesehatan sebagai hak ideologis setiap warga negara tanpa terbatas syarat administratif.

    Seperti diberitakan sebelumnya, Raya sempat kesulitan berobat dan tidak langsung mendapatkan penanganan yang tercover BPJS Kesehatan lantaran nihil kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat kepesertaan.

    Dr Ray menilai perlu adanya penguatan aspek keadilan, proteksi pembiayaan, dan semakin banyaknya solidaritas komunitas.

    “Artinya, negara dan masyarakat perlu terus bergerak agar sistem jaminan dan pelayanan kesehatan makin inklusif, terutama untuk kelompok yang rentan,” beber dia.

    Dalam kasus Raya, bantuan lebih banyak terjadi saat solidaritas dari komunitas berperan. Namun, lebih banyak di daerah, dan belum menyasar secara nasional.

    “Dimensi solidaritas dan komunitas juga diingatkan lewat kejadian ini, Artinya solidaritas nasional belum inklusif. Kesehatan sebagai gotong royong masih banyak yang parsial belum merangkul yang paling pinggiran,” tuturnya.

    Mencegah kejadian yang sama, Dr Ray uang juga tergabung dalam Indonesia Health Development Center (IHDC) bersama eks Menteri Kesehatan RI Prof Nila Moeloek menilai perlu adanya penguatan layanan primer seperti di posyandu. Hal ini tidak lain demi bisa mendeteksi kasus-kasus tersebut lebih dini, agar lagi-lagi tidak terlambat ditangani.

    “Atau juga puskesmas agar bisa memastikan kasus-kasus klinis sederhana segera ditangani,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 3

    (naf/avk)