TRIBUNNEWS.COM – Presiden AS, Donald Trump, kembali mengeluarkan sikap yang plin-plan terkait perang antara Rusia dengan Ukraina.
Pada 26 April 2025 lalu, setelah menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan, Donald Trump sempat meragukan niat Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mengakhiri perang Ukraina.
Keraguan itu muncul setelah Donald Trump dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, bertemu di Vatikan.
Saat itu, Trump merasa marah setelah Zelensky “ngadu” soal tindakan Putin yang menembakkan rudal ke wilayah sipil Ukraina.
Bahkan, Trump menyebut Putin tak memiliki niat untuk mengakhiri perang di Ukraina.
“Tidak ada alasan bagi Putin untuk menembakkan rudal ke wilayah sipil, kota-kota dan desa-desa di Ukraina,” tulis Trump di Truth Social miliknya, dikutip dari Axios.
“Hal itu membuat saya berpikir bahwa mungkin dia tidak ingin menghentikan perang, dia hanya memanfaatkan saya, dan harus ditangani dengan cara yang berbeda,” ungkap Trump pada saat itu.
Akan tetapi, sikap Trump kini berubah dengan menyebut Putin ingin sekali mencapai perjanjian damai dengan Ukraina.
Pernyataan itu Trump sampaikan ketika koresponden ABC News, Terry Moran, menanyakan ungkapannya di Truth Social beberapa waktu lalu.
“Saya rasa dia melakukannya, ya,” kata Presiden AS itu, dikutip dari The Moscow Times.
“Saya rasa… mimpinya adalah menguasai seluruh negeri. Saya rasa karena saya, dia tidak akan melakukan itu,” ujarnya.
Trump sebelumnya berjanji untuk mengakhiri perang Ukraina “dalam waktu 24 jam” setelah menjabat, tetapi upaya perdamaiannya sejauh ini belum membuahkan hasil.
Selanjutnya, Trump berjanji akan mengakhiri perang Rusia-Ukraina dalam 100 hari pertama masa jabatannya.
Janji itu pun kembali berbenturan dengan kenyataan yang tak terelakkan.
Di perayaan 100 hari masa jabatan Trump pada Selasa (29/4/2025), serangan Rusia meningkat dan mengakibatkan jumlah korban sipil.
Tak hanya itu, kesepakatan damai antara Rusia dengan Ukraina masih jauh dari kata tercapai.
Dikutip dari Kyiv Independent, pada bulan Maret 2025, bulan kedua penuh masa jabatan Trump, 164 warga sipil tewas dan 910 terluka akibat serangan Rusia.
Hampir semua kerugian terjadi di wilayah yang dikuasai pemerintah Ukraina, dan sebagian besar disebabkan oleh rudal jarak jauh atau amunisi yang melayang.
Angka serupa diperkirakan terjadi pada bulan April 2025, yang juga menyaksikan serangan tunggal paling mematikan bagi anak-anak Ukraina sejak invasi skala penuh dimulai pada tahun 2022.
Pada tanggal 14 April 2025, 18 orang tewas setelah rudal balistik meledak di taman bermain. Di antara mereka terdapat sembilan anak-anak.
Serangan besar baru-baru ini di Sumy dan Kyiv juga menjadi berita utama internasional, sementara serangan yang lebih kecil kurang menarik perhatian di luar negeri tetapi terus meningkat.
Minggu lalu, kepala Misi Pemantauan Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina (HRMU), Danielle Bell, menyerukan “tren yang sangat mengganggu — warga sipil menanggung beban serangan yang semakin intens dan sering terjadi.”
“Serangan pesawat tak berawak jarak jauh yang terjadi hampir setiap hari telah menewaskan dan melukai banyak warga sipil di seluruh negeri bulan lalu, dan mengganggu kehidupan jutaan orang lainnya,” kata Bell.
Di garis depan juga, tanda-tanda perdamaian tidak ada, kata Emil Kastehelmi, seorang analis militer Finlandia dari kolektif intelijen sumber terbuka Black Bird Group.
Alih-alih mundur atau melambat, serangan Rusia malah meningkat dalam beberapa minggu terakhir, meskipun hal ini belum menghasilkan terobosan teritorial.
“Saya menduga perang akan terus berlanjut hingga akhir,” ungkap Kastehelmi.
“Tentu saja, ada banyak diplomasi yang berlangsung di balik pintu tertutup.”
“Namun, jika kita melihat perkembangan di lapangan, tidak ada tanda-tanda jelas yang menunjukkan adanya terobosan diplomatik dalam beberapa minggu mendatang,” tukasnya.
AS Ancam Mundur sebagai Mediator
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengancam akan mundur menjadi mediator jika tidak ada proposal konkret dari Rusia dan Ukraina untuk mengakhiri perang.
Pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, diplomat AS John Kelley menyalahkan Rusia atas pertumpahan darah yang terus terjadi.
Kelley mengatakan bahwa Rusia “sangat disesalkan” telah melakukan serangan besar-besaran yang “menyebabkan hilangnya nyawa yang tidak perlu, termasuk warga sipil yang tidak bersalah”.
“Saat ini, Rusia memiliki peluang besar untuk mencapai perdamaian abadi,” kata Kelley, dikutip dari Reuters.
Saat ini, tambah Kelly, beban untuk mengakhiri perang ada di tangan Rusia dan Ukraina.
“Terserah kepada para pemimpin kedua negara untuk memutuskan apakah perdamaian mungkin terjadi.”
“Jika kedua pihak siap mengakhiri perang, Amerika Serikat akan sepenuhnya mendukung jalan mereka menuju perdamaian abadi,” katanya.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Tammy Bruce mengutip pernyataan Rubio, waktunya telah tiba saat “proposal konkret perlu disampaikan oleh kedua pihak tentang cara mengakhiri konflik ini”.
“Bagaimana kita melanjutkan dari sini adalah keputusan yang sekarang menjadi milik Presiden.”
“Jika tidak ada kemajuan, kami akan mundur sebagai mediator dalam proses ini,” kata Bruce dalam jumpa pers rutin.
Baik Kyiv maupun Moskow berupaya menunjukkan kepada Trump, mereka membuat kemajuan menuju sasarannya untuk mencapai kesepakatan damai yang cepat setelah AS berulang kali mengancam akan menghentikan dorongan perdamaiannya.
Tetapi di PBB, keduanya saling menyalahkan karena melanjutkan perang.
Saat ini, Putin telah mengumumkan gencatan senjata selama tiga hari dari 8-10 Mei 2025 untuk menandai peringatan 80 tahun kemenangan Uni Soviet dan sekutunya dalam Perang Dunia Kedua.
Ukraina mempertanyakan mengapa Moskow tidak menyetujui seruan Kyiv untuk gencatan senjata yang berlangsung setidaknya 30 hari dan dimulai segera.
(*)