Tag: Payaman Simanjuntak

  • Buruh Minta Presiden Bentuk Satgas PHK, Mampu Tangani Gelombang PHK?

    Buruh Minta Presiden Bentuk Satgas PHK, Mampu Tangani Gelombang PHK?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar ketenagakerjaan mempertanyakan tuntutan buruh yang meminta agar Presiden Prabowo Subianto segera membentuk satuan tugas pemutusan hubungan kerja (Satgas PHK).

    Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak menilai pembentukan Satgas PHK tidak secara langsung bisa menyelesaikan akar masalah yang menyebabkan gelombang PHK di Tanah Air.

    “Buruh menuntut Presiden membentuk Satgas PHK? Apa tugasnya? Mampukah Satgas itu meningkatkan produktivitas pekerja supaya perusahaan mampu bertahan tidak melakukan PHK?” ujar Payaman ketika dihubungi, dikutip pada Sabtu (3/5/2025).

    Terlebih, Payaman menjelaskan gelombang PHK terjadi lantaran ekonomi yang melesu. Alhasil, perusahaan dengan produktivitas dan daya saing yang rendah terpaksa memutus hubungan kerja sebagian karyawannya.

    Namun sebelum melakukan PHK, lanjutnya, biasanya perusahaan harus memberitahukan maksudnya dulu kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat.

    Dalam hal ini, Dinas Ketenagakerjaan akan memeriksa kondisi perusahaan, termasuk bantuan untuk menyelamatkan perusahaan supaya tidak perlu melakukan PHK.

    Namun, jika PHK terpaksa harus dilakukan, Dinas Ketenagakerjaan harus memastikan kompensasi atau pesangon harus dibayar, dan kayawan korban PHK diusahakan untuk mengisi lowongan kerja di tempat lain.

    Sementara itu, jika tidak ada kesempatan kerja yang sesuai dengan kompetensi kerjanya, Payaman menuturkan bahwa para buruh yang ter-PHK harus dipersiapkan untuk bekerja mandiri.

    “Jadi sebenarnya tidak perlu membentuk Satgas PHK atau badan baru untuk menangani PHK. Yang perlu dilakukan adalah memberdayakan sarana yang telah ada, yaitu Dinas Ketenagakerjaan di semua provinsi dan kabupaten/kota,” tuturnya.

    Payaman mengatakan setiap Dinas Ketenagakerjaan harus memiliki informasi pasar kerja yang lengkap seperti lowongan kerja dan persyaratannya. Selain itu, Dinas Ketenagakerjaan juga harus memiliki data jumlah pencari kerja, termasuk penganggur dan tenaga ter-PHK dengan kompetensinya.

    Dia menambahkan bahwa setiap Dinas Ketenagakerjaan juga harus berperan mempertemukan pencari kerja dengan lowongan kerja yang sesuai, serta memantau perusahaan bermasalah dan membantu memberikan solusi supaya tidak perlu melakukan PHK.

    “Dinas Ketenagakerjaan juga harus memastikan pemberian hak-hak pekerja ter-PHK dan bekerja sama dengan instansi lain terkait seperti Kementerian UMKM mempersiapkan pencari kerja untuk bekerja mandiri,” ujarnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo saat menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional 2025 (May Day 2025) di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (1/5/2025), mengumumkan akan segera membentuk Satgas untuk menangani kasus PHK.

    “Kami tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” kata Prabowo.

    Dalam catatan Bisnis, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan pihaknya tengah merampungkan konsep pembentukan Satgas PHK bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).

    “Kami bersama Kemenko Ekonomi dan Kemensesneg sedang finalisasi konsep Satgas PHK,” kata Yassierli kepada Bisnis, Rabu (30/4/2025).

    Untuk diketahui, Satgas PHK dibentuk untuk memantau dan mengantisipasi kemungkinan lonjakan pemutusan hubungan kerja, terutama di sektor-sektor strategis yang menyerap banyak tenaga kerja. 

  • Bisakah Pemerintah Paksa Gojek-Grab Cs Bayar THR ke Driver Ojol?

    Bisakah Pemerintah Paksa Gojek-Grab Cs Bayar THR ke Driver Ojol?

    Jakarta

    Gabungan driver ojek online (ojol) telah melakukan demo di depan Gedung Kemenaker, Jakarta Selatan, Senin (17/2). Pasukan hijau tersebut meminta pemerintah untuk ‘mendesak’ aplikator seperti Gojek-Grab agar memberikan tunjangan hari raya (THR) ke mereka.

    Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menegaskan, pemerintah tak bisa memaksa aplikator memberikan THR ke mitra driver. Sebab, kata dia, aturan terkait hingga sekarang belum ada.

    “Pemerintah boleh mengimbau, tetapi belum boleh mewajibkan (pembayaran THR ke ojol),” ujar Payaman, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (18/2).

    Wamenaker Temui Ojol yang Demo Foto: Ignacio Geordy Oswaldo

    Menurutnya, serikat pekerja driver ojol harus mendorong pertemuan dengan pemerintah dan manajemen aplikasi. Payaman menyebut penting untuk mendudukkan terlebih dahulu status pekerja aplikasi tersebut.

    Dia meminta pemerintah segera mengatur hubungan kerja antara pengemudi ojek online dengan aplikator. Dengan begitu, hak-hak semacam THR hingga BPJS Ketenagakerjaan tak lagi abu-abu.

    “Jadi, (driver ojol) bukan melakukan demo menuntut THR. Tuntutan THR belum ada landasan hukumnya,” tuturnya.

    “Siapa saja yang berhak mendapat THR? Berapa besaran yang diterima? Banyak pengemudi online kerja sambilan atau kerja tambahan, apakah mereka juga berhak?” tambah Payaman.

    Menaker dan Wamenaker Lesehan Temui Drivel Ojol Foto: Ignacio Geordy Oswaldo

    Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengaku, sebelum ada demo besar-besaran kemarin, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan perwakilan driver ojol untuk membahas rencana pemberian THR. Bukan sekali, pertemuan tersebut digelar hingga tiga kali!

    Selain dengan mitra ojol, Kementerian Ketenagakerjaan juga sudah dua kali bertemu perwakilan pengusaha. Dia mengklaim, pengusaha telah memahami permintaan tersebut.

    “Ya, ini kan kita sudah sampaikan sebenarnya terkait dengan THR kemarin. Pengusaha juga sudah katanya memahami,” ungkapnya.

    Meski sudah berkumpul dan ada kata memahami rencana pemberian THR itu, ia mengatakan sampai saat ini belum ada titik temu, terutama soal penentuan dan formula perhitungan THR bagi driver ojol.

    “Kami mencoba mencari formula terbaiknya itu yang kita tunggu nanti. Karena ini kan masalah keuangan mereka harus ada simulasi yang harus dipersiapkan kan? Kita tunggu nanti dari sini dalam beberapa hari akan finalisasi dengan pengusaha,” kata dia.

    (sfn/dry)

  • Respons Menaker di Tengah Ancaman Demo Tuntut THR Buat Driver Ojol

    Respons Menaker di Tengah Ancaman Demo Tuntut THR Buat Driver Ojol

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) buka suara terkait aksi unjuk rasa para pengemudi ojek online (driver ojol) yang menuntut hak tunjangan hari raya (THR). Adapun, aksi demonstrasi ini bakal dihelat di Kantor Kemnaker, Jakarta, Senin (17/2/2025).

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan bahwa aksi unjuk rasa yang dilakukan para driver ojol besok, Senin (17/2/2025), merupakan hak setiap warga negara. Selain itu, dirinya juga menghargai aksi tersebut.

    “Kami tentu sangat menghargai langkah mereka tersebut. Bagaimanapun hak menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi konstitusi,” kata Yassierli kepada Bisnis, Minggu (16/2/2025).

    Yassierli juga meyakini aksi unjuk rasa driver ojol yang menuntut hak THR akan berjalan kondusif dan konstruktif.

    Adapun pada pekan lalu, Yassierli mengeklaim bahwa secara terpisah Kemnaker sudah melakukan tiga kali pertemuan dengan perwakilan driver online dan kurir online dari lintas organisasi-serikat pekerja.

    Selain itu, Kemnaker juga sudah dua kali mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan pengusaha aplikasi digital platform untuk mendengarkan aspirasi driver ojol terkait kebijakan THR.

    Adapun, Menaker Yassierli memastikan pemerintah melalui Kemnaker akan mengeluarkan kebijakan perihal THR untuk driver ojol dalam waktu dekat.

    “InsyaAllah kami sangat memahami aspirasi mereka dan tentunya dalam waktu dekat kami akan mengeluarkan kebijakan sehubungan dengan aspirasi mereka tersebut,” tuturnya.

    Demo Tuntut THR

    Dihubungi terpisah, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati membenarkan bahwa para pengemudi online akan menggelar demo untuk menuntut THR pada besok, Senin (17/2/2025).

    “Iya [driver ojol akan melakukan demonstrasi], tuntutan utama soal THR,” kata Lily kepada Bisnis, Minggu (16/2/2025).

    Selain THR, tuntutan aksi lainnya adalah terkait potongan yang terlalu tinggi bagi para driver ojol. Serta, menuntut untuk menghapus upah murah pada program layanan Aceng dan Slot.

    “Ada program namanya Aceng, upahnya murah jarak jauh maupun dekat Rp5.000. [Layanan] Slot itu ada aturanya per wilayah dan per jam, kalau tidak mengikuti wilayah dan jam yang sudah ditentukan,” jelasnya.

    Lily menyebut bahwa program ini bersifat memaksa para driver ojol untuk bekerja di tempat atau wilayah lain dan jauh dari lokasi rumah. “Padahal tidak semua wilayah ramai dan diupah murah,” ungkapnya.

    Tak Punya Dasar Hukum

    Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak memandang bahwa tuntutan THR untuk driver ojol tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Sebab, banyak driver ojol yang bekerja sebagai pekerjaan sampingan.

    “Tuntutan THR belum ada landasan hukumnya. Siapa saja yang berhak mendapat THR? Banyak pengemudi online sebagai kerja sambilan atau kerja tambahan,” kata Payaman kepada Bisnis, Minggu (16/2/2025).

    Menurutnya, SPAI lebih baik mendorong pemerintah mempertemukan kedua belah pihak, yakni para wakil pengemudi online dengan provider untuk menyepakati hubungan kerja, bukan melakukan aksi demonstrasi menuntut THR.

    Untuk itu, Payaman menekankan bahwa pemerintah perlu segera mengatur hubungan kerja antara pengemudi online dengan provider.

    Dia menjelaskan, jika hubungan kerja kedua pihak disebut bermitra, maka pengemudi dan provider adalah pengusaha. Artinya, lanjut dia, mereka memiliki hak dan kewajiban yang jelas, termasuk pembayaran iuran BPJS dan persentase bagian pengemudi.

    “Demikian juga bila hubungan kerja mereka sebagai pemberi kerja dan pekerja bagi hasil, disepakatilah hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk THR,” pungkasnya.

  • Ekonom: Harusnya Pengusaha Lebih Takut PPN 12% dibanding UMP 6,5%

    Ekonom: Harusnya Pengusaha Lebih Takut PPN 12% dibanding UMP 6,5%

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% pada 2025 berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja atau PHK massal. Hal inilah yang semestinya dikhawatirkan para pengusaha.

    Bhima menyampaikan bahwa PPN 12% akan memicu inflasi yang berujung pada potensi PHK massal. Kenaikan PPN ini juga dibarengi dengan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025 yang naik sebesar 6,5% pada tahun depan.

    Namun demikian, dia menyebut bahwa kenaikan UMP tidak memicu PHK.

    “PPN 12% ini memicu inflasi 4,1% sehingga ada kekhawatiran PHK massal bukan karena UMP 6,5%, tetapi karena kebijakan fiskal pemerintah yang agresif menekan daya beli masyarakat,” kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (19/12/2024).

    Menurutnya, pelaku usaha lebih mengkhawatirkan dampak PPN 12% dibandingkan kenaikan UMP 6,5% pada tahun depan.

    “Pengusaha seharusnya lebih takut PPN 12% bukan takut UMP 6,5%,” imbuhnya.

    Menurut studi Celios, Bhima menerangkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak langsung pada pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Dia menyebut, UMP 6,5% berpotensi menciptakan 775.000 lapangan kerja baru. 

    “Ini disebabkan oleh naiknya UMP dapat mendorong permintaan atau konsumsi secara agregat sehingga meningkatkan geliat ekonomi daerah dan memicu pembukaan lapangan kerja baru,” tuturnya.

    Dihubungi terpisah, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak mengatakan bahwa kenaikan UMP 6,5% tidak jauh berbeda dari perkiraan umum dengan menggunakan rumus Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 (PP 51/2023).

    Ini artinya, kata dia, pengusaha seyogyanya sudah dapat mengantisipasi kenaikan UMP pada tahun depan. Selain itu, pengusaha juga diharapkan menerima keputusan itu dengan lapang dada dan melaksanakannya.

    Di tahun depan pula, Payaman menyebut kenaikan PPN menjadi 12% hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah. Untuk itu, kata dia, tidak perlu ada kekhawatiran dari para pengusaha.

    “Sebenarnya bagi produsen tidak berdampak banyak karena barang-barang mewah biasanya dikonsumsi orang-orang berpenghasilan tinggi. Jadi pengusaha tidak perlu khawatir dan mem-PHK karyawan,” kata Payaman kepada Bisnis.

    Terlebih, Payaman menyebut permintaan atas barang mewah juga relatif konstan.

    “Jadi pengusaha berjalan seperti biasa saja, dengan sedikit penyesuaian dalam sistem pengupahan dan harga jual bila produksi barang mewah,” ujarnya.

  • Merger XL Axiata – Smartfren, Pengamat: Serikat Pekerja Tak Wajib Dilibatkan

    Merger XL Axiata – Smartfren, Pengamat: Serikat Pekerja Tak Wajib Dilibatkan

    Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menyebut perusahaan tidak harus melibatkan pekerja dan serikat pekerja dalam proses merger, termasuk dalam kasus merger PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk. 

    “Perusahaan yang mau merger tidak harus melibatkan Pekerja dan Serikat Pekerja dalam prosesnya,” kata Payaman kepada Bisnis, Jumat (6/12/2024).

    Kendati begitu, pekerja dalam hal ini dapat menuntut beberapa hal. Diantaranya, menuntut hak-haknya tidak dikurangi jika terus bekerja di perusahaan baru. 

    Jika ada pekerja yang tidak mau melanjutkan di perusahaan merger, dia mendapat kompensasi sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

    Dia juga turut mengomentari aksi cuti massal yang dilakukan serikat pekerja XL Axiata. Menurutnya, aksi yang dilakukan para pekerja sebetulnya tidak diperbolehkan.

    Pekerja yang ingin mengambil cuti, lanjutnya, harus mengajukan permohonan. Jika ada keperluan, pengusaha dapat menolak pengajuan cuti tersebut. 

    “Jadi mogok massal dengan cara cuti bersama, tidak diperbolehkan,” ujarnya.

    Dalam catatan Bisnis, serikat pekerja XL Axiata melakukan mogok kerja dengan cuti massal. Cuti massal digelar selama satu hari pada Jumat (6/12/2024). 

    Ketua Umum Serikat Pekerja XL Mustakim menyampaikan, aksi ini berisiko sedikit mengganggu layanan yang diberikan XL Axiata kepada lebih dari 58 juta pelanggan perusahaan. Namun, untuk layanan kritis diharapkan tidak mengalami gangguan. 

    “Total karyawan yang melakukan cuti massal di kantor pusat dan regional mencapai hampir 1.000 orang dari total sekitar 1.600 pegawai XL Axiata,” kata Mustakim kepada Bisnis, Jumat (6/12/2024).

    Dia menuturkan, aksi cuti massal ini merupakan bentuk kekecewaan kepada Axiata Malaysia yang tidak melibatkan karyawan dan kurang transparan dalam menjalankan proses merger dengan Smartfren.

    Pasalnya, saat XL Axiata dan Axis Indonesia merger pada 2014, proses merger sangat terbuka dan serikat pekerja dilibatkan. Saat itu manajemen XL dan Axis mengumpulkan para pegawai dan menjabarkan mengenai proses, tahapan, dan hak-hak karyawan bagi yang ingin bergabung maupun yang menolak. 

    Karyawan juga ditawarkan perhitungan paket jika bersedia atau menolak bergabung dengan perusahaan baru.  

    Dalam kasus merger XL Axiata – Smartfren, kata Mustakim, karyawan sama sekali tidak dilibatkan bahkan sekelas jajaran direksi pun, kata Mustakim, tidak mengetahui proses merger.  

    “Informasi tertutup. Belakangan kami tahu tidak ada informasi yang jelas juga ke board of directors (BoD). Kami tidak tahu juga di sana ada dinamika apa,” ungkapnya.

  • Pemerintah Bentuk Satgas PHK, Pakar Sebut Antisipasi PHK pada Masa Mendatang

    Pemerintah Bentuk Satgas PHK, Pakar Sebut Antisipasi PHK pada Masa Mendatang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) diharapkan menjadi langkah pemerintah untuk mengantisipasi agar angka PHK di Indonesia tidak makin besar.

    Perlu diketahui, pembentukan Satgas ini bertujuan untuk memitigasi risiko PHK dari perusahaan menyusul kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5%.

    Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal berharap Satgas PHK ini bisa menjadi langkah pemerintah untuk mengatasi masalah PHK yang sudah terjadi selama bertahun-tahun. 

    “Saya harap terbentuknya Satgas PHK ini sebagai bentuk antisipasi pemerintah terhadap kondisi yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, termasuk tahun ini dan juga mengantisipasi supaya tidak menjadi lebih parah ke depannya,” kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (3/12/2024).

    Berdasarkan catatan Bisnis, sebanyak 64.751 pekerja di Indonesia di-PHK per 18 November 2024 hingga pukul 08.45 WIB. Dari angka itu, DKI Jakarta menjadi wilayah penyumbang PHK tertinggi, yakni sebanyak 14.501 tenaga kerja atau berkontribusi sebesar 22,4%.

    Menurut Faisal, gelombang PHK salah satunya dipicu dari kondisi ekonomi, di mana saat ini terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kendati demikian, Faisal menyampaikan bahwa keberhasilan dari Satgas PHK juga bergantung dari efektivitas dan koordinasi.

    “Dan Satgas PHK ini sebetulnya lebih kepada pengobatan. Yang penting dilakukan pemerintah juga sebetulnya adalah preventif, mencegah jangan sampai terjadinya PHK,” tuturnya.

    Untuk itu, lanjut dia, pemerintah perlu menetapkan kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil yang bisa mencegah gelombang PHK. “Tapi apapun Satgas PHK ini harus betul-betul serius,” imbuhnya.

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli sebelumnya mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK). “Lagi disiapkan, tim sama ininya. Ini kan masih rumusan awal,” ujar Yassierli kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/12/2024). 

    Nantinya, Satgas PHK ini akan melibatkan lintas kementerian yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

    Namun, Yassierli membantah bahwa pembentukan satgas ialah dampak seusai adanya kebijakan kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5%. Menurutnya, kenaikan UMP justru akan meningkatkan daya saing industri yang membutuhkan angin segar dalam menjaga daya beli masyarakat.

    Penetapan kenaikan rata-rata upah minimum nasional tahun 2025 sebesar 6,5% pertama kali diumumkan Presiden Prabowo Subianto.

    Orang nomor satu di Indonesia itu resmi menaikkan rata-rata upah minimum nasional 2025 sebesar 6,5%. Adapun, untuk upah minimum sektoral akan ditetapkan oleh dewan pengupahan provinsi, kota, dan kabupaten.

    Mulanya, Presiden Prabowo menjelaskan bahwa Menaker Yassierli mengusulkan agar kenaikan upah minimum di angka 6%.

    “Namun setelah membahas dan melaksanakan pertemuan-pertemuan dengan pimpinan buruh, kita ambil keputusan untuk menaikkan rata-rata upah minimum nasional 2025 sebesar 6,5%,” ujar Presiden Prabowo dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (29/11/2024).

    Kemudian, Presiden Prabowo juga menyampaikan bahwa untuk upah minimum sektoral nantinya akan ditetapkan oleh dewan pengupahan provinsi, kota, dan kabupaten. Nantinya, ketentuan lebih rinci terkait upah minimum bakal diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

    Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak memandang pengusaha hingga pekerja atau buruh semestinya sudah bisa mengantisipasi kenaikan UMP 2025.

    Payaman menuturkan, jika melihat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, rumus dari kenaikan UMP masih tetap berlaku.

    “Karena UU baru belum diundangkan. Jadi semua pengusaha, pekerja dan masyarakat sudah bisa mengantisipasi kenaikan upah tahun 2025,” ujar Payaman kepada Bisnis, Jumat (29/11/2024).

    Dia memperkirakan inflasi ada di rentang 4–5% dengan pertumbuhan ekonomi per provinsi antara 4–6%, sehingga kenaikan UMP pada 2025 sekitar 6–8%.