Tag: Pavel Durov

  • Aplikasi Ini Mulai Saingi WhatsApp, Pengguna Mulai Tembus 1 M

    Aplikasi Ini Mulai Saingi WhatsApp, Pengguna Mulai Tembus 1 M

    Jakarta, CNBC Indonesia – Popularitas aplikasi Telegram melonjak tajam sepanjang 2024. Dengan lebih dari 950 juta pengguna aktif per Juli 2024, Telegram semakin mendekati dominasi WhatsApp yang memiliki lebih dari 2 miliar pengguna hingga akhir 2023.

    Didirikan oleh pengusaha Rusia yang kini berbasis di Dubai, Pavel Durov, Telegram dikenal karena komitmennya terhadap kebebasan berekspresi. Durov pernah hengkang dari Rusia setelah menolak membungkam suara oposisi di platform VK, yang kemudian ia jual sebelum mendirikan Telegram.

    “Pengguna aktif bulanan kami akan tembus 1 miliar tahun ini. Pertumbuhan Telegram seperti “kebakaran hutan,”” ujar Durov mengutip kantor berita Reuters, Kamis (3/4/2025).

    Telegram menarik minat pengguna global karena posisinya yang netral dan bebas intervensi pemerintah. Bahkan saat mendapat tekanan dari berbagai negara untuk membatasi informasi, Telegram tetap berpegang pada prinsip kebebasan informasi.

    Kendati begitu, Durov menyebut ancaman terhadap privasi pengguna justru lebih banyak datang dari raksasa teknologi seperti Apple dan Alphabet (induk Google). Menurutnya, dua perusahaan itu bisa menyensor konten dan mengakses data di smartphone pengguna.

    Telegram juga pernah jadi sorotan saat konflik Rusia-Ukraina meletus. Ini menjadi sumber informasi yang tak disaring, meski itu juga membuatnya rentan jadi wadah penyebaran disinformasi.

    Durov menegaskan sistem enkripsi Telegram tetap aman meski pernah jadi sasaran upaya peretasan, termasuk dari FBI. Ia mengeklaim badan intelijen AS itu mencoba merekrut engineer Telegram untuk membuka akses “backdoor”, namun usaha tersebut gagal.

    Kini, Telegram tak hanya jadi alternatif WhatsApp, tapi juga masuk jajaran platform digital global bersama Facebook, Instagram, TikTok, dan WeChat. Bahkan, Telegram dikabarkan akan segera IPO di bursa AS setelah mulai meraup keuntungan.

    Alasan Durov memilih Dubai sebagai markas Telegram pun cukup strategis. Ia menyebut Uni Emirat Arab sebagai negara yang netral dan aman untuk menjalankan perusahaan teknologi yang tidak berpihak secara geopolitik.

    (sef/sef)

  • Tanda Kehancuran Elon Musk Makin Terlihat, Ini Bukti Terbaru

    Tanda Kehancuran Elon Musk Makin Terlihat, Ini Bukti Terbaru

    Jakarta, CNBC Indonesia – Miliarder Elon Musk mendapat keuntungan besar gara-gara mendukung kampanye Presiden AS Donald Trump. Saat ini, ia mengepalai Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE) dan memiliki kekuasaan untuk merombak struktur pemerintahan agar lebih ramping.

    Ia juga memasukkan orang-orang dekatnya ke Gedung Putih, serta mengganti orang-orang lama. Tak cuma itu, DOGE juga berhasil meminta akses informasi sensitif negara, termasuk data pribadi jutaan masyarakat AS.

    Kendati demikian, tanda kehancuran Musk tampak lewat tekanan bertubi-tubi pada platform X miliknya. Platform tersebut menjadi salah satu tool penting dalam memenangkan Trump.

    Pekan lalu, kejaksaan Prancis mengatakan pihaknya membuka penyelidikan terhadap X atas dugaan bias algoritma. Hal ini diumumkan hanya beberapa hari sebelum AI Summit di Paris yang mengundang beberapa pemimpin negara dunia seperti Wakil Presiden AS JD Vance dan Perdana Menteri India Narendra Modi.

    Para eksekutif Google, Microsoft, dan raksasa teknologi lainnya juga dijadwalkan hadir dalam ajang besar di industri teknologi tersebut.

    Kantor kejaksaan di Paris mengatakan investigasi terhadap X dilakukan setelah menerima laporan dari regulator pada Januari lalu. Otoritas menilai bias algoritma pada X telah mendistorsi pengoperasian sistem pemrosesan data otomatis.

    X tidak merespons permintaan komentar.

    Investigasi di Prancis menandai daftar panjang kekhawatiran global terhadap kekuatan X. Secara pribadi, Musk telah menggunakan X untuk mendukung partai-partai sayap kanan dan gerakan-gerakan di berbagai negara termasuk Jerman dan Inggris, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang campur tangan asing yang tidak semestinya.

    Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri dan Pertahanan Jerman menyatakan akan mengambil tindakan keras kepada platform X milik Elon Musk. Mereka menyebut perkembangan di platform media sosial itu makin tak karuan.

    Musk dituduh mencampuri urusan politik Eropa, dengan intervensinya sejak September 2024, termasuk seruan agar Perdana Menteri Inggris Keir Starmer diganti.

    Musk juga melabeli Kanselir Jerman Olaf Scholz sebagai “orang bodoh yang tidak kompeten” dan mendesak pemungutan suara alternatif untuk Jerman yang beraliran sayap kanan.

    Anggota parlemen Perancis yang berhaluan tengah, Eric Bothorel, mengatakan bahwa ia telah menulis surat kepada unit kejahatan siber J3 di kantor kejaksaan Paris dengan kekhawatirannya bahwa X menggunakan algoritma yang bias, menurut laporan Franceinfo.

    “Jaksa dan asisten khusus dari unit kejahatan siber global sedang menganalisisnya dan melakukan pemeriksaan teknis awal,” kata kantor kejaksaan Paris melalui email kepada Reuters.

    “Saya mengirim surat ke kantor kejaksaan siber J3 mengenai hal ini pada 12 Januari,” tulis Bothorel di X.

    Sebagai informasi, Unit J3 dari kantor kejaksaan Paris tahun lalu memimpin penyelidikan terhadap bos Telegram Pavel Durov, yang ditangkap setelah mendarat di bandara Paris.

    Durov, yang dibebaskan dengan jaminan, membantah klaim tersebut, namun Telegram mengatakan pihaknya bekerja sama lebih erat dengan polisi untuk menghapus konten ilegal.

    Unit J3 telah menunjukkan kesediaan untuk menggunakan undang-undang baru dan agresif untuk menargetkan pemilik platform besar.

    Sebelumnya, X diblokir selama lebih dari sebulan di Brasil pada 2024 karena gagal menghentikan penyebaran informasi yang salah, sebelum akhirnya mematuhi perintah Mahkamah Agung yang mengizinkan jaringan tersebut dibangun kembali.

    Pengguna Ramai Tinggalkan X

    Pasca kemenangan Trump, X juga mengalami penurunan drastis pada basis pengguna aktifnya. Similarweb mengatakan 115.000 pengunjung web berbasis AS menonaktifkan akun X mereka pada 6 November 2024 lalu. Ini merupakan angka penurunan terbesar dalam satu hari sejak Elon Musk mengambil alih platform tersebut pada Oktober 2022.

    Banyak yang memilih beralih ke layanan pesaing X seperti Bluesky, Mastodon, hingga Threads. BlueSky merupakan aplikasi yang memiliki kaitan dengan pendiri Twitter, Jack Dorsey. Sementara Threads adalah aplikasi milik raksasa teknologi Meta, yang dari segi tampilan mirip dengan X.

    Dalam sebuah laporan, Bluesky memperkecil ketertinggalan dari Threads. Mashable menyebutkan BlueSky menambah 3,5 juta pengguna aktif harian beberapa dalam masa pemilu AS.

    Jumlah itu memperkecil ketertinggalan BlueSky menjadi hanya 1,5 kali lipat dari Threads. Basis pengguna BlueSky mengalami peningkatan signifikan selama pemilu Amerika Serikat (AS) 5 November 2024 lalu. Data Similarweb yang dikutip Financial Times menyebutkan peningkatan sejak saat itu mencapai 300%.

    Sementara itu, Mastodon mengatakan bahwa unduhan aplikasi resminya naik 47% di iOS. Sementara di Android naik 17%. Dengan demikian total pendaftaran bulanan naik sekitar 27% menjadi 90.000, dalam periode pemilu AS.

    (fab/fab)

  • Belajar dari China, CEO Telegram Ungkap Alasan AS Kalah Jauh

    Belajar dari China, CEO Telegram Ungkap Alasan AS Kalah Jauh

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pendiri Telegram, Pavel Durov, baru-baru ini membagikan pendapatnya tentang bagaimana China dapat unggul dalam pembuatan teknologi kecerdasan buatan (AI). Termasuk mengomentari startup AI DeepSeek yang baru-baru ini membuat Amerika Serikat ketar-ketir.

    Dalam sebuah postingan di saluran Telegram-nya, dia menunjukkan bahwa kemajuan AI China, seperti keberhasilan startup DeepSeek, menunjukkan betapa cepatnya negara ini mengejar ketertinggalannya dari Amerika Serikat.

    Durov menyatakan bahwa perkembangan di China tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah hasil dari fondasi yang kuat dalam matematika dan pemrograman yang hanya dapat difasilitasi oleh sistem pendidikan China.

    “Kemajuan China dalam efisiensi algoritma tidak datang begitu saja. Siswa-siswa China telah lama mengungguli siswa-siswa lain dalam bidang matematika dan pemrograman di olimpiade internasional,” katanya.

    Di satu sisi, ia juga mengkritik sekolah-sekolah di negara Barat yang tidak mendukung kompetisi siswanya. Banyak sekolah di Barat tidak mengumumkan peringkat atau nilai siswa secara terbuka, hanya demi mengurangi tekanan.

    Meskipun langkah ini dimaksudkan untuk melindungi siswa, Durov berpendapat bahwa cara tersebut dapat menurunkan motivasi di antara siswa yang berprestasi. Tanpa peringkat yang jelas, siswa yang ambisius akan kesulitan untuk menemukan makna dalam studi mereka.

    “Sekolah-sekolah di Barat tidak mendukung kompetisi, melarang pengumuman nilai dan peringkat siswa secara terbuka. Alasannya dapat dimengerti – untuk melindungi siswa dari tekanan atau cemoohan,” ujar Durov.

    Namun, tindakan seperti itu dapat menurunkan motivasi siswa-siswa terbaik.

    Dia menunjukkan bahwa banyak siswa berbakat sekarang menganggap video game kompetitif lebih menarik daripada akademis karena game memberikan peringkat dan penghargaan yang jelas.

    Durov sering mengatakan kepada semua siswa bahwa mereka sukses, terlepas dari kinerja mereka yang sebenarnya.

    Dengan sistem pendidikan di AS saat ini, begitu para siswa memasuki dunia nyata, di mana persaingan tidak dapat dihindari di bidang-bidang seperti bisnis, sains, dan teknologi, mereka mungkin akan kesulitan untuk beradaptasi.

    Menurut Durov, jika AS tidak melakukan perubahan besar pada sistem pendidikannya, ia yakin China akan terus mendominasi di bidang AI.

    (fab/fab)

  • Manusia Rp 253 Triliun Ungkap Alasan AI China Kalahkan Amerika

    Manusia Rp 253 Triliun Ungkap Alasan AI China Kalahkan Amerika

    Jakarta

    Pendiri sekaligus CEO Telegram Pavel Durov ikut mengomentari kehadiran DeepSeek yang menghebohkan dunia teknologi belakangan ini.

    Menurut pria dengan kekayaan USD 15,5 miliar atau sekitar Rp 253 triliun itu teknologi AI di China bisa berkembang sangat pesat itu bisa terjadi karena China punya keunggulan yang sangat fundamental di sektor pendidikan.

    Lewat postingan di akun Telegramnya itu, Durov menyebut para pelajar di China sejak lama sudah sangat unggul dibanding pelajar dari negara lain dalam olimipiade matematika dan programming.

    Hal ini menurutnya bisa terjadi karena sistem pendidikan China, terutama di bidang matematika dan sains, jauh lebih unggul dari negara-negara Barat. Yaitu dengan menciptakan persaingan yang ketat di antara pelajar di China.

    “Hal ini mendorong terjadinya persaingan yang ketat di antara para pelajar, sebuah prinsip yang dipinjam dari model Soviet yang sangat efisien,” tulis Durov.

    Di sisi lain, Durov menyebut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat menjalankan sistem pendidikan yang salah.

    “Sebaliknya, kebanyakan sekolah Barat tidak menganjurkan kompetisi, melarang pengumuman nilai dan peringkat siswa di depan umum. Alasannya dapat dimengerti — untuk melindungi siswa dari tekanan atau ejekan. Namun, tindakan seperti itu juga dapat diprediksi akan menurunkan motivasi siswa terbaik. Kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi mata uang yang sama.” tambahnya.

    Menghilangkan transparansi dalam peringkat pelajar dan menghilangkan kompetisi menurutnya ikut menghilangkan motivasi. Alhasil banyak pelajar yang pintar malah mencari pelarian di sektor lain, misalnya game kompetitif, bukan akademik.

    “Tidak mengherankan bahwa banyak anak berbakat sekarang menganggap permainan kompetitif lebih menarik daripada akademis – setidaknya dalam permainan video, mereka dapat melihat peringkat setiap pemain,” kata Durov.

    “Tolok ukur AI yang memperlihatkan keunggulan DeepSeek adalah salah satu pemeringkatan publik tersebut. Dan masih banyak lagi yang akan datang. Kecuali jika sistem pendidikan menengah AS mengalami reformasi radikal, dominasi China yang semakin meningkat dalam teknologi tampaknya tak terelakkan,” tutup pria asal Rusia itu.

    (asj/asj)

  • Ngeri! Grup Telegram Berisi 70 Ribu Pria Berbagi Tutorial Mesum

    Ngeri! Grup Telegram Berisi 70 Ribu Pria Berbagi Tutorial Mesum

    Jakarta

    Sebuah investigasi mengerikan ditemukan, di mana platform messaging Telegram dilaporkan memiliki grup beranggotakan lebih dari 70 ribu pria dari seluruh dunia di mana isi obrolannya terkait seksual.

    Dilansir detikINET dari International Business Times, Minggu (12/1/2025), diketahui obrolan grup tersebut saling bertukar informasi soal seks bahkan tutorial untuk memperkosa wanita serta berbagi video rekaman seks.

    Temuan ini pun memicu kemarahan yang meluas dan seruan untuk regulasi yang lebih ketat terhadap platform online.

    Penyelidikan yang dipimpin oleh jaringan penyiaran publik terbesar di Jerman, ARD, mengungkapkan adanya beberapa grup Telegram di mana para anggotanya saling berbagi gambar dan video langsung penyerangan dan memberikan instruksi terperinci untuk melakukan kejahatan tersebut.

    Para anggota, yang sebagian besar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, mendiskusikan cara-cara untuk menargetkan perempuan di dalam rumah tangga mereka sendiri, termasuk istri, pacar, ibu, dan saudara perempuan.

    Menurut Telegraph, para anggota bahkan memberikan tautan ke toko-toko online yang menjual obat penenang yang disamarkan sebagai produk sehari-hari, seperti produk perawatan rambut, untuk memfasilitasi serangan mereka. Salah satu peserta dilaporkan membual tentang membius istrinya dan menawarkannya kepada pria lain.

    Telegram, yang didirikan pada tahun 2013 oleh miliarder teknologi Rusia Pavel Durov, telah berada di bawah pengawasan ketat karena kegagalannya dalam mengatur konten yang terkait dengan aktivitas kriminal.

    Dengan lebih dari 950 juta pengguna, aplikasi perpesanan ini telah mendapatkan popularitas karena enkripsinya yang kuat dan penolakannya untuk berbagi data pengguna dengan lembaga pemerintah.

    Namun, sikap ini juga menjadikannya tempat berlindung bagi kegiatan terlarang, termasuk perdagangan narkoba, eksploitasi seksual anak, dan, seperti yang disoroti oleh investigasi ini, memungkinkan terjadinya kekerasan seksual.

    Meskipun mengklaim memiliki kebijakan tanpa toleransi terhadap konten ilegal, Telegram telah menghadapi kritik atas kelambanannya.

    Menurut Reuters, platform ini telah berulang kali menolak untuk bergabung dengan inisiatif seperti National Centre for Missing and Exploited Children (NCMEC) dan Internet Watch Foundation (IWF), yang bekerja untuk mengidentifikasi dan menghapus konten berbahaya.

    Telegram juga menolak berpartisipasi dalam program-program yang ditujukan untuk memerangi pornografi balas dendam.

    Pendiri Telegram yang kontroversial, Pavel Durov, ditangkap di Prancis pada bulan Agustus 2024 dengan tuduhan terkait dengan memungkinkan aktivitas kriminal melalui moderasi platform yang tidak memadai. Meskipun dibebaskan dengan jaminan, Durov tetap berada dalam tahanan rumah sambil menunggu persidangan.

    Temuan investigasi ini sejalan dengan pola pelecehan yang lebih luas. Menurut Pusat Krisis Pemerkosaan Cambridge, satu dari empat perempuan berusia 16 hingga 74 tahun di Inggris dan Wales pernah mengalami kekerasan seksual setidaknya satu kali.

    Wanita secara tidak proporsional berisiko lebih tinggi dari orang-orang terdekat mereka. Studi menunjukkan bahwa mereka 46% lebih mungkin diperkosa oleh pasangan intim daripada oleh kenalan lainnya.

    Skala pelecehan menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi akar penyebab kekerasan dan mendukung para korban.

    Pengungkapan tentang grup Telegram ini menyoroti kebutuhan mendesak akan kerja sama internasional untuk mengatur platform online dan mencegah penyalahgunaannya.

    Undang-Undang Keamanan Online Inggris tahun 2023, yang meminta pertanggungjawaban platform media sosial untuk melindungi pengguna dari konten ilegal, merupakan langkah ke arah yang benar. Namun, tanpa penegakan global yang konsisten, inisiatif semacam itu berisiko gagal.

    Penggunaan aplikasi perpesanan terenkripsi untuk memfasilitasi kejahatan seperti yang ditemukan dalam investigasi ini menunjukkan tantangan yang lebih luas dalam menyeimbangkan privasi dengan keamanan publik.

    Ketika pemerintah dan organisasi bergulat dengan kerumitan ini, kebutuhan akan kebijakan yang kuat dan dapat ditegakkan menjadi semakin nyata.

    (jsn/jsn)

  • Telegram Serahkan Data Ribuan Pengguna ke AS, Buat Apa? – Page 3

    Telegram Serahkan Data Ribuan Pengguna ke AS, Buat Apa? – Page 3

    Setelah perubahan kebijakan privasinya, Telegram kini akan membagikan data pengguna dengan penegak hukum dalam kasus kejahatan lainnya, termasuk kejahatan siber, penjualan barang ilegal, dan penipuan daring.

    “Jika Telegram menerima perintah yang sah dari otoritas yudisial terkait yang mengonfirmasi bahwa Anda adalah tersangka dalam kasus yang melibatkan aktivitas kriminal yang melanggar Ketentuan Layanan Telegram, kami akan melakukan analisis hukum terhadap permintaan tersebut dan dapat mengungkapkan alamat IP dan nomor telepon Anda kepada pihak berwenang terkait,” demikian bunyi pembaruan kebijakan privasi Telegram.

    Perubahan ini terjadi sebagai respons terhadap tekanan dari pihak berwenang, yang berpuncak pada penangkapan pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, pada akhir Agustus di Prancis.

     

  • 11 Tahun Jadi Aplikasi Pengganti WhatsApp, Telegram Baru Untung

    11 Tahun Jadi Aplikasi Pengganti WhatsApp, Telegram Baru Untung

    Jakarta, CNBC Indonesia – Aplikasi pesan instan Telegram baru mendapat untung untuk pertama kalinya setelah 11 tahun beroperasi dan menjadi alternatif pengganti WhatsApp.

    Pendapatan Telegram ditaksir melampaui US$1 miliar (sekitar Rp 16,2 triliun) dengan cadangan uang tunai sebesar US$500 juta dan tidak termasuk aset mata uang kripto.

    Pencapaian ini akhirnya terjadi setelah bertahun-tahun perusahaan menghadapi masalah keuangan dan utang yang menumpuk, dikutip dari Economic Times, Senin (30/12/2024).

    Sejak beroperasi tahun 2013, Telegram menawarkan layanan pesan instan secara gratis. Namun baru-baru ini mereka memulai beragam strategi monetisasi baru.

    Seperti misalnya layanan berlangganan premium dengan harga US$ 4,99 per bulan. Telegram kini dilaporkan memiliki memiliki 12 juta pengguna berbayar. Perusahaan juga melakukan pendekatan iklan yang agresif.

    Pendiri Telegram Pavel Durov telah melunasi sebagian besar utang perusahaan senilai US$2 miliar dan menekankan pada fakta bahwa perusahaan dapat mempertahankan keberlanjutan keuangan dengan tetap menghormati hak-hak pengguna.

    Terlepas dari kejayaan masalah finansial, Telegram masih terus menghadapi pengawasan global atas masalah moderasi konten.

    Aplikasi ini cukup kontroversial karena penyaringan kontennya yang minim dan menyebabkan potensi pemblokiran di banyak negara.

    Dengan hampir 950 juta pengguna aktif bulanan, Telegram telah memposisikan dirinya sebagai layanan perpesanan unik yang memprioritaskan privasi dan kemandirian pengguna, sekaligus berhasil mengatasi tantangan keuangan dan regulasi yang kompleks.

    (fab/fab)

  • Top 3 Tekno: Update iOS 18.2.1 hingga Telegram Mulai Raup Untung – Page 3

    Top 3 Tekno: Update iOS 18.2.1 hingga Telegram Mulai Raup Untung – Page 3

    Pendiri Telegram, Pavel Durov, menyebut bahwa perusahaannya itu mulai untung. Durov mengatakan, aplikasi chatting Telegram membukukan total pendapatan lebih dari USD 1 miliar di tahun 2024.

    Mengutip Tech Crunch, Selasa (24/12/2024), Telegram diketahui meluncurkan layanan premium berlangganannya pada 2022. Kini, Telegram tercatat memiliki 12 juta pelanggan berbayar.

    Durov juga mengatakan, aplikasi Telegram menyelesaikan tahun 2024 dengan mendapatkan USD 500 juta dalam bentuk cadangan kas, tanpa menghitung aset kriptonya.

    CEO Telegram ini juga mengatakan, perusahaan sudah melunasi sejumlah besar obligasi utangnya pada musim gugur ini.

    “Selama empat tahun terakhir, Telegram telah menerbitkan sekitar USD 2 miliar dalam bentuk utang. Kami telah melunasi sebagian besar utang tersebut pada musim gugur ini, memanfaatkan harga obligasi Telegram yang menguntungkan. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” kata Durov dalam unggahan di X alias Twitter.

    Dalam wawancara dengan Financial Times awal tahun ini, CEO Telegram Pavel Durov menyebut, perusahaan akan mencapai profitabilitas pada 2025. Selanjutnya, Telegram memiliki rencana untuk go public di masa mendatang.

    Baca selengkapnya di sini 

     

  • 11 Tahun Jadi Aplikasi Pengganti WhatsApp, Telegram Baru Untung

    Telegram Berubah Total Usai CEO Ditangkap, Begini Nasibnya Sekarang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Aplikasi pesan singkat Telegram dirombak habis-habisan setelah CEO Pavel Durov ditangkap di Prancis pada Agustus lalu. Saat ini Durov memang sudah bebas bersyarat dengan membayar tebusan senilai 5 juta euro (Rp 84 miliar).

    Kendati demikian, layanan buatannya yang merupakan pesaing berat WhatsApp kian mendapat tekanan. Durov yang sebelumnya blak-blakan tak mau diatur pemerintah, kini patuh melakukan moderasi konten negatif.

    Dikutip dari TechCrunch, Senin (16/12/2024), Telegram sudah menghapus 15,5 juta grup dan channel negatif sepanjang 2024. Pemblokiran tersebut dilakukan dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).

    Salah satu yang dititikberatkan pemerintah dalam pembebasan Durov adalah membersihkan Telegram dari konten-konten berbahaya dan provokatif. Hal itu pula yang menjadi alasan pemerintah menangkap Durov di awal.

    Pada September lalu atau setelah dibebaskan, Durov memang membuat pengumuman besar bahwa Telegram akan menyapu bersi konten ilegal dari platformnya. Janji tersebut sepertinya benar ditepati.

    Adapun grup dan channel yang dihapus Telegram antara lain terkait penipuan dan terorisme. Telegram baru-baru ini juga meluncurkan laman khusus moderasi untuk menjadi wadah koordinasi upaya moderasi ke publik.

    Pantauan CNBC Indonesia dalam laman moderasi Telegram, penghapusan konten paling banyak dilakukan pada 22 September 2024, yakni lebih dari 203.000 konten.

    Konten yang paling banyak diblokir terkait kekerasan seksual terhadap anak, yakni 707.000-an konten. Selanjutnya terkait propaganda terorisme sebanyak 130.000-an konten.

    Jika pengguna menemukan konten negatif di Telegram, bisa melaporkannya dengan menekan konten, lalu memilih opsi ‘Report’. Lalu, masukkan alasan kenapa konten tersebut berbahaya atau negatif.

    (fab/fab)

  • Di Balik Pornografi Deepfake yang Menyasar Siswi di Ratusan Sekolah Korsel

    Di Balik Pornografi Deepfake yang Menyasar Siswi di Ratusan Sekolah Korsel

    Jakarta

    Pada Sabtu (31/08) lalu, sebuah pesan Telegram muncul di ponsel Heejin dari orang yang tidak dia kenal.

    “Foto-foto dan informasi pribadi Anda sudah bocor. Ayo kita bicarakan,” bunyi pesan itu.

    Ketika mahasiswa tersebut membuka pesan tersebut, dia menerima foto dirinya yang diambil saat masih sekolah beberapa tahun yang lalu.

    Lalu ada satu foto lagi, yang sebenarnya adalah foto yang sama. Tetapi yang satu ini eksplisit secara seksual dan palsu.

    Heejin, bukan nama sebenarnya, merasa ketakutan. Dia tidak merespons pesan itu, tapi gambar-gambar tersebut terus berdatangan.

    Di dalam foto-foto itu, wajahnya ditempelkan pada tubuh yang sedang melakukan hubungan seks menggunakan teknologi deepfake yang canggih.

    Deepfake semacam ini, yang menggabungkan wajah orang sungguhan dengan tubuh palsu yang eksplisit secara seksual, semakin banyak dibuat menggunakan kecerdasan buatan.

    Namun, Heejin bukanlah satu-satunya.

    Dua hari sebelumnya, jurnalis Korea Selatan, Ko Narin telah mempublikasikan berita terbesar dalam kariernya.

    Baru-baru ini terungkap bahwa polisi sedang menyelidiki jaringan pornografi palsu di dua universitas besar. Ko meyakini ada lebih banyak lagi jaringan serupa.

    Dia mulai menelusuri media sosial dan menemukan puluhan grup obrolan di aplikasi Telegram, di mana para penggunanya membagikan foto-foto perempuan yang mereka kenal.

    Mereka menggunakan perangkat lunak AI untuk mengubahnya menjadi foto-foto porno palsu dalam hitungan detik.

    “Setiap menit orang-orang mengunggah foto perempuan yang mereka kenal dan meminta foto tersebut diubah menjadi deepfake,” kata Ko.

    Ko menemukan bahwa kelompok-kelompok ini tidak hanya menargetkan mahasiswa. Ada grup-grup yang menargetkan siswa SMA, bahkan SMP.

    Jika banyak konten yang dibuat menggunakan gambar seorang siswa tertentu, maka akan ada ruang obrolan sendiri khusus orang itu. Ruang obrolan itu diberi nama “ruang penghinaan” atau “ruang teman dari teman”. Biasanya ada syarat yang ketat untuk masuk ke ruang-ruang itu.

    Laporan Ko di surat kabar Hankyoreh telah mengejutkan masyarakat Korea Selatan.

    Pada Senin, polisi mengumumkan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk menyelidiki Telegram, mengikuti langkah pihak berwenang Prancis yang baru-baru ini mendakwa pendiri Telegram asal Rusia atas kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi tersebut.

    Pemerintah telah berjanji akan menindak tegas mereka yang terlibat, dan presiden telah menyerukan agar anak-anak muda mendapatkan edukasi yang lebih baik.

    Telegram menyatakan bahwa mereka “secara aktif memerangi konten berbahaya di platform-nya, termasuk pornografi ilegal,” dalam sebuah pernyataan yang disampaikan kepada BBC.

    Proses yang sistematis dan terencana

    BBC telah melihat deskripsi dari ruang-ruang obrolan ini. Salah satunya meminta para anggotanya untuk mengunggah lebih dari empat foto, dilengkapi dengan nama, usia, dan daerah tempat tinggal mereka.

    “Saya kaget melihat betapa sistematis dan terorganisirnya proses ini,” kata Ko.

    “Hal yang paling mengerikan yang saya temukan adalah sebuah grup yang isinya siswa di bawah umur di sebuah sekolah dengan lebih dari 2.000 anggota,” ujar dia.

    Beberapa hari setelah artikel Ko diterbitkan, para aktivis perempuan juga mulai menelusuri Telegram dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada.

    Pada akhir pekan itu, lebih dari 500 sekolah dan universitas sudah teridentifikasi menjadi target.

    Belum bisa dipastikan berapa banyak orang yang menjadi korban, namun banyak di antaranya diyakini berusia di bawah 16 tahun. Sebagian besar terduga pelakunya adalah remaja.

    Heejin mengaku mengalami kecemasan parah ketika mengetahui skala krisis dari kasus ini. Dia khawatir berapa banyak orang yang mungkin telah melihat foto deepfake-nya.

    Awalnya, dia menyalahkan dirinya sendiri.

    “Saya tidak bisa berhenti berpikir apakah ini terjadi karena saya mengunggah foto-foto saya ke media sosial, apakah saya semestinya lebih berhati-hati?”

    Sejumlah perempuan dan remaja di Korea Selatan telah menghapus foto-foto mereka dari media sosial atau menonaktifkan akun mereka karena takut akan dieksploitasi lebih lanjut.

    “Kami frustasi dan marah karena kami harus membatasi penggunaan media sosial ketika kami tidak melakukan kesalahan,” kata seorang mahasiswa, Ah-eun yang teman-temannya menjadi korban.

    Aplikasi Telegram berada di jantung skandal ini. Telegram bersifat privat dan pesan-pesannya dienkripsi.

    Aplikasi ini berbeda dengan situs publik lainnya yang dapat diakses dengan mudah oleh otoritas, lalu bisa mengajukan permintaan agar foto-foto semacam itu dihapus.

    Para penggunanya sering kali anonim, ruang-ruang obrolannya juga bisa diatur dalam mode “rahasia”, dan konten-kontennya bisa dihapus dengan cepat tanpa meninggalkan jejak.

    Fitur ini telah membuat Telegram menjadi ruang yang bagus bagi tindak-tindak kriminal.

    Baca juga:

    Pendiri aplikasi ini, Pavel Durov, telah didakwa di Prancis pada pekan lalu karena terlibat dalam sejumlah kejahatan yang berkaitan dengan aplikasi ini, termasuk memungkinkan penyebaran pornografi anak.

    Namun, para aktivis perempuan menuduh pihak berwenang di Korea Selatan terlalu lama membiarkan pelecehan seksual di Telegram karena negara ini pernah menghadapi krisis serupa sebelumnya.

    Pada tahun 2019, terungkap bahwa sebuah jaringan seks menggunakan Telegram untuk memaksa perempuan dan anak-anak membuat dan membagikan foto-foto eksplisit secara seksual.

    Pada saat itu, polisi meminta bantuan Telegram untuk membantu penyelidikan mereka, tetapi aplikasi ini mengabaikan ketujuh permintaan mereka.

    Meskipun pelaku utama akhirnya dijatuhi hukuman lebih dari 40 tahun penjara, tidak ada penindakan terhadap platform tersebut karena kekhawatiran seputar penyensoran.

    “Mereka menghukum para pelaku utama tetapi mengabaikan situasinya, dan saya rasa ini telah memperburuk situasi,” kata Ko.

    BBCGrup obrolan semacam ini menawarkan pembuatan gambar deepfake. Di bagian bawah tertulis “jika Anda meminta seseorang untuk dipermalukan, kami akan melakukannya”

    Park Jihyun, mantan mahasiswa jurnalistik yang mengungkap jaringan seks itu pada 2019, telah menjadi advokat politik untuk korban-korban kejahatan seks digital.

    Dia mengatakan sejak skandal deepfake ini terbongkar, murid-murid dan orang tua telah meneleponnya beberapa kali sehari sambil menangis.

    “Mereka melihat sekolah mereka masuk ke dalam daftar yang dibagikan di media sosial dan mereka ketakutan,” kata Jihyun.

    Sebelum krisis ini terkuak, Lembaga Advokasi untuk Korban Kekerasan Seksual Online Korea Selatan (ACOSAV) mengatakan bahwa jumlah anak di bawah umur yang menjadi korban pornografi deepfake sudah meningkat tajam.

    Pada tahun 2023, mereka mendampingi 86 korban remaja. Angka itu melonjak menjadi 238 korban hanya dalam delapan bulan pertama tahun ini.

    Dalam sepekan terakhir saja, 64 korban remaja lainnya juga melapor.

    Salah satu petinggi ACOSAV, Park Seonghye, mengatakan bahwa selama sepekan staf-stafnya dibanjiri telepon dan bekerja sepanjang waktu.

    “Ini keadaan darurat berskala besar bagi kami, seperti situasi perang,” kata dia.

    “Dengan teknologi deepfake terbaru, sekarang ada lebih banyak rekaman daripada sebelumnya, dan kami khawatir ini akan terus meningkat.”

    Selain memberikan konseling kepada korban, ACOSAV juga melacak konten berbahaya dan bekerja sama dengan platform-platform daring untuk menghapusnya.

    Park mengatakan bahwa ada beberapa kasus di mana Telegram bisa menghapus konten atas permintaan mereka.

    “Jadi bukannya ini tidak mungkin,” kata dia.

    Melalui sebuah pernyataan, Telegram mengatakan kepada BBC bahwa moderator mereka “secara proaktif memonitor ranah publik dari aplikasi tersebut, menggunakan AI dan menerima laporan pengguna untuk menghapus jutaan konten setiap hari yang melanggar ketentuan layanan Telegram”.

    Sementara itu, organisasi-organisasi perempuan mengakui bahwa teknologi AI baru ini mempermudah eksploitasi terhadap korban. Menurut mereka, ini hanyalah wujud misogini terbaru yang terjadi secara daring di Korea Selatan.

    Pertama, perempuan menjadi sasaran gelombang pelecehan verbal secara daring. Kemudian muncul epidemi kamera mata-mata, di mana perempuan direkam diam-diam di toilet umum dan ruang ganti.

    “Akar masalah dari situasi ini adalah seksisme struktural dan solusinya adalah kesetaraan gender,” bunyi sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh 84 organisasi perempuan.

    Ini adalah kritik langsung terhadap Presiden Yoon Suk Yeol yang menolak eksistensi struktural seksisme, memotong anggaran untuk kelompok-kelompok pendamping korban, dan menghapus kementerian kesetaraan gender.

    Getty Images

    Lee Myung-hwa, yang menangani pelaku pelecehan seksual berusia muda, sepakat bahwa walaupun terkuaknya kasus deepfake tampak tiba-tiba, situasi ini telah lama mengintai.

    “Bagi remaja, deepfake telah menjadi bagian dari budaya mereka, dianggap sebagai permainan atau lelucon,” kata konselor yang mengelola Aha Seoul Youth Cultural Centre.

    Lee mengatakan bahwa sangat penting untuk mendidik anak-anak muda.

    Dia merujuk pada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa ketika Anda memberi tahu pelaku soal kesalahan yang mereka lakukan, mereka menjadi lebih memahami apa yang tergolong pelecehan seksual, dan itu membuat mereka tidak mengulanginya.

    Sementara itu, pemerintah menyatakan akan memperkuat penindakan kriminal terhadap pelaku yang membuat dan membagikan foto-foto deepfake, juga akan menghukum mereka yang melihat konten pornografi tersebut.

    Hal ini menyusul kritik bahwa tidak cukup banyak pelaku yang dihukum.

    Salah satu masalahnya, mayoritas pelaku adalah remaja yang biasanya diadili di pengadilan anak di mana mereka mendapat hukuman yang lebih ringan.

    Sejak ruang-ruang obrolan ini terungkap, banyak yang telah ditutup, tetapi hampir pasti ada ruang-ruang baru yang menggantikan.

    Sebuah ruang penghinaan telah dibuat untuk menargetkan para jurnalis yang meliput berita ini.

    Ko, yang mengungkap kasus ini, mengatakan bahwa hal ini telah membuatnya tidak bisa tidur.

    “Saya terus memeriksa grup-grup itu untuk melihat apakah foto saya telah diunggah,” katanya.

    Kecemasan yang sama telah meliputi hampir setiap gadis remaja dan perempuan muda di Korea Selatan.

    Ah-eun, seorang mahasiswa, mengatakan bahwa hal itu telah membuatnya curiga terhadap kenalan laki-lakinya.

    “Saya tidak bisa memastikan siapa orang-orang yang melakukan kejahatan semacam ini di belakang saya, tanpa saya ketahui,” kata dia.

    Saya menjadi sangat waspada saat berinteraksi dengan orang lain, dan itu tidak baik.”

    Laporan tambahan oleh Hosu Lee dan Suhnwook Lee

    Baca juga:

    (ita/ita)