Tag: Nurhadi

  • Dalam Duka, Istri Brigadir Nurhadi Bantah Tukar Nyawa Suami dengan Rp 400 Juta
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        12 Juli 2025

    Dalam Duka, Istri Brigadir Nurhadi Bantah Tukar Nyawa Suami dengan Rp 400 Juta Regional 12 Juli 2025

    Dalam Duka, Istri Brigadir Nurhadi Bantah Tukar Nyawa Suami dengan Rp 400 Juta
    Tim Redaksi
    LOMBOK BARAT, KOMPAS.com 
    – Suasana rumah almarhum Brigadir Muhammad
    Nurhadi
    –anggota polisi yang bertugas di Paminal Propam Polda NTB– di Desa Sembung, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Jumat (1/7/2025) masih terasa berselimut duka. 
    Elma Agustina (28), istri Nurhadi masih terlihat terpukul atas kepergian suaminya. Rasa duka serupa pun ditunjukkan anggota keluarga lainnya, dan bahkan para tetangga. 
    Empat bulan sudah Brigadir Nurhadi berpulang, namun kasus pembunuhannya tak kunjung terang. Polda NTB belum bisa menunjukkan siapa pelaku utama pembunuhan polisi muda itu. 
    Elma membenarkan sejumlah polisi mendatanginya, termasuk dua istri atasan yang menjadi tersangka pembunuh suaminya, istri Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan istri I Gede Haris Chandra.
    Beredar tuduhan, Elma menerima uang dari tersangka Kompol YG sebesar Rp 400 juta agar menerima kematian suaminya, dan tidak memperkarakannya lagi. 
    “Itu semua fitnah, saya tidak akan menukar nyawa suami saya dengan uang, tidak pernah ada uang Rp 400 juta itu demi Allah.”
    “Seperti apa yang Rp 400 juta saja tidak pernah saya lihat,” ungkap Elma pada
    Kompas.com
    di kediamannya. 
    Elma mengaku hanya menginginkan keadilan bagi suaminya. Dia berharap penyebab kematian suaminya segera terungkap.
    Dia menyebut, banyak yang mestinya bisa dicari tahu melalui
    handphone
    Nurhadi, sayangnya
    handphone
    tersebut sudah disita tim penyidik Polda NTB. 
    Namun sebelumnya Reni sempat membuka WA di HP Nurhadi bersama keluarga, yang di dalamnya ada pesan dari tersangka HC yang memintanya tak ikut campur. 
    “Di WhatsApp itu terlihat percakapan tersangka HC yang memintanya (Nurhadi) diam saja, itu di
    screenshot
    oleh almarhum dikirim ke tersangka YG, sayangnya saya tidak kirim hasil
    screenshot
    itu ke
    handphone
    saya.”
    “Ada banyak yang bisa kita lihat di sana, tapi sudah disita,” kata Reni. 
    Reni juga selalu mengecek apa yang sebenarnya terjadi di Gili Trawangan saat Nurhadi dibawa ke Klinik Warga.
    Reni mendapati informasi yang berbeda antara keterangan polisi dan informasi dari rekan rekannya di Gili Trawangan. 
    Reni mengatakan, polisi menyebut kepada keluarga, luka pada Nurhadi karena terjatuh dari cidomo (alat transportasi tradisional yang ada di Gili Trawangan). 
    “Kemudian juga kami dikabari Nurhadi saat kritis dibawa ke Klinik Warna diantarkan YG tetapi rekannya di klinik mengatakan tidak ada YG yang ikut mengantar ke klinik,” kata dia. 
    “Jadi banyak sekali informasi yang tidak sesuai, sehingga kami keluarga sudah tidak percaya pada siapa pun,” sambung dia. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Brigadir Nurhadi Cerita ke Keluarga Tangani Kasus Kematian RW yang Berujung Pencopotan Kapolsek Kayangan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        11 Juli 2025

    Brigadir Nurhadi Cerita ke Keluarga Tangani Kasus Kematian RW yang Berujung Pencopotan Kapolsek Kayangan Regional 11 Juli 2025

    Brigadir Nurhadi Cerita ke Keluarga Tangani Kasus Kematian RW yang Berujung Pencopotan Kapolsek Kayangan
    Editor
    MATARAM, KOMPAS.com
    – Anggota Bidang Propam Polda
    NTB
    , Brigadir
    Nurhadi
    sempat bercerita mengenai kesehariannya dalam bertugas sebelum meninggal dunia. 
    Mertua
    Brigadir Nurhadi
    , Sukarmidi menceritakan bahwa menantunya sempat mengabari tentang tugas dinasnya, yakni menangani kasus kematian warga Lombok Utara, yakni RW, yang bunuh diri karena ditetapkan sebagai tersangka pencurian ponsel di minimarket, padahal ia merasa tak bersalah. 
    Peristiwa itu memicu reaksi warga yang kemudian melakukan perusakan Kantor
    Polsek Kayangan
    , Kecamatan Kayangan, Lombok Utara pada Jumat (21/3/2025).
    Belakangan, Iptu Dwi Maulana Kurnia Amin dicopot dari jabatannya sebagai Kapolsek Kayangan atas serangkaian kejadian itu.
    “Anak saya sempat bercerita, dia ditugaskan untuk menangani kasus kematian warga KLU yang meninggal bunuh diri itu,” ucap Sukarmadi setelah dikonfirmasi, Kamis (10/7/2025).
    Nurhadi menjadi bagian dari tim yang menyelidiki peran oknum polisi yang diduga terlibat.
    Tidak ada rasa curiga dari keluarga, mengingat tugas pokok anaknya di Propam
    Polda NTB
    untuk menangani pelanggaran anggota polisi.
    Sukarmadi menitipkan pesan kepada menantunya itu untuk mawas diri meskipun itu dalam menjalankan tugas sekalipun.
    “Saya ingatkan dia, nak hati-hati, dari orang yang suka dan benci sama kita, lebih banyak orang yang benci,” katanya.
    Tiga hari sebelum kematian Nurhadi, keluarga juga melihat tingkah laku korban yang di luar dari kebiasaan, yakni menerima telepon lebih sering dari biasanya serta keluar malam dan pulang larut.
    Puncaknya, Nurhadi yang pamit untuk menjemput tamu ke Gili Trawangan seolah menjadi pesan terakhirnya.
    Brigadir Nurhadi mengalami penganiayaan sebelum tenggelam di dalam kolam.
    Hasil otopsi menunjukkan kondisi patah tulang lidah korban karena dicekik.
    Kemudian, luka memar akibat benda tumpul di kepala bagian depan dan belakang.
    Selain itu, ada air yang masuk pada bagian tubuh.
    Dirrekrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat mengatakan, pihaknya masih mendalami pelaku yang melakukan penganiayaan.
    Pelaku ini di antara tiga tersangka, yakni Kompol Made Yogi Purusa Utama, Ipda Haris Candra, dan M.
    “Ini yang masih kami dalami, sampai hari ini kita belum dapatkan pengakuan,” kata Syarif, Rabu (9/7/2025).
    Ketiga tersangka
    kematian Brigadir Nurhadi
    dikenakan Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penganiayaan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan atau Pasal 359 tentang kelalaian juncto Pasal 55 KUHP.
    Brigadir Nurhadi ditemukan tewas di kolam salah satu vila di Gili Trawangan pada 16 April 2025.
     
    Artikel ini telah tayang di TribunLombok.com dengan judul “Brigadir Nurhadi Sempat Curhat ke Keluarga Soal Kasus Kematian Warga KLU Berujung Penyerangan Polsek.”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 6
                    
                        Keluarga Brigadir Nurhadi Mengaku Didatangi Aparat, Diminta Tak Persulit Penyelidikan
                        Regional

    6 Keluarga Brigadir Nurhadi Mengaku Didatangi Aparat, Diminta Tak Persulit Penyelidikan Regional

    Keluarga Brigadir Nurhadi Mengaku Didatangi Aparat, Diminta Tak Persulit Penyelidikan
    Editor
    MATARAM, KOMPAS.com
    – Penyidikan kasus kematian anggota Bidang Propam Polda NTB,
    Brigadir Nurhadi
    masih berjalan.
    Pihak keluarga mengaku didatangi tujuh orang aparat setelah kejadian. 
    “Waktu datang 7 orang dia bilang sama saya untuk jangan mempersulit penyelidikan, dia menjanjikan akan mengawal kasus anak saya, dia bilang sudah 40 barang bukti sudah diamankan. Itu bahasanya,” ucap mertua Nurhadi, Sukarmidi, Kamis (10/7/2025).
    Dia mengungkap, salah seorang anggota mengaku ada tekanan dari Mabes Polri untuk mengungkap kasus
    kematian Brigadir Nurhadi
    ini.
    Sukarmidi menyampaikan bahwa sudah ada sekurangnya 40 barang bukti yang ditemukan selama penyelidikan.
    “Jadi yang jelas dia bilang sama saya, nanti supaya cepat selesai karena saya ada tekanan Mabes, ini bukan ranah keluarga, bukan ranah aparat, tapi Ini ranah negara, jadi kalau Bapak mempersulit, Bapak kena, saya pun kena pidana,” kata dia menirukan ucapan anggota dimaksud.
    Sukarmidi menceritakan bahwa menantunya sempat mengabari tentang tugas dinasnya, yakni menangani kasus kematian warga Lombok Utara, Rizkil Wathoni yang bunuh diri karena ditetapkan sebagai tersangka pencurian HP di minimarket.
    Peristiwa itu memicu reaksi warga yang kemudian melakukan perusakan Kantor Polsek Kayangan, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara pada Jumat (21/3/2025).
    Belakangan, Iptu Dwi Maulana Kurnia Amin dicopot dari jabatannya dari jabatan Kapolsek Kayangan atas serangkaian kejadian itu.
    “Anak saya sempat bercerita, dia ditugaskan untuk menangani kasus kematian warga KLU yang meninggal bunuh diri itu,” ucap Sukarmadi setelah dikonfirmasi, Kamis (10/7/2025).
    Nurhadi menjadi bagian dari tim yang menyelidiki peran oknum polisi yang diduga terlibat.
    Tidak ada rasa curiga dari keluarga, mengingat tugas pokok anaknya di Propam Polda NTB untuk menangani pelanggaran anggota polisi.
    Sukarmadi menitipkan pesan kepada menantunya itu untuk mawas diri meskipun itu dalam menjalankan tugas.
    “Saya ingatkan dia, nak hati-hati, dari orang yang suka dan benci sama kita, lebih banyak orang yang benci,” katanya. 
    Tiga hari sebelum kematian Nurhadi, keluarga juga melihat tingkah laku korban yang di luar dari kebiasaan, yakni menerima telepon lebih sering dari biasanya serta keluar malam dan pulang larut.
    Puncaknya, Nurhadi pamit untuk menjemput tamu ke Gili Trawangan seolah menjadi pesan terakhirnya.
    Brigadir Nurhadi mengalami penganiayaan sebelum tenggelam di dalam kolam.
    Hasil otopsi menunjukkan kondisi patah tulang lidah korban karena dicekik.
    Kemudian, luka memar akibat benda tumpul di kepala bagian depan dan belakang.
    Ada pula air yang masuk pada bagian tubuh.
    Dirrekrimum Polda NTB Kombes Syarif Hidayat mengatakan, pihaknya masih mendalami pelaku yang melakukan penganiayaan.
    Pelaku ini di antara tiga tersangka, yakni Kompol Made Yogi Purusa Utama, Ipda Haris Candra, dan M.
    “Ini yang masih kami dalami, sampai hari ini kita belum dapatkan pengakuan,” kata Syarif, Rabu (9/7/2025).
    Ketiga tersangka dikenakan Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penganiayaan yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan atau Pasal 359 tentang kelalaian juncto Pasal 55 KUHP.
    Brigadir Nurhadi ditemukan tewas di kolam salah satu vila Gili Trawangan pada 16 April 2025.
     
    Artikel ini telah tayang di TribunLombok.com dengan judul “Pihak Keluarga Brigadir Nurhadi Akui Diminta Polisi agar Tidak Mempersulit Penyelidikan.”
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kasus Kematian Brigadir Nurhadi, Kapolri: Jika Terbukti Proses, Pecat, Dipidanakan

    Kasus Kematian Brigadir Nurhadi, Kapolri: Jika Terbukti Proses, Pecat, Dipidanakan

    Kasus Kematian Brigadir Nurhadi, Kapolri: Jika Terbukti Proses, Pecat, Dipidanakan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Merespons kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi (MN), Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (
    Kapolri
    ) Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan, bakal menindak tegas anggotanya yang melanggar.
    Tindakan tegas itu termasuk bagi dua personel Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diduga terlibat.
    “Apabila terbukti, proses, pecat, dipidanakan,” kata Kapolri di Jakarta, dikutip dari Antaranews, Jumat (11/7/2025).
    “Saya kira dari dulu kami tidak pernah berubah, konsisten terkait dengan anggota yang melanggar,” ujarnya menegaskan.
    Diketahui,
    Brigadir Nurhadi
    ditemukan tewas di kolam renang sebuah vila di Gili Trawangan, Lombok Utara, pada 16 April 2025.
    Menurut keterangan dari Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum)
    Polda NTB
    , Kombes Pol Syarif Hidayat, peristiwa ini berawal dari pesta yang digelar di sebuah vila privat di kawasan Tekek, Gili Trawangan.
    Dalam pesta tersebut, Nurhadi bersama dua atasannya, yakni Kompol I Made Yogi Purusa Utama (YG) dan Ipda Harus Chandra (HC), serta seorang wanita berinisial M dan satu saksi lainnya berinisial P.
    Kemudian, pihak keluarga mengindikasikan Brigadir Nurhadi meninggal tidak wajar sehingga kepolisian melakukan penyelidikan.
    Dalam upaya mengungkap penyebab meninggal Brigadir Nurhadi,
    polisi
    telah melakukan ekshumasi dengan melakukan pembongkaran makam.
    Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap jenazah Brigadir Nurhadi, ditemukan luka di sekujur tubuh korban.
    Oleh karenanya, diduga ada upaya penganiayaan terhadap Brigadir Nurhadi. Kombes Syarif menduga, penganiayaan terjadi dalam rentang waktu 20.00 WITA sampai 21:00 WITA pada hari itu.
    Polda NTB kemudian menetapkan tiga orang tersangka, yakni Kompol Y, Ipda HC, dan seorang perempuan berinisial M.
    Ketiganya dijerat dengan Pasal 351 Ayat 3 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian jo Pasal 55 tentang turut serta karena kelalaian menyebabkan kematian.
    Sebelum berstatus tersangka, Polda NTB melalui sidang Komisi Kode Etik
    Polri
    telah memutuskan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan terhadap dua orang perwira itu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4 Polisi Nunukan Ditangkap Terkait Narkoba, Kapolri: Bila Terbukti, Pidanakan

    4 Polisi Nunukan Ditangkap Terkait Narkoba, Kapolri: Bila Terbukti, Pidanakan

    Jakarta

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo angkat bicara terkait penangkapan empat personel kepolisian yang diduga terlibat penyalahgunaan narkoba di wilayah Nunukan, Kalimantan Utara. Sigit memastikan akan menindak tegas anggota yang terbukti melakukan pelanggaran.

    “Saya kira dari dulu kita tidak pernah berubah konsisten terkait dengan anggota yang melanggar,” kata Sigit menjawan pertanyaan wartawan di Indonesia Arena, Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2025).

    Dia menegaskan tak akan mentoleransi pelanggaran yang dilakukan anggota. Jika terbukti melanggar, tegas Sigit, pasti akan diproses etik maupun pidananya.

    “Apabila terbukti, proses, pecat, dipidanakan. Sudah jelas dan ini berlaku sampai sekarang,” tegasnya.

    Tak hanya terkait kasus di Nunukan, hal yang sama juga dipastikan Jenderal Sigit terhadap kasus tewasnya Anggota Bidpropam Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) Brigadir Muhammad Nurhadi. Diketahui, Brigadir Nurhadi ditemukan meninggal di kolam Villa Tekek, Gili Trawangan, Lombok Utara, setelah berpesta dengan dua atasannya.

    “Ya, saya kira sama (akan dilakukan terhadap kasus yang melibatkan anggota Polda NTB),” terang Jenderal Sigit.

    “Saya membenarkan berita ini. (Dirtipid) Narkoba dan Propam Mabes kolaborasi,” ucap Brigjen Eko kepada wartawan, Kamis (10/7/2025).

    Dia menekankan bahwa Polri tidak akan memberikan toleransi terhadap pelanggaran terkait narkoba, bahkan apabila dilakukan oleh personel kepolisian sendiri.

    (ond/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kompolnas Sebut Kasus Kematian Brigadir MN Harus Diungkap Secara Terang – Page 3

    Kompolnas Sebut Kasus Kematian Brigadir MN Harus Diungkap Secara Terang – Page 3

    Kasus kematian Brigadir MN alias Nurhadi telah memasuki babak baru. Polda NTB telah menahan dua perwira polisi berinisial Kompol Y dan Ipda HC yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.

    “Kami tahan di Tahti Polda NTB untuk 20 hari pertama,” kata Kepala Subdit III Bidang Jatanras Reskrimum Polda NTB AKBP Catur Erwin Setiawan di Mataram, Senin (7/7/2025).

    Catur memastikan bahwa penahanan kedua mantan perwira Polri ini dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penahanan (SPHan) Nomor 81 dan 82.

    Penyidik menahan mantan kedua atasan Brigadir Nurhadi tersebut setelah melakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Penahanan keduanya dilakukan secara terpisah di lantai 2 di kamar nomor 4 dan 5.

    “Jadi, yang bersangkutan kami tahan setelah pemeriksaan usai/selesai, dan melalui prosedur tes kesehatan. Mereka berdua dalam kondisi sehat,” ujarnya.

    Direktur Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda NTB AKBP M. Rifai membenarkan adanya penahanan terhadap dua dari tiga tersangka tersebut. Ia memastikan bahwa tiga tersangka dalam kasus ini menjalani penahanan di ruang tahanan berbeda.

    “Satu orang untuk satu ruang tahanan,” ungkapnya.

    Tiga tersangka dalam kasus ini, selain Kompol Y dan Ipda HC, merupakan perempuan berinisial M yang sudah lebih dahulu menjalani penahanan di Rutan Polda NTB.

    Selain penahanan, progres penanganan kasus kini telah masuk ke tahap pelimpahan berkas ke jaksa peneliti pada Kejati NTB.

  • Sosok Melanie Putri, Wanita Bookingan Ipda Haris yang Dicium Brigadir Nurhadi hingga Berujung Pembunuhan

    Sosok Melanie Putri, Wanita Bookingan Ipda Haris yang Dicium Brigadir Nurhadi hingga Berujung Pembunuhan

    GELORA.CO –  Sebelum tewas di kolam renang, Brigadir Nurhadi disebut sempat mencium wanita bernama Melanie Putri.

    Melanie Putri adalah wanita sewaan Ipda Haris Chandra, tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi.

    Dalam kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi, polisi telah menetapkan 3 tersangka.

    Mereka adalah Kompol Yogi, Misri yang merupakan wanita sewaan Kompol Yogi, dan Ipda Haris Chandra.

    Misri Puspita Sari (23), salah satu tersangka menyebut Brigadir Nurhadi sempat mencium Melanie Putri.

    Peristiwa ini terjadi ketika mereka sedang pesta di Villa Privat Gili Trawangan.

    Dalam kehangatan pesta, mereka mengkonsumsi narkoba berjenis obat-obatan terlarang.

    Obat terlarang tersebut disediakan oleh Mantan Kasat Reskrim Polresta Mataram Kompol I Made Yogi Purusa Utama atau Kompol Yogi.

    Selain itu juga ada obat penenang yang dibeli oleh Misri di Bali.

    Misri membeli obat tersebut setelah mendapat kiriman dari Kompol Made Yogi sebanyak Rp 2 Juta.

    Terungkap dari pengakuan Misri, sebelum tewas di kolam berenang, dalam kondisi mabuk mereka berlima berendam di kolam berenang. 

    Saat semua mengalami kondisi kurang sadar, Misri melihat Brigadir Nurhadi mendekati sampai menciumi Melanie Putri di atas kolam. 

    Hal ini diungkapkan oleh kuasa hukum Misri, Yan Mangandar Putra.

    “Misri menegur Nurhadi dengan mengatakan ‘Jangan begitu, itu cewek abangmu’,” ujar Yan.

    Tak berselang lama, Haris dan Melanie Putri kembali ke kamar mereka (di hotel sebelah).

    “Yogi ke kamar tidur-tiduran, sedangkan Misri duduk di sekitar kolam,” ujar Yan.

    Usai itu, Misri melihat Ipda Haris Chandra bolak balik ke Vila dari hotel sampai tiga kali.

    “Kemudian pukul 19.58 WITA, katanya di CCTV hotel terlihat Haris masuk vila yang ketiga kali,” ujar Yan.

    Nah itulah detik-detik krusial.

    “Klien saya tidak bisa mengingat jelas kejadian setelah pukul 19.55 WITA. Dia sempat bangunkan Yogi, kemudian masuk ke kamar mandi cukup lama, lebih dari 20 menit.”

    “Kejadian sesaat sebelum masuk kamar mandi dan kejadian sesaat setelah keluar dari kamar mandi, dia benar-benar enggak bisa ingat,” ujar Yan.

    Sosok Ipda Haris Chandra

    Ipda Haris Chandra adalah anggota Propam Nusa Tenggara Barat (NTB).

    Ia kini resmi ditahan dan telah dipecat dari Polda NTB imbas dugaan kasus pembunuhan Brigadir Muhammad Nurhadi.

    Haris ditahan 20 hari ke depan mulai 7 Juli hingga 26 Juli 2025.

    Ipda Haris Chandra adalah bawahan dari eks Kasubdit Paminal Divpropam Polda NTB Kompol I Made Yogi Purusa Utama yang juga menjadi tersangka kematian Brigadir Nurhadi.

    Dalam sidang komisi kode etik Polri (KKEP), Haris dan Yogi dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

    Haris terbukti melanggar pasa 11 ayat (2) huruf b dan pasal 13 huruf e dan f Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang kode etik profesi Polri.

    Selain itu, mereka juga dikenakan pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian anggota Polri.

    Ipda Haris telah mengajukan upaya banding atas pemecatannya, tetapi langkahnya tersebut ditolak oleh komisi banding Polda NTB.

    Ipda Haris Chandra dan Kompol Yogi telah ditempatkan di tahanan khusus.

    “Kita tempatkan secara terpisah, di tempat sel khusus lantai dua nomor empat dan lima,” kata Dirtahti Polda NTB AKBP Rifa’i, dikutip dari Tribun Lombok, Senin (7/7/2025).

    Tewasnya Brigadir Nurhadi bermula ketika ia diajak oleh Kompol Yogi dan Ipda Haris ke Gili Trawangan untuk berpesta di sebuah villa privat di Gili Trawangan, Lombok Utara, Rabu 16 April 2025 malam.

    Dua wanita yakni tersangka M dan saksi berinisial P diajak untuk pergi bersama.

    Nurhadi diduga mengonsumsi obat penenang riklona dan pil ekstasi atau inex.

    Setelah itu, ia disebut sempat mencoba merayu dan mendekati salah satu teman wanita tersangka.

    “Ada peristiwa almarhum (Brigadir Nurhadi) mencoba untuk merayu dan mendekati rekan wanita salah satu tersangka, itu ceritanya.”

    “Diduga merayu dan itu dibenarkan oleh saksi yang ada di TKP (tempat kejadian perkara),” kata Dirreskrimum Polda NTB, Kombes Syarif Hidayat, dalam konferensi pers di Mapolda NTB, Jumat (4/7/2025).

    Brigadir Nurhadi ditemukan meninggal dunia di kolam renang.

    Kematian Brigadir Nurhadi dinilai janggal, mengingat kolam tempat tenggelamnya korban tergolong dangkal, hanya 1,2 meter untuk tubuh anggota polisi yang tingginya lebih dari 1,6 meter.

    Kejanggalan ditemukan keluarga Brigadir Nurhadi, dikarenakan terhadap jenazah korban ditemukan tanda-tanda bekas penganiayaan.

    Sekitar pukul 21.00 WITA, salah satu tersangka yang ada di dalam villa mengabari Brigadir Nurhadi sudah berada di kolam dan diangkat.

    Awalnya, Nurhadi dikabarkan meninggal akibat tenggelam di kolam yang ada di villa tersebut.

    Akan tetapi, setelah dilakukan autopsi, dokter forensik mengungkapkan tulang lidah Nurhadi patah yang disebabkan cekikan.

    Terdapat juga luka memar di bagian kepala depan dan belakang akibat benda tumpul. 

    “Jadi ada kekerasan pencekian yang utama yang menyebabkan yang bersangkutan tidak sadar atau pingsan sehingga berada di dalam air,” kata Dokter Forensik Unram dr Arfi Samsun. 

    Penyidik masih mendalami peran dari para tersangka ini termasuk sosok yang melakukan pencekikan.

    Sementara itu, hasil pemeriksaan poligraf atau pendeteksi kebohongan juga mengungkap seluruh jawaban dari para tersangka sebagian besar berbohong. 

  • 8
                    
                        Di Lokasi Tewasnya Brigadir Nurhadi, M Mengaku Lihat Ipda HC Bolak-balik dan Cingak-cinguk
                        Regional

    8 Di Lokasi Tewasnya Brigadir Nurhadi, M Mengaku Lihat Ipda HC Bolak-balik dan Cingak-cinguk Regional

    Di Lokasi Tewasnya Brigadir Nurhadi, M Mengaku Lihat Ipda HC Bolak-balik dan Cingak-cinguk
    Tim Redaksi
    MATARAM, KOMPAS.com
    – M, seorang perempuan dari luar NTB, ikut terseret dalam kasus
    kematian Brigadir Nurhadi
    di kolam renang Villa Tekek, sebuah vila pribadi di kawasan Gili Trawangan.
    M menjadi tersangka dalam kasus itu. Hingga saat ini, Polda NTB belum merilis secara resmi terkait peran tiga orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka.
    Pengacara M, Yan Mangandar Putra menyampaikan bahwa sebelum
    Brigadir Nurhadi
    ditemukan di dasar kolam renang, M diduga melihat
    Ipda HC
    beberapa kali berada di
    Vila Tekek
    .
    Ipda HC
    juga menjadi tersangka dalam kasus ini. 
    Menurut Yan, kejadian tersebut berawal saat kelimanya berkumpul di Vila Tekek dan berpesta sambil berendam di kolam renang.
    Mereka adalah Kompol YG, Ipda HC, M, MP, serta Brigadir Nurhadi.
    Yan mengatakan bahwa saat pesta tersebut, kelimanya diduga mengonsumsi obat terlarang dan diduga sedang dalam kondisi kehilangan kesadaran.
    Saat pesta, Brigadir Nurhadi sempat mencoba merayu saksi MP, tetapi diingatkan oleh
    tersangka M
    .
    Pesta pun usai pukul 18.20 Wita. 
    Menurut M, Ipda HC dan saksi MP kembali ke hotel mereka, sedangkan Kompol YG masuk ke kamar.
    Saat itu, M masih duduk di sekitar kolam renang dan Brigadir Nurhadi masih berendam di dalam kolam.
    M yang dalam keadaan setengah sadar sempat memvideokan Brigadir Nurhadi yang berada di dalam kolam.
    “Ini menarik, ada sisi kosong antara pukul 18.20-19.55. M sempat melihat Ipda HC masuk ke Vila Tekek, yaitu pertama datang sampai masuk ke kolam sambil main HP dan telepon
    video call
    ,” kata Yan.
    Kemudian, HC datang lagi ke Vila Tekek tetapi hanya sampai emperan atau teras dengan gestur cingak-cinguk. 
    Saat itu, M menanyakan kepada HC apakah perlu membangunkan Kompol YG, tetapi dijawab oleh HC tidak perlu.
    Ketiga kalinya, M kembali melihat HC berada di teras vila, tetapi tidak sampai masuk ke dalam vila.
    M lalu membangunkan YG karena merasa HC ada keperluan dengan YG.
    Saat itu, M masuk ke kamar mandi dan berada di kamar mandi sekitar 20 menit.
    Hingga pukul 21.00 Wita, M berteriak histeris memanggil Kompol YG saat melihat Brigadir Nurhadi sudah berada di dasar kolam.
    “Kemudian YG berlari dan masuk ke dalam kolam mengangkat Brigadir Nurhadi yang dibantu oleh M yang berdiri di atas kolam,” kata Yan.
    Yan menyebutkan bahwa Kompol YG sempat berupaya memberikan napas buatan dan menekan jantung Brigadir Nurhadi sambil menelepon Ipda HC.
    Sampai di kolam, Ipda HC menelepon petugas medis untuk meminta bantuan segera.
    Tak lama berselang, dokter datang dan mengatakan bahwa kondisi almarhum sudah sangat kritis.
    Brigadir Nurhadi sempat dilarikan ke klinik, tetapi nyawanya tidak tertolong.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati

    JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.

    Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.

    Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.

    Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

    Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.

    ilustrasi

    “Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.

    Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.

    “Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.

    Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.

    Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.

    “Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.

    Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.

    “Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.

    Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.

    Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.

    Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.

    Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.

    Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan

    Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.

    “Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.

    Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.

    Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.

    “Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.

    Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.

    “Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.

    “Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.

    Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.

    Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.

    Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.

    “Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.

  • 2 Perwira Polisi Jadi Tersangka Pembunuhan Brigadir Nurhadi, Dijebloskan ke Penjara Terpisah

    2 Perwira Polisi Jadi Tersangka Pembunuhan Brigadir Nurhadi, Dijebloskan ke Penjara Terpisah

     

    Liputan6.com, Mataram – Kasus kematian Brigadir MN alias Nurhadi telah memasuki babak baru. Polda NTB telah menahan dua perwira polisi berinisial Kompol Y dan Ipda HC yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.

    “Kami tahan di Tahti Polda NTB untuk 20 hari pertama,” kata Kepala Subdit III Bidang Jatanras Reskrimum Polda NTB AKBP Catur Erwin Setiawan di Mataram, Senin (7/7/2025).

    Catur memastikan bahwa penahanan kedua mantan perwira Polri ini dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penahanan (SPHan) Nomor 81 dan 82.

    Penyidik menahan mantan kedua atasan Brigadir Nurhadi tersebut setelah melakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Penahanan keduanya dilakukan secara terpisah di lantai 2 di kamar nomor 4 dan 5.

    “Jadi, yang bersangkutan kami tahan setelah pemeriksaan usai/selesai, dan melalui prosedur tes kesehatan. Mereka berdua dalam kondisi sehat,” ujarnya.

    Direktur Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda NTB AKBP M. Rifai membenarkan adanya penahanan terhadap dua dari tiga tersangka tersebut. Ia memastikan bahwa tiga tersangka dalam kasus ini menjalani penahanan di ruang tahanan berbeda.

    “Satu orang untuk satu ruang tahanan,” ungkapnya.

    Tiga tersangka dalam kasus ini, selain Kompol Y dan Ipda HC, merupakan perempuan berinisial M yang sudah lebih dahulu menjalani penahanan di Rutan Polda NTB.

    Selain penahanan, progres penanganan kasus kini telah masuk ke tahap pelimpahan berkas ke jaksa peneliti pada Kejati NTB.

    Direktur Reskrimum Polda NTB Kombes Pol. Syarif Hidayat sebelumnya mengatakan penyidik telah menemukan sedikitnya dua alat bukti yang menguatkan perbuatan pidana ketiga tersangka terkait dugaan penganiayaan dan kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

    Alat bukti tersebut didapatkan dari hasil pemeriksaan 18 saksi dan sejumlah ahli. Salah satu yang menguatkan perihal analisa tim forensik yang menyimpulkan Brigadir MN meninggal akibat dicekik.

    Analisa itu didapatkan tim forensik berdasarkan hasil autopsi dari ekshumasi makam Brigadir MN di wilayah Narmada, Kabupaten Lombok Barat.

    Dengan hasil demikian, penyidik dalam berkas perkara menerapkan sangkaan Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 359 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.