Tag: Nukila Evanty

  • Nelayan Rempang Diajak Naik Kelas Lewat Pelatihan Budidaya Perikanan – Halaman all

    Nelayan Rempang Diajak Naik Kelas Lewat Pelatihan Budidaya Perikanan – Halaman all

     
    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pulau Rempang merupakan salah satu pulau di Kecamatan Galang yang masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri).

    Mayoritas penduduk di pulau ini berprofesi sebagai nelayan.

    Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), total produksi ikan di Kecamatan Galang diperkirakan 11.487 ton tahun 2020, yaitu dari 9.982 ton dari hasil tangkapan laut dan 1.505 ton hasil budidaya.

    Dengan jumlah tersebut, Kecamatan Galang adalah menyumbang kedua terbanyak di Kota Batam.

    Ketika melakukan riset  dan advokasi di Pulau Rempang dan Galang pada tahun 2023 dan 2024, Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty mendapati fakta bahwa para nelayan-nelayan di Rempang mengalami kendala karena sulit mendapat tangkapan ikan yang bagus.

    Ini karena perubahan cuaca dan akses untuk menjual ikan yang tertutup.

    ”Mungkin orang -orang di luar (Rempang) ngeri mendengar berita tentang situasi panas di Rempang. Apalagi kami merasakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib nelayan,” ujar Culi, nelayan dari Sembulang Rempang kepada IMA.

    Selain faktor cuaca, kisah lain diutarakan nelayan, namanya Miswadi.

    ”Karena ada kasus relokasi, kami jadi takut melaut, penuh kekhawatiran. Kenapa? Karena kami takut saat sedang melaut, tetapi tanah dan rumah mereka di relokasi paksa. Ini membuat kami tidak konsen melaut,” ucap Miswadi.

    Apalagi dengan ramainya kasus Rempang, Miswadi mengaku kesulitan mendapat modal pinjaman dari lembaga pembiayaan buat nelayan.

    ”Hal ini karena pemerintah daerah menganggap kami menolak program pemerintah dan pembangkang,” kata Miswadi.

    ”Kami sedih, karena generasi muda kami diajarkan  budaya kekerasan sejak tahun 2023. Tak ada konsep pembangunan berdasarkan kebutuhan kami, ” sambung Miswadi.

    Karena melihat banyak nelayan yang kehilangan mata pencaharian, Nukila Evanty bersama Inisiasi Masyarakat Adat, tak hanya melakukan advokasi di masyarakat Rempang, tapi melakukan tindakan praksis yang berdampak dalam pergerakan ekonomi.

    Yakni memberikan Pelatihan Budidaya Ikan dan Bisnis pada 25 orang nelayan, yang yang telah digelar pada 3-4 Februari 2025 di Aula Masyarakat di Sembulang Rempang. 

    Di hari pertama, para nelayan  diberikan pelatihan  budidaya ikan air tawar seperti nila, gurame dan ikan lele.

    Sedangkan di hari kedua, tema pelatihan terkait cara berbisnis yang tepat agar bisa sukses dan berkembang usaha budidaya tersebut.

    ”Saya melihat para nelayan sangat antusias, mereka merasa ada harapan dengan pelatihan ini,” kata Nukila.

    Selain melibatkan nelayan, pelatihan ini juga diikuti ibu rumah tangga agar bisa membantu para suami dalam mengembangkan budiddaya ikan air tawar ini.

    ”Permintaan pasar ikan air tawar ini besar sekali di Pulau Batam apalagi budidaya air tawar tidak sulit, asal tekun menjalaninya, ” ucap Nukila. 

    Dia juga menyiapkan satu kolam ikan budidaya kepada perwakilan nelayan di Pulau Rempang. Ini sebagai modal awal para nelayan ini memulai usaha budidaya ikan air tawar.

    ”Dengan pelatihan ini diharapkan semangat mereka bangkit kembali. Apabila sulit mendapatkan ikan di laut, nelayan bisa tetap memiliki penghasilan melalui usaha  budidaya ikan air tawar,” ungkap Nukila.

    ”Pelatihan ini membantu nelayan kita mengidentifikasi pasar dan pembeli, memahami standar permintaan pasar terkait ikan air tawar, lalu memahami food production dan supply chain,” sambung Nukila.

    Nukila sendiri memiliki pengalaman cukup lama dalam melakukan advokasi terhadap nelayan. Hal itu membantunya memahami bahwa para nelayan Rempang adalah pejuang tangguh.

    ”Karena kita mengalami  perubahan iklim, musim hujan yang panjang dan angin laut yang kencang, sehingga nelayan harus punya alternatif lainnya. Salah satu yang kami bisa lakukan adalah pelatihan budidaya ikan air tawar ini,” kata Nukila.

    Nukila berharap pemerintah daerah, terutama Dinas Perikanan dan Kelautan serta sektor swasta turut tergerak membantu memberikan pendampingan kepada para nelayan ini.

    ”Upaya yang kami jalankan ini sebagai bagian membantu pemerintah dalam penguatan masyarakat marjinal,” pungkas Nukila.(tribunnews/fin)

  • Pegiat Lingkungan Hadapi Tantangan dalam Advokasi Kelestarian Teluk Sepang Bengkulu – Halaman all

    Pegiat Lingkungan Hadapi Tantangan dalam Advokasi Kelestarian Teluk Sepang Bengkulu – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Para pegiat lingkungan hidup yang tinggal di sekitar daerah industri ekstraktif di Teluk Sepang di Bengkulu menghadapi beragam tantangan saat melakukan upaya advokasi menjaga kelestarian lingkungan mereka dari ancaman risiko kerusakan lingkungan.

    Tantangan tersebut antara lain datang pemerintah hingga aktor berpengaruh di daerah tersebut, serta perusahaan yang memiliki kepentingan atas lahan dan kawasan di wilayah tersebut untuk kepentingan industrinya.

    Hasil riset yang dilakukan pegiat lingkungan Nukila Evanty bersama Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) di Teluk Sepang, Bengkulu, awal tahun 2025, menemukan adanya dugaan  tindakan pembalasan (reprisal) terhadap para pegiat lingkungan seperti intimidasi, tindakan kekerasan, hingga dilakukan kriminalisasi atas nama baiknya. 

    ”Dugaan yang saya temukan para pegiat lingkungan ini dibungkam aktivitasnya,” kata Nukila yang juga menjadi Ketua Inisiasi Masyarakat Adat.

    Menurut Nukila, sebagai aktivis, ia mengakui bahwa tindakan reprisal, adalah cara lama yang selalu dipakai aktor berpengaruh untuk menakut-nakuti para pegiat lingkungan. 

    Dalam banyak kejadian dibeberapa tempat yang dia kunjungi, reprisal bisa berupa serangan fisik dan psikis, ancaman, penangkapan sewenang-wenang, pencemaran nama baik, dan pengucilan sosial. 

    “Yang menjadi sasarannya adalah masyarakat adat, dan aktivis yang menyelidiki isu-isu lingkungan hidup, serta mereka yang berkampanye menentang industri-industri yang merusak seperti pertambangan, penebangan kayu, dan agribisnis,” ungkapnya dikutip Jumat, 31 Januari 2025.

    Menurut Nukila, situasi ini harus diintervensi dengan program-program yang bersifat kolaboratif.  

    ”Setiap tahun, para pegiat lingkungan hidup harus berjuang demi melindungi rumah, mata pencaharian, dan kesehatan bumi kita. Bahkan para pegiat  perempuan yang paling rentan diserang karena gender,” ungkapnya.

    Karena itu, para pegiat lingkungan perempuan menghadapi serangan dari dua sisi, selain menjadi sasaran aktivisme mereka, mereka juga menghadapi pelanggaran hak-hak khusus gender,” kisah Nukila.

    Dia menyebutkan, sejak tahun 2016, masyarakat Kelurahan Teluk Sepang, Bengkulu, telah menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Mereka mengalami kendala berkomunikasi dengan perusahaan. Namun, mendapatkan bantuan advokasi dari pegiat lingkungan.

    Salah satu aktivis menyebutkan dia menghadapi berbagai tindakan reprisal. ”Misalnya dia  mengalami pengucilan dari aktivitas sosial dan pemerintahan di kelurahan. Selama satu tahun, ia tidak lagi dilibatkan dalam kegiatan masyarakat.

    Dia juga mengaku sering diikuti oleh orang-orang tak dikenal setelah aksi demonstrasi yang dilakukan. 

    Anggota pegiat lainnya juga merasakan hal serupa, di mana ia dan anggota seperjuangan lainnya sering diabaikan dalam berbagai kegiatan komunitas. 

    “Dia juga mengaku mendapatkan tawaran uang dari perusahaan untuk menghentikan perjuangannya,” kta Nukila.

    Salah satu aktivitis perempuan yang ditemui Nukila mengaku mengalami pengucilan sosial. ”Dia dijauhi oleh tetangganya, dan bahkan beasiswa pendidikan untuk anaknya dicabut oleh pihak kelurahan,” ungkap Nukila.

    Tak hanya reprisal yang dialami para pegiat lingkungan, dampak lingkungan pun dialami masyakat. ”Polusi debu dan air buangan yang mencemari laut. Masyarakat lokal yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, sangat terdampak.

    Kerusakan terumbu karang dan kematian penyu menyebabkan nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Sebagian nelayan, terpaksa beralih menjadi buruh serabutan, ” kata Nukila.

    Banyak pekerja, terutama perempuan, mengeluhkan masalah kesehatan, seperti batuk dan sesak napas, namun tidak ada pemeriksaan rutin dari puskesmas atau pun pihak perusahaan.

    Dengan melihat tindakan reprisal di lapangan, Nukila menekankan perlunya perusahaan, pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya  untuk peduli terhadap isu lingkungan ini.  

    “Perlu juga advokasi perubahan kebijakan serta membantu penegak hukum dalam pencegahan reprisal. Karena tindakan pembalasan (reprisal) telah diatur dalam  salah satu pasal 336 KUHP,” kata dia.

    Pasal 336 KUHP mengatur tentang pengancaman pembunuhan. Pasal 449 UU 1/2023 mengatur tentang pengancaman dengan kekerasan. Sedangkan Pasal 29 UU 1/2024 mengatur tentang pengancaman melalui media.  

    Reprisal adalah tantangan bagi pegiat lingkungan, karena itu perlu strategi komunikasi baru sehingga semua pihak mendapat jalan keluar yang terbaik.(tribunnews/fin)