Tag: Prianto Budi Saptono

  • Coretax Gangguan, Mungkinkah Penerimaan Pajak Hilang?

    Coretax Gangguan, Mungkinkah Penerimaan Pajak Hilang?

    Bisnis.com, JAKARTA — Aplikasi Coretax alias sistem inti administrasi perpajakan kerap mengalami gangguan usai diimplementasikan pada 1 Januari 2025. Banyak pihak khawatir potensi kehilangan penerimaan perpajakan akibat eror Coretax.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto misalnya, yang berkunjung ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Senin (3/2/2025) pagi.

    Ditemani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Dirjen Pajak Suryo Utomo Airlangga mengecek pengaplikasian Coretax.

    Airlangga memastikan bahwa Kemenko Perekonomian memberi dukungan penuh atas pengaplikasian Coretax. Apalagi, sambungnya, kesuksesan Coretax akan mempengaruhi penerimaan negara.

    “Jadi, itu yang kami pastikan saja supaya penerimaan anggaran tidak terganggu dengan implementasi Coretax yang tentu perlu penyempurnaan,” ujar Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2025).

    Bahkan, di media sosial X viral sebuah cuitan yang menunjukkan mengklaim bahwa penerimaan negara anjlok akibat gangguan pengaplikasian Coretax.

    Dalam unggahan pengguna X, @gg_02022020 pada Selasa (4/2/2025), disematkan foto yang menunjukkan data asumsi penerimaan negara selama Januari 2025. Di ujung atas kanan foto, terdapat logo Coretax.

    Perbesar

    Petugas melayani wajib pajak di salah satu kantor pelayanan pajak pratama di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

    “Berdasar asumsi perhitungan, seharusnya 15 Februari, kas negara akan menerima Rp189,52 triliun, namun gegara Coretax akhirnya hanya menerima 49%-nya saja yaitu sebesar Rp93,24 triliun,” tulis @gg_0202020.

    Kendati demikian, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai data yang belum terkonfirmasi tersebut kurang valid. Menurutnya, cara perhitungan penerimaan negara bukan seperti foto unggahan @gg_0202020.

    Menurutnya, penerimaan pajak tidak bisa dibagi rata per bulan. Penerimaan pajak, sambungnya, memiliki siklus yakni setoran pajak cenderung lebih rendah pada masa awal laporan surat pemberitahuan tahunan (SPT); sebaliknya, setoran pajak akan lebih besar pada masa akhir laporan SPT.

    Dia pun menegaskan bahwa penerimaan pajak tidak akan berkurang meski Coretax sempat mengalami masalah namun hanya tertunda.

    “Kalau dibilang penerimaan hilang [karena Coretax gangguan] saya kira tidak tepat ya, mungkin lebih tepatnya terhambat atau tertunda. Masalahnya kan wajib pajak mau setor tapi ada kesulitan,” ujar Fajry kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).

    Sejalan, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan pembayaran pajak bulanan dapat dilakukan kapan saja.

    Prianto mencontohkan jika pembayaran masa Januari 2025 tidak dapat dilakukan pada bulan Februari karena Coretax masih bermasalah maka wajib pajak masih dapat membayarkannya di masa berikutnya.

    Apalagi, sambungnya, Direktorat Jenderal Pajak sudah merilis keterangan bahwa tidak akan ada sanksi administrasi apabila terjadi keterlambatan pembuatan faktur pajak dan pelaporan pajak di masa transisi pengaplikasian Coretax.

    Dengan demikian, keterlambatan penyetoran pajak juga tidak akan dikenakan sanksi. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga memastikan tidak ada beban tambahan kepada wajib pajak.

    Singkatnya, jika sudah berhasil membuat faktur pajak masa Februari 2025 maka pengusaha kena pajak dapat menyetorkan PPN-nya masa Maret 2025 tanpa kekhawatiran pengenaan sanksi administrasi.

    “Kondisi di atas tidak akan mengakibatkan target penerimaan pajak akan meleset. Sesuai dengan penjelasan di atas, pembayaran pajak untuk masa Januari 2025 dapat dilakukan di bulan Maret 2025,” jelas Prianto.

  • Pajak Minimum Global Mulai 2025: Dampak, Implementasi, dan Tantangan bagi Indonesia

    Pajak Minimum Global Mulai 2025: Dampak, Implementasi, dan Tantangan bagi Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi menerapkan pajak minimum global sebesar 15% mulai 2025. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa penerapan pajak minimum global adalah bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif. Dengan kebijakan ini, pajak tidak lagi menjadi faktor utama dalam menentukan negara tujuan investasi.

    “Dengan adanya ketentuan ini, praktik penghindaran pajak seperti melalui tax haven dapat dicegah. Kesepakatan ini kita sambut baik karena sangat positif dalam menciptakan sistem perpajakan global yang lebih adil,” ujar Febrio dalam keterangannya, pekan lalu (16/1/2025).

    Penerapan ketentuan pajak minimum global ini merupakan bagian dari kesepakatan Pilar Dua yang digagas oleh G20 dan dikoordinasikan oleh OECD, didukung oleh lebih dari 140 negara. Saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan ketentuan tersebut, dengan mayoritas mulai menerapkannya pada 2025.

    Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta euro membayar pajak minimum sebesar 15%.

    Singkatnya, pemerintah kini memiliki hak untuk memajaki grup perusahaan multinasional yang memperoleh keuntungan di Indonesia, meskipun tidak memiliki kantor fisik di dalam negeri.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menyebut aturan pajak minimum global ini relevan dengan perkembangan ekonomi yang semakin terdigitalisasi. Hal ini menjawab tantangan alokasi hak pemajakan.

    “Melalui ekonomi digital, suatu perusahaan yang berlokasi di negara A bisa mengambil keuntungan di negara B. Namun, pemerintah negara B sulit memajaki perusahaan tersebut karena berada di luar yuridiksinya,” jelas Prianto.

    Pajak minimum global menyesuaikan alokasi hak pemajakan dengan kebijakan internasional berbasis konsensus. Kebijakan ini dirancang berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

    “Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi grup perusahaan multinasional tidak lagi terbatas pada kehadiran fisik anggota grup tersebut,” ungkap Prianto kepada Bisnis, Minggu (19/1/2025).

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa PMK 136/2024 dirancang untuk mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yaitu praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara-negara tax haven yang mengenakan tarif pajak sangat rendah atau bahkan tidak memungut pajak penghasilan badan.

    “Dengan pajak minimum global ini, grup perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan negara lain harus membayar pajak sesuai tarif minimum global yang telah disepakati,” kata Prianto, yang juga Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute.

    Dampak Negatif Penerapan Pajak Minimum Global

    Meski positif, Prianto mengingatkan bahwa penerapan pajak minimum global juga membawa dampak negatif. Pertama, kebijakan ini memengaruhi fasilitas tax holiday yang sebelumnya menjadi daya tarik investasi di Indonesia.

    “Daya saing Indonesia berupa tax holiday akan terpengaruh, terutama bagi grup perusahaan multinasional yang sebelumnya menikmati fasilitas tersebut,” ujarnya.

  • Pajak Berburu Perusahaan Multinasional Nir Kantor di Indonesia, Pengamat Minta Antisipasi BEPS

    Pajak Berburu Perusahaan Multinasional Nir Kantor di Indonesia, Pengamat Minta Antisipasi BEPS

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah kini berhak memajaki grup perusahaan multinasional yang mengambil untung di Indonesia meski tidak memiliki kantor fisik di Indonesia. Langkah ini merupakan ekses penerapan kebijakan pajak minimum global.

    Pajak minimum global sendiri resmi berlaku di Indonesia lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024. Aturan tersebut menyebutkan perusahaan multinasional dengan omzet paling sedikit 750 juta euro akan dikenakan pajak badan minimal 15%.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, melihat aturan pajak minimum global dikeluarkan agar sejalan dengan perkembangan ekonomi yang semakin terdigitalisasi sehingga muncul tantangan mengenai alokasi hak pemajakan.

    Lewat perkembangan ekonomi digital, suatu perusahaan yang berlokasi di negara A bisa mengambil keuntungan di negara B. Hanya saja, pemerintah negara B sulit memajaki perusahaan tersebut karena berada di luar yuridiksinya.

    Oleh sebab itu, jelas Prianto, pajak minimum global menyesuaikan alokasi hak pemajakan dengan perkembangan kebijakan internasional yang berbasis konsensus. Menurutnya, kebijakan tersebut disusun berdasarkan model bisnis baru tanpa mendasarkan pada kehadiran fisik yang ada di Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

    “Dengan demikian, hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi Grup PMN [perusahaan multinasional] tidak terbatas pada kehadiran fisik anggota Grup PMN,” ungkap Prianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (19/1/2025).

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia itu menerangkan bahwa PMK 136/2024 dirancang dengan pendekatan yang berfokus pada upaya untuk mengatasi BEPS (base erosion & profit shifting). Praktik BEPS, sambung Prianto, merupakan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba.

    Praktik tersebut berkaitan dengan pengalihan keuntungan ke anggota grup perusahaan di negara surga pajak alias tax haven countries. Di tax haven countries, perusahaan multinasional sering kali tidak dikenai PPh Badan atau tarifnya sangat rendah.

    “Dengan demikian, pajak minimum global di PMK 136/2024 dapat memastikan bahwa Grup PMN yang beroperasi secara internasional, termasuk di Indonesia, setidaknya membayar pajak dengan tarif pajak minimum global yang disepakati dalam perjanjian multilateral,” ujar direktur eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu.

    Lantas, apa saja prasyarat sebelum pemerintah bisa memajaki perusahaan multinasional yang mengambil keuntungan meski tidak memiliki kantor fisik di Indonesia?

    Pasal 4 ayat (1) PMK 136/2024 menjelaskan pajak minimum global 15% akan dikenakan untuk korporasi atau bentuk usaha tetap yang merupakan entitas dari grup perusahaan multinasional.

    Jika tarif pajak efektif yang disetor perusahaan multinasional kurang dari 15%, maka akan dikenakan pajak tambahan (hingga minimal 15%). Contoh detailnya dijelaskan dalam bagian lembar lampiran PMK 136/2024.

    Misalkan, sebuah grup perusahaan multinasional memiliki dua perusahaan di dua negara berbeda: Perusahaan A di negara A, Perusahaan B di Indonesia.

    Indonesia sudah menerapkan ketentuan pajak minimum global 15%. Sementara itu, negara A belum menerapkan ketentuan pajak minimum global sehingga bertarif pajak rendah (tax haven country).

    Diasumsikan, negara A hanya menerapkan tarif PPh Badan sebesar 5%. Meski Perusahaan A hanya membayar PPh Badan 5% ke negara A, namun korporasi tersebut harus membayar pajak tambahan 10% (agar sesuai ketentuan pajak minimum global 15%) ke Indonesia.

    Kewajiban tersebut berlaku karena Perusahaan A tetap mengambil keuntungan dari Indonesia karena korporasi tersebut memiliki saham atau sejenisnya di Perusahaan B (yang berada di Indonesia). Bagaimanapun, Perusahaan A dan Perusahaan B berada di satu grup perusahaan multinasional

  • Membangun Ketahanan UMKM

    Membangun Ketahanan UMKM

    Jakarta

    Komitmen pemerintah baru dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) makin terlihat nyata. Setelah mengesahkan regulasi pemutihan tagihan kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) UMKM, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi 2025 melalui konferensi pers pada 16 Desember 2024 silam.

    Dalam paket kebijakan tersebut, pemerintah menyiapkan dua insentif untuk mendorong performa UMKM. Pertama, perpanjangan masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% hingga akhir 2025. Kedua, pembebasan PPh untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun. Kedua insentif ini dinilai tetap vital bagi UMKM yang masih merasakan ‘efek luka memar’ (scarring effect) dari pagebluk COVID-19.

    Pemerintah juga merancang stimulus untuk memproteksi daya beli rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah. Tren penurunan kesejahteraan masyarakat melatarbelakangi introduksi program insentif ini. Dalam lima tahun terakhir (2019–2024), jumlah penduduk miskin dan rentan miskin naik 15,12 juta orang, sementara 9,48 juta penduduk kelas menengah turun kasta.

    Proporsi pengeluaran tertinggi dari tiga kelompok masyarakat tersebut adalah untuk makanan (42%–64%), perumahan (22%–29%), dan kendaraan (3%–6%). Dengan begitu, alokasi subsidi disalurkan pada tiga jenis pengeluaran ini. Misalnya, untuk mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah, pemerintah menyiapkan bantuan pangan 10 kilogram per bulan dan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng, tepung, dan gula rafinasi. Produk properti dan otomotif tertentu juga diberikan insentif PPN untuk menyokong warga kelas menengah.

    Paket kebijakan stimulus ini bisa dibilang tepat sasaran lantaran tertuju pada segmen penting perekonomian. UMKM menyumbang 61% output nasional dan menyerap 97% tenaga kerja, sementara belanja konsumsi kaum medioker dan akar rumput mencakup 81,49% total konsumsi rumah tangga. Artinya, relaksasi perpajakan dan bantuan sosial yang dirancang berpotensi mendongkrak penawaran dan permintaan agregat. Walhasil, titik ekuilibrium baru yang lebih baik di pasar domestik dapat tercipta.


    Pemanfaatan Insentif

    Sampai di sini, bauran kebijakan yang baru saja dirilis berperan sebagai kompensasi atas kenaikan tarif PPN 12%. Perusahaan dan konsumen dapat lebih optimis menghadapi tantangan ekonomi ke depan. Optimisme ini menjadi modal awal bagi mereka untuk mengakselerasi pemulihan pasca melewati masa-masa sulit. Oleh karena itu, UMKM harus menyambut secara proaktif support system yang telah dibangun.

    Nyatanya, pemanfaatan insentif, khususnya tarif PPh final 0,5%, masih kurang optimal. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan, dari target penyerapan insentif sebesar Rp 1,08 triliun, baru 62,03% atau sekitar Rp 670 miliar yang terealisasi. Artinya, banyak UMKM yang belum mengikuti program insentif ini. Minimnya kesadaran wajib pajak akan peraturan yang berlaku dan rumitnya birokrasi menjadi penyebab utama permasalahan tersebut. Hal ini patut menjadi perhatian karena literatur menilai insentif pajak sebagai dukungan finansial terbaik pemerintah untuk menjaga aktivitas bisnis UMKM (Deyganto, 2022).

    Di titik ini, fungsi stabilisasi pemerintah sejatinya telah berperan meski perlu sejumlah pembenahan agar pemanfaatan insentif dapat lebih optimal. Langkah berikutnya yang lebih substantif adalah bagaimana agar UMKM tidak lagi rentan dan lebih tahan terhadap guncangan.


    ESG sebagai Inovasi

    Permasalahan yang harus diselesaikan dengan demikian tidak hanya menyangkut aspek finansial, tetapi juga lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau disingkat ESG. Sayangnya, aspek keberlanjutan ini sering luput dari sasaran kebijakan terkait pengembangan UMKM. Artinya, dalam membangun ketahanan bisnis, pelaku UMKM tidak bisa sekadar mengandalkan bantuan pemerintah. Para manajer perlu mentransformasikan manfaat finansial yang diperoleh dari kebijakan insentif ke dalam strategi inovatif mereka.

    Bukti empiris yang dilaporkan Prianto Budi Saptono dan kawan-kawan dalam makalah bertajuk Flourishing MSMEs: The Role of Innovation, Creative Compliance, and Tax Incentives memvalidasi argumen di atas. Dengan menggunakan 360 unit UMKM sebagai sampel, studi ini mengungkapkan bahwa pemanfaatan insentif pajak tak serta merta membuat bisnis bertahan dari pandemi. Berkenaan dengan hal ini, kegiatan inovasi berperan sentral dalam meningkatkan efek positif insentif pajak terhadap ketahanan bisnis UMKM.

    Inovasi yang dimaksud dapat dilakukan salah satunya melalui penerapan prinsip ESG. Bagi kebanyakan UMKM, menjalankan bisnis dengan berlandaskan aspek keberlanjutan ini merupakan hal baru. Ini karena mereka masih menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan konsep ESG ke dalam proses produksi. Tantangan paling mendasar adalah kendala finansial. Dari sini, rentetan masalah turunan muncul.

    Mengadopsi prinsip ESG melibatkan investasi yang tidak murah. Karena keterbatasan dana, pemilik UMKM cenderung menghindari kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan profitabilitas perusahaan. Hal ini menghalangi mereka untuk bertransformasi menuju bisnis yang lebih berkelanjutan.

    Dengan adanya resistensi terhadap perubahan, UMKM merasa tidak perlu merekrut tenaga kerja yang lebih berkualitas. Hal ini mengarah pada masalah internal seperti rendahnya keahlian dalam pengelolaan bisnis. Akibatnya, ketersediaan informasi yang diperlukan untuk mendukung penerapan prinsip ESG secara efektif, seperti data yang terverifikasi terkait profil perusahaan dan rantai pasok, menjadi tidak memadai.

    Padahal, informasi tersebut juga dibutuhkan pemerintah untuk menjangkau dan membantu pelaku UMKM dalam mengimplementasikan prinsip ESG. Dengan begitu, regulasi terkait penerapan ESG yang tidak memberatkan UMKM menjadi sulit untuk diformulasikan. Belum adanya regulasi semacam itu sampai sekarang dengan sendirinya menjadi justifikasi yang valid.


    Mempromosikan Penerapan ESG

    Berangkat dari permasalahan di atas, beberapa upaya perlu dilakukan guna mempromosikan penerapan ESG pada UMKM. Pertama, kebijakan insentif untuk UMKM yang bergulir pada 2025, seperti penghapusan NPL dan perpanjangan insentif pajak, perlu dioptimalkan. Dukungan finansial ini dapat mengurangi beban UMKM dalam berinvestasi pada praktik bisnis berkelanjutan. Oleh karena itu, birokrasi dan persyaratan administratif yang rumit harus dipangkas. Sosialisasi melalui seminar atau kampanye juga mesti digalakkan agar lebih banyak UMKM yang mengetahui dan memanfaatkan program ini.

    Kedua, penerapan ESG harus segera dimulai dengan menyesuaikan kapasitas UMKM. Misalnya, dari aspek lingkungan, UMKM dapat mengurangi limbah dengan menggunakan bahan baku yang tidak menghasilkan banyak sampah, mendaur ulang bahan baku yang digunakan, atau menggunakan teknologi hemat energi. Dari sisi sosial, UMKM dapat melibatkan komunitas sekitar dengan mempekerjakan tenaga kerja lokal dan bekerja sama dengan pemasok dari daerah tersebut. Pada aspek tata kelola, UMKM dapat memperbaiki pengelolaan keuangan dengan mencatat transaksi secara teratur, menetapkan prosedur pembukuan yang rapi, dan mengawasi pengeluaran untuk memastikan transparansi.

    Ketiga, pemerintah perlu melakukan pendataan langsung ke UMKM untuk menyusun kebijakan yang sesuai. Dengan mendata secara mendalam, pemerintah dapat merumuskan regulasi yang tidak memberatkan UMKM. Selain itu, pemerintah perlu mulai mempertimbangkan aturan kewajiban penerapan dan pelaporan ESG secara bertahap, misalnya, berdasarkan tingkatan omzet.

    Keempat, sivitas akademika memiliki peran penting dalam memberikan pelatihan dan pendampingan terkait penerapan ESG di tingkat UMKM melalui program pengabdian masyarakat. Mereka dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya ESG, serta cara praktis mengintegrasikannya ke dalam proses bisnis.

    Poin-poin di atas semestinya dipandang sebagai bagian integral dari upaya peningkatan ketahanan UMKM dalam negeri. Dengan begitu, UMKM tidak sekadar menjadi penyangga ekonomi, tetapi juga bagian dari industri modern dan berkelanjutan.

    Gustofan Mahmud dosen Institut Bisnis dan Komunikasi Swadaya

    (mmu/mmu)

  • Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi membedakan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN untuk barang mewah dan non-mewah melalui PMK 131/2024. Kendati demikian, atraksi mengakali pengenaan PPN 12% untuk semua barang/jasa itu mendapatkan kritik dari sejumlah pihak.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.

    Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
    12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi).

    Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000
    12% x DPP = 12% x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.

    Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah.

    Pada akhirnya barang non-mewah terkena besaran pajak 11% karena pengaturan DPP tersebut. Namun, sebenarnya tarif PPN yang berlaku adalah 12%.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membedakan dua DPP itu agar tarif PPN di Indonesia tetap tunggal yaitu 12% sesuai amanat Undang-Undang No. 42/2009 (UU PPN).

    Memang dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPN, disebutkan pemerintah mempunyai wewenang mengubah tarif PPN tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

    Hanya saja, sesuai PMK No. 131/2024, dalam praktiknya kini ada pembedaan untuk barang mewah dan non-mewah (multitarif) seperti arahan Presiden Prabowo Subianto.

    “UU PPN tetap menggunakan skema tarif tunggal, bukan multitarif. Akan tetapi, DPP-nya dibedakan menjadi dua,” jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Tuai Kritik

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.

    Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.

    Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharus PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.

    “PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

    Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.

    Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

    Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.

    “Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas,” katanya.

    Senada, Pakar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Beni Kurnia Illahi menyebutkan ada sejumlah kejanggalan dalam PMK 131/2024.

    Pertama, beleid tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam pertimbangannya. Padahal, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% diatur dalam UU HPP.

    “Hal ini jelas penganuliran secara terang-terangan, atau pemerintah sengaja selain tidak diatur secara teknis di PMK, aturan di UU HPP tetap berlaku untuk ke semua kategori barang/jasa,” ujar Beni kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Kedua, PMK merupakan aturan teknis yang kedudukannya jauh di bawah UU. Oleh sebab itu, seharusnya PMK tidak bisa menganulir aturan dalam UU HPP yang menyatakan tarif PPN 12% berlaku secara umum.

    Jika ditoleransi, maka pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu itu khawatir ke depan tarif PPN 12% akan dikenakan untuk semua barang/jasa secara perlahan-lahan.

    “Ketika kebijakan PMK ini efektif untuk penerimaan negara maka kemungkinan aturan tersebut akan dilanjutkan, tetapi ketika objek tarif pajak tersebut tidak berjalan efektif bagi penerimaan negara maka pemerintah akan membuat norma baru lagi di level PMK,” jelas Beni.

    Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah menerapkan tarif pajak baru lewat level UU atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP) yang kedudukannya jauh lebih tinggi dan mengikat daripada PMK.

  • Realisasi Jauh dari Target, Tax Amnesty Tak Bisa Kerek Pendapatan Negara – Page 3

    Realisasi Jauh dari Target, Tax Amnesty Tak Bisa Kerek Pendapatan Negara – Page 3

    Sebelumnya, Rencana Tax Amnesty Jilid III dinilai bisa menjaga penerimaan pajak dalam jangka pendek. Namun, langkah itu dikhawatirkan bisa membuat wajib pajak tak patuh dalam jangka panjang.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menerangkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa melakukan dua cara untuk menegakkan hukum pajak.

    Pertama, mengejar para pengemplang pajak. Kedua, memberikan pengampunan pajak melalui program tax amnesty.

    “Cara pertama di atas membutuhkan upaya keras dan waktu panjang karena ada proses pemeriksaan atau penyidikan pajak. Wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan atau penyidikan akan melakukan perlawanan hingga terjadi sengketa pajak sampai ke MA,” kata Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).

    “Cara pertama bisa jadi kurang efisien, tapi mengedepankan rasa keadilan. Banyak negara menerapkan cara pertama ini,” sambungnya.

    Sedangkan, cara kedua terlihat lebih efisien secara jangka pendek. Menurutnya, tax amnesty cenderung digunakan oleh negara yang butuh penyetoran lebih cepat, meski nominalnya lebih rendah.

     

  • Tax Amnesty Cuma Sukses di Awal, Tapi Wajib Pajak Tetap Tak Patuh – Page 3

    Tax Amnesty Cuma Sukses di Awal, Tapi Wajib Pajak Tetap Tak Patuh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Rencana Tax Amnesty Jilid III dinilai bisa menjaga penerimaan pajak dalam jangka pendek. Namun, langkah itu dikhawatirkan bisa membuat wajib pajak tak patuh dalam jangka panjang.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menerangkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa melakukan dua cara untuk menegakkan hukum pajak.

    Pertama, mengejar para pengemplang pajak. Kedua, memberikan pengampunan pajak melalui program tax amnesty.

    “Cara pertama di atas membutuhkan upaya keras dan waktu panjang karena ada proses pemeriksaan atau penyidikan pajak. Wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan atau penyidikan akan melakukan perlawanan hingga terjadi sengketa pajak sampai ke MA,” kata Prianto kepada Liputan6.com, Jumat (3/1/2025).

    “Cara pertama bisa jadi kurang efisien, tapi mengedepankan rasa keadilan. Banyak negara menerapkan cara pertama ini,” sambungnya.

    Sedangkan, cara kedua terlihat lebih efisien secara jangka pendek. Menurutnya, tax amnesty cenderung digunakan oleh negara yang butuh penyetoran lebih cepat, meski nominalnya lebih rendah.

    Prianto melihat adanya risiko pada penerapan tax amnesty untuk jangka panjang. Misalnya penurunan tingkat kepatuhan dari wajib pajak kedepannya.

    “Negara yang menerapkan cara kedua karena berpikir jangka pendek. Untuk jangka panjangnya, ketidakpatuhan justru dapat meningkat. WP patuh dapat menjadi tidak patuh karena perlakuan tidak adil oleh pemerintah,” tuturnya.

    Mengacu pada dua cara itu, dia tak melihat adanya peluang berkurangnya pendapatan negara dari pajak. “Sesuai penjelasan di atas, untuk jangka pendek di tahun ketika ada program TA, penerimaan pajak akan meningkat. Dengan demikian, pemerintah tidak mengalami potensi kehilangan penerimaan pajak,” jelasnya.

  • Pengamat Was-Was Penghindaran Pajak Marak jika Ambang Batas UMKM Dipangkas

    Pengamat Was-Was Penghindaran Pajak Marak jika Ambang Batas UMKM Dipangkas

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat melihat para pelaku UMKM punya banyak cara dalam melakukan penghindaran pajak, apalagi jika pemerintah menurunkan ambang batas omzet wajib pajak dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar. 

    Pada dasarnya penurunan tersebut akan menjaring UMKM dengan omzet di atas Rp3,6 miliar, yang sebelumnya menikmati Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5%, menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan wajib menggunakan tarif normal yang berkisar 5% hingga 35%. 

    Alhasil, pemerintah akan mendapatkan tambahan PKP dan penerimaan dari penurunan ambang batas tersebut. 

    Meski demikian, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono melihat bahwa sulit memprediksi potensi tambahan PKP maupun penerimaan karena banyaknya perilaku oportunistik dari pengusaha. 

    Prianto menyampaikan pajak yang bersifat ‘memaksa’ merupakan bagian dari beban usaha sehingga sering kali menjadi objek efisiensi di setiap jenis usaha. 

    “Perilaku oportunistik tersebut berpotensi muncul ketika aturan threshold PKP tersebut secara resmi diumumkan. Bentuknya berupa upaya pelaku usaha agar omzet dalam setahun tidak lebih dari Rp3,6 miliar setahun,” tuturnya, Rabu (25/12/2024). 

    Dirinya mencontohkan, jika omzet usahanya mendekati threshold, pengusaha akan segera membentuk badan usaha baru. Contoh yang paling konkret adalah pembentukan CV karena lebih mudah dan berbiaya murah. 

    “Jadi, satu pengusaha dapat memiliki banyak CV dengan omzet tidak lebih dari Rp3,6 miliar,” tuturnya. 

    Adapun isu penurunan ambang batas sempat muncul kala pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi 2025 untuk mengurangi dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. 

    Dalam dokumen paparan yang Bisnis terima, terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa pemerintah akan melanjutkan PPh Final 0,5% pada 2025, tetapi dengan penurunan threshold.

    Sementara dalam paparan yang berlangsung pada Senin (16/12/2024), pemerintah nyatanya menghapus kalimat penurunan threshold dari Rp4,8 miliar menjadi Rp3,6 miliar tersebut. 

    Seakan tidak pernah tertulis dalam dokumen, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun menegaskan bahwa pemerintah tidak menurunkan ambang batas dan threshold tetap Rp4,8 miliar. 

    “Threshold [UMKM] tetap Rp4,8 miliar,” ujarnya kepada media massa di kantornya, Kamis (19/12/2024) malam. 

    Melihat ke 11 tahun lalu, ambang batas omzet UMKM yang harus dikukuhkan menjadi PKP diperlebar ke angka Rp4,8 miliar dari Rp600 juta. Kebijakan tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan yang kala itu dipimpin oleh Chatib Basri. 

    Melansir dari laman resmi Kementerian Keuangan, kebijakan tersebut terbit dalam rangka mendorong Wajib Pajak dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar setahun lebih banyak berpartisipasi menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final 1%—kini tarif PPh Final 0,5%—dan tidak kuatir lagi dengan efek PPN. 

    PKP dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar pun dapat memilih untuk menjadi nonPKP, sehingga tidak diwajibkan lagi untuk membuat Faktur Pajak dan tidak perlu lagi melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN sehingga biaya kepatuhan perpajakan (cost of compliance) menjadi lebih rendah.

    Secara umum, dengan adanya aturan ini akan memudahkan Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakannya. Dengan adanya kemudahan ini ditambah kemudahan lain yang telah ada, maka Wajib Pajak akan menjadi lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

  • PPN Naik 1% di Januari 2025, Bagaimana Dampaknya ke APBN?

    PPN Naik 1% di Januari 2025, Bagaimana Dampaknya ke APBN?

    Jakarta

    Presiden RI Prabowo Subianto bicara soal kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Dia memastikan kebijakan tersebut tetap akan berlaku pada 1 Januari 2025, meski menuai penolakan.

    Prabowo menyebut kebijakan PPN 12% di 2025 adalah amanah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Karena itu, pemerintah bakal tetap melaksanakannya.

    “Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” ucap Prabowo.

    Kendati demikian, penyesuaian tarif PPN 12% akan berlaku selektif, hanya untuk barang mewah. Jadi untuk rakyat menengah ke bawah, kata Prabowo, akan tetap dilindungi.

    “Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi. Sudah sejak akhir 23 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil, ya,” tuturnya.

    Adapun keputusan ini didapatkan setelah pertemuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta pekan lalu.

    Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memberikan bocoran terkait kriteria barang mewah yang akan dikenakan PPN 12% yakni yang selama ini kena Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Selain itu, ada juga peluang untuk pemerintah memperluas cakupannya.

    “Tadi diskusinya yang pertama itu yang selama ini kena PPnBM. Lalu yang kedua sedang dicek mana yang bisa diperluas, mana yang kemudian tetap 11%,” beber Dasco usai melakukan pertemuan dengan tiga Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/12).

    Dasco menyebut barang-barang mewah yang dikenakan PPN 12% seperti mobil dan hunian mewah. Adapun barang kena pajak yang tergolong mewah yakni barang yang bukan barang kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.

    Sedangkan untuk barang lainnya masih akan dikenakan pajak 11%. “Barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11%,” terangnya.

    Di sisi lain, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengungkapkan terkait implementasi rencana kenaikan PPN, maka perlu dicari titik keseimbangan dalam menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan dunia usaha, serta penerimaan negara itu sendiri.

    “Kita sih setuju dengan mencari keseimbangan yang tepat antara mengenakan, mungkin PPN itu dikenakan untuk barang mewah misalnya. Tapi in tentunya akan diumumkan oleh pemerintah,” ujarnya.

    Dia menyebut Prabowo menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini. Khususnya dalam mencari jalan tengah yang tepat antara menjaga penerimaan negara, serta perimbangan antara dunia usaha dan daya beli masyarakat.

    Kenaikan Tarif PPN 1% Kerek Penerimaan Negara

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan kebijakan penyesuaian tarif PPN mempertimbangkan kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dia menyebut APBN sebagai instrumen penyerap kejut (shock absorber) perekonomian, maka harus dijaga kesehatannya.

    Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menjelaskan tujuan kenaikan PPN guna mengoptimalisasi penerimaan negara, dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

    Terkait hal ini, pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengungkapkan kenaikan PPN 1% akan dapat meningkatkan penerimaan pajak di pos penerimaan APBN. Lebih lanjut, kenaikan penerimaan PPN diharapkan menaikkan rasio pajak.

    “Kenaikan rasio pajak tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mengatur belanja negara di APBN. Jadi, pemerintah punya keleluasaan melakukan redistribusi pajak untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyat,” ujarnya kepada detikcom.

    Hal senada disampaikan Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar. Fairy memperkirakan kenaikan tarif PPN sebesar 1% akan berefek positif terhadap penerimaan pajak. Dia pun memprediksi tambahan penerimaan dari kenaikan PPN 12% dapat menyumbang lebih dari Rp 80 triliun ke kas negara.

    Hal ini mempertimbangkan penerimaan kas negara yang mencapai Rp 80,08 triliun hingga akhir Maret 2023, usai pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11% sejak April 2022. Karena itu, dia menduga potensi penerimaan dari kenaikan tarif PPN pada 1 Januari 2025 akan lebih besar dari kenaikan tarif PPN 11% pada 2022. Di samping itu, dengan adanya kenaikan harga-harga di tahun depan maka otomatis besaran penerimaan PPN akan meningkat.

    “Kemungkinan akan lebih besar karena pada tahun 2022 diimplementasikan dari bulan April. Dan juga ada dampak dari kenaikan harga atau inflasi,” ujar dia dikutip dari laman Ikatan Konsultan Pajak Indonesia.

    Daftar Barang dan Jasa Tidak Kena PPN 12%

    Susu: susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan mauoun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya.Buah-buahan: Buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading selain dikeringkan.Sayur-sayuran: sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan, termasuk juga sayuran segar yang dicacah.Ubi-ubian: ubi segar baik yang sudah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading.Bumbu-bumbuan: segar, dikeringkan namun tidak dihancurkan atau ditumbu.Gula konsumsi: gula Kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan perasa atau pewarna.

    Daftar Barang Kena PPN 12%

    Barang kena PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berikut objek yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 Ayat 1.

    Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha.Impor BKP.Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan pengusaha.Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.Ekspor BKP berwujud oleh pengusaha kena pajak.Ekspor BKP tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak.Ekspor JKP oleh pengusaha kena pajak.

    (prf/ega)

  • Urgensi Kenaikan PPN 1% pada 2025, Ini Kata Pengamat

    Urgensi Kenaikan PPN 1% pada 2025, Ini Kata Pengamat

    Jakarta

    Pemerintah berencana menaikan PPN sebesar 1% pada 2025. Kenaikan itu berdasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan naik 1% dari sebelumnya 11% menjadi 12% pada awal 2025.

    Penyesuaian PPN tersebut dinilai mampu menghadirkan manfaat bagi masyarakat. Pasalnya, hasil dari penyesuaian tersebut bakal dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk pembangunan hingga pemberdayaan masyarakat.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono mengatakan kebijakan tersebut harus dilihat dari dua sisi. Sebab kebijakan tersebut menghadirkan pro dan kontra tersendiri.

    Untuk mereka yang kontra, kebijakan tersebut dinilai mampu memberikan beban terhadap wajib pajak hingga menurunkan daya beli. Sementara untuk mereka yang pro menilai kebijakan tersebut mampu meningkatkan rasio penerimaan pajak. Di mana pajak tersebut bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan pembangunan yang manfaatnya bisa dirasakan oleh wajib pajak.

    “Urgensi naik atau tidak naik akan sangat tergantung pertimbangan pemerintah. Pada saat ini, sudah ada pro dan kontra terhadap kenaikan tersebut. Pemerintah masih dapat mengubah cara pandangnya. Pihak yang pro akan melihat urgensinya dari perspektif penerimaan pajak dan rasio pajak. Selain itu, kenaikan tarif PPN sudah melalui proses panjang antara pemerintah dan DPR ketika dibahas RUU KUP 2021 yang menjadi UU HPP,” kata Budi kepada detikcom, beberapa waktu lalu.

    “Pihak yang kontra akan melihat urgensinya dari perspektif masyarakat yang notabene menjadi penanggung pajak. Beban PPN yang bertambah tersebut berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Pada akhirnya, omzet pengusaha akan dapat menurun. Karena itu, banyak pengusaha juga tidak setuju atas kenaikan PPN tersebut,” sambungnya.

    Dia mengatakan kenaikan PPN tersebut juga membuat pemerintah menjadi lebih leluasa untuk mengatur belanja negara di APBN. Nantinya hal itu bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    “Kenaikan rasio pajak tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi pemerintah untuk mengatur belanja negara di APBN. Jadi, pemerintah punya keleluasaan melakukan redistribusi pajak untuk pembangunan dan mensejahterakan rakyat,” jelasnya.

    Dia juga menilai kenaikan tarif PPN tersebut menjadi salah satu terobosan untuk menggeser porsi penerimaan pajak dari PPh (Pajak Penghasilan) ke PPN.

    Prianto mengatakan salah satu tren kebijakan pajak di dunia saat ini adalah penurunan tarif PPh badan. Tujuannya utk menarik investasi asing.

    Namun, sebagai konsekuensinya ada tax competition di tarif PPh Badan. Salah satu bentuknya adalah pemberian tax holiday. Istilah yang kerap muncul adalah ‘race to the bottom’, sehingga banyak negara berlomba menurunkan tarif PPh Badan.

    Selain itu, sistem PPh telah meningkatkan praktik aggressive tax planning yang dikenal juga dengan istilah tax avoidance atau tax shelter.

    “Untuk mengatasi dua fenomena di atas (race to the bottom dan aggressive tax planning), banyak negara (termasuk Indonesia) mulai menggeser basis pemajakan utamanya ke PPN,” ujar Prianto.

    Dia menerangkan penerapan pajak PPN lebih simpel dan risiko praktik penghindaran pajak jauh lebih rendah. Sehingga tarif pajak langsung dikenalan atas nilai transaksi.

    “Jadi, tujuan peningkatan tarif PPN dan perluasan objek PPN di antaranya memang untuk menggantikan tren penurunan penerimaan PPh Badan. Salah satu tren kebijakan pajak di dunia saat ini adalah penurunan tarif PPh badan. Tujuannya utk menarik investasi asing,” terang Prianto.

    “Jadi, tujuan peningkatan tarif PPN dan perluasan objek PPN di antaranya memang untuk menggantikan tren penurunan penerimaan PPh Badan,” tegasnya.

    PPN 12% Lebih Selektif

    Kenaikan pajak 1% ini juga bakal diberlakukan dengan lebih selektif dan tidak seluruh segmen bakal mengalami kenaikan. Hanya segmen-segmen tertentu yang bakal mengalami kenaikan.

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengusulkan kepada pemerintah agar menaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah aja. Kebutuhan pokok masyarakat tidak dinaikan dan bahan pokok diusulkan masih dikenakan PPN 11%.

    “Yang pertama, untuk PPN 12% akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah jadi secara selektif. Kemudian yang kedua, barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yakni 11%,” kata Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (5/12/2024).

    Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto mengatakan kebijakan tersebut bakal tetap dilaksanakan. Pasalnya hal itu tertuang pada amanat UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meskipun begitu, Prabowo menjamin dalam pelaksanaan bakal lebih selektif dan hanya menarget barang-barang mewah.

    Berdasarkan UU HPP tahun 2021 dan PMK No 116/PMK.010/2017, jenis barang yang tidak dikenai PPN, yaitu barang tertentu yang dikelompokkan beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak kena PPN 12%.

    “Kan sudah diberi penjelasan PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” kata Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12/2024).

    Dia mengatakan PPN 12% yang menarget barang-barang mewah sebagai upaya untuk membantu rakyat kecil. Apalagi sejak 2023 pemerintah tidak memungut apa yang seharusnya dipungut untuk membantu rakyat kecil.

    “Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi. Sudah sejak akhir 23 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil, ya. Jadi kalaupun naik, itu hanya untuk barang mewah,” ujar Prabowo.

    Berdasarkan UU HPP tahun 2021 dan PMK No 116/PMK.010/2017, jenis barang yang tidak dikenai PPN, yaitu barang tertentu yang dikelompokkan beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak kena PPN 12%.

    Makanan

    Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Uang

    Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga

    Jasa

    Jasa keagamaan

    Jasa pelayanan sosial

    Jasa keuangan

    Jasa asuransi

    Jasa pendidikan

    Jasa tenaga kerja

    Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan pemerintah sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.

    Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

    Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN).

    Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri.

    Jasa boga atau katering, yaitu semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

    Daftar Barang Tidak Kena PPN 12 dalam PMK 116/2017

    Beras dan gabah: berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling semua, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai.

    Jagung: dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit.

    Daging: segar dari hewan ternak dan unggas dengan/tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.

    Telur: tidak diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit.

    Buah-buahan: Buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading selain dikeringkan.

    Sayur-sayuran: sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan, termasuk juga sayuran segar yang dicacah.

    Ubi-ubian: ubi segar baik yang sudah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, dan degrading.

    Daftar Barang Kena Pajak

    Barang kena PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berikut objek yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 Ayat 1.

    (anl/ega)