Dan Terjadi Lagi, Korupsi Jual-Beli Jabatan yang Makin Berani…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kasus jual beli jabatan di pemerintah daerah kembali terungkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (7/11/2025).
Sugiri ditangkap bersama tiga orang lainnya, salah satunya adalah Sekretaris Daerah Ponorogo, Agus Pramono yang diketahui telah menjabat selama 13 tahun.
Sugiri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Minggu (9/11/2025) setelah diciduk dalam aksi ketiga pengambilan uang suap jual beli jabatan untuk Direktur RSUD Dr. Harjono Kabupaten Ponorogo.
KPK menduga Sugiri menyalahgunakan kewenangannya untuk mengatur jabatan di lingkungan RSUD.
Kasus ini bermula pada awal 2025 ketika Yunus Mahatma selaku Direktur RSUD Harjono Ponorogo mendapatkan informasi bahwa dirinya akan diganti oleh Sugiri.
Untuk mempertahankan posisinya, Yunus langsung berkoordinasi dengan Agus Pramono selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Ponorogo untuk menyiapkan sejumlah uang yang akan diberikan kepada Sugiri Sancoko.
Suap pertama kemudian diberikan Yunus pada Sugiri melalui ajudannya sebesar Rp 400 juta. Dilakukan bertahap, pada periode berikutnya Yunus kembali setor duit Rp 325 juta.
Selanjutnya, pada November 2025, Yunus kembali menyerahkan uang senilai Rp 500 juta melalui kerabat Sugiri Sancoko.
Jika dijumlah, total uang yang telah diberikan Yunus dalam tiga klaster penyerahan uang tersebut mencapai Rp 1,25 miliar, dengan rincian yaitu, untuk Sugiri Sancoko sebesar Rp 900 juta dan Agus Pramono senilai Rp 325 juta.
Namun dalam penyerahan ketiga ini, belum sempat uang di tangan KPK sudah menciduk Sugiridan kawan-kawan.
OTT ini dihasilkan dari operasi senyap yang mengetahui Sugiri nagih duit sisa yang dijanjikan untuk posisi Direktur RSUD ke Yunus.
Yunus kemudian mencairkan uang Rp 500 juta untuk diserahkan kepada Sugiri. Uang itu kini disita KPK sebagai barang bukti OTT.
Selain jual beli jabatan, KPK juga menemukan dugaan suap terkait paket pekerjaan di lingkungan RSUD Ponorogo.
Disebutkan, pada 2024, terdapat proyek pekerjaan RSUD Ponorogo senilai Rp 14 miliar.
Dari nilai tersebut, Sucipto selaku rekanan RSUD Harjono memberikan fee kepada Yunus sebesar 10 persen atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Tak berhenti di situ, KPK juga menyebut ada dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp 225 dari Yunus pada periode 2023-2025 dan uang Rp 75 juta dari pihak swasta.
Atas perbuatannya, Sugiri dan Yunus diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b dan/atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
OTT terhadap Sugiri ini menambah panjang daftar kasus korupsi bermodus jual-beli jabatan yang menjerat para kepala daerah.
Merunut ke belakan, kasus ini pernah terjadi pada 2016 lalu, Bupati Klaten Sri Hartini juga diciduk atas dugaan jual-beli jabatan.
Praktik jual beli jabatan yang disebut dengan “uang syukuran” itu melibatkan Kepala Seksi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Dinas Pendidikan Klaten, Suramlan.
Tahun 2017, kasus jual beli jabatan kembali mencuat. Kali itu giliran Bupati Nganjuk Taufiqquramhan yang ditetapkan sebagai tersangka karena menerima suap sebesar Rp 298 juta.
Bupati Nganjuk periode 2013-2018 tersebut ditangkap dalam operasi tangkap tangan pada 25 Oktober 2025 di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hotel ini disebut sebagai tempat serah terima uang.
Tahun berganti kasus serupa kembali terjadi, kali ini Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang diciduk KPK di Stasiun Balapan, Solo, Jawa Tengah, pada 3 Februari 2018.
Ia menerima suap dari Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyanti yang disebut memberikan suap sebesar 9.500 dolar AS yang disita sebagai barang bukti.
Uang ini disebut sebagai upaya suap agar Nyono menetapkan Inna sebagai Kadis Kesehatan definitif setelah menjabat sebagai pelaksana tugas.
Seperti tradisi tahunan, KPK juga menjaring kepala daerah yang terjerat kasus jual beli jabatan pada 2019. Saat itu yang terjaring adalah Bupati Kudus, Muhammad Tamzil.
Saat itu, KPK menduga akan terjadi transaksi suap terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus.
Dua tahun berselang, tepatnya 2021, KPK kembali menangkap kepala daerah dengan modus yang sama, jual beli jabatan.
Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial kini mendapat giliran menggunakan rompi oranye dengan modus yang sama, gratifikasi, suap jual beli jabatan.
Pada tahun yang sama, ada Bupati Nganjuk lagi yakni Novi Rahman Hidayat yang terjerat korupsi dengan modus yang sama seperti pendahulunya, jual beli jabatan, sebelum KPK menangkap Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari karena kasus serupa.
Pada tahun 2022, KPK juga menciduk dua kepala daerah atas kasus jual beli jabatan, yakni Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo, dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen.
Dua kasus terakhir, pada 2023 ada Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba, dan 2025
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lina Miftah Jannah menilai, penyebab klasik kasus korupsi kepala daerah yang tak ditangani serius oleh pemerintah adalah soal biaya pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Penyebab ini lumrah karena kepala daerah yang mengeluarkan ongkos pilkada begitu besar akan mencari cara agar ongkos yang mereka keluarkan kembali.
“Sehingga kemudian biaya politik yang besar itu membuat mereka kemudian harus mengembalikan tanda petik uang yang sudah mereka keluarkan untuk memperoleh jabatan ini, itu yang pertama ya,” kata Lina.
Namun, Lina menekankan bahwa variabel tersebut adalah penyebab secara general.
Khusus terkait jual beli jabatan, biasanya akan dilakukan oleh para pejabat yang sudah ahli dalam bidang birokrasi.
Misalnya kasus Ponorogo, melihat status jabatan Sekda yang melampaui presiden dua periode, ada kemungkinan sudah mengetahui celah yang bisa mereka mainkan untuk praktik korupsi.
“Terhadap mereka yang sudah terlalu lama atas jabatan yang terlalu lama dalam jabatan yang sama atau sejenis, maka mereka sudah tahu celah-celahnya,” ujar Lina.
Para pejabat yang disebut “kreatif” memanfaatkan celah regulasi dan mulai memberikan bisikan pada kepala daerah untuk memainkan celah tersebut.
Lina menyoroti berbagai daerah yang terjerat kasus korupsi karena kasus jual beli jabatan ini semakin berani setelah
Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) dibubarkan pemerintah dan DPR melalui Undang-Undang ASN tahun 2023.
Karena KASN selama ini memiliki tugas untuk mengawasi setiap jabatan ASN agar sesuai dengan sistem merit.
“Dulu pengawal meritrokrasi kan adalah KASN ya, nah jadi artinya dulu dibuat sebagai lembaga independen yang kemudian bisa mengawal agar tidak terjadi jual-beli jabatan seperti ini. Tapi kan kemudian KASN-nya sudah dibubarkan nih, udah nggak ada lagi, sehingga siapa yang jadi pengawal? Enggak ada lah sekarang,” kata dia.
Menurut Lina, saat ini hanya masyarakat sipil, media dan akademisi yang bisa mengawasi dari luar terkait praktik jual-beli jabatan tersebut.
Oleh sebab itu, Lina menilai dosa besar pemerintah saat ini atas perilaku jual-beli jabatan di pemda adalah mematikan lembaga KASN.
Lina pun sangat mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta agar lembaga serupa KASN dibentuk kembali.
Urgensi pembentukan lembaga independen yang mengawasi merit sistem ASN ini sangat penting dilakukan, agar proses regenerasi semakin baik dan pelayan publik meningkat.
“Harus segera. Ada KASN aja dulu, masih ada yang coba-coba nakal gitu kan, apalagi lembaga ini nggak ada?” tandasnya.
Adapun putusan MK yang dimaksud yakni 121/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang 16 Oktober 2025.
Dalam amar putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, Pasal 26 ayat 2 UU ASN 20/2023 yang menghapus keberadaan KASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai penerapan pengawasan sistem merit, termasuk penerapan terhadap asas, nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dilakukan oleh suatu lembaga independen.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Nyono Suharli Wihandoko
-

Istri Mantan Bupati Jombang Menang Gugatan Waris, Siap Laporkan Dugaan Penggelapan
Surabaya (beritajatim.com) – Nanik Prastiyaningsih, istri mantan Bupati Jombang periode 2013-2018, almarhum Nyono Suharli Wihandoko, memenangkan gugatan waris di tingkat banding yang digelar di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya.
Keputusan ini membatalkan putusan sebelumnya yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jombang, di mana Nanik sempat diminta membayar USD492 ribu atau sekitar Rp7 miliar sebagai bagian dari hak waris.
Dalam keterangannya, Nanik berencana membawa kasus ini ke jalur pidana untuk melaporkan dugaan penggelapan. “Kami pemenang dalam arti putusan Pengadilan Agama Jombang ditolak dan digagalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur,” ujar kuasa hukum Nanik, Eggi Sudjana, Kamis (14/11/2024).
Menurut Eggi, Nanik sebagai istri sah almarhum Nyono berhak mendapatkan 1/8 dari harta waris. Almarhum tidak memiliki anak laki-laki, dan hanya meninggalkan dua anak perempuan. Eggi menilai tekanan yang diterima kliennya berasal dari anak tiri yang menolak hak waris tersebut.
Kasus ini semakin rumit dengan adanya ancaman dari anak-anak tiri Nanik yang mengklaim bahwa dirinya tidak berhak atas bagian waris dan berencana melaporkan dugaan pencurian senilai Rp 7 miliar ke Polda Jawa Timur. Menurut Eggi, tuduhan tersebut tidak berdasar karena uang waris tersebut telah diserahkan dan terdapat bukti rekaman CCTV serta saksi.
Terkait proses pelaporan Nanik ke Polda Jatim, Eggi menyebut ada kejanggalan atau “anomali hukum.” Saksi yang diminta hadir tidak diberitahu identitas pelapor, dan tidak ada tanda terima dari pihak yang menerima hak waris, meskipun uang tersebut telah diserahkan.
“Setelah ini kita akan buat laporan polisi terkait anomali hukum ini dan blackmail hukum. Dalam hukum pidana, perbuatan harus jelas dan selesai dilakukan. (Sementara Nanik) sudah menyerahkan uang itu, tapi tidak ada tanda terima,” pungkas Eggi.
Diberitakan sebelumnya, Nanik menggugat putusan Pengadilan Agama Jombang No. 2980/Pdt.G/2023/PA.Jbg yang mengharuskan dirinya membayar USD 492.000 sebagai hak waris. Ia mengaku terkejut dengan tuntutan tersebut, karena sebagian uang waris sudah diserahkan dan diketahui pihak terkait. [uci/beq]
-

Mantan Isteri Bupati Jombang Datangi Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
Surabaya (beritajatim.com) – Nanik Prastiyaningsih, istri dari almarhum Drs. Ec Nyono Suharli Wihandoko, mantan Bupati Jombang, mengajukan banding atas putusan Pengadilan Agama (PA) Jombang di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya.
Nanik merasa keberatan atas putusan yang digugat oleh anak tirinya yang mencapai Rp 7 miliar.
Menurut penjelasan Nanik, awalnya ia digugat oleh anak tirinya terkait pembagian warisan dengan nilai 140 ribu USD atau setara Rp 2,1 miliar. Namun, secara mengejutkan, jumlah gugatan tersebut meningkat menjadi Rp 7 miliar.
“Saya sangat bingung, uang apa yang dimaksud?,” ujar Nanik dengan nada penuh kebingungan.
Lebih lanjut, Nanik menyampaikan bahwa ada beberapa tindakan yang menurutnya berpotensi menjadi tindak pidana, seperti munculnya surat keterangan ahli waris yang tidak mencantumkan namanya, padahal ia masih hidup.
“Saya adalah istri sah almarhum, tetapi mengapa surat keterangan ahli waris tidak mencantumkan nama saya? Surat tersebut kemudian digunakan untuk menutup rekening almarhum. Padahal sebelumnya anak-anak selalu meminta persetujuan saya jika ingin menutup rekening. Jika uang itu diminta dengan baik-baik, saya pasti akan memberikannya. Saya tidak pernah berniat mengambil hak-hak anak-anak,” tegas Nanik.
Kuasa hukum Nanik, Egi Sujana, menambahkan bahwa pihaknya sedang mengajukan banding atas putusan PA Jombang dengan nomor perkara 2980 tahun 2023. Menurutnya, ada ketidakadilan dalam putusan tersebut, di mana hakim PA Jombang dianggap khilaf karena memutuskan tanpa didukung alat bukti yang memadai.
“Misalnya, tergugat dituduh menggelapkan uang sebesar 400 ribu USD atau sekitar Rp 7 miliar. Tuduhan ini kemudian diterima oleh hakim, namun tanpa bukti yang jelas, seperti tanda tangan yang tidak menyebutkan nama, serta asal dan tujuan uang tersebut yang tidak jelas,” ungkap Egi.
Sementara itu, Humas PTA Surabaya, Syaiful Heja, menyatakan bahwa tergugat (Nanik) memiliki hak untuk mengajukan banding atas putusan di PA Jombang. Banding, menurut Syaiful, merupakan hak dari setiap tergugat atau penggugat pada tingkat pertama di PA Jombang.
“Pihak yang mengajukan banding dapat menyampaikan keberatan-keberatan mereka dalam memori banding. Setelah memori banding diterima, akan ditunjuk majelis hakim yang akan menangani kasus ini, dan jadwal sidang akan ditentukan,” jelas Syaiful. [uci/ted]
/data/photo/2025/11/10/69112aba4f8cd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)