Tag: Nusron Wahid

  • Kena Gusur, Nusron Beri Bantuan Rp25 Juta ke Warga Perumahan Bekasi

    Kena Gusur, Nusron Beri Bantuan Rp25 Juta ke Warga Perumahan Bekasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan nasional (Menteri ATR/Kepala BPN) Nusron Wahid, mengaku bakal mengguyur bantuan sukarela pada 5 warga yang terdampak penggusuran sengketa tanah di wilayah Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

    Nusron memastikan, kelima warga tergusur itu merupakan pemilik sah lahan tersebut yang terbukti dalam sertifikat hak milik (SHM) milik masing-masing warga. 

    “Sebagai bukti komitmen empati kami pada ibu-ibu [korban penggusuran], dari saya pribadi nanti akan kami bantu masing-masing Rp25 juta,” kata Nusron saat menemui para korban di Tambun Selatan, Jumat (7/2/2025). 

    Di samping itu, Nusron juga menekankan apabila mengacu pada peta yang dimiliki Kementerian ATR/BPN, rumah 5 warga yang telah tergusur itu bahkan berada di luar area lahan yang berkonflik.

    Oleh karena itu, Nusron juga menyebut bakal meminta para penggugat dan tergugat untuk melakukan mediasi. Pasalnya, berdasarkan catatan dokumen Kementerian ATR/BPN, para warga tergusurlah yang memiliki sertifikat resmi. 

    Untuk diketahui sebelumnya, para korban tergusur dan Cluster Setiamekar Residence sebelumnya disebut tengah bersengketa lahan dengan penggugat atas nama Mimi Jamilah. Diketahui, Mimi sendiri merupakan ahli waris dari Abdul Hamid yang kala itu juga membeli lahan itu pada 1982.

    Akan tetapi, kepemilikan lahan atas nama Mimi Jamilah pada tahun 1982 itu rumpang secara prosedur lantaran pihak Mimi tidak melakukan balik nama dan pencetakan SHM usai mengantongi AJB pada 1982.

    Alhasil, hal itu dimanfaatkan oleh sang tuan tanah atas nama Djuju yang kembali menjual lahannya pada tahun 1982 ke Kayat yang hingga saat ini turun kepemilikannya pada 5 warga tersebut.

    “Kan ini korbannya dulu ini beli dari masyarakat. Jadi [rumah yang sudah tergusur] harus dikembalikan juga gitu kira-kira, harus ada itikad baik,” tegas Nusron.

    Di sisi lain, Nusron juga menegaskan upaya eksekusi yang dilakukan oleh PN Cikarang juga tak sesuai prosedur. Lantaran, PN Cikarang tidak memastikan posisi lahan yang bersengketa ke Kementerian ATR/BPN.

    Kemudian, Mimi selaku pemenang gugatan juga diketahui tak melapor ke Kementerian ATR/BPN untuk melakukan pengajuan pembatalan sertifikat yang dimiliki oleh para warga. Untuk itu, Nusron menyebut bakal mempertemukan sejumlah pihak yang bertikai itu.

    “Di dalam keputusan pengadilan itu belum ada perintah kepada ATR/BPN, untuk membatalkan sertifikat. Jadi harusnya pengadilan negeri ini sebelum melakukan proses eksekusi melalui beberapa tahap dulu. Kalau mau ada eksekusi pengadilan itu berkirim surat terlebih dahulu kepada BPN untuk minta diukur mana sih letak lokasi yang harus dieksekusi,” pungkasnya.

    Adapun, penggusuran hunian masyarakat tersebut dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Padahal para penghuni mengaku menggenggam SHM resmi yang telah didapati selama 30 tahun lamanya.

  • Salah Gusur di Tambun Bekasi: Luka, Air Mata, dan Janji Pemulihan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        7 Februari 2025

    Salah Gusur di Tambun Bekasi: Luka, Air Mata, dan Janji Pemulihan Megapolitan 7 Februari 2025

    Salah Gusur di Tambun Bekasi: Luka, Air Mata, dan Janji Pemulihan
    Editor
    BEKASI, KOMPAS.com
    – Di atas tanah yang kini tak lagi berdinding, di antara puing-puing yang dulu menjadi tempat berlindung, seulas senyum akhirnya kembali merekah.
    Tangis yang sempat mengalir karena kehilangan, kini beradu dengan air mata haru di tengah Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
    Mursiti, seorang wanita yang rumahnya telah rata dengan tanah, tak kuasa menahan emosinya saat mendengar janji Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid.
    “Pak, terima kasih, Pak,” lirihnya, sembari menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
    Ia tak sendiri. Yeldi dan Asmawati, yang berdiri di sampingnya, ikut merasakan hal yang sama.
    Rumah yang mereka bangun dengan penuh perjuangan telah tiada. Namun, hari ini, harapan itu datang, meski dalam bentuk yang sederhana.
    Hari itu, Jumat (7/2/2025), di bawah langit Bekasi yang seakan ikut menyaksikan luka mereka, Nusron Wahid hadir di lokasi penggusuran.
    Lima rumah telah roboh, menjadi saksi bisu atas kesalahan yang tak seharusnya terjadi.
    Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II, dalam eksekusi pada 30 Januari lalu, telah menggusur rumah-rumah yang tak seharusnya tersentuh.
    Kini, yang tersisa hanyalah lahan yang dipenuhi puing, kenangan, dan duka mendalam.
    Sebagai bentuk empati, Nusron berjanji akan memberikan bantuan Rp 25 juta untuk setiap rumah yang salah gusur.
    “Sebagai bukti empati dan komitmen kami kepada ibu-ibu korban penggusuran, dari saya pribadi nanti akan kami bantu masing-masing Rp 25 juta,” ujar Nusron.
    Ucapannya disambut dengan senyum haru. Bagi sebagian orang, mungkin jumlah itu tak seberapa jika dibanding sejumlah bangunan yang telah ambruk.
    Tetapi bagi mereka yang kehilangan segalanya, angka itu berarti harapan baru. Harapan untuk kembali membangun, harapan untuk kembali memiliki atap yang melindungi.
    Tanah di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi ini memang telah berubah wujud.
    Lima rumah yang dulu berdiri kokoh milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, serta satu bangunan milik Bank Perumahan Rakyat (BPR) telah tiada.
    Semua bermula dari sengketa lahan 3,6 hektar yang berakar dari gugatan lama sejak 1996. Saat palu hukum diketuk dan eksekusi dilakukan, kelima rumah itu tersapu.
    Sayangnya, baru belakangan diketahui bahwa pengadilan telah melakukan kesalahan fatal—mereka menggusur rumah yang seharusnya tak tersentuh.
    Kesalahan prosedur ini telah merenggut segalanya dari para pemilik rumah. Namun, di tengah luka yang menganga, ada secercah cahaya.
    Mursiti, yang tadi tak kuasa menahan tangis, kini bergegas memeluk Nusron.
    Seolah dalam dekapan itu tersimpan doa, harapan, dan rasa syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
    Warga lain pun saling berpelukan, berbagi kebahagiaan dalam getirnya kenyataan yang masih harus mereka hadapi.
    Saat Nusron melangkah menuju kendaraan dinasnya, ia kembali menyalami satu per satu para korban.
    “Iya, iya,” ucapnya singkat, tetapi cukup untuk meninggalkan jejak empati di hati mereka.
    Kini, tanah yang kosong itu masih sunyi. Namun, di hati para pemiliknya, harapan mulai tumbuh kembali.
    Mereka tahu, rumah-rumah yang telah roboh tak bisa kembali dalam semalam.
    Tetapi dengan janji ini, setidaknya mereka bisa bermimpi, membangun lagi, dan percaya bahwa di balik setiap kehilangan, ada jalan untuk kembali pulang.
    (Reporter: Achmad Nasrudin Yahya | Editor: Fitria Chusna Farisa)
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Meski Rumah Salah Gusur Sudah Rata dengan Tanah, Pemiliknya Enggan Tuntut Pengadilan
                        Megapolitan

    3 Meski Rumah Salah Gusur Sudah Rata dengan Tanah, Pemiliknya Enggan Tuntut Pengadilan Megapolitan

    Meski Rumah Salah Gusur Sudah Rata dengan Tanah, Pemiliknya Enggan Tuntut Pengadilan
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com –
    Amawati (69), satu dari lima pemilik rumah korban salah gusur di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, enggan menuntut Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II meski rumahnya sudah rata dengan tanah.
    Mulanya, Asmawati sempat mengutarakan akan menuntut pengadilan karena salah menggusur kediamannya.
    Namun, ia menarik ucapannya tersebut setelah korban lain mengingatkan Asmawati untuk memercayakan penyelesaian persoalan ini ke aparat penegak hukum.
    “Kita serahkan yang berwajib saja,” kata Asmawati usai bertemu Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
    Nusron Wahid
    di Tambun Selatan, Jumat (7/2/2025).
    Kendati rumahnya menjadi korban salah penggusuran, Asmawati menganggap hal itu sebagai cobaan hidup.
    Karena itu, ia berusaha menerima dengan ikhlas atas kenyataaan yang telah terjadi.
    “Rumah saya sudah rata dengan tanah. Kami menerima cobaan ini, sudah terjadi
    gimana
    ? Kita cuma berdoa kepada Allah,” ungkap Asmawati.
    Korban lain, Mursiti (60), mengaku senang setelah mengetahui Nusron Wahid akan membantu memberikan dana Rp 25 juta untuk memperbaiki rumahnya yang kini telah rata dengan tanah.
    Menurut dia, bantuan tersebut sangat meringankan seluruh korban untuk memperbaiki rumah.
    “Saya sangat senang sekali karena Pak Menteri memperhatikan kami rakyat kecil. Terima kasih sekali, saya sangat terbantu untuk bertahan hidup, dibantu Rp 25 juta, masing-masing dari pribadi Pak Menteri,” imbuh dia.
    Sebelumnya diberitakan, lima rumah warga rata dengan tanah usai digusur pengadilan pada 30 Januari 2025.
    Penggusuran merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
    Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 325 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
    Belakangan diketahui, pengadilan salah menggusur kelima rumah warga tersebut yang notabene berada di luar obyek lahan seluas 3,6 hektar yang disengketakan.
    Penyebab kesalahan ini diduga karena pengadilan melewati sejumlah prosedur yang semestinya dilaksanakan mereka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 6
                    
                        Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan
                        Megapolitan

    6 Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan Megapolitan

    Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com –
    Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
    Nusron Wahid
    menyebut, Pengadilan Negeri Cikarang Kelas II tidak mengedepankan prinsip kemanusiaan usai salah menggusur rumah warga bersertifikat di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
    Nusron menilai, pengadilan seharusnya mengedepankan prinsip kemanusiaan dengan tidak menggusur rumah warga secara sepihak.
    “Harusnya kalau eksekusi pun juga harus menggunakan prinsip-prinsip kemanusiaan. (Ini) Tidak dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, main gusur gitu aja. Kan itu ada orangnya,” ujar Nusron saat mengunjungi lahan bersengketa di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jumat (7/2/2025).
    Menurut Nusron, pengadilan salah prosedur saat menggusur kelima rumah warga milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR) itu.
    Pasalnya, kelima rumah tersebut berada di luar lahan bersengketa seluas 3,6 hektar yang juga telah digusur pengadilan.
    Nusron menjelaskan, terdapat tiga proses yang tak dijalankan oleh pengadilan dalam kasus ini.
    Pertama, sebelum dilakukan penggusuran, pihak pengadilan seharusnya mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi.
    Pengajuan ini merujuk amar putusan gugatan yang ternyata tidak ada perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah.
    Karena tidak adanya amar tersebut, Nusron menegaskan, pengadilan harus mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN sebelum penggusuran dilakukan.
    “Di dalam amar putusannya itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikatnya. Harusnya ada perintah dulu,” ungkap dia.
    Kedua, Nusron mengatakan, pengadilan tetap berkewajiban berkirim surat kepada BPN untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan digusur.
    Langkah ini diperlukan agar juru sita pengadilan mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.
    Ketiga, pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan penggusuran.
    Dari seluruh proses tersebut, kata Nusron, tak ada satu pun tahapan yang dilalui oleh pengadilan ketika penggusuran dilakukan.
    “Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan,” imbuh dia.
    Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa kelima pemilik rumah tetap sah menempati kediaman mereka, sekalipun sudah ada keputusan hukum.
    “Beliau-beliau ini korban, kan yang konflik masa lalu, (mereka) enggak ngerti. Dia beli dari yang sah, keluar duit. Sikap kita terhadap ekseusi ini bagaimana? Pertama, sertifikat ini sah dan masih sah meskipun sudah ada putusan pengadilan,” imbuh dia.
    Sebelumnya diberitakan, kelima rumah warga rata dengan tanah usai digusur pengadilan pada 30 Januari 2025.
    Penggusuran merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
    Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 325 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
    Belakangan diketahui, pengadilan salah menggusur kelima rumah warga tersebut yang notabene berada di luar obyek lahan seluas 3,6 hektar yang disengketakan.
    Penyebab kesalahan ini diduga karena pengadilan melewati sejumlah prosedur yang semestinya dilaksanakan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nusron salahkan PN Cikarang atas eksekusi lima rumah warga Bekasi

    Nusron salahkan PN Cikarang atas eksekusi lima rumah warga Bekasi

    “Kalau dilihat dari data, ini di luar tanah yang disengketakan, setelah kami cek,”

    Kabupaten Bekasi (ANTARA) – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyalahkan Pengadilan Negeri Kelas II Cikarang atas perbuatan eksekusi lima rumah warga di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

    Kelima rumah warga itu kini telah rata dengan tanah meski berada di luar obyek lahan yang disengketakan penggugat bernama Mimi Jamilah pada tahun 1996.

    “Kalau dilihat dari data, ini di luar tanah yang disengketakan, setelah kami cek,” kata Nusron di Bekasi, Jumat.

    Kelima rumah salah gusur tersebut milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR), berlokasi di Kampung Bulu, Jalan Bekasi Timur Permai, RT 1/RW 11, Desa Setia Mekar.

    Nusron menyebutkan berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, kelima rumah tersebut berada di luar lahan milik seorang bernama Kayat dengan nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) 706.

    Bidang lahan 706 diketahui berasal dari lahan induk seluas 3,6 hektare dengan sertifikat bernomor 325 yang digugat oleh Mimi Jamilah.

    “Menurut data yang dimiliki kita, itu ya di luar SHM 706,” katanya.

    Menurut dia kesalahan penggusuran tersebut karena pengadilan tidak melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi putusan.

    “Sampai penggusuran belum ada pemberitahuan, pelibatan dan belum ada permintaan penggusuran,” kata Nusron.

    Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Nusron tegaskan eksekusi pengadilan di Bekasi cacat prosedur

    Nusron tegaskan eksekusi pengadilan di Bekasi cacat prosedur

    “Jadi ini proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap penghuni ini masih sah,”

    Kabupaten Bekasi (ANTARA) – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan keputusan eksekusi lahan oleh pengadilan di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, cacat prosedur.

    “Jadi ini proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap penghuni ini masih sah,” kata Nusron di lokasi, Jumat.

    Eksekusi itu melibatkan lima rumah warga yang turut terdampak penggusuran hingga rata dengan tanah meski berada di luar objek sengketa padahal memiliki bukti kepemilikan secara sah.

    Kelima rumah warga tersebut diketahui milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR). Kelimanya mempunyai dokumen Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang mereka dirikan bangunan rumah.

    Nusron mengungkapkan ada sejumlah tahapan yang tidak dijalankan pengadilan menyangkut eksekusi di wilayah Tambun Selatan di antaranya mereka tidak mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi sebelum melakukan eksekusi.

    Pengajuan ini merujuk amar putusan gugatan yang ternyata tidak menyertakan perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah.

    Nusron menegaskan pengadilan harus mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN sebelum sita eksekusi dilakukan mengingat tidak menyertakan amar putusan dimaksud.

    “Di dalam amar putusan itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat. Harusnya ada perintah dulu,” katanya.

    Kemudian pengadilan juga berkewajiban mengirim surat permohonan kepada BPN wilayah setempat untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan disita guna mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.

    Pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan eksekusi. Dari seluruh proses tersebut, Nusron memastikan tidak ada satu pun tahapan yang dilalui oleh pengadilan ketika eksekusi dilakukan.

    “Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan,” ucap dia.

    Diketahui eksekusi lima rumah warga di wilayah dimaksud dilakukan pada 30 Januari 2025, merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.

    Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 335 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.

    Persoalan tanah ini semakin kompleks karena sertifikat hak milik tanah seluas total 3,6 hektare itu berganti-ganti kepemilikan. Semula dimiliki Djuju, kemudian dijual ke Abdul Hamid.

    Abdul Hamid ternyata justru menjual kembali lahan tersebut kepada Kayat dan Kayat memecah sertifikat tersebut menjadi empat bidang dengan nomor SHM 704, 705, 706 dan 707.

    Kayat kemudian melepas dengan SHM nomor 704 dan 705 ke Toenggoel Paraon Siagian. Sedangkan SHM 706 dan 707 dijual secara acak.

    Setelah berulang kali berganti nama pemilik, Mimi kemudian menggugat semua pemilik. Dari gugatan ini diketahui bahwa transaksi jual beli lahan antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah.

    Djuju membatalkan sepihak jual beli lahan setelah Abdul Hamid gagal membayar keseluruhan nilai lahan. Gugatan yang diajukan Mimi bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid.

    Pada tahun 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 ke Bari setelah mengetahui pihak Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada 2018.

    Dari pembelian lahan ini, nama pemilik SHM 705 berganti dari Toenggoel menjadi atas nama Bari. Pembelian ini yang kemudian menghasilkan bangunan yang kini berdiri sebagai perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2.

    Selain cluster, terdapat pula tiga bidang tanah lain yang dieksekusi pengadilan, antara lain SHM dengan nomor 704, 706, dan 707.(KR-PRA).

    Pewarta: Pradita Kurniawan Syah
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Kisruh SHM Ganda di Perumahan Bekasi, Nusron Wahid Buka Suara

    Kisruh SHM Ganda di Perumahan Bekasi, Nusron Wahid Buka Suara

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/Kepala BPN), Nusron Wahid buka suara mengenai duduk perkara konflik lahan di Cluster Setia Mekar Residence 2 yang berlokasi di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

    Nusron menjelaskan, konflik lahan itu berawal pada tahun 1982 karena sang tuan tanah yang bernama Djuju kedapatan dua kali menjual lahannya pada dua orang yang berbeda pada 1976 kepada Abdul Hamid dan tahun 1982 kepada Kayat. 

    “Pada tahun 1982 Djuju nakal, tanah sudah dijual sama Abdul Hamid, dijual lagi kepada orang namanya Kayat. Nah Kayat karena sudah merasa ada AJB kemudian langsung membalik nama,” kata Nusron saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Bekasi, Jumat (7/2/2025).

    Nusron melanjutkan, Kayat kemudian menjual lahannya menjadi beberapa bidang yang tertuang dalam sertifikat 704,705,706,707 yang kemudian terbagi menjadi beberapa pemilik yang salah satunya dibangun area cluster tersebut. 

    Akan tetapi, sang ahli waris Abdul Hamid bernama Mimi Jamilah membawa perkara tersebut ke pengadilan. Di mana, Mimi berhasil memenangkan gugatan lantaran dinilai menjadi pemilik sertifikat sah pertama. 

    “Pengadilan sampai MA dimenangkan oleh Mimi Jamilah sebagai ahli warisnya Abdul Hamid. Nah kemudian ada eksekusi pengadilan seperti sekarang ini,” ujar Nusron.

    Namun demikian, Nusron menegaskan sertifikat hak milik (SHM) yang digenggam oleh para korban tergusur merupakan sertifikat yang sah. Dia juga memastikan para masyarakat yang tergusur merupakan korban.

    Untuk itu, Nusron bakal meminta Pengadilan dan Djuju untuk dapat melakukan ganti rugi pada masyarakat yang menjadi korban.

    Pasalnya, tambah Nusron, seharusnya sebelum melakukan penggusuran, pihak pengadilan perlu untuk berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengukur luas lahan berkonflik. 

    “Yang menang itu harusnya datang ke pengadilan, minta ada penetapan perintah pengadilan, lalu memerintahkan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat ini. Setelah ada perintah pengadilan kemudian baru dibatalkan [sertifikat warganya]. Dan kalau mau ada eksekusi, itu pengadilan harusnya berkirim surat terlebih dahulu kepada BPN untuk minta diukur mana sih letak lokasi yang harus dieksekusi,” tegas Nusron.

    Untuk diketahui sebelumnya, ramai di media sosial para penghuni Cluster Setia Mekar Residence 2 melakukan demonstrasi lantaran huniannya digusur oleh PN Cikarang. 

    Adapun, penggusuran hunian masyarakat tersebut dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Padahal para penghuni mengaku menggenggam SHM resmi yang telah didapati selama 30 tahun lamanya.

  • Menteri ATR/BPN Sidak Lahan Sengketa Dobel SHM Perumahan Cluster di Tambun Bekasi

    Menteri ATR/BPN Sidak Lahan Sengketa Dobel SHM Perumahan Cluster di Tambun Bekasi

    Laporan wartawan TribunJakarta.com Yusuf Bachtiar 

    TRIBUNJAKARTA.COM, TAMBUN SELATAN – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid sidak lahan sengketa dobel Sertifikat Hak Milik (SHM) perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2 di Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jumat (7/2/2025). 

    Nusron langsung meninjau titik lahan sengketa yang mencakup sejumlah bidang, sebagian di area Cluster Setia Mekar Residence 2 lalu objek di luarnya yang merupakan rumah tinggal dan ruko milik warga. 

    Dalam kesempatan ini, Nusron juga bertemu dengan warga pemilik lahan yang rumahnya digusur karena sengketa yang terjadi. 

    Menteri ATR/BPN juga berjalan kaki kurang lebih sejauh 500 meter, dia menelusuri objek lahan sengketa yang luasnya mencapai 3,6 hektare.  

    Sengketa lahan sudah masuk ke tahap eksekusi, Pengadilan Negeri (PN) Cikarang atas perintah pemenang perkara Mimi Jamila telah merobohkan sebagian objek rumah. 

    Objek rumah yang sudah dibongkar milik warga di luar Cluster Setia Mekar Residence 2, sedangkan untuk objek di dalam hunian tersebut masih berdiri. 

    Ada sekitar 27 bidang yang masuk ke dalam Cluster Setia Mekar Residence 2 yang bersengketa, kondisinya saat ini sudah dikosongkan. 

    Nusron mengatakan, untuk rumah yang sudah dieksekusi berada di luar Cluster Setia Mekar Residence 2 sebanyak lima objek. 

    lihat foto
    KLIK SELENGKAPNYA: Terkuak sosok Yonih, Lansia yang Meninggal Dunia setelah Membeli Elpiji 3 Kg di Tangsel, Senin (3/2/2025). Curhat Keluarga ke Dedi Mulyadi.

    “Ini kita tadi meninjau nih, ini lokasi lima rumah, lima rumah pemiliknya tiga orang Ibu Asmawati, Ibu Mursiti, dengan Pak Yaldi,” kata Nusron. 

    Nusron memastikan, sengketa lahan dobel SHM ini akan ditangani BPN. Mereka yang memiliki sertifikasi tetap diakui secara sah. 

    “Langkah selanjutnya, kita akan kami koordinasi dengan pengadilan negeri Cikarang, kemudian kami akan panggil mediasi kepada pihak-pihak yang bersengketa,” tegas dia.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • 6
                    
                        Pengadilan Salah Gusur 5 Rumah Warga di Tambun Bekasi, Nusron: Mereka Tak Kedepankan Prinsip Kemanusiaan
                        Megapolitan

    10 Nusron Sebut Penggusuran Rumah Warga di Tambun Bekasi Tak Sesuai Prosedur Megapolitan

    Nusron Sebut Penggusuran Rumah Warga di Tambun Bekasi Tak Sesuai Prosedur
    Tim Redaksi
    BEKASI, KOMPAS.com
    – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
    Nusron Wahid
    menyatakan, eksekusi penggusuran lahan 3,6 hektar di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, tak sesuai prosedur.
    Akibatnya, terdapat lima rumah warga di luar obyek lahan yang disengketakan justru terkena imbas penggusuran.
    Kelima rumah yang kini sudah rata dengan tanah tersebut diketahui milik Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi dan korporasi Bank Perumahan Rakyat (BPR).
    Kelimanya mempunyai Surat Hak Milik (SHM) atas lahan yang mereka dirikan bangunan rumah.
    “Jadi ini proses eksekusi yang prosedurnya kurang tepat. Saya menganggap ini (penghuni) masih sah,” tegas Nusron saat mendatangi lahan sengketa tersebut, Jumat (7/2/2025).
    Terdapat tiga proses yang tak dijalankan oleh pengadilan dalam eksekusi sita lahan di Tambun Selatan.
    Pertama, sebelum dilakukan sita eksekusi, pihak pengadilan seharusnya mengajukan pembatalan sertifikat warga kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi.
    Pengajuan ini merujuk amar putusan gugatan yang ternyata tidak ada perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah.
    Karena tidak adanya amar tersebut, pengadilan harus mengajukan pembatalan sertifikat terlebih dahulu kepada BPN sebelum sita eksekusi dilakukan.
    “Di dalam amar putusannya itu tidak ada perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikatnya. Harusnya ada perintah dulu,” ungkap dia.
    Kedua, pengadilan tetap berkewajiban bersurat kepada BPN untuk meminta bantuan pengukuran lahan yang akan dieksekusi.
    Langkah ini diperlukan agar juru sita pengadilan mengetahui batas lahan yang akan dieksekusi.
    Ketiga, pengadilan juga wajib melayangkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait pelaksanaan eksekusi.
    Dari seluruh proses tersebut, tak ada satu pun tahapan yang dilalui oleh pengadilan ketika penggusuran dilakukan.
    “Ini tiga-tiganya tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan,” imbuh dia.
    Sebelumnya diberitakan, kelima rumah warga rata dengan tanah usai digusur pengadilan pada 30 Januari 2025.
    Penggusuran merujuk putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
    Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk bernomor sertifikat 335 yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
    Putusan tersebut sebagaimana hasil gugatan yang diajukan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, selaku pemilik kedua tanah induk yang dibeli dari tangan Djuju Saribanon Dolly pada 1976.
    Dalam perjalanannya, SHM 325 dengan luas lahan 3,6 hektare berganti-ganti kepemilikan.
    Awalnya, lahan dimiliki Djuju, kemudian dijual ke Abdul Hamid. Oleh Abdul Hamid, lahan dijual ke Kayat. Oleh Kayat dipecah menjadi empat bidang, yakni SHM 704, 705, 706, dan 707.
    Selanjutnya, Kayat melepas dengan SHM 704 dan 705 ke Toenggoel Paraon Siagian. Sedangkan SHM 706 dan 706 dijual acak oleh Kayat.
    Setelah berulang kali berganti nama pemilik, Mimi kemudian menggugat semua pemilik. Dari gugatan ini diketahui bahwa transaksi jual beli lahan antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah.
    Djuju membatalkan sepihak jual beli lahan setelah Abdul Hamid gagal membayar keseluruhan nilai lahan. Gugatan yang diajukan Mimi bermodalkan Akta Jual Beli (AJB) antara Djuju dan Abdul Hamid.
    Singkatnya, pada 2019, Toenggoel menjual lahan SHM 705 ke Bari setelah mengetahui pihak Mimi mengajukan eksekusi pengosongan lahan pada 2018.
    Dari pembelian lahan ini, nama pemilik SHM 705 berganti, dari Toenggoel menjadi atas nama Bari. Dari pembelian ini, kelak berdiri
    Cluster Setia Mekar Residence
    2.
    Selain cluster, juga terdapat tiga bidang tanah lain yang dieksekusi, antara lain SHM 704, 706, dan 707.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Guru Besar Hukum Agraria: Sertifikat Lahan di Atas Laut Bukan Hal Baru – Halaman all

    Guru Besar Hukum Agraria: Sertifikat Lahan di Atas Laut Bukan Hal Baru – Halaman all

    Guru Besar Hukum Agraria: Sertifikat Lahan di Atas Laut Bukan Hal Baru

    Abdul Qodir/Tribunnews.com

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Maria Suwardjono, menyatakan, adanya sertifikat kepemilikan baik berupa SHM (Sertifikat Hak Milik), maupun HGB (Hak Guna Bangunan) di perairan pesisir, adalah hal yang lumrah.

    Hal itu diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA). 

    “Jadi kalau sekarang kita mempertanyakan hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, itu sebetulnya sudah lama sekali. Dalam Pasal 1 UU PA sudah membuka peluang itu,” kata Maria Suwardjono, dalam diskusi publik secara daring bertajuk ‘Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir’, Jakarta, Kamis (6/2/2025). 

    Sejumlah suku di Indonesia, kata dia, banyak yang membangun rumah di lahan di atas perairan di pesisir.

    Ia mencontohkan, Suku Bajo yang kondang dengan pemukiman terapung di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah (Sulteng).  

    Menurutnya, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat dipimpin Sofyan Djalil pada tahun 2022, menyerahkan HGB kepada Suku Bajo.

    Setahun kemudian, Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menyerahkan HGB kepada Suku Bajo yang menghuni Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra). 

    “Ingat semboyan nenek moyangku adalah pelaut. Banyak sekali suku-suku asli yang rumahnya terapung. Termasuk Suku Laut dan Suku Barok di Kepulauan Riau. Atau HGB untuk suku Kampung Laut yang hidup di perairan Batam. Mereka punya hak atas lahan yang ditempatinya. Jadi, hak lahan di perairan pesisir itu memang bukan hal baru,” terang Prof Maria. 

    Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid menyampaikan perihal pencabutan sertifikat lahan di wilayah pagar laut di Tangerang dan Bekasi, baik berbentuk SHGB maupun SHM. 

    “Tidak gampang, karena setiap pembatalan itu berpotensi di-challenge di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Yang penting, ending-nya semua sertifikat di luar garis pantai, kami batalkan,” kata Nusron di Jakarta, Rabu (5/2/2025).

    Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN membatalkan 50 sertifikat yang diterbitkan di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang.

    Adapun secara total di pagar laut Tangerang, terdapat 263 bidang dalam bentuk SHGB dan 17 SHM.

    Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), Nusron juga sempat menjelaskan, sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, bakal ditinjau ulang status sertifikatnya.
     
    “Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer,” kata Nusron di kompleks Parlemen Senayan.

    Menurut Nusron, jika tanah atau daratan yang terkena abrasi, sifatnya permanen, maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tersebut. Demikian pula sebaliknya. 

    “Kalau bersifat karena banjir sementara, ya itu kan temporer. Tapi kalau itu abrasinya permanen, ya itu kita batalkan (SHM),” kata Nusron menambahkan.

    Alasan pembatalan SHM dilakukan mengingat fakta material tanah atau lahan daratan, sudah hilang terkena abrasi air laut.

    “Kayak banjir jalan, sawah tenggelam kemudian hilang airnya, ya itu masih bisa,” jelas Nusron.