Tag: Paul McCartney

  • ElevenLabs Rilis AI Pembuat Musik Legal, Bisa Dipakai untuk YouTube hingga Iklan – Page 3

    ElevenLabs Rilis AI Pembuat Musik Legal, Bisa Dipakai untuk YouTube hingga Iklan – Page 3

    ElevenLabs mengambil langkah mendukung terhadap kebijakan hak cipta kekayaan intelektual. Dengan menjalin kerja sama bersama tokoh industri musik, ElevenLabs dapat melatih model AI secara legal tanpa bingung akan adanya intervensi hukum.

    Sejalan dengan hal tersebut, ElevenLabs menjalin kerjasama dengan Merlin Network dan Kobalt Music Group, dua media penerbitan musik digital yang menaungi musisi dari berbagai genre musik populer.

    Merlin sendiri diketahui atas perwakilan artis ternama seperti Adele, Nirvana, dan Mitski, sementara itu Kobalt menjadi perwakilan dari Max Martin, Paul McCartney, The Weeknd.

    Meskipun dalam perjalanannya kebanyakan musisi harus sukarela menyetujui penggunaan musik dan bahan mereka untuk kepentingan AI melalui perjanjian lisensi, hal ini jauh lebih baik daripada tidak ada kompensasi.

    Sejauh ini, hanya kesepakatan perjanjian lisensi yang dapat menjadi jalan tengah untuk menjembatani perkembangan inovasi teknologi AI khususnya di bidang industri kreatif dengan kompensasi pada kekayaan intelektual musisi.

    Harapannya, kolaborasi ini dapat membuka peluang pendapatan baru bagi para musisi di pasar AI melalui kompensasi ataupun royalti, jika berpotensi ada.

     

     

     

     

  • The Beatles Raih Grammy Awards 2025 Berkat Lagu yang Rampung dengan Bantuan AI – Page 3

    The Beatles Raih Grammy Awards 2025 Berkat Lagu yang Rampung dengan Bantuan AI – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – The Beatles kembali mencatat sejarah dengan memenangkan Grammy ke-8 mereka, lewat lagu Now and Then. Yang menarik, kemenangan di kategori Best Rock Performance ini berhasil diraih berkat bantuan AI atau kecerdasan buatan.

    Dikutip dari The Verge, Rabu (5/2/2025), Now and Then berawal dari rekaman demo yang dibuat oleh salah satu punggawa The Beatles John Lennon pada akhir 1970-an. P

    ada pertengahan 1990-an, Paul McCartney, Ringo Starr, dan George Harrison mencoba menyelesaikan lagu tersebut.

    Rencananya, lagu itu dirampungkan untuk proyek The Beatles Anthology. Namun, keterbatasan teknologi saat itu membuat mereka kesulitan memisahkan vokal dan piano Lennon dari demo lo-fi yang asli.

    Baru kemudian di 2021, Paul McCartney dan Ringo Starr berhasil menyelesaikan lagu ini berkat bantuan Peter Jackson dan tim audionya.

    Mereka mengembangkan machine learning yang mampu mengisolasi dan memperjelas elemen rekaman John Lennon, tanpa mengubah atau menciptakan suara baru.

    Teknologi ini sebenarnya berbeda dari AI generatif yang populer saat ini, terutama kemampuan meniru suara atau gaya seorang artis. Sebab, suara yang diperdengarkan di lagu ini benar-benar suara John Lennon.

    Hal itu ditegaskan pula oleh Paul McCartney yang menyebut tidak ada elemen yang diciptakan secara sintetis dalam lagu ini.

    “Untuk memperjelas, tidak ada yang dibuat secara artifisial atau sintetis. Semuanya nyata dan kami semua bermain dalam lagu ini,” tutur McCartney di 2023.

    Ia menyatakan, mereka hanya membersihkan rekaman yang sudah ada, sebuah proses yang sebenarnya telah dilakukan selama bertahun-tahun.

    Kemenangan The Beatles di Grammy Awards 2025 ini menandai pertama kalinya sebuah lagu yang dibuat bantuan AI meraih penghargaan bergengsi ini.

    Lagu itu mengalahkan musisi lain di kategori yang sama seperti Pearl Jam, Green Day, The Black Keys, Idles, serta St. Vincent.

  • Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    JAKARTA – Sampul album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” adalah sebuah karya paling ikonik dalam sejarah industri musik. The Beatles menampilkan puluhan selebritas dan tokoh dunia abad 19 dalam sampul album tersebut. Kini, versi modern album itu diperbarui untuk abad ke-21.

    Pembaruan itu dibuat oleh seniman Jerman, TrippieSteff. Dalam versi baru ilustrasi “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff menempatkan Taylor Swift, Kanye West, Drake, serta Lil Nax X untuk menggantikan posisi John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr.

    Selain keempatnya, TrippieSteff juga memberi tempat bagi selebritas, tokoh dunia, serta ikon kultur pop modern lainnya. Sebut saja aktivis lingkungan Swedia Greta Thunberg, bos Space X Elon Musk, mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama, hingga sosok No Face, hantu ikonik dari film Spirited Away.

    Dalam sampul album asli “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, The Beatles menghadirkan 71 pemikir dunia. Mereka terdiri dari selebritas, tokoh dunia, hingga ikon pop kultur abad ke-19. Di antara sosok-sosok tersebut, kita dapat melihat musisi folk yang juga sahabat The Beatles, Bob Dylan.

    Selain itu, ada juga Richard Lindner, Oliver Hardy, Marilyn Monroe, bintang The Godfather Marlon Brando, penulis Oscar Wilde, hingga pembetot bass untuk The Beatles sebelum Paul, Stuart Sutcliffe. Tokoh lainnya, sang genius Albert Einstein hingga tokoh komunis Karl Marx juga terlihat dalam sampul.

    “Sampul asli (album) adalah bergabungnya tokoh-tokoh besar yang menggambarkan pola pikir dominan di akhir 60-an,” tutur TrippieSteff dikutip NME, Minggu 17 November.

    “Itu (tokoh dalam sampul) juga sekelompok tokoh berpengaruh yang merupakan ‘pahlawan’ bagi The Beatles. Dengan keinginan untuk mempertahankan tema yang sama, saya memilih untuk menampilkan tokoh paling ikonik dan berpengaruh dalam dekade terakhir,” tambah TrippieSteff.

    Versi orisinil Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (thebeatles.com)

    Pembaruan versi album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” ini adalah bagian dari proyek pembuatan ulang sampul album klasik yang tengah dilakukan TrippieSteff. Selain “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff juga membuat ulang sampul album Blondie, “Parallel Lines” dan Nirvana, “Nevermind”.

    Berikut daftar lengkap selebritas, tokoh dunia, dan ikon pop kultur dalam versi modern “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”:

    1. Kanye West

    2. Drake

    3. Taylor Swift

    4. Lil Nas X

    5. Greta Thunberg

    6. Kylie Jenner

    7. Ghost from Chihiro

    8. Jamie Oliver

    9. Slavoj Zizek

    10. Björk

    11. Jannis Varoufakis

    12. Marina Abramovic

    13. Avicii

    14. Miley Cyrus

    15. AOC

    16. Kendrick Lamar

    17. Donna Haraway

    18 XXXTentacion

    19. Lil Peep

    20. Ru Paul

    21. Judith Butler

    22. Millie Bobby Brown

    23. Martha Nussbaum

    24. Bernie Sanders

    25. M.I.A.

    26. Bell Hooks

    27. Ai Weiwei

    28. Elon Musk

    29. Margaret Atwood

    30. Bojack Horseman

    31. Beyonce Knowles

    32. Barack Obama

    Ilustrasi modern Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (Instagram/@trippiesteff)

  • Paul McCartney Mengaku Emosional Setiap Bawakan Now and Then di Atas Panggung

    Paul McCartney Mengaku Emosional Setiap Bawakan Now and Then di Atas Panggung

    JAKARTA – Video unggahan penggemar di media sosial menunjukkan betapa emosionalnya Paul McCartney setelah membawakan lagu “Now and Then” dalam tur konser Got Back di Manchester pada 14 Desember lalu.

    Mata McCartney terlihat berkaca-kaca. Bassis The Beatles itu pun tampak termenung ketika penonton memberikan tepuk tangan untuk penampilannya.

    McCartney mengakui bahwa membawakan “Now and Then” di atas panggung begitu emosional baginya. Bahkan, setelah beberapa kali ditampilkan sebagai setlist wajib untuk tur dunianya.

    “Ini benar-benar hebat. Ketika Anda memperkenalkan lagu baru, meskipun itu lagu lama, seperti ‘Now and Then’, reaksi pertama adalah, orang-orang tidak begitu yakin apa itu atau apa yang Anda lakukan,” kata Paul McCartney, mengutip Mirror, Rabu, 18 Desember.

    “Tetapi selama konser berlangsung, mereka mendapatkan idenya. Kabar itu tersebar di internet. Anda tahu. Jadi sekarang reaksinya benar-benar kuat,” lanjutnya.

    Bagi McCartney, selain “Now and Then” adalah lagu yang bagus, kehadiran John Lennon yang ikut bernyanyi, membuatnya menjadi lebih emosional.

    “Dan bagi kami, ini hebat untuk dimainkan karena itu adalah lagu yang bagus untuk dimainkan. Dan bagi saya, ini sangat hebat karena itu adalah lagu John. Jadi itu sangat emosional bagi saya,” ujar musisi 82 tahun itu.

    “Saya menyukainya. Saya suka melakukannya, dan para penonton tampaknya juga menyukainya,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, “Now and Then” dirilis pada akhir tahun 2023, setelah proses rekaman yang dimulai pada akhir tahun 1970-an dengan demo John Lennon, dan berakhir dengan Ringo Starr dan Sir Paul di studio pada tahun 2022 untuk menyelesaikan lagu tersebut.

    “Now and Then” digambarkan sebagai lagu Beatles terakhir. Dan setelah memukau penggemar di seluruh dunia saat dirilis, lagu ini sekarang telah mendapat dua nominasi Grammy.

  • ‘Kami sudah mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen’ – Dampak lagu amal yang menstereotipe rakyat Ethiopia selama puluhan tahun – Halaman all

    ‘Kami sudah mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen’ – Dampak lagu amal yang menstereotipe rakyat Ethiopia selama puluhan tahun – Halaman all

    Sejak rekaman aslinya dirilis 40 tahun silam, lagu berjudul Do They Know It’s Christmas? tidak pernah absen berkumandang menjelang Natal. Pertanyaannya selalu sama: apakah rakyat Ethiopia tahu hari Natal?

    Lagu itu disusun oleh musisi Bob Geldof dan Midge Ure setelah mereka menyaksikan tayangan mengerikan tentang kelaparan di Ethiopia utara yang disiarkan BBC pada 1984.

    Keduanya kemudian mengumpulkan beberapa penyanyi terkenal pada masa itu untuk merekam lagu Do They Know It’s Christmas? Penyanyi yang diundang antara lain Bono dari U2, Sting, hingga Paul McCartney.

    Rencananya, uang yang mereka peroleh akan disumbangkan untuk rakyat Ethiopia.

    Perilisan lagu tersebut melalui grup musik Band Aid serta konser Live Aid yang digelar delapan bulan kemudian, menjadi momen penting dalam penggalangan dana selebritas dan menjadi pola yang diikuti banyak orang.

    Selama 40 tahun, lagu Do They Know It’s Christmas? telah direkam ulang dalam empat versi.

    Namun, ada sisi lain dari lagu tersebut yang tak banyak diketahui khalayak umum.

    Terlepas dari sumbangan yang mengalir, lagu Do They Know It’s Christmas? menyimpan stereotipe bahwa Ethiopia adalah tempat yang tandus dan tidak ada hujan atau sungai yang mengalir.

    Masyarakat Ethiopia yang menerima bantuan dipandang sebagai sosok kurus kering dan tak berdaya.

    Pandangan itu rupanya dianggap sebuah kebenaran bagi banyak orang.

    “Pertanyaan ‘Apakah mereka tahu hari Natal?’ lucu dan menghina,” kata Dawit Giorgis.

    Pada 1984, Dawit Giorgis adalah pejabat Ethiopia yang bertanggung jawab untuk menyebarkan pesan tentang apa yang terjadi di negaranya.

    Keheranan Dawit Giorgis terdengar jelas dari suaranya.

    “Pertanyaan itu sangat menyimpang. Ethiopia adalah negara dengan penduduk mayoritas Kristen sebelum Inggris… Kami mengenal Natal sebelum nenek moyangmu menganut Kristen,” ucapnya kepada BBC.

    Meski demikian, Dawit Giorgis tidak meragukan bahwa film BBC yang dibuat oleh jurnalis Inggris, Michael Buerk, dan juru kamera asal Kenya, Mohamed Amin, telah menyelamatkan banyak nyawa di Ethiopia.

    Sebagai kepala Komisi Pemulihan dan Rehabilitasi Ethiopia, Dawit Giorgis, berhasil menyelundupkan kru TV BBC ke negaranya.

    Pemerintah Ethiopia saat itu, yang sedang merayakan 10 tahun kekuasaan Marxis dan terlibat perang saudara, tidak ingin berita tentang kelaparan tersebar.

    “Cara orang-orang Inggris menanggapi dengan sangat murah hati memperkuat keyakinan saya pada kemanusiaan,” ujarn dari Namibia, tempat dia sekarang bekerja.

    Ia juga memuji “orang-orang muda dan bersemangat” di balik Band Aid serta menggambarkan mereka sebagai orang yang “luar biasa”.

    Tapi pertanyaannya tentang lagu itu sebetulnya adalah rangkuman dari perdebatan banyak orang yang mungkin merasa bahwa menghalalkan segala cara diperbolehkan demi menyelamatkan banyak nyawa.

    ‘Lagu Natal yang problematik’

    Musisi Bob Geldof secara tegas membela ketika menanggapi artikel The Conversation tentang “lagu Natal yang problematik” itu.

    “Itu lagu pop… Argumen yang sama telah disampaikan berkali-kali selama bertahun-tahun dan menimbulkan respons yang sama melelahkannya,” ucap Bob Geldof.

    “Lagu pop pendek ini telah menyelamatkan ratusan ribu, bahkan jutaan orang.”

    Ia juga mengakui bahwa orang Ethiopia merayakan Natal, tetapi klaimnya pada 1984 “upacara-upacara ditinggalkan”.

    Dalam surat elektronik kepada BBC, Joe Cannon yang merupakan kepala keuangan Band Aid Trust mengatakan dalam tujuh bulan terakhir badan amal tersebut telah memberikan lebih dari £3 juta (setara Rp60 miliar) untuk membantu sebanyak 350.000 orang melalui sejumlah proyek di Ethiopia, serta Sudan, Somaliland, dan Chad.

    Ia menambahkan tindakan cepat Band Aid sebagai “orang pertama yang memberikan respons” mendorong orang lain untuk menyumbang di tempat-tempat yang kekurangan dana, terutama di Ethiopia utara.

    Namun, ini tidak cukup untuk meredam gejolak yang diakibatkan dari lagu tersebut.

    Minggu lalu, Ed Sheeran berkata dia tidak senang dengan suaranya pada rekaman tahun 2014 yang dibuat untuk mengumpulkan dana untuk mengatasi krisis Ebola di Afrika Barat—karena “pemahamannya tentang persoalan tersebut telah berubah”.

    Ed Sheeran tampaknya terpengaruh oleh rapper Inggris-Ghana, Fuse ODG, yang juga menolak untuk ambil bagian satu dekade lalu.

    “Dunia telah berubah, tapi Band Aid belum,” katanya kepada siniar Focus on Africa milik BBC pada pekan ini.

    “Itu seperti mengatakan tidak ada kedamaian dan kegembiraan di Afrika pada hari Natal. Seakan-akan berkata ada kematian di setiap air mata yang tumpah,” katanya mengacu pada lirik lagu versi 2014.

    Adapun Fuse OGD tidak menyangkal bahwa ada masalah yang harus dituntaskan, tapi menurutnya “Band Aid hanya mengambil satu isu dari satu negara lantas menyamaratakannya ke seluruh benua.”

    Cara orang Afrika digambarkan dalam penggalangan dana ini, kata dia, berdampak langsung padanya.

    Ketika tumbuh dewasa, “tidaklah keren menjadi orang Afrika di Inggris… [karena] penampilan saya, orang-orang jadi mengolok-olok saya,” ujar penyanyi itu.

    Dana amal untuk Afrika dan stereotipe terhadap orang Afrika

    Penelitian tentang dampak penggalangan dana amal oleh dosen King’s College Inggris-Nigeria, Edward Ademolu mendukung hal ini.

    Ia masih ingat film pendek yang dibuat di Afrika oleh Comic Relief yang dipengaruhi oleh Band Aid.

    Gara-gara film itu, klaimnya, “teman-teman Afrika-nya di sekolah dasar [Inggris] akan menyangkal asal-usul mereka dan dengan sangat yakin menyebut semua orang Afrika bau, tidak cerdas, dan menyamakan orang Afrika dengan binatang buas”.

    Gambaran orang Afrika yang sangat kurus menjadi hal yang umum dalam upaya untuk mendapatkan dana amal.

    Sampul untuk single asli Band Aid, yang dirancang oleh artis pop Sir Peter Blake, menampilkan adegan Natal yang penuh warna.

    Pemandangan itu kontras dengan dua anak Ethiopia yang kurus kering dalam warna hitam dan putih sedang memakan biskuit demi menyambung hidup.

    Untuk bagian poster konser Live Aid tahun berikutnya, Sir Peter Blake menggunakan foto punggung seorang anak tanpa identitas, telanjang, dan kurus kering.

    Foto itu digunakan lagi dalam karya seni yang dirilis tahun 2004 dan muncul sekali lagi tahun ini.

    Bagi banyak orang yang bekerja di sektor bantuan dan akademisi, ada keterkejutan dan keheranan bahwa lagu dan gambar itu terus muncul.

    Organisasi induk Bond, yang bekerja dengan lebih dari 300 badan amal termasuk Christian Aid, Save the Children, dan Oxfam, sangat kritis terhadap lagu tersebut.

    “Inisiatif seperti Band Aid 40 mengabadikan narasi yang sudah ketinggalan zaman, memperkuat rasisme dan sikap kolonial yang merampas martabat dan hak orang-orang,” kata Lena Bheeroo.

    Adapun musisi Bob Geldof sebelumnya menepis gagasan bahwa karya Band Aid bergantung pada “kiasan kolonial”.

    Cara lembaga amal mengumpulkan dana telah mengalami perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir.

    Meskipun tetap kritis, penulis Kenya, Patrick Gathara yang sering mengejek pandangan Barat tentang Afrika setuju banyak hal telah berubah.

    “Ada dorongan di lembaga kemanusiaan untuk mulai melihat orang-orang dalam kondisi krisis sebagai manusia dan bukan sebagai korban… dan saya pikir itu adalah perubahan yang sangat besar,” katanya kepada BBC.

    “Pada masa Live Aid yang Anda lihat hanyalah gambaran kelaparan dan penderitaan… gagasan bahwa orang-orang ini tidak mampu melakukan apa pun untuk diri mereka sendiri, itu adalah kesalahpahaman.”

    Sementara itu, protes besar-besaran Black Lives Matter menambah dorongan pada perubahan yang sudah terjadi.

    Satu dekade lalu, organisasi Norwegia Radi-Aid menyoroti orang Afrika dengan unsur humor dalam kampanye penggalangan dana.

    Misalnya, organisasi itu mengoordinasikan kampanye tiruan untuk meminta orang Afrika mengirim radiator kepada orang Norwegia yang diduga menderita kedinginan.

     

    Pada 2017, Ed Sheeran sendiri memenangkan salah satu penghargaan “Rusty Radiator” untuk film yang dibuatnya untuk Comic Felief di Liberia.

    Saat itu dia menawarkan untuk membayar biaya penitipan anak-anak tunawisma Liberia di sebuah kamar hotel.

    Penyelenggara penghargaan mengatakan “video tersebut seharusnya tidak hanya tentang Ed Sheeran yang memikul beban sendirian, tapi juga mengajak masyarakat untuk turun tangan”.

    Akademisi Universitas East Angelia, David Girling, yang pernah menulis laporan untuk Radi-Aid berpendapat pekerjaan di sana adalah salah satu alasan mengapa banyak hal telah berubah.

    Ia berkata semakin banyak lembaga amal yang memperkenalkan pedoman etika untuk kampanye mereka.

    “Orang-orang telah menyadari kerusakan yang bisa ditimbulkan,” ucapnya kepada BBC.

    Penelitian Prof Girling, yang dilakukan di Kireba, daerah kumuh di ibu kota Kenya, Nairobi, menunjukkan kampanye yang melibatkan dan berpusat pada mereka yang menjadi target bantuan amal bisa lebih efektif daripada kebiasaan usang dari atas ke bawah.

    Banyak lembaga amal masih berada di bawah tekanan untuk menggunakan selebritas guna membantu meningkatkan kesadaran dan pengumpulan dana.

    Profesor Girling bahkan mengatakan beberapa media tidak akan menulis cerita penggalangan dana kecuali jika ada selebritas yang terlibat.

    Namun penelitian oleh rekannya Martin Scott menunjukkan bintang-bintang besar sering kali dapat mengalihkan perhatian dari pesan utama sebuah kampanye.

    Sementara selebritas mungkin mendapatkan manfaat, tapi lembaga amal dan pemahaman tentang isu yang sedang dikerjakan justru dirugikan.

    Jika proyek seperti Band Aid berjalan di masa sekarang, proyek tersebut harus berpusat pada artis-artis Afrika, kata jurnalis musik Christine Ochefu kepada BBC.

  • Mendiang Robert Freeman yang Abadi dalam Sampul The Beatles

    Mendiang Robert Freeman yang Abadi dalam Sampul The Beatles

    JAKARTA – Robert Freeman, fotografer lepas The Beatles meninggal di usia 82 tahun. Freeman berkontribusi dalam banyak kiprah The Fab Four. Mari kita tengok karya mendiang Freeman.

    Freeman lahir pada tahun 1938. Pada awal kariernya, Freeman bekerja sebagai jurnalis foto untuk The Sunday Times.

    Di tahun 60-an, Freeman mulai bekerja untuk The Beatles. Sampul album Help! jadi proyek pertamanya bersama The Beatles.

    Tak mungkin memungkiri kerennya sampul foto dalam sampul Help!. Dalam album rilisan 1965 itu, Harrison, Lennon, McCartney, dan Starr berdiri sejajar mengeja huruf “help” dengan isyarat semapur.

    Setelah Help!, tangkapan citra Freeman terus digunakan anak asuh Brian Epstein. Dalam album-album selanjutnya, Freeman juga lah yang menciptakan foto-foto ikonik dalam album The Beatles.

    Sampul Beatles for Sale, Rubber Soul, With The Beatles, A Hard Day’s Night, serta berbagai album lain jadi catatan karya Freeman.

    Selain The Beatles, Freeman juga bekerja untuk sejumlah nama populer lain, mulai dari Mohammed Ali, John Coltrane, Charlton Heston, hingga Andy Warhol.

    Pengumuman meninggalnya Freeman diumumkan dalam akun Twitter resmi The Beatles. Tak disebutkan jelas apa penyebab kematian Freeman.

    Yang jelas, seluruh sahabat mendiang turut menyampaikan pesan duka. Tak terkecuali Paul McCartney. Dalam situs resminya, Paul menulis pesan duka:

    Dear Robert Freeman has passed away. He was one of our favourite photographers during the Beatles years who came up with some of our most iconic album covers. Besides being a great professional he was imaginative and a true original thinker. People often think that the cover shot for Meet The Beatles of our foreheads in half shadow was a carefully arranged studio shot. In fact it was taken quite quickly by Robert in the corridor of a hotel we were staying in where natural light came from the windows at the end of the corridor. I think it took no more than half an hour to accomplish.

    Bob also took the Rubber Soul cover; his normal practice was to use a slide projector and project the photos he’d taken onto a piece of white cardboard which was exactly album sized, thus giving us an accurate idea of how the finished product would look. During his viewing session the card which had been propped up on a small table fell backwards giving the photograph a ‘stretched’ look. Instead of simply putting the card upright again we became excited at the idea of this new version of his photograph. He assured us that it was possible to print it this way and because the album was titled Rubber Soul we felt that the image fitted perfectly.

    I will miss this wonderful man but will always cherish the fond memories I have of him.

    Thanks Bob.

    Love Paul