Tag: Prianto Budi Saptono

  • Skema Baru Pajak Kripto Segera Terbit, Cek Kisi-Kisinya

    Skema Baru Pajak Kripto Segera Terbit, Cek Kisi-Kisinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan menerbitkan aturan baru pengenaan pajak atas aset kripto. Pajak kripto ke depan akan ditentukan oleh model pengaturan transaksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK.

    Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menjelaskan aturan baru pajak kripto akan segera diundangkan. Nantinya, skema baru penerapan pajak kripto akan mengikuti perkembangan berpindahnya pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK pada Januari lalu.

    “Insya Allah mungkin seminggu-minggu ini [terbit aturan barunya]. Ada perubahan sedikit karena kaitannya dengan perubahan komposisi dari Bappebti,” ujar Yon Arsal di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025).

    Sementara itu, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa berpindah pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK seiring perubahan klasifikasi aset kripto dari komoditas ke instrumen keuangan. Secara hukum, klasifikasi itu mengikuti arah Peraturan OJK No. 27/2024 (POJK 27/2024) tentang perdagangan aset keuangan digital.

    Dia menambahkan, meskipun aspek legalitas transaksi sudah masuk dalam lingkup OJK, pengaturan pajaknya saat ini masih mengacu pada ketentuan umum perpajakan, termasuk PMK 68/2022 yang bakal direvisi dalam waktu dekat. Secara garis besar, transaksi kripto memunculkan dua jenis pajak utama, yakni pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).

    “Aspek PPh timbul karena ada satu pihak yang mendapatkan penghasilan ketika melakukan transaksi terkait aset keuangan kripto. Transaksi penyerahan barang (aset) atau jasa akan memunculkan aspek PPN,” jelas Prianto kepada Bisnis, dikutip Minggu (27/7/2025).

    Sementara mengacu POJK 27/2024, terdapat lima pelaku utama dalam ekosistem aset keuangan digital yaitu penyelenggara bursa; pedagang aset keuangan digital; lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian; anggota kliring; serta pengelola tempat penyimpanan aset keuangan digital.

    Prianto memaparkan bahwa kelima pelaku tersebut dikenai PPh atas penghasilan yang mereka terima dari penyediaan jasa, yang mana objeknya mengacu ke Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan bisa bersifat final apabila ditentukan lewat peraturan pemerintah (PP). Dari sisi PPN, kegiatan jasa mereka dikenakan tarif umum 12%, kecuali dinyatakan sebagai nonobjek dalam UU PPN.

    “Secara teknis, dasar pengenaan PPN bisa dihitung dari 11/12 x nilai transaksi atau 11/12 x 10% x nilai transaksi, tergantung bentuk jasanya,” ujar Prianto.

    Khusus untuk pedagang aset digital, penghasilan dari jual beli kripto juga dikenai PPh. Sementara dari sisi PPN, aset kripto tidak termasuk dalam daftar nonobjek PPN sebagaimana Pasal 4A ayat (2) UU PPN, sehingga tetap terutang PPN 12%.

    Menurut Prianto, revisi PMK 68/2022 menjadi krusial karena akan menjadi dasar teknis pemajakan yang lebih kompatibel dengan struktur pasar kripto versi OJK. Hanya saja, dia menilai fokus revisi pengaturan bukan pada potensi penerimaan negara, melainkan pada kemudahan administrasi dan kepastian hukum.

    “Ketika pengaturannya sudah masuk ke ranah teknis administratif di Peraturan Menteri Keuangan, maka fokusnya bukan semata untuk menggenjot penerimaan, tapi untuk memastikan implementasi kebijakan perpajakan berjalan lebih sederhana dan pasti,” kata Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu.

    Adapun PMK 68/2022 saat ini masih menjadi acuan pengenaan pajak atas transaksi kripto, meskipun rezim pengawasan dan klasifikasi asetnya telah bergeser dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK. Oleh sebab itu, pemerintah sedang melakukan revisi beleid tersebut.

  • Defisit Anggaran Melebar, Pengamat Beri Catatan soal Keamanan APBN

    Defisit Anggaran Melebar, Pengamat Beri Catatan soal Keamanan APBN

    Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi fiskal negara menjadi sorotan sejumlah pengamat menyusul defisit anggaran yang terus melebar per Maret 2025.

    Dalam laporan perkembangan APBN 2025 per Maret 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa pendapatan negara mencapai Rp516,1 triliun. Realisasi tersebut turun 16,8% secara tahunan atau year on year (YoY) dibandingkan dengan Rp620,01 triliun per Maret 2024.

    Turunnya pendapatan negara tersebut tak lepas dari kinerja dua sumber penerimaan yang masih belum pulih.

    Pertama, penerimaan perpajakan yang mencakup pajak serta kepabeanan dan cukai tercatat hanya mencapai Rp400,1 triliun atau turun 13,6% YoY daripada Rp462,91 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

    Kemudian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) turun 26,03% YoY dari Rp156,7 triliun menjadi Rp115,9 triliun per Maret 2025.

    Kontras dengan penurunan penerimaan, besaran belanja negara justru tumbuh dan mencapai Rp620,3 triliun per Maret 2025, 1,34% YoY dari Rp611,94 per Maret 2024. Akibatnya, terjadi defisit anggaran sebesar 0,43% atau setara Rp104,2 triliun per Maret 2025.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengaku cukup khawatir dengan perkembangan fiskal tersebut. Dia mencatat bahwa kondisi defisit anggaran di awal tahun hanya terjadi ketika sedang terjadi krisis, misalnya seperti pada masa pandemi Covid-19.

    “Untuk itu makanya perlu pemerintah memperbaiki manajemen kebijakannya,” ujar Faisal kepada Bisnis, Kamis (1/5/2025).

    Apalagi, sambungnya, belakangan muncul berbagai tantangan yang tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga eksternal. Faisal meyakini perlunya upaya ekstra dalam menambah pendapatan negara sekaligus manajemen pengeluaran yang lebih selektif.

    Terkait pendapatan, dia menilai perlunya pemerintah meningkatkan penerimaan pajak terutama dari kelompok masyarakat menengah-atas.

    “Jadi artinya progresivitas dalam pengumpulan pajak, itu satu yang menjadi penting. Yang kedua juga adalah sistem pengumpulan pajak yang lebih efisien dan dimudahkan para pembayar pajak, tidak malah menyusahkan,” jelasnya.

    Sedangkan dari sisi pengeluaran, Faisal menekankan belanja pemerintah harus lebih efektif terutama difokuskan ke program yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

    Dia mendukung upaya efisiensi anggaran yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto. Namun, realita di lapangan dinilai Faisal justru memperlihatkan adanya pengalihan, alih-alih pencegahan kebocoran dan mark ap anggaran. Alhasil, langkah yang diambil pemerintah justru menurunkan pertumbuhan di satu sektor ke sektor lain.

    “Nah, hal yang perlu diperhatikan menurut saya adalah memperkuat dari sisi pengelolaan, governance, pembelanjaan dari anggaran negara, jangan sampai malah banyak terjadi kebocoran yang tidak diinginkan, meminimalisir terjadinya korupsi,” tutupnya.

    Sementara itu, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai perkembangan realisasi APBN masih aman, meskipun harus tetap diwaspadai.

    Dia menekankan otoritas harus bisa menjaga pertumbuhan ekonomi dan konsumsi dalam negeri sehingga penerimaan pajak bisa meningkat sehingga memperlebar ruang fiskal pemerintah.

    Bagaimanapun, sambungnya, pertumbuhan ekonomi akan membuka lebih banyak lapangan kerja sehingga memberi dampak positif kepada daya beli dan setoran PPh 21 atau pajak karyawan.

    Selain itu, Prianto menilai pemerintah harus mencermati volatilitas usaha sektor pertambangan seperti tembaga dan bijih logam.

    “Sumbangan positif dari sektor tersebut di Januari–Maret 2025 harus tetap dijaga,” katanya.

    Terpisah, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pemerintah masih mempunyai tugas berat ke depan, terutama menghadapi ancaman penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump. Kebijakan tersebut diyakini akan memperlambat perekonomian global.

    Hal ini tecermin dari laporan terbaru IMF dan Bank Dunia yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% pada 2025.

    “Jika realisasi pertumbuhan ekonomi jauh dari yang diasumsikan dalam APBN maka ada peningkatan risiko pelebaran shortfall penerimaan dan membuat target penerimaan pajak makin sulit untuk dikejar,” kata Fajri, Kamis (1/5/2025).

    Belum lagi beberapa harga komoditas energi seperti batu bara dan minyak bumi diperkirakan akan turun lebih dari 20% dibandingkan tahun lalu, hal ini berisiko mengerek turun pemasukan negara dari bea keluar hingga PNBP.

    Fajri turut mengkhawatirkan risiko eskalasi perang dagang antara AS dan China. Salah satunya adalah meningkatnya impor produk asal China ke dalam negeri, sehingga menambah tekanan pada sektor manufaktur.

    “Pada akhirnya berdampak pada kontribusi penerimaan pajak dari sektor pengolahan. Terlihat, dalam tiga tahun terakhir kontribusi penerimaan pajak dari sektor pengolahan terus menurun,” ujarnya.

    Meski demikian, dia melihat jika kondisi APBN pada tahun ini akan tetap aman selama dikelola secara teknokratis oleh orang yang tepat.

  • Pemeriksaan Pajak Dipercepat, Waktu Klarifikasi WP Kini Lebih Singkat

    Pemeriksaan Pajak Dipercepat, Waktu Klarifikasi WP Kini Lebih Singkat

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan mempercepat jangka waktu pemeriksaan pajak, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025.

    Direktur P2 Humas Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa dalam PMK 15/2025, jangka waktu pemeriksaan reguler dipersingkat dari maksimal 12 bulan menjadi maksimal 6 bulan.

    Sementara itu, waktu pemeriksaan wajib pajak grup dan transfer pricing dipangkas dari maksimal 24 bulan menjadi maksimal 10 bulan.

    Sejalan dengan itu, waktu klarifikasi bagi wajib pajak (WP) untuk menanggapi Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) juga dipersingkat, dari yang awalnya 7 hari kerja menjadi 5 hari.

    “Namun demikian, WP juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan klarifikasi sebelum SPHP disampaikan, yaitu pada saat pembahasan temuan sementara,” ujar Dwi Astuti kepada Bisnis, Rabu (9/4/2025).

    Oleh sebab itu, ia meyakini pemangkasan waktu klarifikasi tidak akan membebani WP. Ia menjelaskan bahwa pembahasan temuan sementara merupakan salah satu tahapan baru yang diatur dalam PMK 15/2025.

    Dalam pembahasan temuan sementara, WP diberikan kesempatan untuk memberikan klarifikasi atas temuan pemeriksaan. WP juga masih memiliki kesempatan untuk pengungkapan Pasal 8 ayat (4), karena pembahasan temuan sementara dilakukan dalam proses pengujian.

    “Dengan demikian, klarifikasi WP dalam tanggapan SPHP dapat lebih fokus pada formal/yuridis pemeriksaan,” jelas Dwi.

    Ia mengungkapkan bahwa PMK 15/2025 juga sudah disosialisasikan kepada seluruh pemeriksa pajak. Selain itu, sambungnya, pemeriksa pajak akan didukung sistem baru yang lebih modern, yaitu Coretax, yang diklaim mendukung kualitas dan kuantitas pemeriksaan.

    “Percepatan pemeriksaan justru dapat membuat produktivitas pemeriksa meningkat, sehingga pemeriksa dapat menyelesaikan lebih banyak pemeriksaan dalam satu tahun,” tutup Dwi.

    Sementara itu, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menilai bahwa tahapan baru berupa pembahasan temuan sementara akan memudahkan WP, meski waktu klarifikasi semakin dipersingkat.

    Dalam pembahasan temuan sementara tersebut, hasil pemeriksaan harus dikomunikasikan kepada WP. Prianto meyakini proses ini akan membuat WP lebih siap menyusun tanggapan secara tertulis, lengkap dengan bukti pendukung dalam tanggapan SPHP.

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia ini pun mendukung percepatan proses pemeriksaan pajak. Menurutnya, WP badan sering mengeluhkan lamanya waktu pemeriksaan pajak.

    “Sering kali WP harus menunggu respons pemeriksa ketika data-data sudah lengkap disampaikan. Alasan pemeriksa biasanya berkaitan dengan jatuh tempo waktu pemeriksaan,” kata Prianto kepada Bisnis, Rabu (9/4/2025).

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini juga menilai bahwa pemangkasan waktu pemeriksaan akan memberikan kepastian hukum bagi WP untuk mendapatkan hasil akhir pemeriksaan lebih cepat dari ketentuan sebelumnya

  • BKF Kemenkeu Klaim Penerimaan Pajak Maret 2025 Pulih

    BKF Kemenkeu Klaim Penerimaan Pajak Maret 2025 Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengklaim realisasi penerimaan pajak pada Maret 2025 lebih tinggi dibandingkan Maret 2024.

    Febrio belum menyampaikan angka detail. Ia hanya menyebut telah terjadi pembalikan (turnaround) setelah penurunan penerimaan pajak secara tahunan (year on year/YoY) hingga Februari 2025.

    “Kita melihat di bulan Maret-nya, penerimaan pajak itu sudah positif year on year-nya. Nanti kita akan detailkan lagi,” kata Febrio di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025).

    Ia menyatakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus menjaga postur fiskal tetap sehat, terutama dari sisi penerimaan. Febrio menjelaskan bahwa penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama 2025 disebabkan oleh restitusi dan kelebihan bayar akibat penerapan tarif efektif rata-rata (TER) PPh 21.

    Namun, kini efek restitusi dan lebih bayar TER PPh 21 tersebut dinilai sudah tidak terlalu terasa, sehingga penerimaan pajak pada Maret 2025 telah kembali meningkat secara tahunan.

    Sebagai informasi, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp187,8 triliun per Februari 2025, turun 30,2% YoY dibandingkan Februari 2024 yang mencapai Rp269,02 triliun.

    Adapun realisasi penerimaan pajak pada Maret 2024 mencapai Rp393,91 triliun. Oleh karena itu, jika klaim Febrio benar, maka penerimaan pajak Maret 2025 setidaknya harus bertambah lebih dari Rp207 triliun.

    Coretax Biang Kerok

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono menilai bahwa permasalahan implementasi sistem Coretax menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak pada awal tahun.

    Menurutnya, sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax terus mengalami gangguan teknis. Padahal, proses bisnis pembayaran pajak hanya dapat dilakukan melalui sistem tersebut.

    “Makanya, secara praktis pembayaran pajak tidak dapat dilakukan di bulan Januari 2025 ketika Coretax bermasalah,” kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).

    Ia menambahkan, jenis pajak yang paling terdampak berasal dari kelompok yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak, seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB) khusus sektor pertambangan.

    Senada, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan penerimaan pajak terkontraksi, yakni gangguan implementasi Coretax, penerapan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER), dan peningkatan restitusi PPN.

    Menurutnya, ketiga faktor tersebut bersifat sementara. Oleh sebab itu, ia optimistis bahwa penerimaan pajak dapat kembali meningkat.

    “Perbaikan ini terjadi karena saya melihat dampak utamanya adalah operational risk [risiko operasional], begitu pula dampak dari kebijakan TER maupun restitusi PPN yang diperkirakan akan berkurang dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Fajry kepada Bisnis, Kamis (13/3/2025).

    Meski demikian, Fajry menggarisbawahi bahwa secara fundamental, kinerja perpajakan sangat bergantung pada kondisi ekonomi. Jika perekonomian membaik, maka target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun sepanjang 2025 dinilai masih realistis.

    “Jika kondisi makro tidak jauh dari asumsi APBN—seperti pertumbuhan ekonomi 5,2%—dan masih dikelola oleh orang yang tepat, saya masih yakin dengan kondisi kesehatan keuangan negara kita,” tutupnya.

  • Penerimaan Pajak Pulih, Tumbuh 6,6 Persen Per 17 Maret 2025

    Penerimaan Pajak Pulih, Tumbuh 6,6 Persen Per 17 Maret 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi penerimaan pajak mengalami pertumbuhan bruto sebesar 6,6% per 17 Maret 2025. Kondisi ini sudah lebih baik dari pertumbuhan penerimaan pajak pada Februari 2025 yang mengalami kontraksi 3,8%.

    “Dalam kurun waktu 17 hari dari 1-17 Maret, terjadi turnaround dari penerimaan bruto yang tadinya negatif 3,8% pada akhir Februari, lalu pada 17 Maret 2025 posisinya sudah positif 6,6%,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Hasil Lelang Surat Utang Negara di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak pada Selasa (18/3/2025).

    Sri Mulyani menegaskan dengan membaiknya kondisi penerimaan pajak diharapkan akan menjaga ekspektasi pelaku ekonomi terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Pasalnya pada dua bulan pertama penerimaan pajak mengalami kontraksi beruntun secara tahunan.

    “Ini juga untuk menenangkan dari seluruh media maupun market yang menyoroti dengan penerimaan negara,” kata Sri Mulyani.

    Berdasarkan data Kemenkeu, setoran pajak sebesar Rp 187,8 triliun per 28 Februari 2025. Realisasi ini baru 8,6% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2025 yang sebesar Rp 2.189,3 triliun.

    Penerimaan pajak terkontraksi hingga  30,19% dibanding realisasi penerimaan pajak pada Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. Pada Januari 2025 terjadi kontraksi 41% lalu di bulan Februari kembali terjadi kontraksi 30,19%.

    “Saya ingin juga tegaskan bahwa penerimaan negara yang posisi Februari karena angkanya memang waktu itu belum stabil tetapi juga karena ada faktor restitusi yang cukup besar secara sangat spesifik tidak berulang. Jadi tidak menjadi sebuah tren, yang seharusnya dibaca oleh market maupun media,” tutur Sri Mulyani.

    Sebelumnya Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, anjloknya penerimaan terjadi karena belum mulusnya implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Core Tax Administration System) atau Coretax.

    Namun dia menilai  penerimaan pajak masih dalam kondisi aman sehingga belum perlu dilakukan revisi UU APBN 2025.

    “Permasalahan Coretax mencakup mekanisme pembayaran pajak yang hanya tersedia melalui modul deposit pajak di Coretax utk masa Januari 2025,” ucap Prianto.

    Dia mengatakan, mulai masa pajak Februari 2025, pembayaran bisa dilakukan melalui pembuatan kode billing di Surat Pemberitahuan Tahunan  SPT Masa PPh. Lebih lanjut pembayaran bisa dilakukan melalui fasilitas perbankan seperti sedia kala.

    “Jadi, saya optimistis bahwa kontraksi penerimaan pajak tersebut hanya bersifat temporer. Mulai masa Maret 2025 diharapkan mulai ada pemulihan penerimaan pajak. Dengan kata lain, pajak masa Januari dan Februari 2025 masih bisa disetorkan di masa Maret tanpa ada risiko sanksi administrasi pajak,” tutur dia.

    Guna menggenjot penerimaan maka  DJP harus memperbaiki proses bisnis yang bermasalah. Dalam hal ini DJP harus memastikan bahwa 21 proses bisnis yang diintegrasikan di Coretax aman dan tidak bermasalah lagi.

    “Selain itu, saluran pembayaran penerimaan pajak tetap mengakomodasi sarana perbankan, seperti halnya kondisi sebelum diberlakukan Coretax. DJP tdk perlu hanya mengandalkan menu deposit pajak di Coretax,” pungkasnya.

  • Setoran PPN DN Rontok 92,75% pada Januari 2025, Efek Error Coretax?

    Setoran PPN DN Rontok 92,75% pada Januari 2025, Efek Error Coretax?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak pertambahan nilai dalam negeri alias PPN DN hanya sebesar Rp2,58 triliun pada Januari 2025. Angka tersebut turun hingga 92,75% dari realisasi PPN DN pada Januari 2024 senilai Rp35,6 triliun.

    Data tersebut terungkap dalam dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025, yang berisi data fiskal per Januari 2025. 

    Dibandingkan jenis pajak lain, penerimaan PPN DN memang menjadi yang paling besar anjloknya. PPh Badan menjadi jenis pajak yang penurunannya terbesar kedua: pada Januari 2025, realisasi PPh Badan sebesar Rp4,16 triliun atau anjlok hingga 77,14% dari perolehan Januari 2024 senilai Rp18,2 triliun.

    Kemudian, PPh 21 menjadi jenis pajak yang persentase penurunannya terbesar ketiga. Pada Januari 2025, realisasi PPh 21 sebesar Rp15,96 triliun atau anjlok hingga 43,64% dari perolehan Januari 2024 senilai Rp28,3 triliun.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan setoran pajak yang bermasalah tersebut semua adalah dari jenis pajak yang dikelola Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

    Oleh sebab itu, Prianto meyakini permasalahan implementasi Coretax alias sistem inti administrasi perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak menjadi penyebab utama penurunan penerimaan tersebut.

    Dia menjelaskan setelah diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax terus mengalami masalah teknis. Masalahnya, proses bisnis pembayaran pajak hanya bisa dilakukan melalui Coretax.

    “Makanya, secara praktis pembayaran pajak tidak dapat dilakukan di bulan Januari 2025 ketika Coretax bermasalah,” jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).

    Prianto meyakini performa penerimaan pajak akan pulih pada bulan-bulan selanjutnya. Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia itu beralasan, Ditjen Pajak telah memberikan kelonggaran penyetoran pajak melalui dua skema sejak Februari 2025.

    Skema pertama melalui menu deposit yang ada di Coretax. Skema kedua, menu pembuatan SPT pemotongan/pemungutan PPh juga dapat menghasilkan kode billing sehingga berdasarkan kode billing tersebut pembayaran pajak bisa dilakukan melalui berbagai bank seperti sebelum diberlakukan Coretax.

    Oleh sebab itu, diharapkan penyetoran pajak tidak terhambat lagi. Prianto menyimpulkan, secara prinsip penyetoran pajak terhambat hanya karena ada pergeseran waktu setor.

    “Jadi, target di APBN 2025 masih tetap dapat dipertahankan [Rp2.189,31 triliun],” jelas Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu.

    Jenis Pajak
    Jan-24
    Jan-25
    %

    PPN DN
    35,6
    2,58
    -92,7%

    PPh 21
    28,3
    15,95
    -43,6%

    PPh Badan
    18,2
    4,16
    -77,1%

    PPh Final
    11,5
    11,57
    0,6%

    PPh 22 Impor
    6,3
    6,09
    -3,3%

    PPh 26
    9,3
    8,94
    -3,8%

    PPh OP
    0,5
    0,46
    -8%

    PPN Impor
    19,6
    20,21
    3,1%

    *nilai pajak dalam triliun rupiah

    Sebagai informasi, dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025 (yang berisi data APBN per Januari 2025) muncul di situs resmi Kemenkeu pada Rabu (12/3/2025) pagi. Namun, ketika Bisnis memeriksanya lagi pada pukul 14.30 WIB, dokumen itu sudah tidak tersedia.

    Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelar Konferensi Pers APBN Kita edisi Maret 2025 pada Kamis (13/3/2025). Dalam konferensi pers tersebut, Kemenkeu tidak menyampaikan data realisasi penerimaan pajak Januari 2025, melainkan langsung memaparkan data per Februari 2025.

    Disampaikan, penerimaan pajak mencapai Rp187,8 triliun per Februari 2025. Angka tersebut turun 30,2% dibandingkan realisasi pajak Februari 2024 senilai Rp269,02 triliun.

    Tak Bahas Coretax

    Dalam penjelasannya, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu membantah permasalahan implementasi Coretax menjadi penyebab utama penerimaan negara anjlok pada awal tahun.

    Anggito menjelaskan sejak 2022, pola penerimaan pajak selalu sama yaitu naik pada Desember tetapi menurun pada Januari dan Februari.

    “Jadi, tidak ada hal yang anomali [dari penurunan penerimaan pajak selama Januari—Februari 2025]. Jadi sifatnya normal saja,” ujar Anggito dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).

    Hanya saja, dia tidak menampik bahwa penurunan penerimaan pajak pada awal tahun ini lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, ada dua faktor utama yang menyebabkan itu.

    Pertama, faktor penurunan harga komoditas utama Indonesia seperti batu bara (-11,8%), Brent (-5,2%), dan nikel (-5,9%). Kedua, faktor administrasi.

    Terkait faktor administrasi, Anggito menjelaskan adanya sejumlah kebijakan baru yang mempengaruhi penerimaan pajak. Dia mencontohkan kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) atas PPh 21 atau pajak atas penghasilan buruh yang mulai belaku Januari 2024.

    Menurutnya, penerapan TER PPh 21 mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp165 triliun pada 2024. Anggito menyatakan jika lebih bayar tersebut diklaim pada Januari dan Februari 2025 maka penerimaan pajak jenis PPh 21 akan meningkat (rata-rata Rp21,2 triliun [bruto] pada Desember 2024—Februari 2025) bahkan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (Rp20,4 triliun [bruto]).

    “Jadi ada kebijakan yang baru pertama kali dilaksanakan pada 2024 yang namanya tarif efektif rata-rata untuk PPh 21. Jadi kalau Anda menghitung cash memang turun, tapi kalau ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilaksanakan 2024,” ujar Anggito.

    Selain itu, sambungnya, ada kebijakan relaksasi pembayaran PPN dalam negeri (DN) yaitu pembayaran yang sampai dengan Februari bisa dibayarkan hingga 10 Maret 2025.

    Menurutnya, jika perhitungan dinormalisasikan terhadap aturan relaksasi tersebut maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024—Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun (bruto) atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Rp64,2 triliun [bruto]).

    “Jadi itu menjelaskan pola Februari 2025 agak berbeda dengan sebelumnya. Tapi sekali lagi setelah dinormalisasikan dan angka itu diketahui sampai dengan 10 Maret maka polanya sama seperti yang normal,” tutupnya.

    Anggito tidak mengungkapkan permasalahan implementasi Coretax menjadi penyebab penerimaan pajak turun.

  • Pakar Ungkap Coretax Biang Kerok Penerimaan Pajak Turun 41,9% pada Januari 2025

    Pakar Ungkap Coretax Biang Kerok Penerimaan Pajak Turun 41,9% pada Januari 2025

    Bisnis.com, JAKARTA —

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini permasalahan implementasi Coretax alias sistem inti administrasi perpajakan menjadi penyebab utama penurunan penerimaan pajak pada Januari 2025.

    Dalam dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi penerimaan pajak senilai Rp88,89 triliun pada Januari 2025. Angka tersebut turun 41,86% dibandingkan realisasi Januari 2024 senilai Rp152,89 triliun.

    Prianto menjelaskan setelah diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax terus mengalami masalah teknis. Masalahnya, proses bisnis pembayaran pajak hanya bisa dilakukan melalui Coretax.

    “Makanya, secara praktis pembayaran pajak tidak dapat dilakukan di bulan Januari 2025 ketika Coretax bermasalah,” jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).

    Apalagi, sambungnya, setoran pajak yang bermasalah berasal dari jenis pajak yang dikelola Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor pertambangan.

    Memang secara tahunan (year on year/YoY), penerimaan PPN Dalam Negeri (DN) menjadi yang paling anjlok realisasinya. Pada Januari 2025, realisasi PPN DN senilai Rp2,58 triliun atau anjlok hingga 92,75% dari perolehan Januari 2024 senilai Rp35,6 triliun.

    PPh Badan menjadi jenis pajak yang persentase realisasi penurunannya terbesar kedua. Pada Januari 2025, realisasi PPh Badan sebesar Rp4,16 triliun atau anjlok hingga 77,14% dari perolehan Januari 2024 senilai Rp18,2 triliun.

    Kemudian, PPh 21 menjadi jenis pajak yang persentase penurunannya terbesar ketiga. Pada Januari 2025, realisasi PPh 21 sebesar Rp15,96 triliun atau anjlok hingga 43,64% dari perolehan Januari 2024 senilai Rp28,3 triliun.

    Hanya saja, Prianto meyakini performa penerimaan pajak akan pulih pada bulan-bulan selanjutnya. Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia itu beralasan, Ditjen Pajak telah memberikan kelonggaran penyetoran pajak melalui dua skema sejak Februari 2025.

    Skema pertama melalui menu deposit yang ada di Coretax. Skema kedua, menu pembuatan SPT pemotongan/pemungutan PPh juga dapat menghasilkan kode billing sehingga berdasarkan kode billing tersebut pembayaran pajak bisa dilakukan melalui berbagai bank seperti sebelum diberlakukan Coretax.

    Oleh sebab itu, diharapkan penyetoran pajak tidak terhambat lagi. Prianto menyimpulkan, secara prinsip penyetoran pajak terhambat hanya karena ada pergeseran waktu setor.

    “Jadi, target di APBN 2025 masih tetap dapat dipertahankan [Rp2.189,31 triliun],” jelas Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu.

    Sebagai informasi, dokumen APBN KiTa edisi Februari 2025 (yang berisi data APBN per Januari 2025) muncul di situs resmi Kemenkeu pada Rabu (12/3/2025) pagi. Namun, ketika Bisnis memeriksanya lagi pada pukul 14.30 WIB, dokumen itu sudah tidak tersedia.

  • Pak Prabowo, Target Tax Ratio 18% Dinilai Lebih Rasional

    Pak Prabowo, Target Tax Ratio 18% Dinilai Lebih Rasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai target rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto/PDB sebesar 18% lebih rasional untuk saat ini, ketimbang harapan Presiden Prabowo Subianto yakni tax ratio 23%.

    Direktur Eksekutif dan Analis Kebijakan Pajak Pratama-Kreston Tax Reserch Institute Prianto Budi Saptono menyampaikan dengan kondisi ekonom global dan domestik terkini, dirinya optimistis 80% bahwa target 18% masih mampu tercapai pada akhir kepemimpinan Prabowo.

    “Secara rasional, target 18% pada 2029 pasti lebih rasional dari target 23%,” ujarnya, Rabu (5/3/2025).

    Sekalipun untuk mencapai 18%, pemerintah harus punya usaha lebih atau extra effort agar tingkat pertumbuhan penerimaan pajak mampu lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB.

    Pada 2024, penerimaan pajak hanya mampu tumbuh sebesar 3,5% atau masih lebih rendah dari realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun yang sama, yakni sebesar 5,03%.

    Sementara pertumbuhan penerimaan dari kepabeanan dan cukai mampu tumbuh sebesar 4,9%, lebih mendekati pertumbuhan ekonomi meski tetap lebih rendah. 

    Melihat bagian Sasaran Fiskal Tahun 2025-2029 dalam Peraturan Presiden Nomor 12/2025 tentang RPJMN 2025—2029, rasio pendapatan negara ditargetkan pada rentang 13,75%—18%.

    Sementara rasio penerimaan pajak dalam arti luas, termasuk bea dan cukai, ditargetkan pada rentang 11,52%—15%.

    Membandingkan dengan realisasi 2024 sebesar 10,07%, artinya dalam lima tahun ke depan penerimaan perpajakan diharapkan setidaknya mampu naik sebesar 4,93%.

    Usaha lebih yang harus pemerintah lakukan menjadi kewajiban karena hal yang menjadi masalah, penerimaan negara tertahan tak lebih dari 11% dalam 10 tahun terakhir.

    Pada 2015, tax ratio sebesar 10,76%. Bukannya mengalami perbaikan, pada 2016 justru rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB menurun ke level 10,36% dan menyentuh 9,89% pada 2017.

    Lebih jauh lagi, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 59/2024 tentang RPJPN 2025—2045, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB hanya berada di rentang 18% hingga 20%, bukan 23%.

    Sasaran tersebut bahkan tidak jauh berbeda dengan target pada 2029 alias 16 tahun sebelum 2045.

    Ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mengerek penerimaan ke level 23% diyakini dengan terobosan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN), sebagai bagian dari strategi meningkatkan pendapatan negara.

    Prabowo turut menyebutkan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Strategi itu menjadi salah satu cara untuk menciptakan kebijakan fiskal yang adaptif dan ruang fiskal yang memadai, demi mencapai sasaran visi Indonesia Emas 2045.

    Tercatat bahwa rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih terdapatnya kesenjangan mencakup aspek administrasi (administration gap) maupun kebijakan (policy gap) yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara.

    Sebelumnya, Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti menyatakan pihaknya akan terus fokus dalam mengumpulkan penerimaan pajak dengan menempuh berbagai upaya, termasuk memperkuat penegakan hukum.

    “Antara lain perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi berupa edukasi perpajakan, pengawasan pajak dan law enforcement [penegakan hukum],” ujar Dwi kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (9/2/2025).

    Selain itu, sambungnya, Ditjen Pajak akan melakukan peningkatan kerja sama perpajakan internasional serta optimalisasi kegiatan joint audit, analisis, investigasi, hingga intelijen.

  • Pengamat Nilai Pembentukan Badan Penerimaan Negara Belum Serius, Ini Alasannya

    Pengamat Nilai Pembentukan Badan Penerimaan Negara Belum Serius, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Ambisi Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Penerimaan Negara tak surut meski pada awal tahun ini belum tampak akan terlaksana. 

    Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) nyatanya tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.12/2025 tentang RPJMN 2025-2029, sebagai bagian dari strategi meningkatkan pendapatan negara.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono melihat secara keseluruhan dalam Perpres tersebut, masih belum ada arah yang jelas dan perincian terkait rencana pembentukan BPN dan target rasio pajak hingga 23%. 

    “Pemerintahan sekarang ini masih belum serius untuk membentuk BPN guna mencapai target rasio pajak di 23%,” tuturnya, Kamis (27/2/2025). 

    Mengacu lampiran Perpres No.12/2025, sudah diuraikan infografis tentang highlight intervensi untuk mendirikan BPN dan meningkatkan rasio pajak menjadi 23%. 

    Akan tetapi, menurut Prianto infografis tersebut masih terlalu sederhana dan tidak menggambarkan rencana membentuk BPN dan cara meningkatkan rasio pajak hingga 23%.

    Secara spesifik pun, narasi pendirian BPN dan target rasio pajak 23% itu ada Prioritas Nasional 7 yang didukung oleh program hasil terbaik cepat. Namun demikian, jika dilihat kerangka regulasi dan kelembagaan di Prioritas Nasional 7, tidak ada rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pendirian BPN.

    Prianto melihat kondisi saat ini, bahwa Kementerian Keuangan masih enggan untuk memisahkan fungsi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dari Kemenkeu. 

    Menurutnya, alasan Kemenkeu cukup logis. Pasalnya memisahkan fungsi penerimaan dan fungsi belanja di APBN itu jauh lebih sulit dari kondisi ketika kedua fungsi tersebut masih berada di satu atap Kemenkeu.

    Prianto menyampaikan tidak disebutkan pula dalam RPJMN, terkait kapan waktu dan kondisi ekonomi yang tepat untuk membentuk BPN selama periode 2025-2029 ini. 

    “Ketika ditanya kapan waktu yang tepat bagi pemerintahan sekarang ini membentuk BPN, semuanya tergantung political will dari pemerintahan. Ketika Menkeu sekarang masih tidak berubah, sepertinya BPN hanya akan sebatas omon-omon berdasarkan alasan logis di atas,” lanjut Prianto. 

    Dalam RPJMN tersebut, pemerintah menyinggung cara menaikkan rasio penerimaan negara hingga 23% terhadap PDB itu yaitu dengan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan. 

    RPJMN pun menargetkan tiga capaian. Pertama, penambahan wajib pajak hingga 90% pada 2029. Kedua,tingkat kepatuhan pajak penyampaian SPT Tahunan mencapai 100% pada 2029. Ketiga, indeks efektivitas kebijakan penerimaan negara 100% pada 2029.

    RPJMN pun menjelaskan intervensi yang akan dilakukan untuk mewujudkan tiga capaian tersebut. Pertama, implementasi Coretax alias sistem informasi inti administrasi perpajakan dan interoperabilitas dengan sistem informasi stakeholder terkait agar menuju data-driven. 

    Kedua, simplifikasi proses bisnis dan kelembagaan serta penguatan kebijakan. Ketiga, pembenahan tata kelola ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan (termasuk sin tax). Keempat, peningkatan kepatuhan perpajakan.

  • Inikah Biang Keladi Penerimaan Pajak RI Tak Sebanding Pertumbuhan Ekonomi?

    Inikah Biang Keladi Penerimaan Pajak RI Tak Sebanding Pertumbuhan Ekonomi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Besaran penerimaan perpajakan tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu. Pakar pun menyoroti faktor lemahnya pengawasan otoritas dan ketidakpatuhan wajib pajak.

    Keseimbangan penerimaan perpajakan dengan pertumbuhan ekonomi sendiri bisa dihitung lewat mekanisme tax bouyancy. Rumus perhitungan tax bouyancy yaitu persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi persentase perubahan produk domestik bruto (PDB).

    Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan tumbuh sebesar 3,6% (year on year/YoY) pada 2024. Sementara itu Badan Pusat Statistik membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% YoY pada 2024.

    Artinya, nilai tax buoyancy Indonesia berada di angka 0,71. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional, penerimaan pajak hanya naik sebesar 0,71%.

    Idealnya, nilai tax buoyancy adalah 1. Nilai tersebut menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan penerimaan pajak yang juga sebesar 1%.

    Dengan demikian, setoran pajak tidak elastis pada tahun lalu atau bisa dikatakan penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan penerimaan pajak semakin tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu faktor internal dan eksternal dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).

    “Faktor internal berkaitan dengan kemampuan petugas pajak mengumpulkan pajak. Penyebabnya berasal dari intensifikasi dan ekstensifikasi yang belum optimal,” jelas Prianto kepada Bisnis, Minggu (9/2/2025).

    Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia ini menjelaskan proses intensifikasi berkaitan dengan penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan) yang tidak berujung pada pembayaran pajak bagi wajib pajak.

    Penyebabnya, sambung Prianto, adalah potensi pajak yang ada di SP2DK menggunakan data yang kurang valid. Dengan demikian, wajib pajak bisa menjelaskan rujukan data yang kurang valid di SP2DK melalui proses pembuktian sehingga potensi penerimaan pajak menjadi sirna.

    Sementara itu, proses ekstensifikasi berkaitan dengan penambahan wajib pajak baru, khususnya orang pribadi, melalui pemanfaatan NIK yang belum optimal.

    Dia meyakini belum optimalnya penambahan wajib pajak karena praktik ekonomi bawah tanah alias underground economy (UGE) yang menyebabkan transaksi-transaksi orang pribadi tidak terdeteksi oleh sistem informasi perpajakan.

    “Faktor eksternal berasal dari perilaku oportunistik wajib pajak karena praktik UGE dan praktik manajemen pajak. Secara umum, pajak menjadi beban sehingga setiap wajib pajak terus berusaha mengefisienkan beban pajak,” lanjut Prianto.

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu memaparkan bahwa efisiensi beban pajak dapat dilakukan melalui cara legal berupa tax planning dan tax avoidance.

    Tax planning seperti pemanfaatan insentif pajak dan fasilitas pajak berupa non-objek pajak, pembebasan pajak, atau pajak ditanggung pemerintah.

    Sementara tax avoidance dilakukan melalui eksploitasi celah pajak (tax loopholes). Caranya dengan memunculkan sengketa pajak karena perbedaan penafsiran atas suatu aturan karena ambiguitas aturan pajak itu sendiri.