Tag: Prianto Budi Saptono

  • Ada Pengecualian, Ini Sektor yang Tak Terdampak Kenaikan PPN 1% pada 2025

    Ada Pengecualian, Ini Sektor yang Tak Terdampak Kenaikan PPN 1% pada 2025

    Jakarta

    Pemerintah memastikan akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1% dari sebelumnya 11% menjadi 12% pada 2025. Kenaikan PPN tersebut akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

    Meski begitu, ada beberapa barang dan jasa yang tidak terdampak dari kenaikan PPN 1% ini. Pengamat Pajak Prianto Budi Saptono pun meminta pemerintah melakukan sosialisasi terkait objek apa saja yang terkena kenaikan PPN tersebut dan fungsi pajak untuk redistribusi kekayaan.

    “Pertama, dari sisi objek PPN berupa penyerahan barang/jasa, tidak semua transaksi yang dilakukan masyarakat merupakan objek PPN. Selain itu, sebagian transaksinya terutang PPN, tapi ada fasilitas PPN dibebaskan atau tidak dipungut. Dengan demikian, secara faktual, kenaikan PPN berpengaruh terhadap transaksi barang/jasa tersebut,” kata Prianto saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu.

    Prianto memberikan contoh konkret antara lain penjualan makanan di restoran atau katering bukan merupakan objek PPN, penjualan barang kebutuhan pokok merupakan objek PPN, tapi ada pembebasan PPN, pelayanan jasa pendidikan merupakan objek PPN, tapi ada pembebasan PPN dan pelayanan jasa kesehatan merupakan objek PPN, tapi ada pembebasan PPN.

    “Selain di atas, transaksi yang dilakukan oleh pengusaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar masih bisa tidak ada PPN-nya. Hal demikian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bertransaksi dengan pengusaha kecil (contoh toko kelontong),” ucapnya.

    Terbaru, dalam pertemuan pimpinan dan anggota DPR bersama Presiden Prabowo Subianto,usulan DPR terkait PPN 12% hanya dikenakan untuk barang mewah.

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan soal usul DPR terkait adanya tarif yang tidak tunggal dalam penerapan PPN. Misbakhun mengatakan PPN 12% tetap berlaku di 1 Januari 2025, tapi selektif.

    “Hasil diskusi kami dengan Bapak Presiden, kita akan tetap mengikuti undang-undang bahwa PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di undang-undang yaitu 1 Januari 2025. Tetapi kemudian akan diterapkan secara selektif,” ujar Misbakhun di Istana Presiden.

    Misbakhun menjelaskan, maksud selektif tersebut adalah ditujukan kepada pembeli barang mewah. Sementara, PPN yang berlaku saat ini akan diterapkan kepada masyarakat kecil

    “Sehingga pemerintah hanya memberikan beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah. Masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku,” kata Misbakhun.

    “Sehingga nanti tidak berlaku lagi, rencananya masih dipelajari oleh pemerintah, dilakukan pengkajian lebih mendalam, bahwa PPN nanti akan tidak berada dalam satu tarif, tidak berada dalam satu tarif,” lanjutnya.

    Ia meminta masyarakat tidak khawatir karena ruang lingkup mengenai kebutuhan barang pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, kemudian jasa perbankan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pelayanan umum, jasa pemerintahan, tetap tidak digunakan PPN.

    “Bapak Presiden juga berusaha menertibkan banyak urusan yang berkaitan dengan hal-hal ilegal sehingga akan menambah penerimaan negara yang selama ini tidak terdeteksi. Itu yang bisa kami sampaikan,” imbuhnya.

    Di sisi lain, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menyebut DPR mengusulkan PPN 12% hanya dikenakan untuk barang mewah.

    “Yang pertama, untuk PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah jadi secara selektif,” ujar Dasco.

    Selanjutnya, barang pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat tidak akan dikenakan PPN 12%. Barang-barang tersebut diusulkan masih dikenai PPN 11%.

    “Kemudian yang kedua, barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11%,” jelasnya.

    “Mengenai usulan dari kawan-kawan DPR bahwa ada penurunan pajak kepada kebutuhan-kebutuhan pokok yang langsung menyentuh kepada masyarakat, Bapak Presiden tadi menjawab bahwa akan dipertimbangkan dan akan dikaji,” lanjutnya.

    Dasco mengatakan, dalam beberapa waktu dekat, Prabowo akan berkomunikasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengkaji usulan masyarakat, yakni PPN harus diturunkan.

    “Mungkin dalam satu jam ini Pak Presiden akan meminta menteri keuangan dan beberapa menteri untuk rapat dalam mengkaji usulan dari masyarakat maupun dari DPR tentang beberapa hal pajak yang harus diturunkan,” katanya.

    Di sisi lain, dalam UU HPP tahun 2021 dan PMK No 116/PMK.010/2017 dijelaskan jenis barang yang tidak dikenai PPN, yaitu barang tertentu yang dikelompokkan beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak kena PPN 12 persen.

    Makanan

    Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Uang

    Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga

    Jasa

    Jasa keagamaan

    Jasa pelayanan sosial

    Jasa keuangan

    Jasa asuransi

    Jasa pendidikan

    Jasa tenaga kerja

    Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan pemerintah sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.

    Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN).

    Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

    Jasa boga atau katering, yaitu semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    Daftar Barang Tidak Kena PPN 12 dalam PMK 116/2017

    Beras dan gabah: berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling semua, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai.

    Jagung: dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit.

    Daging: segar dari hewan ternak dan unggas dengan/tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.

    Telur: tidak diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit.

    Buah-buahan: Buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading selain dikeringkan.

    Sayur-sayuran: sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan, termasuk juga sayuran segar yang dicacah.

    Ubi-ubian: ubi segar baik yang sudah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading.

    Daftar Barang Kena Pajak

    Barang kena PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berikut objek yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 Ayat 1.

    (anl/ega)

  • PPN Rencana Naik 1% pada 2025, Bisa Geser Porsi PPh Badan?

    PPN Rencana Naik 1% pada 2025, Bisa Geser Porsi PPh Badan?

    Jakarta

    Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2025 sebesar 1% menjadi 12% pada awal 2025. Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan tarif PPN 12% mulai 2025 sudah melalui pembahasan panjang dengan DPR RI. Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, salah satunya terkait kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya, namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons seperti saat episode global financial crisis, waktu terjadinya pandemi (COVID-19) itu kita gunakan APBN,” ucapnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (13/11).

    Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono menilai kenaikan tarif PPN tersebut menjadi satu terobosan untuk menggeser porsi penerimaan pajak dari PPh (Pajak Penghasilan) ke PPN.

    Ia mengatakan salah satu tren kebijakan pajak di dunia saat ini adalah penurunan tarif PPh badan. Tujuannya untuk menarik investasi asing. Namun, sebagai konsekuensinya ada tax competition di tarif PPh Badan. Salah satu bentuknya adalah pemberian tax holiday. Istilah yang kerap muncul adalah ‘race to the bottom’, sehingga banyak negara berlomba menurunkan tarif PPh Badan.

    Selain itu, sistem PPh telah meningkatkan praktik aggressive tax planning yang dikenal juga dengan istilah tax avoidance atau tax shelter.

    “Untuk mengatasi dua fenomena di atas (race to the bottom dan aggressive tax planning), banyak negara (termasuk Indonesia) mulai menggeser basis pemajakan utamanya ke PPN,” ujar Prianto kepada detikcom, belum lama ini.

    Ia menerangkan penerapan pajak PPN lebih simpel dan risiko praktik penghindaran pajak jauh lebih rendah. Sehingga tarif pajak langsung dikenakan atas nilai transaksi.

    “Jadi, tujuan peningkatan tarif PPN dan perluasan objek PPN di antaranya memang untuk menggantikan tren penurunan penerimaan PPh Badan. Salah satu tren kebijakan pajak di dunia saat ini adalah penurunan tarif PPh badan. Tujuannya untuk menarik investasi asing,” terang Prianto.

    “Jadi, tujuan peningkatan tarif PPN dan perluasan objek PPN di antaranya memang untuk menggantikan tren penurunan penerimaan PPh Badan,” tegasnya.

    Untuk diketahui, pajak penghasilan badan per Agustus 2024 senilai Rp 212,7 triliun atau turun 32,1%. PPh badan berkontribusi sebesar 17,8% dari total penerimaan pajak hingga Agustus 2024. PPh badan merupakan sumber pendapatan terbesar kedua setelah PPN yang sebesar 23%.

    Pada Oktober 2024, Kemenkeu melaporkan PPh Nonmigas mendapatkan perolehan Rp 810,76 triliun, atau mencapai 76,24% dari target. Realisasi ini terkontraksi 3,12 persen (yoy). Tekanan yang dialami PPh Nonmigas disebabkan oleh penurunan penerimaan pada PPh Badan.

    “Namun demikian, di luar PPh Badan, kinerja penerimaan pajak penghasilan nonmigas lainnya lebih cerah sehingga mendongkrak capaian secara keseluruhan. Beberapa di antaranya bahkan tumbuh dua digit, meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh OP, dan PPh Final,” tulis Kemenkeu.

    Di sisi lain, PPN dan PPnBM menunjukkan pertumbuhan positif, baik dalam penerimaan neto maupun bruto. Total penerimaan kelompok pajak tersebut mencapai Rp 620,42 triliun, atau 76,47% dari target, atau tumbuh 3,52 persen (yoy).

    “Pemulihan kinerja kumulatif PPN dan PPnBM ini didorong oleh peningkatan signifikan pada PPN Dalam Negeri dan PPN Impor, sementara laju pertumbuhan restitusi semakin melambat,” papar Kemenkeu.

    Untuk diketahui, pemerintah telah menegaskan kenaikan PPN sebesar 1% menjadi 12% akan resmi diterapkan pada 2025. Meski demikian terdapat beberapa sektor yang mendapat pengecualian.

    Daftar Barang dan Jasa Tidak Kena PPN 12%

    Berdasarkan UU HPP tahun 2021 dan PMK No 116/PMK.010/2017, jenis barang yang tidak dikenai PPN 12%, yaitu barang tertentu yang dikelompokkan beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak kena PPN 12%.

    Makanan

    Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Uang

    Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

    Jasa

    Jasa keagamaan

    Jasa pelayanan sosial

    Jasa keuangan

    Jasa asuransi

    Jasa pendidikan

    Jasa tenaga kerja

    Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan pemerintah sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.

    Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN).

    Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

    Jasa boga atau katering, yaitu semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang- undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    Daftar Barang Tidak Kena PPN 12% dalam PMK 116/2017

    ●Beras dan gabah: berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling semua, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai.

    ●Jagung: dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit.

    ●Sagu: empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk dan tepung kasar.

    ●Kedelai: berkulit, utuh dan pecah, selain benih.

    ●Garam konsumsi: beryodium atau tidak, termasuk garam meja dan garam didenaturasi untuk konsumsi atau kebutuhan pokok.

    ●Daging: segar dari hewan ternak dan unggas dengan/tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.

    ●Telur: tidak diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit.

    ●Susu: susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan mauoun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya.

    ●Buah-buahan: Buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading selain dikeringkan.

    ●Sayur-sayuran: sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan, termasuk juga sayuran segar yang dicacah.

    ●Ubi-ubian: ubi segar baik yang sudah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading.

    ●Bumbu-bumbuan: segar, dikeringkan namun tidak dihancurkan atau ditumbu.

    ●Gula konsumsi: gula Kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan perasa atau pewarna.

    Daftar Barang Kena PPN 12%

    Barang kena PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berikut objek yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 Ayat 1.

    ●Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha.

    ●Impor BKP.

    ●Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha.

    ●Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

    ●Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

    ●Ekspor BKP berwujud oleh pengusaha kena pajak.

    ●Ekspor BKP tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak.

    ●Ekspor JKP oleh pengusaha kena pajak.

    (anl/ega)

  • Anomali APBN 2025: Target Penerimaan Pajak Karyawan Melesat, Setoran Korporasi Menyusut

    Anomali APBN 2025: Target Penerimaan Pajak Karyawan Melesat, Setoran Korporasi Menyusut

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan rincian APBN 2025, di antaranya berisi bahwa target penerimaan PPh Pasal 21 atau pajak karyawan naik hingga 45%.

    Hal itu tercantum dalam Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025 yang diundangkan pada akhir pekan lalu, Sabtu (30/11/2024).

    Pemerintah mematok penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan senilai Rp313,5 triliun pada 2025. Angka itu naik Rp98,3 triliun atau 45,6% dari target PPh 21 pada 2024 senilai Rp215,2 triliun.

    Kenaikan target pajak karyawan itu sejalan dengan total sasaran penerimaan pajak dalam negeri 2025 senilai Rp2.433 triliun, yang naik 8,9% (year on year/YoY) dari target 2024 senilai Rp2.234,9 triliun.

    Rupanya, kondisi berbeda terjadi pada target penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan. Pemerintah mendesain target penerimaan pajak korporasi untuk turun Rp58,6 triliun atau 13,6% (YoY), yakni dari Rp428,59 triliun pada 2024 menjadi Rp369,95 triliun pada 2025.

    Pajak korporasi tetap ditargetkan sebagai sumber penerimaan PPh terbesar pada 2025 dan di posisi kedua terdapat target penerimaan PPh dari pajak karyawan. Adapun, total target pendapatan PPh dari seluruh lini pada 2025 adalah Rp1.209 triliun, naik dari tahun sebelumnya senilai Rp1.139 triliun.

    Apabila dicermati, target penerimaan pajak karyawan bukan hanya naik dari sisi nominal saja, tetapi juga proporsinya terhadap target PPh.

    Porsi pajak karyawan terhadap total target PPh naik dari 18,8% pada 2024 menjadi 25,9% pada 2025. Sementara itu, porsi pajak korporasi justru turun dari 37,6% pada 2024 menjadi 30,5% pada 2025.

    Dari sumber lainnya, pemerintah mematok target pajak pertambahan nilai (PPN), baik dari dalam negeri maupun impor, mencapai Rp917,79 triliun pada 2025, ketika tarif PPN 12% akan berlaku.

    Tertulis bahwa pemerintah menargetkan penerimaan pajak konsumsi 2025 yang terdiri dari PPN Dalam Negeri senilai Rp609,04 triliun dan PPN Impor senilai Rp308,74 triliun. Alhasil, totalnya mencapai Rp917,79 triliun.

    Rupanya, rencana penerimaan PPN 2025 itu naik 18,2% dibandingkan target PPN tahun ini yang totalnya Rp776,2 triliun.

    Dalam Perpres 76/2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, pemerintah menargetkan PPN Dalam Negeri tahun ini mencapai Rp493,3 triliun dan penerimaan PPN Impor senilai Rp282,9 triliun.

    Artinya, target penerimaan PPN Dalam Negeri 2025 naik 23,4% dari tahun sebelumnya, sedangkan target PPN Impor 2025 naik 9,1%. Target itu dipatok sejalan dengan rencana pemerintah memberlakukan PPN 12% mulai 1 Januari 2025.

    Penyebab Target Pajak Karyawan Naik

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai bahwa kenaikan target PPh 21 hingga 45% tidak lepas dari implementasi Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Terdapat dua aspek utama yang bisa meningkatkan penerimaan pajak pekerja, yakni perluasan objek PPh 21 berupa imbalan natura dan/atau kenikmatan, dan penambahan tarif progresif PPh 21 yang mencapai 35% untuk lapisan tertinggi penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

    “Dari dua aspek di atas, imbalan natura/kenikmatan bagi top level management di perusahaan dapat dikenakan tarif 35%. Dengan demikian, peningkatan PPh 21-nya akan dapat signifikan,” ujar Prianto kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).

    Prianto yang juga Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute menilai bahwa kenaikan upah minimum atau UMP tidak akan terlalu berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PPh 21 atau pajak karyawan. Alasannya, mereka ada di lapisan tarif PPh 21 terbawah.

    Bahkan, masih banyak wilayah dengan upah minimum yang masih berada di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), sehingga meskipun mereka memiliki penghasilan UMP tetap tidak harus membayar PPh.

    “Pekerja yang menikmati kenaikan UMP tersebut secara umum ada di level tarif 5%. Sebagian lagi kenaikan tersebut harus terkena tarif 15%,” ujar Prianto.

    Adapun, terkait turunnya target penerimaan pajak korporasi, dia meyakini ada kaitannya dengan harga komoditas yang tidak stabil sehingga memengaruhi profitabilitas dunia usaha. Konflik geopolitik yang cenderung meluas, menurutnya, membuat prospek penerimaan pada 2025 masih diliputi ketidakpastian.

    Selain itu, Prianto juga menilai ada faktor perilaku oportunistik pengusaha untuk melakukan efisiensi beban perusahaan, yang turut memengaruhi setoran pajak korporasi atau PPh Badan.

    “Salah satu beban tersebut adalah beban pajak. Caranya [untuk melakukan efisiensi] beragam, dan salah satunya adalah aggressive tax planning untuk transaksi lintas negara,” ujarnya.

    Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai bahwa perluasan lapangan kerja disertai peningkatan serapan tenaga kerja akan turut memengaruhi setoran PPh 21. Peningkatan penghasilan para karyawan berarti menambah setoran pajaknya.

    “Bisa jadi, kenaikan target PPh Pasal 21 menggambarkan optimisme pemerintah pada hal tersebut. Jika hal itu benar, maka saya menduga ada beberapa kebijakan yang jadi pendorongnya,” ujar Wahyu kepada Bisnis.

    Menurutnya, kenaikan UMP dan gaji aparatur sipil negara (ASN), termasuk kenaikan gaji guru seperti yang dijanjikan oleh Presiden Prabowo Subianto, akan turut meningkatkan setoran PPh 21.

    Dia juga menilai bahwa perluasan basis pajak setelah berlakunya Coretax System akan membawa efek positif bagi penerimaan PPh.

    “Karena besarnya pengaruh aspek ekonomi terhadap penerimaan PPh Pasal 21, maka penting bagi pemerintah untuk memastikan stabilitas kegiatan ekonomi,” ujar Wahyu.

  • Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

    Dilema Pajak Kelas Menengah, PTKP Turun atau PPN Naik jadi 12%?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah bersiap menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025, sementara rekomendasi OECD mendorong penurunan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kebijakan yang membuat kelas menengah terjepit jika dilaksanakan karena keduanya menggerus daya beli kelas menengah?

    Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan sejumlah insentif untuk mendukung daya beli masyarakat kelas menengah. Insentif ini mencakup berbagai skema perpajakan hingga subsidi untuk berbagai sektor.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menjelaskan bahwa pemerintah menyediakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti dan otomotif. Program ini mencakup pembelian rumah tapak dengan harga hingga Rp5 miliar dan pembelian kendaraan listrik.

    “Apakah benar masyarakat yang golongan menengah ini tidak diberi insentif? Ada skema penguatan daya beli masyarakat, misalnya PPN DTP. Ini skema insentif kepada masyarakat dengan penghasilan menengah ke atas,” ujar Dwi melalui kanal YouTube Ditjen Pajak, Selasa (26/11/2024).

    Dia menambahkan, sektor properti dan otomotif diprioritaskan karena melibatkan tenaga kerja yang besar dan memiliki efek berganda terhadap industri lain, seperti bahan bangunan hingga perabotan rumah.

    Selain itu, pemerintah juga memberikan subsidi energi, termasuk subsidi listrik, LPG, hingga BBM. “Pertalite yang juga masih disubsidi oleh pemerintah. Yang punya motor pasti golongan menengah ke atas. Ini adalah belanja-belanja subsidi yang memang disiapkan,” tambahnya.

    Dalam kesempatan terpisah, terkait rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% per 1 Januari 2025 menuai perhatian publik. Dwi Astuti menegaskan bahwa pemerintah telah memberikan informasi terkait kebijakan ini sesuai amanat Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    “Perlu kami sampaikan bahwa selama ini pemerintah memulai strategi komunikasi dengan publikasi manfaat pajak,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (26/11/2024).

    Dia menambahkan bahwa manfaat kenaikan PPN akan kembali kepada masyarakat melalui berbagai program sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi energi, hingga program pendidikan.

    Namun, Komisi Informasi Pusat mengkritik Kementerian Keuangan karena dinilai kurang transparan terkait tujuan spesifik kenaikan PPN. Komisioner Komisi Informasi Pusat Rospita Vici Paulyn menyatakan bahwa masyarakat membutuhkan penjelasan lebih rinci tentang alokasi tambahan penerimaan pajak untuk program tertentu. “Hal-hal seperti itu yang harus pemerintah sampaikan secara rinci sehingga masyarakat kemudian berpikir ulang,” kata Rospita dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/11/2024).

    Masukan dari OECD

    Sementara itu, laporan terbaru dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk menurunkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Pajak Penghasilan (PPh). Saat ini, ambang batas PTKP di Indonesia ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun, yang menurut OECD, terlalu tinggi dibandingkan dengan rata-rata internasional.

    “Akibatnya, kebanyakan kelas menengah yang sedang bertambah jumlahnya tidak kena pajak penghasilan,” tulis lembaga pemikir itu dalam OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024. Laporan ini juga merekomendasikan penyesuaian tarif pajak bagi kelompok penghasilan lebih tinggi untuk meningkatkan penerimaan negara.

    PTKP adalah besaran penghasilan yang tidak diperhitungkan dalam pajak. Dengan menurunkan PTKP, maka OECD mendorong lebih banyak jumlah orang yang kena pajak. Langkah itu diyakini akan mendatangkan uang segar bagi pemerintah hingga Rp200 triliun. Sementara itu, pemerintah memilih menambah tarif PPh orang pribadi di 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar atau orang kaya. 

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai bahwa pemerintah sebaiknya lebih memilih memaksimalkan pajak dari golongan berpenghasilan tinggi daripada menurunkan PTKP. “Keputusan pemerintah lebih rasional karena [memajaki orang kaya] dapat meningkatkan penerimaan pajak lebih signifikan dari penurunan PTKP,” katanya, Kamis (28/11/2024).

    Laporan OECD juga menyoroti perlunya reformasi administrasi pajak untuk meningkatkan penerimaan negara. Dalam laporan yang sama, OECD memperkirakan bahwa perbaikan administrasi pajak dapat menambah penerimaan hingga 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar Rp208,9 triliun berdasarkan PDB 2023.

    Direktorat Jenderal Pajak kini sedang mempersiapkan peluncuran Core Tax Administration System (CTAS) pada 2025, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem perpajakan melalui digitalisasi dan integrasi data.

    Pemerintah pun menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/2024 untuk mendukung implementasi sistem ini, yang mencakup fitur pengisian otomatis data pajak. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara.

  • Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Usulan OECD Turunkan PTKP, Pengamat: Lebih Baik Kejar Pajak Orang Kaya

    Bisnis.com, JAKARTA — Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia untuk menurunkan ambang batas pendapatan tidak kena pajak alias PTKP, demi mengerek penerimaan negara.

    Saat ini, pemerintah menetapkan PTKP senilai Rp54 juta per tahun atau dengan pendapatan Rp4,5 juta per bulan. Sementara pajak dengan tarif 5% mulai berlaku bagi individu yang menerima upah Rp60 juta per tahun.

    OECD menilai bahwa ambang batas tersebut sangat tinggi atau sekitar 65% dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Selain itu, golongan pajak dengan tarif 25% dimulai pada pendapatan di atas Rp250 juta atau 300% dari PDB per kapita.

    Menurut EOCD, kebijakan tersebut ‘melindungi’ kelas menengah yang tengah tumbuh sehingga terbebas dari pajak penghasilan (PPh).

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono melihat memang ada opsi penurunan PTKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) maupun UMKM—yang juga diusulkan OECD. Namun, pada kenyataannya, pemerintah memilih untuk menambah tarif PPh orang pribadi di 35% untuk lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar. 

    “Keputusan pemerintah lebih rasional karena [memajaki orang kaya] dapat meningkatkan penerimaan pajak lebih signifikan dari penurunan PTKP,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (28/11/2024).

    Prianto berpandangan penurunan PTKP akan menambah PPh di tarif 5%. Selain itu, biaya administrasi di kantor pajak juga akan meningkat karena akan lebih banyak WPOP dan UMKM melaporkan SPT PPh tahunan, tetapi pajak yang disetor relatif kecil ketimbang dari individu berpenghasilan di atas Rp5 miliar.

    Meskipun pada dasarnya segala usulan kebijakan yang terlontar dari organisasi internasional tersebut sangat mungkin untuk pemerintah terapkan, tetapi Prianto menekankan bahwa pemerintah harus mengumpulkan segala perspektif terkait dengan kebijakan yang sudah diusulkan oleh OECD sebelum mengambil keputusan.

    Di mana pemerintah harus mendengarkan perspektif masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan kebijakan pajak tersebut.

    Untuk diketahui, sebelum adanya Undang-Undang (UU) Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), individu dengan penghasilan lebih dari Rp300 juta per tahun dikenakan tarif PPh tertinggi, yakni 30%.

    Kini, pemerintah menambahkan kategori penghasilan kena tarif 30% untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar. Sementara individu dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar, dikenakan tarif PPh 35%.

    Dengan kata lain, Prianto melihat keputusan pemerintah lebih baik dengan mengejar pajak dari orang kaya ketimbang memburu pajak dari lapisan masyarakat kelas menengah dengan menurunkan PTKP.

    “Iya keputusan pemerintah dengan tarif 35% lebih tepat [ketimbang rekomendasi OECD]. Lebih mengejar pajak orang kaya,” ujarnya. 

  • Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Alhasil, muncul berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut? Untuk siapa program tax amnesty jilid III itu? Demi kepentingan negara atau malah segelintir pihak?

    Usulan RUU Tax Amnesty sendiri pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Dalam perkembangan, Komisi XI DPR—yang menangani perihal keuangan negara—bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty.

    Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Dia menekankan, Komisi XI hanya mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty dari Baleg.

    “Cek ke Baleg,” ujar Misbakhun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengaku bahwa RUU Tax Amnesty sudah ada dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebelum DPR periode 2024—2029.

    Oleh sebab itu, RUU Tax Amnesty hanya operan dari DPR periode sebelumnya yang belum sempat dibahas secara serius. Bob pun tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut.

    “Mau tanya dari mana, dari apa, segala macam, kami ini [Baleg periode 2024—2029] orang baru, sudah masuk dalam list waktu itu. Ya dulu-dulu kan [DPR periode sebelumnya] ada pembahasan mungkin, kan gitu,” ujar Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra itu merasa tidak terlalu penting siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Entah pengusulnya pengusaha, pemerintah, maupun DPR, Bob meyakini yang terpenting adalah kebermanfaatan beleid tersebut untuk negara.

    Dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

    Tax Amnesty Jilid III, Untuk Apa?

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini bahwa semua wacana tax amnesty jilid III tersebut tidak pernah hadir dari ruang hampa.

    Prianto mencontohkan sebelumnya pemerintah mengungkap fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyatakan akan berupaya mengejar pajak shadow economy seperti aktivitas ekonomi ilegal.

    Dia menilai bahwa ada dua cara penegakan hukum untuk mengejar pengemplang pajak (tax evader) dan pelaku penghindaran pajak (tax avoider) tersebut. Pertama, penegakan hukum administrasi hingga penegakan hukum pidana pajak. 

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa cara pertama cenderung mendapatkan perlawanan dari terduga tax evader maupun tax avoider seperti lewat proses sengketa pajak hingga ke Pengadilan Pajak hingga Mahkamah Agung.

    “Cara pertama di atas tidak gampang dan belum tentu mendapatkan pajak sesuai ekspketasi pemerintah. Alih-alih banyak menang sengketa pajak, pemerintah justru hampir 60% mengalami kekalahan ketika ada sengketa [banding dan gugatan] di pengadilan pajak,” ujar Prianto kepada Bisnis, pekan lalu.

    Kedua, melalui tax amnesty. Dia berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara yang lebih sederhana dan cenderung tanpa ada proses perlawanan.

    Kebijakan tax amnesty, lanjutnya, cenderung digulirkan ketika pemerintah belum mampu mengatasi permasalah tax evasion dan tax avoidance. Oleh sebab itu, Prianto menilai tidak ada yang salah dengan wacana tax amnesty jilid III ketika negara butuh dana instan dari masyarakat.

    “Kebijakan tax amnesty di banyak negara pada kenyataannya juga berulang meskipun teorinya menyatakan bahwa seharusnya tax amnesty itu cukup sekali untuk satu generasi wajib pajak,” tutupnya.

    Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam acara sosialisasi Tax Amnesty di Medan, Sumatra Utara pada Kamis (21/7/2016). / dok. KemensetnegPerbesar

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, tidak ada urgensinya penerapan Tax Amnesty Jilid III.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak Wajib Pajak yang semakin melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, pekan lalu.

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketima pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

    Tanggapan Pengusaha soal Tax Amnesty Jilid III

    Kalangan pengusaha mengakui program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak terlalu ideal, tetapi dibutuhkan untuk menambah penerimaan negara.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai tax amnesty mempunyai sisi negatif yakni memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah patuh.

    Apalagi, tax amnesty sudah pernah pernah dilakukan selama dua kali yaitu pada 2016—2017 dan 2022. Akibatnya, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty.

    “Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Di samping itu, lanjutnya, secara umum literasi perpajakan masih rendah. Akibatnya, budaya taat pajaknya juga rendah.

    Dia mengingatkan, pemerintah berencana memberlakukan kebijakan core tax system atau sistem inti administrasi perpajakan pada tahun depan. Ajib berpendapat, sistem tersebut membutuhkan prasyarat penting yaitu wajib pajak harus mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, secara praktis tax amnesty juga akan menambah pemasukan buat APBN. Dengan pengampunan pajak, harta yang dilaporkan oleh wajib pajak yang sebelumnya tidak dilaporkan akan muncul masuk ke Sistem Keuangan Indonesia sehingga ke depan menjadi aset yang lebih produktif untuk perekonomian nasional.

    Bahkan, menurut Ajib, tax amnesty bisa memberikan daya ungkit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% karena penerima manfaatnya tidak akan ragu lagi membelanjakan uang yang telah dilaporkan.

    “Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau budgeteir dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat,” tutupnya.

  • PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    PPN 12% Mulai 2025, Ekonom: Lebih Banyak Rugi daripada Untung!

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai alias PPN menjadi 12% mulai 2025 sejatinya dalam rangka menambah penerimaan negara. Alih-alih menggemukkan kas negara, ekonom menilai kebijakan tersebut justru akan mendatangkan kerugian. 

    Direktur Riset Bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter Center Of Reform on Economics (Core) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menyampaikan kenaikan tarif PPN tersebut tidak akan efektif mengangkat penerimaan negara pada 2025 maupun tax ratio. 

    Justru konsekuensi yang harus pemerintah hadapi adalah potensi anjloknya konsumsi maupun transaksi masyarakat pascakenaikan tarif pajak. 

    “Kalau PPN naik, maka ada konsekuensi yang terkait dengan perkembangan ekonomi. Sebetulnya, justru lebih banyak ruginya daripada untungnya,” ujarnya dalam Core Economic Outlook 2025, Sabtu (23/11/2024). 

    Akbar menjelaskan dalam paparannya, bahwa imbas kenaikan tarif PPN tersebut akan berdampak pada penerimaan pajak dalam negeri yang melambat karena perlambatan konsumsi domestik.

    Bahkan, dirinya memprediksikan penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditargetkan senilai Rp2.189,3 triliun akan tumbuh rendah meski pemerintah menerapkan PPN 12%. 

    Menurutnya, strategi peningkatan penerimaan maupun tax ratio harus menerapkan pajak yang adil, salah satunnya dengan tarif progresif. 

    Di Indonesia, pemerintah masih menggunakan tarif tunggal atau single tariff sehingga hal ini dianggap tidak adil karena tidak mempertimbangkan perbedaan daya beli dan kebutuhan antara kelompok barang dan jasa yang berbeda. 

    Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono sebelumnya membuktikan bahwa PPN 12% otomatis akan menggerus daya beli masyarakat hingga 11,11%. 

    Lebih parahnya, hal tersebut berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi yang diharapkan naik ke level 6%-7% tahun depan (menurut Bappenas). 

    Prianto menjelaskan sebagai contoh, Badu memiliki dana Rp1 juta dan akan membeli barang dengan harga Rp 100.000/unit.  

    Jika sebelumnya dengan tarif PPN 11% Badu dapat membeli sembilan unit barang (harga per barang Rp111.000 x 9 = Rp999.000), kini dengan tarif PPN 12% hanya mampu membeli delapan unit barang karena total yang dibayarkan Rp896.000 (harga per barang Rp112.000 x 8 = Rp896.000). 

    Berdasarkan ilustrasi tersebut, Prianto menyampaikan penambahan PPN 1% dari 11% ke 12% membuat Badu hanya mampu membeli barang sebanyak 8 unit dari sebelumnya 9 unit.

    “Kondisi demikian dapat digunakan sebagai ilustrasi bahwa penurunan daya beli Badu setara dengan 1/9 atau 11,11%,” ujarnya. 

    Menghitung dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.638,9 triliun pada kuartal III/2024, konsumsi rumah tangga menjelaskan 53,08% atau mencakup Rp2.993,13 triliun. 

    Jika terjadi penurunan daya beli sebesar 11,11%, artinya PDB akan turun hingga Rp332,54 triliun. 

    Angka tersebut jauh lebih tinggi dari potensi pendapatan yang akan diterima Kementerian Keuangan bila menerapkan PPN 12%. 

    Di mana sebelumnya Pengamat pajak dan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan pajak hingga Rp100 triliun (basis penghitungan kenaikan PPN seperti 2022 ketika PPN naik dari 10% ke 11%). 

    Melalui perhitungan tersebut, artinya pendapatan negara dari pajak yang sebelumnya Rp2.189,3 triliun tersebut akan mencapai Rp2.289,3 triliun, bahkan lebih.

    Meski demikian, negara juga harus bersiap untuk menghadapi penurunan PDB Rp332,54 triliun setiap kuartalnya. 

  • Top 3: Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja – Page 3

    Top 3: Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diterapkan per 1 Januari 2025. Esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini dinilai adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.

    Pemerintah sudah pasti pro dengan lonjakan tarif pajak, lantaran sudah diamanatkan oleh DPR selalu wakil rakyat melalui Pasal 7 ayat (1) UU PPN.

    Artikel Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja untuk Pembangunan menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com pada Jumat, 22 November 2024. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com?

    Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com, yang dirangkum pada Sabtu (23/11/2024):

    1. Tarif PPN 12% Bakal Bikin Pemerintah Bebas Belanja untuk Pembangunan

    Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diterapkan per 1 Januari 2025. Kebijakan PPN 12% ini diyakini bakal membuat pemerintah lebih leluasa dalam membelanjakan anggaran untuk pembangunan negara.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan bahwa esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.

    “Kebutuhan tersebut terus bertambah. Caranya adalah dengan memperluas objek pajak dan meningkatkan tarif pajak,” ujar Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (22/12/2024).

    Baca artikel selengkapnya di sini

  • Pengamat Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tidak Akan Berdampak pada PHK Karyawan

    Pengamat Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tidak Akan Berdampak pada PHK Karyawan

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat ekonomi mengatakan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025 mendatang, tidak akan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. 

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, kenaikan PPN 12 bisa membuat daya beli masyarakat menurun sehingga penjualan dan produksi juga ikut menurun. Otomatis, kapasitas produksi perusahaan juga menurun.

    Namun, Prianto menilai pemerintah akan memberikan paket stimulus untuk dunia usaha, seperti yang dilakukan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) saat dinyatakan pailit.

    “Jadi saya melihat kebijakan yang akan muncul bukan di PPN secara khusus, tetapi kebijakan fiskal lainnya. Bisa dalam bentuk insentif sehingga dunia usaha tetap survive atau bahkan lebih naik lagi. Dengan demikian, otomatis tidak terjadi PHK,” pungkas Prianto kepada Beritasatu.com di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

    Lebih lanjut, Prianto yakin pemerintah mempunyai cara untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat atas dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dia memberikan contoh, saat sektor properti dan kendaraan lesu, pemerintah memberikan paket stimulus untuk kembali menggairahkan sektor tersebut.

    “Itu dari sudut pandang pemerintah. Memang dari sudut masyarakat kadang-kadang kan PHK-nya aja. Namun, saya melihat kalau dalam proses formulasi kebijakan itu enggak sekadar itu. Harus semua faktor yang bisa memengaruhi pasti dipertimbangkan,” tandasnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat undang-undang (UU).

    Sri Mulyani menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021.

    Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19. 

    “Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk kenaikan PPN menjadi 12 persen ini, bukan dilakukan dengan membabi buta,” ujar Sri Mulyani dikutip Antara, Jakarta, Kamis (21/11/2024).

  • Kenaikan PPN 12 Persen Tepat atau Tidak Tergantung Sudut Pandang

    Kenaikan PPN 12 Persen Tepat atau Tidak Tergantung Sudut Pandang

    Jakarta, Beritasatu.com – Kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang dinilai sebagai kebijakan tepat dan tidak tepat. Penilaian itu tergantung dari sudut pandangnya.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, dua sudut pandang pasti ada dalam suatu kebijakan, termasuk dalam kebijakan kenaikan PPN 12 persen.

    Pertama, kenaikan PPN 12 persen bisa saja dianggap tepat di mata pemerintah karena kebijakan ini sudah tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPN.

    Kedua, pemerintah era Prabowo-Gibran dianggap ingin menaikkan penerimaan pajak dan rasio pajak. Dengan demikian, pemerintah punya keleluasaan fiskal untuk mengalokasikan anggaran penerimaan ke belanja pemerintah.

    “Jadi dalam kondisi ini, dana akan balik ke masyarakat sesuai dengan fungsi pajak yaitu redistribusi. Nah, pemerintah melihatnya ke sana,” ujar Prianto kepada Beritasatu.com di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

    Namun, Prianto mengakui nantinya wajib pajak (WP) yang akan merasa terbebani dengan adanya kenaikan PPN 12 persen ini. Atas itu, dia masih akan menunggu bagaimana keputusan pemerintah sebelumnya nantinya diberlakukan pada Januari 2025.

    “Kita harus melihat langkah pemerintah hingga Desember 2024 nanti. Apabila bergeming, dan tidak menerbitkan perpu atau RPP yang dibahas untuk revisi RUU, maka kita harus hadapi PPN naik,” tuturnya.

    Ia menambahkan, kenaikan PPN memang tepat dari perspektif pemerintah, sedangkan kalau perspektif masyarakat dan pengusaha, maka kenaikan PPN tentu merupakan kebijakan yang tidak tepat.

    “Jadi kalau ngomong kenaikan PPN 12 persen tepat, ya dari perspektif pemerintah. Kalau perspektif pengusaha, perspektif masyarakat, ya tidak tepat. Namun, kepastiannya karena belum dilaksanakan dan enggak ada yang benar semuanya,” tutupnya.